Share

36

Penulis: Meisya Jasmine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Bunda, kita mau ngapain ke rumah sakit jiwa?” Syifa bertanya dengan sangat polos. Gadis mungil lima tahun yang baru kami jemput dari sekolah taman kanak-kanak tersebut menunjuk plang besar di depan halaman parkir RSJ Waras Hati.                   

            Aku saling pandang dengan Mas Sofyan. Syifa yang enggan duduk di bangku belakang dan memilih duduk di pangkuanku itu lalu menarik ujung hijabku.

            “Bun, rumah sakit jiwa itu tempat orang gila kan, Bun?”

            Hatiku perih mendengarnya. Batinku entah mengapa terasa robek. Apakah keputusanku untuk membawa Syifa ke sini salah?

            “Bukan or

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   37

    Kami bertiga berjalan sambil bergandengan tangan satu sama lainnya. Menyusuri lorong demi lorong untuk menuju ruang rawat inap di mana Mas Faisal meningap. Setelah bertanya kepada suster jaga yang duduk di meja paling depan koridor ruang rawat inap, kami pun tahu di mana Mas Faisal kini sedang menghabiskan harinya. Di ruang Anggrek Mas Faisal sedang menginap. Didampingi oleh seorang suster perempuan berpakaian serba putih, kami bertiga pun dituntun untuk memasuki pintu bercat cokelat dengan dinding putih yang sudah agak mengelupas dindingnya. Aku syok saat melihat Mas Faisal sedang berbaring di atas ranjang, dengan kondisi kedua tangan dan kaki yang terikat di ujung tempat tidur. “Ayah!” Syifa menjerit. Anakku itu langsung berlari menuju tempat di mana

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   38

    “Bunda, Ayah sadar!” pekik Syifa bahagia. Gadis kecil itu menghambur ke arahku. Mendekap tubuhku erat-erat sambil tersenyum ke arah Mas Faisal. “S-syi-fa ….” Ya Allah, Mas Faisal menyebutkan nama anak kami. Suaranya lirih. Seperti orang menggumam, tapi aku bisa mendengar jelas bahwa itu adalah memanggil nama Syifa. “Iya, Ayah. Syifa di sini. Ada Bunda juga. Ayah bangun, yuk? Kita main.” Syifa kembali mendatangi Mas Faisal. Menggenggam tangannya yang kurus, lalu menciumi punggung tangan yang menampakkan urat-urat berwarna hijau tersebut. “M-mi-la ….” Mas Faisa

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   39

    Bagian 39 “Kita harus hubungi orangtuanya Faisal, Mil. Bagaimanapun, mereka perlu tahu kondisi anaknya.” Mas Sofyan berkata kepadaku seusai kami menjenguk Mas Faisal. Aku yang duduk di kursi depan, langsung terhenyak. Menghubungi Ummi dan Abi? Bukankah kata petugas rumah sakit dan orang lapas yang tadi menjenguk Mas Faisal nomor mereka tak aktif? “Kan, nomornya dibilangin nggak aktif, Mas,” ucapku sambil menarik napas. Aku sekilas melirik ke belakang. Syifa sudah terlelap di atas tempat duduknya sambil mengenakan sabuk pengaman. Sedari tadi dia sibuk bercengkerama dengan ayahnya. Kasihan anak itu, pikirku. Dia pasti sangat lelah karena sepulang sekolah memang belum istirahat. 

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   40

    BAGIAN 40 “Eh, ayo pada masuk. Jangan berdiri di depan pintu saja.” Ummi langsung mempersilakan kami untuk masuk. Gerak-geriknya begitu canggung dan kikuk. Ketika aku dan Mas Sofyan memasuki ruang tamu milik Ummi, terasa olehku lantai yang berdebu. Bahkan kaki ini serasa menginjak butir-butir pasir yang kasar. Ya Allah, Ummi. Sudah tak lagi bersih sekaligus terawat istanamu sekarang. Sofa hijau emerald di tengah ruangan pun tampak tak secemerlang dulu kala. “Ummi, ini ada sedikit oleh-oleh.” Mas Sofyan meletakan bingkisan tadi di atas meja kaca di depan kami. Kulihat sekilas, Ummi tampak berbinar matanya. “Masyaallah, baik sekali kalian. Eh, siapa namamu? Ummi lu

