BAGIAN 40
“Eh, ayo pada masuk. Jangan berdiri di depan pintu saja.” Ummi langsung mempersilakan kami untuk masuk. Gerak-geriknya begitu canggung dan kikuk.
Ketika aku dan Mas Sofyan memasuki ruang tamu milik Ummi, terasa olehku lantai yang berdebu. Bahkan kaki ini serasa menginjak butir-butir pasir yang kasar. Ya Allah, Ummi. Sudah tak lagi bersih sekaligus terawat istanamu sekarang. Sofa hijau emerald di tengah ruangan pun tampak tak secemerlang dulu kala.
“Ummi, ini ada sedikit oleh-oleh.” Mas Sofyan meletakan bingkisan tadi di atas meja kaca di depan kami. Kulihat sekilas, Ummi tampak berbinar matanya.
“Masyaallah, baik sekali kalian. Eh, siapa namamu? Ummi lu
BAGIAN 41 “Mila, Karmila mantan menantuku.” Abi memanggilku dengan suaranya yang serak. Degupan jantungku kian cepat tatkala terdengar derap langkah kaki sekaligus bunyi ketukan tongkat di ubin. Mau tak mau, aku mengangkat kepala. Terkesiap aku menatap sosok yang tengah dipapah oleh suamiku dan Ummi. Lelaki itu tampak sangat lesu, kurus, dan bahkan … rambutnya kini semakin tipis dan hampir botak penuh di bagian depannya. Ya Allah … ini Abi? Abi yang dahulu masih segar bugar dan tampak begitu gagah, mengapa kini berubah sangat drastis hingga aku hampir saja tak lagi mengenalinya. “A-abi ….” Aku memanggil beliau dengan suara lirih. Mulutku sempat menganga heran untuk setengah detik, tapi lekas kusadari bahwa keterkejutanku ini tentu tak akan membuat sosok Abi nyam
BAGIAN 42 Mas Sofyan sampai ke rumah kami tepat pukul 21.00 malam. Pria itu sejak siang mengurusi keperluan Mas Faisal dan memfasilitasi kedua orangtuanya untuk menjenguk putra semata wayang mereka. Aku sebenarnya tak enak hati dengan Mas Sofyan. Baik hati sekali pria itu. Dia rela berletih-letih di sela kesibukannya mengajar sebagai dosen, hanya untuk mengurusi orang lain yang bukan bagian penting dalam hidupnya. Kusambut kehadiran Mas Sofyan dengan penuh suka cita. Bahkan, Syifa yang sudah mengantuk pun, rela terjaga hanya untuk menunggu kehadiran sang papa sambungnya. “Papa! Kenapa lama sekali?” tanya Syifa sambil menghambur ke arah Mas Sofyan. Bocah kecil itu memeluk papanya dengan sangat erat. Mas Sofyan yang bahkan belum bertukar pakaian sejak pagi itu pun
BAGIAN 43 Aku pagi-pagi sekali bangun. Bahkan sebelum azan Subuh berkumandang pun, aku memilih untuk membuka mata lebar-lebar meski sebenarnya aku masih agak mengantuk. Ya, mau bagaimana lagi? Perintah Mas Sofyan tak mungkin aku abaikan begitu saja. Apalagi ini menyangkut masalah saudara kandungnya. Gegas aku keluar kamar. Rumah terasa sunyi dan sepi. Bahkan pembantu kami, Bi Dilah, belum terjaga dari tidurnya. Aku pun berjalan menuju dapur. Membersihkan setiap sudut dapur yang sebenarnya sudah dibereskan tadi malam oleh Bi Dilah. Tak hanya membereskan dapur, aku juga menyiapkan bumbu-bumbu yang akan dipakai untuk memasak pagi ini. Bumbu yang kupakai semuanya kuulek sendiri. Tidak ada yang me
BAGIAN 44 Saat aku kembali ke kamar untuk salat Subuh, kudapati Mas Sofyan sudah bangun dan mengangkat telepon di atas ranjang. Pria itu duduk dengan muka yang masih sembab dan rambut yang acak-acakan. Kutatap dia dengan penuh tanya di kepala. Siapa yang menghubungi suamiku pagi-pagi begini? “Iya, Mbak. Siap. Aku sudah pesan ke istriku untuk makanan yang mau pengen.” Ucapan Mas Sofyan membuatku tertegun sejenak di ambang pintu. “Siap, Mbak. Jam delapan aku sudah standby di bandara. Mbak Reva nggak usah khawatir nunggu lama di sana.” Mas Sofyan lantas melirik ke arahku. Dia mungkin sudah menyadari bahwa ada istrinya di ambang pintu sini. “Sini,” ucap Mas Sof
