Setelah selesai sarapan, aku mengantar Tiara ke mall seperti yang ia minta. Kami berjalan bersama, tangannya memeluk lenganku, dan aku hanya bisa membiarkannya.Saat kami berjalan di lorong-lorong mall, beberapa kali aku melihat banyak orang yang memperhatikanku. Khususnya para perempuan, ada yang menatapku berulang kali, ada yang berbisik dengan temannya sambil tersenyum.Bahkan, aku sempat mendengar dua perempuan di dekat eskalator berbicara cukup keras hingga aku menangkapnya dengan jelas.“Ganteng banget, ya! Kayaknya dia blasteran deh, lihat saja warna rambutnya dan matanya. Dia juga tinggi, putih, badannya uhh seksi sekali… atletis—pria idaman bangeti!” kata salah satu temannya.Temannya menjawab, “Iya, sayangnya sudah bersama perempuan itu.”Tiara pasti mendengar dengan jelas, dia menatapku sambil tersenyum kecil.“Suamiku memang ganteng, pantes semua perempuan sampai seperti itu,” katanya, nadanya manis, tetapi aku tahu itu hanya pemanis bibir.Aku hanya tersenyum kecil, tidak
“Ti, menurutku kita kembali ke apartemen aja. Gak enak kalau tinggal di sini, nanti ngerepotin Mama,” kataku membuka obrolan.Tiara yang semua hendak berbaring, langsung menoleh ke arahku dan tersenyum. “Gak apa-apa, Mas. Lagipula, sebenarnya aku juga gak terlalu nyaman tinggal di apartemen, terlalu sempit. Toh, kasihan juga di sini gak ada laki-laki, kalau Mama atau Nayla kenapa-napa, kita gak bisa cepet nolongin.”“Tapi, Ti …”“Udah, Mas, gak apa-apa, kok. Dan bener juga kata Mama, kalau kita sewain apartemennya, kita bisa nambahin uang tabungan,” potong Tiara.Aku menghela napas pasrah.Bukannya apa, aku khawatir justru hubunganku dengan Mama Siska terendus lebih dulu karena aku ingin membuat Tiara yang lebih dulu terciduk.Sepertinya, kalau seperti ini aku harus bermain lebih rapi dan cepat.Akhirnya, aku merebahkan diri di samping Tiara, tapi entah mengapa perasaan tidak nyaman justru menyergap.Tiara adalah istriku, tetapi berbaring di sampingnya justru membuat dadaku terasa ses
Keesokan paginya, kami sarapan bersama. Nayla tampak memperhatikan Mama Siska dengan pandangan heran.“Mama habis keramas, ya? Wangi samponya enak banget,” katanya polos.Kulihat Mama Siska tampak sedikit panik.“Iya, Nay. Semalam gerah sekali jadi rambut Mama lepek,” jawabnya cepat.Nayla mengernyit. “Memang, AC kamar Mama rusak?”Aku dan Mama Siska saling diam. Entah kenapa jantungku ikut berdegup kencang.Saat ini, rambutku juga masih basah karena baru keramas. Aku khawatir, Nayla juga akan menanyakan hal yang sama.Untungnya Tiara menimpali, “Iya, Nay. Kakak juga tadi malam merasa gerah padahal AC udah nyala. Mungkin kamu saja yang sedang tidak enak badan.”Aku merasa lega. Setidaknya, pernyataan Tiara bisa meredakan suasana.“Mungkin memang begitu, Nay,” kataku, berpura-pura khawatir.Aku mengangkat tanganku ke keningnya, dan Nayla langsung memerah. Ia tergagap, sedikit mundur, dan kami pun tertawa bersama.Suasana menjadi cair, dan aku bersyukur Tiara dan Nayla tidak mencurigai
"Ah benar juga. Kamu tenang aja, Raka. Aku akan selalu bantu kamu, apapun masalahnya, bahkan untuk buat Tiara menyesal," katanya tiba-tiba.Kalimat Liana benar-benar di luar dugaanku.“Li, kamu …”“Aku justru senang kalau kamu bisa kasih tahu aku soal masalah kamu, bahkan bisa bantu kamu. Aku anggap, apa yang kita lakuin ini adalah bantuan untuk kamu. Lagipula, aku juga suka kalau bisa terus sama kamu.” Liana tersenyum lebar.Liana benar-benar membuatku tidak habis pikir. Aku tidak akan membuang kesempatan emas ini.“Terima kasih, Li.”Sesampainya di depan rumah Liana, ia turun, melepas helm, lalu menatapku."Masuk dulu, Raka. Sebentar aja," ajaknya penuh harap.Aku menggeleng pelan. "Lain kali ya, Li. Aku lagi capek banget hari ini.""Ya udah, hati-hati di jalan ya!" katanya sambil tersenyum.Sebenarnya aku malas pulang, apalagi harus bertemu Tiara. Tapi, tidak enak juga kalau aku sampai pulang telat.Sampai di rumah sudah larut malam. Lampu ruang tamu mati, Mama Siska dan Nayla sepe
Hari ini pekerjaanku di kantor lancar. Saat jam pulang tiba, aku melihat Liana berjalan bersama Sarah ke luar menuju tempat parkiran.Aku sempat menoleh ke Reza—ia berdiri di sudut, matanya seolah mengawasi Liana. Aneh, pikirku. Mereka kan tidak akur.Apa dia menunggu Liana? Tetapi rasanya tidak mungkin.Aku pamit lebih dulu kepada Liana dan Sarah, lalu mendekati Reza.“Za, pulang bareng, yuk,” ajakku.Ia hanya tersenyum, “Kamu duluan saja, Raka. Aku masih ada urusan.”Aku bingung apa yang ingin dia lakukan, tetapi tidak bertanya lebih jauh karena aku pikir itu memang urusan pekerjaan.Aku langsung naik motor dan pulang.Jalanan masih ramai, karena hari ini aku pulang tidak terlalu malam.Saat sampai rumah, aku membuka pintu dan mendengar suara percakapan. Aku masuk, ternyata Tiara sudah pulang. Ia dan Mama Siska sedang duduk di ruang tamu, mengobrol santai. Mereka menoleh kepadaku, tersenyum, dan Mama Siska berdiri.“Raka, Tiara, Mama ke belakang dulu, ya,” katanya, lalu pergi, menin
Aku hanya mengangguk, berpura-pura percaya, padahal aku tahu itu pasti bohong. Pasti dia bertemu Alex lagi.Dia pergi sekitar pukul sembilan pagi, dan aku malah merasa lega tidak perlu mencari alasan untuk keluar dari rumah.Kini di rumah tinggal bertiga—aku, Mama Siska, dan Nayla. Setelah kami selesai sarapan, Nayla tiba-tiba berbicara.“Ma, teman-teman kampusku boleh datang ke sini, nggak? Kami mau kerja kelompok,” pintanya, matanya cerah penuh harap.Mama Siska tersenyum, “Boleh, Nay. Ajak saja.” Nayla sangat senang, langsung tersenyum lebar.Aku menoleh kepadanya, iseng. “Anak muda gak main ke luar saja? Kenapa malah main di rumah?” tanyaku, sengaja menggoda. Dia cemberut, “Ya, agar sekalian kerja kelompok, Bang! Lebih enak di rumah,” jawabnya cepat.Aku tertawa kecil, melanjutkan menggodanya. “Oh ya, Nay, si cowok yang suka mengganggu kamu itu bagaimana kabarnya? Masih mengejar-ngejar kamu?”Matanya langsung membulat, pipinya memerah.“Bang! Jangan bahas dia, aku malas!” katany
Obrolan ramai bersama Nayla dan teman-temannya masih berlanjut, tetapi Mama Siska tiba-tiba berdiri.“Mama ke pasar dulu, ya. Mau belanja untuk makan malam,” katanya sambil melangkah ke ke kamar untuk bersiap.Aku langsung menawarkan, “Ma, aku antar, ya.” Dia menggelengkan kepala, “Tidak usah, Raka. Kamu pasti capek, lebih baik istirahat saja.”Tapi aku tetap memaksa.“Mama, aku bosan di rumah. Aku sama sekali tidak merasa capek, mumpung lagi libur juga. Lagipula aku bisa mengantar Mama pakai motor, lebih hemat daripada naik ojek atau naik angkutan umum. Lebih aman juga kan,” kataku, lalu berdiri.Teman-teman Nayla serentak berkata, “Iya, Tante, biar Abang Raka antar aja!”Nayla ikut berkomentar, “Benar, Ma. Pulangnya juga jadi lebih cepat kan kalau Bang Raka antar.”Mama Siska menoleh padaku, lalu tersenyum kecil.“Ya sudah, kalau begitu ayo,” katanya akhirnya.Aku buru-buru ke kamar, mengambil jaket, lalu bergegas menyiapkan motor di depan rumah. Saat aku memanaskan mesin dulu, ent
Setelah sampai rumah dan aku membantu membawa barang belanjaan ke dapur, Mama Siska mengatakan akan ganti baju dulu, lalu berjalan ke kamarnya. Aku juga pergi ke kamarku, menyimpan jaket.Saat melewati kamar Nayla, aku mendengar tawa mereka. Nayla dan teman-temannya masih berada di sana dan terdengar bising.Selesai menyimpan jaket, aku kembali ke dapur. Mama Siska sudah ada di sana. Dia mengenakan daster favoritnya yang sederhana, tapi entah mengapa membuatnya tampak anggun, bahkan begitu memikat.Aku buru-buru menoleh ke arah lain, takut dia menangkapku sedang memandangnya.“Ma, aku bantu memasak, ya,” kataku cepat, berdiri.Dia menoleh, alisnya terangkat. “Raka, dari tadi kamu membantu Mama terus. Memangnya kamu tidak capek?” tanyanya.Aku tersenyum, “Nggak ko, Ma. Lagipula, aku sedang tidak ada kerjaan, makanya aku ingin bantu Mama."Sebenarnya, aku ingin bilang aku hanya ingin dekat dengannya, tetapi tidak berani.Dia tertawa kecil, “Ya sudah, kalau begitu ayo. Mama justru senang
Bu Alicia menyuruhku ke apartemennya terlebih dahulu sebelum kembali ke kantor.“Ada barang yang ingin aku bawa di apartemen,” katanya, nada santai tetapi matanya penuh rencana.“Baik, Bu,” jawabku, fokus menyetir.Perjalanan ke luar kota hanya sebentar, tidak terlalu jauh, hanya mengambil barang, tetapi obrolan di mobil membuatku tidak tenang.“Raka, gimana dengan Tiara? Apa dia sering keluar rumah?” tanya Alicia, menoleh dari ponselnya.Aku menarik napas, “Setiap hari juga, Tiara pergi. Malah, malam kemarin dia sampai gak pulang. Apa setiap hari Tiara tidak pernah bekerja? Jadi sebenarnya Tiara itu beneran kerja atau tidak?”Alicia tersenyum tipis, “Dia kerja, tapi hanya ikut acara penting saja. Alex kan bos, bisa mengatur apa saja sesuka hati. Perusahaannya sudah dikelola oleh anak buahnya, jadi dia gak wajib harus ke kantor setiap hari. Tiara juga begitu—Alex yang mengatur. Mungkin dia hanya disuruh menemani Alex di rumah.”Aku menggenggam setir, “Jadi semua karyawan Alex tahu hub
“Tapi gak semua ayah tiri jahat, Nay. Banyak kok yang baik hati dan tidak sombong.”Nayla tersenyum, “Iya, tapi sekarang aku kapok punya ayah! Eh maksudnya, takut seperti temanku yang bercerai itu, lho.”Tiba-tiba dia terlihat gugup, seolah menyadari sesuatu. Mama Siska dan Tiara menatapnya, tatapan mereka aneh, seolah menyimpan rahasia.Nayla kembali menambahkan, “Ma-maksudku, punya Mama saja sudah cukup, saat ini aku gak mau punya Ayah!” Dia tertawa canggung, berusaha menutupi.Aku merasa ada yang tidak beres, tetapi suasana kembali hangat. Nayla antusias bercerita tentang kampus, Mama Siska tertawa, dan aku ikut bercanda, meski pikiranku penuh tanda tanya—apa yang mereka sembunyikan? Tiara hanya tersenyum tipis, memegang ponsel, seolah tidak terlalu peduli.Selesai makan, sesuatu yang tidak biasa terjadi—Tiara berdiri, merapikan piringnya, membawa ke wastafel, dan berkata, “Ma, istirahat saja, biar aku yang cuci.”Aku terkejut—biasanya dia hanya berselonjoran saja, tidak pernah mau
Aku masuk kantor, kembali ke meja kerjaku, mencoba fokus mengetik laporan. Namun, mataku sesekali melihat Reza—dia duduk di mejanya, wajah datar, matanya kosong, penuh kekecewaan. Aku tahu dia hancur karena Liana, dan aku merasa sangat bersalah. Jika dari awal aku tahu Reza menyukai Liana, aku pasti tidak akan meresponsnya, tidak akan memberikan harapan. Aku hanya ingin membalas dendam kepada Tiara, tetapi malah menyakiti sahabatku sendiri. Aku menarik napas, mencoba fokus, tetapi hatiku berat.Hingga akhirnya tiba waktunya pulang, hari ini aku tidak akan langsung pulang dulu. Aku merasa bosan dengan kehidupanku yang monoton. Setiap hari kerja dan di tempat kerja banyak masalah, begitu juga di rumah. Tapi jika Tiara tidak ada, aku akan merasa bahagia. Ketika di perjalanan, aku membelokkan motorku ke arah kiri aku tidak tahu mau kemana yang jelas aku butuh ketenangan.Aku melihat jalan kecil di pinggir jalan, ditutupi pohon-pohon rindang, seolah mengundangku untuk datang. Jam tanganku
"Sekarang kamu bisa kembali ke ruanganmu!" Perintahnya. Akupun kembali ke ruanganku, hari ini pekerjaanku tidak terlalu sibuk. Hari ini aku pulang cepat, seperti biasa, tidak ingin bertemu Liana. Sesampainya di rumah, aku mendengar suara cempreng Nayla saat aku membuka pintu, rupanya dia sudah tiba di rumah lebih dulu. Aroma masakan dari dapur langsung tercium, membuat perutku keroncongan. Suara nyaring Nayla terdengar, mengobrol dengan Mama Siska, penuh tawa. Aku tersenyum kecil, tidak sengaja mendengar percakapan mereka. Nayla bercerita tentang teman kuliahnya yang menyukainya, Mama Siska tertawa, memberikan saran. Aku mengintip dari pintu dapur, melihat mereka sibuk—Nayla mengiris bawang, Mama Siska mengaduk bumbu. Aku masuk, “Aku pulang!” kataku, tersenyum. Mereka melirikku bersamaan, tersenyum lebar. “Eh, Bang, tidak biasanya pulang cepat!” kata Nayla, matanya berbinar. “Iya, hari ini tidak terlalu sibuk,” jawabku, mendekati mereka. “Sedang masak apa? Sepertinya seru!” Mama
Aku merasa darahku mendidih. Aku mengepalkan kedua tanganku, merasa bodoh.“Alicia, ternyata dia tidak bekerja. Apa dia tinggal di sini?” kataku, suaraku gemetar, penuh amarah.Alicia menatapku, “Sepertinya begitu, Raka. Rekam, sekarang!”Aku buru-buru membuka ponsel, memperbesar ke gerbang, tetapi Tiara sudah masuk. Aku hanya mendapat video gerbang dan kurirnya saja.“Tenang, Raka. Kita akan mendapat bukti lagi,” kata Alicia, tangannya memegang bahuku, memberikan ketenangan. Aku menarik napas, merasa campur aduk—amarah, sakit hati, tetapi juga semangat.Sebelum pergi aku menatap rumah Alex, membayangkan Tiara di dalam, tertawa bersama Alex, sementara aku di sini, menahan sakit. Tetapi di sela amarah, aku teringat Mama Siska—senyumnya, pelukannya, kehangatannya. Dia yang membuatku kuat, dia yang membuatku yakin—Tiara tidak pantas untukku. Aku menarik napas, memegang ponsel erat. Tiara, ini akhir dari sandiwaramu, aku akan membongkar kebusukanmu.Kitapun kembali ke kantor, walaupun har
“Pagi mas, aku kangen banget mesra-mesraan kayak gini,” kata Tiara dengan suara genitnya saat aku baru membuka mata.Dia memelukku dari samping, tangannya bermain di dadaku.Aku berusaha menahan diri dan membiarkannya melakukan itu semua. Masih terlalu pagi, rasanya masih begitu malas untuk memunculkan rasa kesal.Dia melanjutkan, “Mulai sekarang, aku akan lebih perhatian, Mas. Aku sadar aku belum menjadi istri yang baik, terlalu sibuk, lupa kewajibanku. Aku ingin berubah, jadi istri yang kamu inginkan.”Tetapi aku menahan diri, hanya berkata, “Baguslah kalau begitu. Aku mau mandi dulu.”Aku mencoba bangun, tetapi dia menarik tanganku, memelukku lagi, dan kali ini lebih erat.“Jangan dulu mandi, aku masih kangen sama kamu. Akhir-akhir ini kamu rasanya kamu berubah,” katanya, suaranya goyah, seolah ingin menangis.“Itu hanya perasaanmu saja. Aku nggak pernah berubah,” kataku berbohong.Dia kembali menatapku, matanya tajam. “Buktinya kamu diam saat aku peluk. Dulu kamu membalas pelukank
“Li, itu reaksi biologis. Siapa yang nggak terangsang kalau digoda seperti ini?” kataku, berusaha menolak.Namun, itu tidak membuat Liana berhenti. Dia justru langsung naik ke pangkuanku dan mencium bibirku dengan agresif.Aku terkejut dengan apa yang dia lakukan. Namun saat aku ingin mendorong tubuh Liana, dia justru menekan pinggulnya dan menggerakkannya pelan hingga membuatku mengerang.Liana meraih tanganku dan mengarahkannya ke buah dadanya yang kenyal.Aku benar-benar tidak bisa lagi berpikir jernih. Tubuhku benar-benar sudah menolak untuk bekerja sama.Aku meremas buah dada itu dengan sedikit keras, membuat Liana justru mendesah nikmat.Aku memperdalam ciuman kami. Di sela-sela itu, tanganku sudah masuk ke dalam blouse coklat yang Liana pakai. Pengait bra itu sudah kulepaskan, membuat kulit tanganku bisa lebih leluasa bersentuhan dengan Liana.“Ahh, aku tahu kamu selalu ingin ini, Raka …” kata Liana di sela ciuman kami.Kegiatan panas ini terus berlangsung, membawaku dan Liana
“Oke, buat kamu aja berarti,” kata Liana pasrah. Sorot matanya masih menunjukkan ketidakrelaan. “Aku ke mejaku dulu ya.”Setelah Liana pergi ke mejanya, aku mengacungkan jempol pada Reza, sambil tersenyum tipis. “Bagus. Tangkap terus peluangnya.”“Makasih, bro,” jawab Reza sambil tertawa kecil, lalu memberikan segelas kopi yang telah dia buat kepadaku. “Kalau gitu, ini buat lu aja. Sebagai gantinya, hahaha.”Aku ikut tertawa pelan. Setelah itu, Reza kembali ke mejanya. Aku juga langsung membuka laptop dan melanjutkan pekerjaanku.Aku harap hari ini tidak ada masalah lain lagi.Hingga akhirnya, aku larut dalam pekerjaanku dan tidak sadar jika jam sudah menunjukkan waktu untuk makan siang.Aku merenggangkan badanku sejenak, terlalu lama duduk membuat punggungku terasa sedikit kaku.“Raka, makan di kantin, yuk,” ajak Liana yang tiba-tiba sudah ada di samping mejaku.“Aku kan bawa bekal, Li. Jadi, aku makan di sini saja,” jawabku sambil menunjuk kotak bekalku.“Tapi kan bisa dimakan di ka
Sontak aku langsung memundurkan kursiku yang terlalu dekat dengan Mama Siska, membuatku hampir terjatuh. Bahkan, Mama Siska juga terkejut dengan pergerakanku.“Eh eh, Abang kenapa?” tanya Nayla panik saat melihatku hampir terjatuh. Namun, ada tawa kecil di sana karena melihat tingkahku.“Hah ini … anu tadi ada kecoa!” kataku asal.“Iyaa tadi ada kecoa di bawah meja,” sahut Mama Siska seolah memahami apa yang aku maksud.“Oh ya? Tumben ada kecoa ya. Tapi udah kabur, kan?” tanya Nayla sambil membungkuk ke bawah meja, mencari keberadaan kecoa itu.“Udah kayaknya, tadi kayaknya lari ke arah sana,” jawabku, sambil menunjuk ke arah asal. “Kamu jangan nunduk-nunduk gitu nanti kalau kecoanya terbang ke kamu gimana?”Namun, Nayla justru tertawa. “Aku gak takut tuh.”“Sudah-sudah, Nayla kamu taruh dulu itu tasmu ke kamar,” kata Mama Siska mencoba menyudahi kekacauan ini.“Nanti dulu ah,” jawab Nayla, matanya justru tertuju pada makanan yang ada di meja makan. “Eh, Mama goreng udang? Wih enak ni