Share

Bab 3

Penulis: Rihanna
Mendengar ini, aku menundukkan kepalaku dan menertawakan diriku sendiri.

Ternyata Sarno, orang yang pernah memakiku sebagai perempuan materialistik palsu di depan umum adalah pengantin priaku. Sekalipun berbohong, Josua juga tidak membiarkanku mengakhiri pernikahan ini dengan bermartabat.

Mendengar nama ini, Hani terkejut kemudian mulai memencet ponselnya. Sebelum Josua sempat bereaksi, Hani sudah meneleponnya.

“Bang Sarno, hari ini adalah hari pernikahanmu. Kenapa kau belum datang?”

“Betul, kami semua di Gedung Bingga.”

Hani tiba-tiba bersemangat dan mulai memanggil semua tamu untuk berkumpul di aula. Sementara itu, kaki dan tanganku mulai mendingin, seolah-olah darahku berhenti bersikulasi.

Teleponku terus berdering hingga akhirnya kuangkat dengan bengong.

“Neti?”

Suaranya bagaikan setan yang membuatku ingin membuang ponselku.

“Cobalah kalau kau berani menutup teleponku.”

Aku menanggapinya dengan nada rendah dan suasana hati yang tertekan.

Terdengar ejekan dari sisi lain, “Aku kira aku nggak bakal ketemu kau lagi setelah menolak menjadi pengiring pria Josua.”

“Aku dengar aku adalah pengantin pria hari ini?”

“Kenapa? Apa kau lupa hubungi aku?”

Aku menggosok noda di gaunku dan menjawab dengan suara serak, “Kau jangan ikut campur.”

Setelah diam sejenak, terdengar suara yang sangat dingin, “Huh.”

Setelah lama berada di kamar mandi, aku menopang kakiku yang kaku untuk berdiri. Darah di seluruh tubuhku mulai menghangat.

Saat aku buka pintu, ada bayangan yang melintas di hadapanku.

Dia adalah pengantin priaku.

Josua menatapku dengan wajah muram dan berkata, “Tadi kau telepon dengan siapa?”

Aku tidak meladeninya, melainkan berjalan memutarinya.

Josua tiba-tiba menarik tanganku dan tanpa sengaja menekan luka injakan tadi, sehingga lukaku bertambah sakit.

“Jawab pertanyaanku!” Josua tiba-tiba berteriak.

Aku mendongak dan tidak mau kalah, “Kau yang bilang bahwa Sarnolah pengantin priaku. Gimana? Apa kau secepat itu lupa akan apa yang kau katakan?”

Wajah Josua jadi muram dan pelan-pelan menghindari tatapanku.

“Neti, aku cuma asal ngomong.”

Ucapan manisnya penuh dengan makna menghibur.

“Kalau gitu, apa Sarno bakal datang?”

Rasa pedih yang mengganjal di dada terus naik ke tenggorokan dan mataku yang menatapnya perlahan berkaca-kaca. Akhirnya aku berkata dengan nada yang serak, “Josua, kau cuma ingin dengar gimana Sarno menhinaku, ‘kan?”

“Kau bilang sama Hani bahwa Sarno adalah pengantin priaku karena kau tahu Sarno nggak bakal datang. Karena dulu aku mengkhianatinya demimu. Karena dia pernah bilang bahwa aku adalah wanita nggak becus di depan umum. Dia sangat membenciku!”

“Kau nggak mau menyakiti Hani, tapi malah menyakitiku. Aku hanya ingin mengakhiri pernikahan tanpa pengantin pria ini, tapi kau pun tak mengizinkannya. Kau lebih memilih aku ditertawakan oleh semua orang.”

“Dia sama sekali nggak peduli!”

“Gimana? Apa kau puas?”

Mendengar ini, Josua tampak senang. Dia mengabaikan histeriaku, lalu memelukku dan mengusap air mataku dengan lembut.

“Sarno marah padamu? Kau segitu emosi?”

“Hanya aku yang bisa menoleransi perilakumu yang nggak masuk akal.”