BAGIAN 45 Setelah mandi sambil sempat bersimbah air mata lara, aku keluar dalam keadaan telah memakai handuk di kepala dan kimono putih yang menutupi tubuh hingga lutut. Kulihat, Mas Sofyan turun dari ranjang kala melihat aku datang dengan langkah yang sedikit ragu. Pria itu menatapku. Tatapannya tampak teduh. Namun, tetap saja aku sedikit kikuk. Mengingat, di telepon tadi sikapku memang sangat kekanakan ketika berbicara dengan Mbak Reva. “Salat duluan, Mila. Aku juga mau mandi,” ucap Mas Sofyan. Bicara pria itu lembut. Dia juga terlihat senyum sambil menenteng handuk dan pakaian ganti. Aku yang sudah deg-degan kini mulai lega. Syukurlah, dia tidak marah, pikirku. “Iya, Mas. Aku salat duluan, ya.”&
BAGIAN 46 Akhirnya, dengan sedikit menaruh perasaan kesal, aku pun bergerak atas instruksi Pak Dosen tersayang. Gegas aku memasak di dapur. Membuatkan menu-menu makanan yang diminta oleh Mbak Reva—si ratu sejagad. Bi Dilah bukannya tak ikut jengkel. Walaupun hanya berstatus pembantu rumah tangga, tetapi beliau sudah seperti mamaku sendiri. Paham benar dengan apa yang tengah kurasakan. “Mbak Mila, sabar-sabar ya, Mbak. Semoga, kedatangan nyonya besar itu tidak membuat kita jadi semakin spaneng.” Bi Dilah menguatkanku saat beliau tengah fokus memasak rendang daging sapi dan sup iga di satu kompor yang sama. Sedang aku sendiri, tengah menghidangkan kepiting asam manis yang baru saja selesai kuangkat dari wajan.&n
BAGIAN 47 “Yan! Ya ampun, rindu sekali aku sama kamu, adikku tercinta!” Pekik heboh Mbak Reva memecah kesunyian di antara aku, Mas Sofyan, dan Syifa. Setelah menghabiskan sepanjang perjalanan hanya dengan saling diam satu sama lain, akhirnya, aku mendengarkan suara jeritan juga. Aku hanya bisa terpaku membisu tatkala melihat kakak iparku menghambur ke arah Mas Sofyan. Perempuan bertubuh tinggi langsing yang mengenakan celana ketat berwarna khaki dan kemeja putih poloh berlengan panjang serta kerudung motif abu-abu yang hanya menutupi sebagian kepalanya itu langsung memeluk suamiku erat. Dia sibuk memberikan cipika-cipiki kepada Mas Sofyan, tanpa mau menoleh sedikit pun ke arah aku maupun Syifa. Dia pikir, kami berdua ini patung selamat datang kali, ya? “Mbak Reva, bagaimana kabarnya? Tadi di pesawat tidak ada kendala, kan?” tanya Mas Sofyan sambil merangkul kakak nomor duanya tersebut. Sengaja kutatap Mbak Reva yang menyemir rambutnya dengan warna
BAGIAN 48 “Belagu amat istrimu, Yan! Kelakuannya sudah seperti nyonya besar saja! Mengerikan! Bekas janda punya anak bawaan aja, bisa sesok ratu ini ke suami. Istighfar, Mil!” Mbak Reva ngomel-ngomel panjang kali lebar. Suara cemprengnya yang terdengar seperti kaleng rombeng atau radio butut itu membuat telingaku sangat kebisingan. Namun, bukan Mila namanya kalau tidak memberikan perlawanan. “Hati-hati kalau bicara, Mbak. Biasanya, kalau ada orang yang ngata-ngatain janda, habis itu bisa ikutan jadi janda juga, lho.” Aku sengaja menoleh. Kuberikan senyuman tersengit yang pernah kumiliki kepada Mbak Reva. Perempuan berambut pirang itu langsung mengecimus bibir tebalnya. Dia masuk dan duduk di bangku belakang, kemudian membanting pintu dengan kasar. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Kalau pintu mobil ini sampai lepas, berarti dia yang harus mengganti. Mas Sofyan terlihat agak gopoh memasuki mobil. Rautnya berubah agak cemas. Dia duduk di ku
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti