Bian sudah pulang dan sedang berada di kamarnya. Namun, Masayu belum juga menyusulnya. Dia masih sibuk menenangkan ritme jantungnya yang sejak tadi berdegup kencang. Usia pernikahan sudah satu tahun, tapi rasanya seperti mau melewati malam pertama saja. Bolak-balik dia mematut diri di depan cermin, memeriksa apakah ada komedo di wajahnya. Bulu hidung? Aman. Secuil cabe yang nyangkut di gigi juga tidak ada. Piyama seksi yang menempel di tubuhnya berkali-kali dia rapikan. Setelahnya, dia lalu menghirup napas panjang dan membuangnya. Kemudian memutuskan untuk segera menyusul Bian di kamarnya.Disambarnya jas yang tergeletak di meja riasnya, kemudian dia berjalan ke kamar Bian. Terdapat jarak dua kamar antara kamarnya dan kamar yang hendak ditujunya itu. Terlebih dulu dia mengetuk pintu. Mungkin karena gugup, mendadak punggung tangannya seakan tidak berdaya. Ketukan yang dihasilkannya samar, sehingga tidak terdengar jawaban dari dalam. Baru saja Masayu hendak mengetuk kembali, tiba-ti
Masayu makin panik ketika melihat suaminya pingsan. Dia lalu berteriak memanggil Erik.Dengan tergopoh-gopoh Erik datang dan melihat Bian sudah terkulai lemas di pangkuan Masayu. "Apa yang terjadi, Nona? Kenapa dengan Tuan Bian?""Aku nggak tau. Tiba-tiba dia bereaksi aneh ketika melihat lukaku." Masayu menunjukkan jarinya yang terluka. Veronika yang baru tiba tidak bisa menutupi rasa terkejutnya. Dia menutup mulut dan bertanya dengan setengah memekik, "Astaga, Bian! Apa yang terjadi dengan dia? Bian kenapa?!" Kemudian pandangannya beralih pada Masayu dan menunjuknya, "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan ayah anak-anakku, kamu tersangkanya!" Mendengar hal itu Masayu sontak membelalak. Apa-apaan? Baru datang sudah menuduh yang bukan-bukan.Erik kemudian menengahi. "Sebaiknya kita bawa dulu Tuan ke tempat tidur." Dia lalu memanggil beberapa pelayan laki-laki dan meminta bantuannya untuk mengangkat tubuh Bian ke pembaringan.Ketika pelayan itu pergi, Erik lalu berkata kepada Masayu. "
Masayu terpaku di depan pintu. Jantungnya berbunyi sangat kencang. Mangkuk bubur di tangannya hampir saja jatuh sebab tangannya yang gemetar. Dia bahkan bisa menerima sikap labil Bian terhadapnya dengan lapang dada. Meski terkadang dia sendiri dibuat bingung hingga ke-geeran ketika Bian perhatian padanya, dan kembali kecewa saat Bian menampakkan sikap dinginnya. Akan tetapi, saat ini dia benar-benar merasa sakit hati setelah mendengar itu semua. Masayu sama sekali tidak menyangka. Terlebih dua orang itu memiliki sebuah rencana, entah untuk apa dan siapa. Untungnya, Masayu masih mampu mengendalikan dirinya dengan baik. Sehingga ketika pintu dibuka dari dalam, bibirnya masih sanggup menyunggingkan sebuah senyum untuk Erik. Pria itu tampak terkejut ketika melihat dirinya."No-Nona, sudah lama di sini?" tanyanya gugup."Aku baru saja datang, Rik. Mau mengantar bubur untuk suamiku," sahut Masayu dengan tenang. Erik buru-buru membukakan pintu dan memberikan jalan untuknya."Silakan, Nona
Mendengar itu, Bian lalu menghardiknya, "Dasar gila!" Wajah Veronica seketika berubah cemberut. Masayu lalu berkata lembut pada Gita, "Gimana kalau Gita yang tidur di kamar Bunda? Kamar Bunda ada bonekanya, loh." "Tapi bareng sama Papa," celetuk Gita. Genta yang mendengarnya tidak mau kalah. "Genta yang sama Papa. Kamu sama Bunda aja sana!""Nggak mau! Gita mau sama Bunda, sama Papa juga!" Bian makin bingung dibuatnya. Dia pun mencoba melerai, "Ya, sudah, kalau kalian tidak ada yang mau mengalah, mending tidur aja sana di kamar Bi Ijah!""Nggak mau ...!" Kedua anaknya menjawab kompak. Malam telah larut, sebagian penerangan di beberapa ruangan sudah dimatikan. Masayu menghentikan senandungnya ketika dilihatnya Gita telah terlelap. Sembari berbaring miring, dia mengusap lembut rambut hitam anak itu dengan penuh kasih sayang.Setelah dibujuk dengan mengerahkan segala rayuan maut, akhirnya kedua anak-anaknya mau diajak damai. Dengan catatan, hari ini jadwal tidur Gita bersama Masayu
Masayu benar-benar syok! Entah problem yang mana dulu yang harus dia pikirkan, nyatanya kedua hal itu saling bertabrakan di kepalanya hingga dia merasa kepalanya sangat sakit."Bian." Dia menggumamkan nama itu berulang-ulang. Rasanya hampir tidak percaya. Dendam apa yang membuat lelaki itu sehingga dia tega berbuat demikian terhadap istrinya sendiri? Rasa-rasanya Masayu tidak pernah berbuat salah padanya. Logikanya mendadak bekerja. Jangan-jangan Bian bersedia menikahinya hanya karena ingin melancarkan aksi balas dendamnya saja.Saking tidak kuat lagi berpikir, Masayu akhirnya menangis sepanjang jalan. Tidak peduli tatapan orang-orang yang berlalu-lalang melewatinya. Gita yang menggandeng tangannya berkali-kali menatap bingung ibu sambungnya. Saat ini anak-anaknya mengajak pergi ke toko buku. Karena tempatnya berada tidak jauh dari rumah, Masayu mengajak mereka berjalan kaki menuju ke sana. Berharap kesedihannya bisa hilang terbawa angin, justru sepanjang jalan dia malah menangis te
Dengan menempuh perjalanan selama satu jam Masayu akhirnya tiba di rumah tuanya. Rumah yang penuh dengan kenangan manis itu kini sudah tampak sangat usang. Hal tersebut sangat wajar karena semenjak peristiwa naas itu terjadi, Masayu memilih untuk keluar dari rumahnya lantaran merasa sangat trauma. Sekarang dia kembali lagi ke sini setelah bertahun-tahun dia tinggalkan.Selain usang, debu di mana-mana, dan sarang laba-laba yang menggantung di sana-sini, tidak ada yang berubah dari rumah ini. Semua perabotan serta tata letaknya masih sama seperti ketika dia meninggalkannya dulu. Ada perasaan terenyuh ketika kakinya melangkah ke dalam. Semua kenangan di rumah ini seketika melintas satu per satu di atas kepalanya.Sejurus kemudian, dia jatuh terduduk, kemudian pecahlah tangisnya. "Ibu ...," gumamnya. Di atas buffet tua yang terbuat dari kayu jati itu masih berdiri sebuah bingkai foto dirinya bersama sang ibu. Perlahan, dia meraih bingkai itu lalu mengusap permukaannya dari debu yang m
Masayu bimbang, tidak mungkin dia meminta tolong pada Bian terkait ayahnya. Selain sedang berseteru, Bian juga tahu tentang skandal pembunuhan ayahnya. Bisa-bisa dia melapor ke polisi dan mengatakan kalau ayahnya ada di sini."Nggak ... nggak mungkin, Yah. Nggak mungkin Ayu minta tolong sama Bang Bian. Lebih baik Ayah urus diri sendiri saja. Ayu nggak berani bertindak lebih lanjut karena Ayah buronan. Bisa-bisa Ayu ikut terseret ke dalam penjara!" Masayu lalu berbalik badan dan akan pergi. Namun ayahnya berteriak memanggilnya. "Ayu, tunggu! Apa kamu bilang tadi? Bian? Bian anaknya Baswara itu? Jadi, kamu menikah sama dia?"Masayu kembali menghadap ayahnya. "Iya, Yah. Ayu menikah sama dia."Marwan tampak berpikir keras. Hal itu nampak dari keningnya yang berkerut dalam. "Kenapa bisa? Ayu, kenapa bisa kamu menikah sama dia??!" Masayu agak terkejut mendengar nada bicara ayahnya yang meninggi. Kali ini gantian Masayu yang mengerutkan dahinya, kemudian bertanya heran pada Marwan, "Kenapa
Masayu tidak memungkiri jika dia sangat membenci ayahnya. Namun, apabila ayahnya diperlakukan secara kasar di depan matanya, Masayu jelas tidak terima."Kenapa Abang pukul Ayah? Kenapa? Apa salah Ayah?" Masayu berteriak memukul-mukul dada suaminya. Bian dengan santai menangkap kedua pergelangan tangan Masayu dan berkata, "Ayahmu memang harus dilumpuhkan untuk sementara. Kebanyakan bicara membuat luka tembak ayahmu akan semakin parah, bisa-bisa dia kehilangan banyak darah." Mendengar penjelasan Bian, Masayu berangsur-angsur mulai tenang. "Lalu selanjutnya bagaimana?" tanya Masayu setelah dia melepaskan diri dari Bian. "Kembalikan saja ayahmu ke penjara!" sahut Bian cuek.Masayu membeliak marah. "Bukannya tadi kita udah sepakat?" Bian kemudian mengeluarkan ponselnya, lalu berkata setelah sejenak dia menarik napas, "Sebenarnya agak susah. Tapi biar kucoba."Masayu berjongkok mendekati ayahnya ketika Bian berjalan menjauh untuk menelepon seseorang. Ekspresi wajahnya datar tatkala dia