Setelah selesai berbicara, Josua ingin mengusap heningku, tetapi aku memalingkan kepalaku.

“Ini semua salahku. Kelak aku akan membayarmu.”

“Neti yang baik, setelah selesai nanti, aku akan pulang mencarimu. Semuanya akan berakhir. Percayalah padaku, oke?”

Aku mengedipkan mataku dan menahan air mataku. Teringat akan tampakku yang memohonnya dengan rendah hati, aku berusaha berkata dengan datar, “Josua, nggak ada kelak lagi.”

“Aku mau putus denganmu.”

Josua mengerutkan alisnya, tatapannya penuh dengan kesal dan keacuhan, seolah-olah aku yang bersikap tidak masuk akal.

“Sudahlah, Neti.”

“Apa yang bisa kau lakukan setelah putus denganku?”

“Apa kau lupa sebelumnya kau bilang bakal melahirkan dua anak dan menjadi seorang ibu dan istri yang baik? Kalau kau putus denganku, apa yang bisa kau lakukan?”

Mendengar ini, aku tercengang.

Betul, aku meninggalkan Grup Susanto di saat kritis proyek dan menyerahkan segalanya demi Josua. Ini semua karena dia bilang bahwa Keluarga Hutapa memerlukan seorang istri yang bisa mengurus rumah dengan baik. Bisa-bisanya ini menjadi alasan dia untuk mengontrolku.

Sebelum Josua pergi, aku menarik lengan bajunya dan menekankan, “Josua, aku serius.”

Wajah Josua tampak muram, kesabarannya habis dan dia mencungkil jari-jariku satu demi satu dengan tegas, “Neti, kau terlalu nakal.”

“Kebetulan Hani perlu waktu setahun untuk memulihkan ingatannya. Mulai hari ini, kita nggak usah ketemu dalam setahun ini. Dia nggak tahan sama rangsangan.”

“Setelah setahun, aku akan pertimbangkan kembali apakah kau layak jadi seorang istri. Semoga kau nggak mengecewakanku.”

Di bawah ajakan Hani, semua orang berkumpul di aula. Melihatku kemari, mata Hani penuh dengan cahaya jahat.

“Nona Neti, akhirnya kau muncul.”

“Mana pengantin prianya? Kenapa belum datang?”

“Astaga! Jangan-jangan kau diputuskan pada hari pernikahan ini.”

Mendengar ini, para tamu mulai berbisik-bisik, “Pengantin prianya ‘kan Tuan Keluarga Hutapa? Orang yang di atas pentas adalah …”

“Jangan-jangan dia adalah anak haram Tuan Hutapa.”

“Pengantin pria lama tak junjung datang, apa dia beneran membatalkan pernikahan ini?”

Hani meraih lengan Josua dan berjalan ke arahku dengan tatapan sombong.

Saat aku ingin mengumumkan pembatalan pernikahan, sebuah lengan yang kekar melingkari bahuku. Tiba-tiba ada yang teriak dari kerumunan.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 4

    “Pengantin pria tiba!”“Pak Sarno!”Aku berpaling dan kaget melihat orang di sampingku. Setelah kuperhatikan, itu benar adalah wajah Sarno yang tampak masam.Dia memelototiku, tetapi entah mengapa aku merasa lebih aman.Sarno mencibir dan melihat ke sekitar, lalu tersenyum dengan sinis tanpa diketahui alasannya, “Neti, sejak awal sudah kuperingati, seleramu dalam memilih pria sangat buruk.”Melihat Sarno, Josua tampak kesal dan berjalan ke depan bersama Hani.Hani tercengang, ekspresinya seperti baru saja menelan lalat, lalu berjalan menghindariku dan bermanja pada Sarno, “Bang Sarno, kau beneran datang ya.”“Aku kira kau benci sama Nona Neti. Sebelumnya kau pernah bilang bahwa kau nggak suka sama wanita yang materialistik.”Mendengar ini, Sarno meremas pinggangku yang kaku dan berkata, “Benar, seleraku selama ini memang nggak berubah.”Mendengar jawaban Sarno, aku merasa sedikit kecewa, sedangkan Hani tampak senang.Saat hendak berbicara, Sarno mendorong Hani ke samping, “Kau menghala

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 5

    Sarno menyetir mobil dengan cepat dan langsung berhenti di dalam mal.Aku membuka sabuk pengaman dan mengucapkan terima kasih, “Pak Sarno, terima kasih telah membantuku. Aku bisa pulang naik taksi dari sini saja.”Sarno mendorongku kembali ke kursi, tubuhnya melayang di atasku, lalu berkata dengan nada yang rendah dan merdu, “Mau kabur?”“Neti, aku ‘kan sudah mengajarimu untuk pertimbangkan segala konsekuensi sebelum bertindak. Sekarang cukup bilang terima kasih saja?”Aku mengkerut, lalu bertanya, “Kalau gitu, apa maumu?”Sarno menunduk dan mengusap sudut mulutku, lalu berkata, “Aku yang mengajarimu segalanya, masa kau nggak tahu cara berterima kasih?”Dalam kesunyianku, ruang sempit ini perlahan terasa hangat.Aku menatapnya dan melepaskan keraguanku. Paling aku bayar dengan diriku sendiri, lalu aku dengan berani mendongak dan mencium pipinya.Awalnya Sarno kaget, lalu matanya bergejolak dan bertanya dengan heran, “Ngapain kau cium aku?”Aku mengerutkan bibirku dan menjawab dengan pe

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 6

    Saat pesta makan malam, Josua mengirimiku pesan yang memintaku untuk mengantarkan laptopnya ke apartemen Hani, tetapi aku tidak membalasnya.Tak lama kemudian, teleponku berdering.“Neti, kenapa kau nggak balas pesanku?”Aku kaget karena sejak Hani hilang ingatan, Josua sudah lama tidak pernah meneleponku. Dia selalu mengirimiku pesan lewat Whatsapp tanpa basa basi. Bahkan pernikahan sebelumnya juga dia kabari lewat Whatsapp dan kulakukan semuanya sendiri.“Kenapa nggak bersuara? Kau masih marah padaku? Neti, sudah kubilang cuma satu tahun saja. Kenapa kau nggak paham?”“Josua.” Aku memotong pembicaraannya. “Kita sudah putus.”“Apa kau pikun sebelum waktunya? Kau sudah lupa apa yang terjadi pada hari pernikahan kemarin?”Josua diam sejenak lalu meneruskan dengan nada tak berdaya, “Neti, sudahlah. Kalau buat aku emosi, setahun lagi kau mau nikah sama siapa?”Suara Hani terdengar, “Josua, tolong ambilkan jubah mandiku. Aku lupa.”Josua menanggapinya, tetapi sebelum aku sempat menjawab,

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 7

    Saat kembali ke Kota Yosi, cuacanya tidak bagus karena turun hujan deras.Aku pulang ke tempat tinggalku yang dulu dalam guyuran hujan.Kalau aku tidak pulang hari ini, aku yakin Josua pasti akan membuang semua barangku. Akan tetapi, aku tidak menyangka, ternyata Josua ingkar janji.Begitu pintu terbuka, barang-barang berserakan di lantai.Ada perasaan tidak enak di hatiku. Aku bergegas ke kamar tidur dan melihat ada sebuah kotak kayu yang terbuka di lantai. Gelang giok di dalamnya jelas-jelas sudah pecah.“Hahaha.” Terdengar suara tawa dari belakang. Aku menoleh dan melihat Hani di sana.“Apa kau yang merusak gelangku?” tanyaku pada Hani sambil memegang pecahan gelang tersebut.Hani melirikku dengan hina dan berkata dengan kasar, “Siapa suruh kau menikah dengan Josua? Menginginkan barang yang bukan milikmu. Kau hanyalah wanita pecinta harta. Beraninya cewek kampungan sepertimu mau jadi Nyonya besar?”“Cewek kampungan nggak bakal bisa jadi Nyonya besar. Nyonya besar juga nggak bakal ja

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 8

    Saat dapat kabar Sarno diam-diam mengupah orang untuk mematahkan lengan Josua, aku sedang terpikat dalam pengembangan proyek baru. Ketika mendengar berita ini, aku hanya merasa itu pantas bagi Josua, lalu meneruskan pekerjaanku.Sarno merasa tidak puas karena aku telah mengabaikannya cukup lama. Semakin dia tampak adil di kantor, semakin keras hukumannya padaku di rumah.Hingga suatu hari, Josua meneleponku dengan meminjam ponsel temannya. Dia berkata dengan nada sedih, “Neti, aku mengalah.”“Kau sekarang kembali ke Grup Susanto, ‘kan? Aku nggak ngerti kenapa Sarno gila-gilaan merebut sumber daya Grup Hutapa tanpa memikirkan konsekuensinya. Kondisi perusahaan saat ini sangat buruk.”“Asalkan kau pulang bantu aku, kita segera nikah. Aku nggak peduli sama janji setahun lagi, oke?”Oke apaan?Aku curiga kalau yang dipatahkan Sarno bukan tangannya Josua, melainkan otaknya yang rusak. Kalau tidak, kenapa dia tidak paham omongan orang?“Josua, kalau sakit pergi berobat di rumah sakit. Kita s

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 9

    “Neti, apa orang di bawah lagi menunggumu?”Yudi menyodok lenganku dan mengedipkan matanya padaku.Aku melihat ke bawah dan ternyata Josua bersandar dekat mobil sambil memegang sebuket bunga. Dia terus melihat ke atas dengan penuh kasih sayang. Setiap kali ada orang yang lewat, dia akan bertanya pada mereka apa mereka kenal sama Neti dan mengirim pesan lewat mereka bahwa dia sedang menungguku di bawah.“Dia sudah tunggu selama beberapa hari. Namamu sudah terkenal di seluruh gedung.”Aku meludah kesal sambil menutup tirai dengan kasar dan merasa sial kali.“Kak Neti, ada telepon dari kantor presiden. Anda diminta segera ke sana.”Anak magang memberikan teleponnya padaku. Saat menerima teleponnya, aku mendengar suara Sarno yang dingin, “Naik ke atas.”Begitu masuk, Sarno mendorongku ke dinding, lalu menggesekkan wajahnya ke leherku.“Sayang, dia menjengkelkan banget.”Aku mengelus rambut Sarno sambil berkata, “Kau cemburu?”Sarno mendengus dan menggigitku, “Belakangan ini sibuk sekali, a

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 10

    Begitu sampai di rumah, aku berbaring di ranjang dan tiba-tiba ada suara aneh di belakangku.Aku duduk di ranjang, Sarno berlutut di samping sambil memegang papan ketik dan menatapku dengan kasihan. “Sayang, aku berlutut. Kau jangan marah.”Aku menghela napas dalam hati dan mataku berkaca-kaca.“Apa kau beneran menganggapku sebagai seorang wanita yang materialistik?”Sarno segera berdiri dan menekanku ke ranjang, jari tangannya mengelus sudut mataku yang memerah.“Tentu saja bukan. Mana mungkin aku memikirkanmu begitu?”Aku menatapnya dan berkata, “Kalau gitu, kenapa kau bilang aku gitu?”Setelah ragu beberapa saat, Sarno menjelaskan dengan kaku, “Aku marah karena kau bergaul sama Josua. Aku mau pisahkan kalian.”“Sudah aku kode berkali-kali, tapi kau tetap nggak ngerti.”“Waktu itu kau rela berhenti kerja daripada berpisah dengannya.”“Karena emosi … Begitu ngomong, aku langsung menyesalinya … Beneran … Sebenarnya aku berharap kau itu wanita materialistik. Dengan demikian, aku boleh