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   41

    BAGIAN 41 “Mila, Karmila mantan menantuku.” Abi memanggilku dengan suaranya yang serak. Degupan jantungku kian cepat tatkala terdengar derap langkah kaki sekaligus bunyi ketukan tongkat di ubin. Mau tak mau, aku mengangkat kepala. Terkesiap aku menatap sosok yang tengah dipapah oleh suamiku dan Ummi. Lelaki itu tampak sangat lesu, kurus, dan bahkan … rambutnya kini semakin tipis dan hampir botak penuh di bagian depannya. Ya Allah … ini Abi? Abi yang dahulu masih segar bugar dan tampak begitu gagah, mengapa kini berubah sangat drastis hingga aku hampir saja tak lagi mengenalinya. “A-abi ….” Aku memanggil beliau dengan suara lirih. Mulutku sempat menganga heran untuk setengah detik, tapi lekas kusadari bahwa keterkejutanku ini tentu tak akan membuat sosok Abi nyam

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   42

    BAGIAN 42 Mas Sofyan sampai ke rumah kami tepat pukul 21.00 malam. Pria itu sejak siang mengurusi keperluan Mas Faisal dan memfasilitasi kedua orangtuanya untuk menjenguk putra semata wayang mereka. Aku sebenarnya tak enak hati dengan Mas Sofyan. Baik hati sekali pria itu. Dia rela berletih-letih di sela kesibukannya mengajar sebagai dosen, hanya untuk mengurusi orang lain yang bukan bagian penting dalam hidupnya. Kusambut kehadiran Mas Sofyan dengan penuh suka cita. Bahkan, Syifa yang sudah mengantuk pun, rela terjaga hanya untuk menunggu kehadiran sang papa sambungnya. “Papa! Kenapa lama sekali?” tanya Syifa sambil menghambur ke arah Mas Sofyan. Bocah kecil itu memeluk papanya dengan sangat erat. Mas Sofyan yang bahkan belum bertukar pakaian sejak pagi itu pun

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   43

    BAGIAN 43 Aku pagi-pagi sekali bangun. Bahkan sebelum azan Subuh berkumandang pun, aku memilih untuk membuka mata lebar-lebar meski sebenarnya aku masih agak mengantuk. Ya, mau bagaimana lagi? Perintah Mas Sofyan tak mungkin aku abaikan begitu saja. Apalagi ini menyangkut masalah saudara kandungnya. Gegas aku keluar kamar. Rumah terasa sunyi dan sepi. Bahkan pembantu kami, Bi Dilah, belum terjaga dari tidurnya. Aku pun berjalan menuju dapur. Membersihkan setiap sudut dapur yang sebenarnya sudah dibereskan tadi malam oleh Bi Dilah. Tak hanya membereskan dapur, aku juga menyiapkan bumbu-bumbu yang akan dipakai untuk memasak pagi ini. Bumbu yang kupakai semuanya kuulek sendiri. Tidak ada yang me

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   44

    BAGIAN 44 Saat aku kembali ke kamar untuk salat Subuh, kudapati Mas Sofyan sudah bangun dan mengangkat telepon di atas ranjang. Pria itu duduk dengan muka yang masih sembab dan rambut yang acak-acakan. Kutatap dia dengan penuh tanya di kepala. Siapa yang menghubungi suamiku pagi-pagi begini? “Iya, Mbak. Siap. Aku sudah pesan ke istriku untuk makanan yang mau pengen.” Ucapan Mas Sofyan membuatku tertegun sejenak di ambang pintu. “Siap, Mbak. Jam delapan aku sudah standby di bandara. Mbak Reva nggak usah khawatir nunggu lama di sana.” Mas Sofyan lantas melirik ke arahku. Dia mungkin sudah menyadari bahwa ada istrinya di ambang pintu sini. “Sini,” ucap Mas Sof

Bab terbaru

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   88. Kebahagiaan Tanpa Tepi

    Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   87. Pesan-pesan

    Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   86. Sebuah Kisah

    Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   85. Perjumpaan Penuh Sesal

    Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   84. Bangsal Seroja

    Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   83. Permintaan Maaf

    Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   82. Lelaki Juga Punya Hati

    Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   81. Kutahan Laju Cemburu

    Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se

  • Terima Kasih Telah Merebut Suamiku   80. Hatiku Tak Baik-baik Saja

    Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti

DMCA.com Protection Status