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 1

    Pada hari pernikahan itu, Josua Hutapa tidak muncul.Saat aku mengira Josua tertimpa kecelakaan, tapi dia muncul dengan mengenakan jas pengiring pria dan bunga kecil berwarna hijau muda yang tersemat di dada sambil menggandeng Hani Jolena yang mengenakan gaun putih kembang masuk ke aula. Seolah-olah merekalah pengantin pria dan wanitanya.Para pengiring pria segera mendekat dan menariknya ke samping.“Apa kau gila? Sudahlah kau terlambat, kenapa bawa dia kemari?”Josua mengerutkan alisnya dan berkata dengan pasrah, “Ingatan Hani kembali ke hari saat kami berciuman di SMA. Dia kira kami terus pacaran setelah lulus. Mana mungkin aku biarkan dia sendirian?”Hani berdiri di samping dengan wajah polos dan terus melintir jarinya seperti anak SMA.Aku kaget karena dia mengenakan cincin pernikahanku.Josua membawa Hani berjalan ke arahku. Dia menggenggam tangannya dan mengucap selamat padaku, “Neti, semoga pernikahanmu membahagiakan.”Suasana sekitar tiba-tiba hening.Aku memelototinya dan ber

Bab terbaru

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 10

    Begitu sampai di rumah, aku berbaring di ranjang dan tiba-tiba ada suara aneh di belakangku.Aku duduk di ranjang, Sarno berlutut di samping sambil memegang papan ketik dan menatapku dengan kasihan. “Sayang, aku berlutut. Kau jangan marah.”Aku menghela napas dalam hati dan mataku berkaca-kaca.“Apa kau beneran menganggapku sebagai seorang wanita yang materialistik?”Sarno segera berdiri dan menekanku ke ranjang, jari tangannya mengelus sudut mataku yang memerah.“Tentu saja bukan. Mana mungkin aku memikirkanmu begitu?”Aku menatapnya dan berkata, “Kalau gitu, kenapa kau bilang aku gitu?”Setelah ragu beberapa saat, Sarno menjelaskan dengan kaku, “Aku marah karena kau bergaul sama Josua. Aku mau pisahkan kalian.”“Sudah aku kode berkali-kali, tapi kau tetap nggak ngerti.”“Waktu itu kau rela berhenti kerja daripada berpisah dengannya.”“Karena emosi … Begitu ngomong, aku langsung menyesalinya … Beneran … Sebenarnya aku berharap kau itu wanita materialistik. Dengan demikian, aku boleh

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 9

    “Neti, apa orang di bawah lagi menunggumu?”Yudi menyodok lenganku dan mengedipkan matanya padaku.Aku melihat ke bawah dan ternyata Josua bersandar dekat mobil sambil memegang sebuket bunga. Dia terus melihat ke atas dengan penuh kasih sayang. Setiap kali ada orang yang lewat, dia akan bertanya pada mereka apa mereka kenal sama Neti dan mengirim pesan lewat mereka bahwa dia sedang menungguku di bawah.“Dia sudah tunggu selama beberapa hari. Namamu sudah terkenal di seluruh gedung.”Aku meludah kesal sambil menutup tirai dengan kasar dan merasa sial kali.“Kak Neti, ada telepon dari kantor presiden. Anda diminta segera ke sana.”Anak magang memberikan teleponnya padaku. Saat menerima teleponnya, aku mendengar suara Sarno yang dingin, “Naik ke atas.”Begitu masuk, Sarno mendorongku ke dinding, lalu menggesekkan wajahnya ke leherku.“Sayang, dia menjengkelkan banget.”Aku mengelus rambut Sarno sambil berkata, “Kau cemburu?”Sarno mendengus dan menggigitku, “Belakangan ini sibuk sekali, a

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 8

    Saat dapat kabar Sarno diam-diam mengupah orang untuk mematahkan lengan Josua, aku sedang terpikat dalam pengembangan proyek baru. Ketika mendengar berita ini, aku hanya merasa itu pantas bagi Josua, lalu meneruskan pekerjaanku.Sarno merasa tidak puas karena aku telah mengabaikannya cukup lama. Semakin dia tampak adil di kantor, semakin keras hukumannya padaku di rumah.Hingga suatu hari, Josua meneleponku dengan meminjam ponsel temannya. Dia berkata dengan nada sedih, “Neti, aku mengalah.”“Kau sekarang kembali ke Grup Susanto, ‘kan? Aku nggak ngerti kenapa Sarno gila-gilaan merebut sumber daya Grup Hutapa tanpa memikirkan konsekuensinya. Kondisi perusahaan saat ini sangat buruk.”“Asalkan kau pulang bantu aku, kita segera nikah. Aku nggak peduli sama janji setahun lagi, oke?”Oke apaan?Aku curiga kalau yang dipatahkan Sarno bukan tangannya Josua, melainkan otaknya yang rusak. Kalau tidak, kenapa dia tidak paham omongan orang?“Josua, kalau sakit pergi berobat di rumah sakit. Kita s

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 7

    Saat kembali ke Kota Yosi, cuacanya tidak bagus karena turun hujan deras.Aku pulang ke tempat tinggalku yang dulu dalam guyuran hujan.Kalau aku tidak pulang hari ini, aku yakin Josua pasti akan membuang semua barangku. Akan tetapi, aku tidak menyangka, ternyata Josua ingkar janji.Begitu pintu terbuka, barang-barang berserakan di lantai.Ada perasaan tidak enak di hatiku. Aku bergegas ke kamar tidur dan melihat ada sebuah kotak kayu yang terbuka di lantai. Gelang giok di dalamnya jelas-jelas sudah pecah.“Hahaha.” Terdengar suara tawa dari belakang. Aku menoleh dan melihat Hani di sana.“Apa kau yang merusak gelangku?” tanyaku pada Hani sambil memegang pecahan gelang tersebut.Hani melirikku dengan hina dan berkata dengan kasar, “Siapa suruh kau menikah dengan Josua? Menginginkan barang yang bukan milikmu. Kau hanyalah wanita pecinta harta. Beraninya cewek kampungan sepertimu mau jadi Nyonya besar?”“Cewek kampungan nggak bakal bisa jadi Nyonya besar. Nyonya besar juga nggak bakal ja

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 6

    Saat pesta makan malam, Josua mengirimiku pesan yang memintaku untuk mengantarkan laptopnya ke apartemen Hani, tetapi aku tidak membalasnya.Tak lama kemudian, teleponku berdering.“Neti, kenapa kau nggak balas pesanku?”Aku kaget karena sejak Hani hilang ingatan, Josua sudah lama tidak pernah meneleponku. Dia selalu mengirimiku pesan lewat Whatsapp tanpa basa basi. Bahkan pernikahan sebelumnya juga dia kabari lewat Whatsapp dan kulakukan semuanya sendiri.“Kenapa nggak bersuara? Kau masih marah padaku? Neti, sudah kubilang cuma satu tahun saja. Kenapa kau nggak paham?”“Josua.” Aku memotong pembicaraannya. “Kita sudah putus.”“Apa kau pikun sebelum waktunya? Kau sudah lupa apa yang terjadi pada hari pernikahan kemarin?”Josua diam sejenak lalu meneruskan dengan nada tak berdaya, “Neti, sudahlah. Kalau buat aku emosi, setahun lagi kau mau nikah sama siapa?”Suara Hani terdengar, “Josua, tolong ambilkan jubah mandiku. Aku lupa.”Josua menanggapinya, tetapi sebelum aku sempat menjawab,

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 5

    Sarno menyetir mobil dengan cepat dan langsung berhenti di dalam mal.Aku membuka sabuk pengaman dan mengucapkan terima kasih, “Pak Sarno, terima kasih telah membantuku. Aku bisa pulang naik taksi dari sini saja.”Sarno mendorongku kembali ke kursi, tubuhnya melayang di atasku, lalu berkata dengan nada yang rendah dan merdu, “Mau kabur?”“Neti, aku ‘kan sudah mengajarimu untuk pertimbangkan segala konsekuensi sebelum bertindak. Sekarang cukup bilang terima kasih saja?”Aku mengkerut, lalu bertanya, “Kalau gitu, apa maumu?”Sarno menunduk dan mengusap sudut mulutku, lalu berkata, “Aku yang mengajarimu segalanya, masa kau nggak tahu cara berterima kasih?”Dalam kesunyianku, ruang sempit ini perlahan terasa hangat.Aku menatapnya dan melepaskan keraguanku. Paling aku bayar dengan diriku sendiri, lalu aku dengan berani mendongak dan mencium pipinya.Awalnya Sarno kaget, lalu matanya bergejolak dan bertanya dengan heran, “Ngapain kau cium aku?”Aku mengerutkan bibirku dan menjawab dengan pe

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 4

    “Pengantin pria tiba!”“Pak Sarno!”Aku berpaling dan kaget melihat orang di sampingku. Setelah kuperhatikan, itu benar adalah wajah Sarno yang tampak masam.Dia memelototiku, tetapi entah mengapa aku merasa lebih aman.Sarno mencibir dan melihat ke sekitar, lalu tersenyum dengan sinis tanpa diketahui alasannya, “Neti, sejak awal sudah kuperingati, seleramu dalam memilih pria sangat buruk.”Melihat Sarno, Josua tampak kesal dan berjalan ke depan bersama Hani.Hani tercengang, ekspresinya seperti baru saja menelan lalat, lalu berjalan menghindariku dan bermanja pada Sarno, “Bang Sarno, kau beneran datang ya.”“Aku kira kau benci sama Nona Neti. Sebelumnya kau pernah bilang bahwa kau nggak suka sama wanita yang materialistik.”Mendengar ini, Sarno meremas pinggangku yang kaku dan berkata, “Benar, seleraku selama ini memang nggak berubah.”Mendengar jawaban Sarno, aku merasa sedikit kecewa, sedangkan Hani tampak senang.Saat hendak berbicara, Sarno mendorong Hani ke samping, “Kau menghala

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 3

    Mendengar ini, aku menundukkan kepalaku dan menertawakan diriku sendiri.Ternyata Sarno, orang yang pernah memakiku sebagai perempuan materialistik palsu di depan umum adalah pengantin priaku. Sekalipun berbohong, Josua juga tidak membiarkanku mengakhiri pernikahan ini dengan bermartabat.Mendengar nama ini, Hani terkejut kemudian mulai memencet ponselnya. Sebelum Josua sempat bereaksi, Hani sudah meneleponnya.“Bang Sarno, hari ini adalah hari pernikahanmu. Kenapa kau belum datang?”“Betul, kami semua di Gedung Bingga.”Hani tiba-tiba bersemangat dan mulai memanggil semua tamu untuk berkumpul di aula. Sementara itu, kaki dan tanganku mulai mendingin, seolah-olah darahku berhenti bersikulasi.Teleponku terus berdering hingga akhirnya kuangkat dengan bengong.“Neti?”Suaranya bagaikan setan yang membuatku ingin membuang ponselku.“Cobalah kalau kau berani menutup teleponku.”Aku menanggapinya dengan nada rendah dan suasana hati yang tertekan.Terdengar ejekan dari sisi lain, “Aku kira a

  • Terima Kasih, Mantan!   Bab 2

    Aku mengangkat kepalaku dan melihat wajah Hani yang arogan.Rasa sakit yang menusuk jantung menjalar dari punggung tanganku, sementara kakinya terus menginjak dengan kuat.Orang-orang di sekitar berteriak kaget.“Biarpun kubuang benda yang pernah kupakai, orang lain juga jangan berharap bisa memilikinya.”Saat aku menggumpalkan tanganku dan berniat untuk berbicara, tiba-tiba terdengar suara yang kuat.“Baik.”Aku menoleh ke arah suara dengan kaget.Josua yang berada di samping Hani menundukkan kepalanya dan menatapku dengan penuh rasa bersalah, lalu cincin itu ditendang ke dalam danau buatan di samping tanpa ragu.Bagaikan meteor yang menyambar, cincin itu menghilang dalam sekejap mata.Aku menatap ke arah hilangnya cincin itu lumayan lama.Dulu, Josua sangat menghargainya dan tidak memperbolehkan orang lain menyentuh cincin tersebut. Dia diam-diam membawa cincin itu melintasi tujuh negara dan melamarku di bawah aurora.Kini dia menendangnya seperti sampah.Hani sangat senang dan meran

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status