Mobil katana Jo terparkir di tempat biasanya. Ailaa dapat melihat si pemilik sedang serius membaca sesuatu di tangannya. Satu lembar kertas dengan bagian-bagian yang tampaknya sudah terlipat. Langit sudah tidak lagi terang. Ailaa menghampiri mobil itu, membuka pintu dan menaikinya. Jo menoleh, memberikan selembar kertas di tangannya pada Ailaa.
“Pertunjukan wayang orang.” Jo langsung menjawab saat Ailaa baru saja ingin bertanya. “Favorit kamu, kan? Besok sehabis kerja ayo kita ke sana.”
Tangan Ailaa membolak-balik kertas yang rupanya sebuah brosur. “Boleh, tapi kamu kan nggak begitu suka.”
“Kata siapa?” Jo menyalakan mesin mobil. Derung mesin mobil itu begitu khas, suara mesin mobil tua berbadan besar.
“Terakhir nonton wayang seni kamu tidur, Jo. Jangan ngelak karena aku masih ingat.” Senyum Ailaa menunjukan kemenangan
Jo menjalankan mobil. Bibirnya tersenyum kecil seolah menahan tawa bersalah. Tetapi dia tidak ingin mengakuinya.
“Ngapain nonton kalau cuma buat tidur?” Ailaa mengamati jalanan. Motor-motor yang jumlahnya tidak sedikit dan selalu sukses menyelip di antara kendaraan beroda empat menyita perhatiannya.
“Ya buat nemenin kamu boleh lah. Yang penting kamunya nonton.” Jo menaikan kaca matanya.
Ailaa mengangguk pelan. “Oke, alasannya diterima. Udah lama juga nggak nonton wayang orang. Bulan lalu kita nggak nonton, kan? Karena jadwalnya bentrok sama kamu yang harus pergi ke Jakarta ngurus kerjaan.”
“Makanya, yang penting kali ini jadi.” Tangan kiri Jo menepuk-nepuk lembut pipi Ailaa. “Lagian besok kayaknya ada temanku juga yang mau nonton. Kemungkinan buat ketiduran lagi jadi lebih kecil, Ail.”
“Siapa?”
“Mantan klien, tapi kami masih suka komunikasi sampai sekarang.”
Sambil mendengar cerita Jo tentang mantan kliennya, Ailaa mengoprek ponsel. Lagi-lagi jumlah notifikasi dalam group membuatnya malas untuk membuka. Apalagi saat terakhir mengecek, Marlo tidak lagi muncul.
Tunggu... Ailaa memainkan jempolnya, menatap layar ponsel dengan lebih serius.
Deva Ramadhan: Jadi kapan kita mau mulai rapat dan ngumpul? Weekend ini?
Kartika Muthia: Ayo! Ayo! Yang lain gimana?
Michelle Leo: Ayo kita meet up weekend ini! Yang bisa aja, yang nggak bisa ya nggak usah dipaksain.
Marlo Wicaksana: Gue siap. Mumpung belum ada kegiatan yang padat.
Deva Ramadhan: Sip, ada rekomendasi tempat yang enak buat nongkrong?
Marlo Wicaksana: Rise di Jalan Ungu. Terakhir gue ke sana penuh sih.
Deva Ramadhan: Yang lain coba kasih rekomendasi tempat juga. Setuju di Rise?
Rise dan Marlo. Pikiran Ailaa melayang. Kedua hal yang tidak dapat dipisahkan. Mata Ailaa terus fokus membaca kelanjutan pembicaraan anak-anak di group. Bertemu dengan Marlo? Akhir pekan ini? Tanya Ailaa dalam hati dengan setengah tidak percaya.
“Ail?” Sapaan Jo membuat Ailaa terkejut dan dia tidak bisa menutupinya.
Ailaa menutup layar ponsel, memasukannya ke dalam tas. “Ya?”
“Kenapa? Sampai kaget gitu.”
“Oh, tadi lagi baca chat dari teman kantor. Biasa, kerjaan.”
Jo mengangguk dan kembali fokus dengan kemudinya. Ternyata sikap cuek Jo ada untungnya juga, pikir Ailaa. Satu pertanyaan dalam benak yang tiba-tiba muncul membuat Ailaa tersadar.
Kenapa aku harus bohong sama Jo? Dan buat apa?
Tidak terasa, mereka sudah tiba di tempat tujuan, tepat berhenti di depan rumah Ailaa. Berbeda dari biasanya, Ailaa merasa ingin cepat ke kamarnya dan lanjut membaca obrolan di dalam grup chat. Kemudian memikirkan segalanya, pakaian apa yang harus ia kenakan nanti. Kalimat apa yang harus ia ucapkan saat pertama kali bertemu Marlo setelah empat tahun berpisah? Apakah rambut model cowok itu masih tetap sama? Pikiran Ailaa melayang ke sana ke mari.
"Hard disk masih di kamu?" Pertanyaan Jo lagi-lagi membuatnya terkejut.
Ailaa mengangguk, lalu memastikan tidak ada barang yang tertinggal di mobil Jo. "Mau diambil? Aku ambilin ya. Atau ayo turun. Udah lama juga kan nggak nyapa orang rumah?"
Sambil mengangguk Jo mematikan mesin mobilnya. Mereka turun dan segera masuk ke dalam rumah. Mungkin sudah hampir sebulan cowok itu tidak masuk ke dalam rumah Ailaa, dibandingkan saat awal-awal mereka berpacaran, Jo kini lebih sering sekadar menjemput dan mengantar Ailaa saja tanpa masuk ke rumahnya.
"Udah pada di kamar, sih kalau jam segini. Kan kamu tahu sendiri. Yuk langsung aja ke kamar." Ailaa menarik tangan Jo.
"Udah beres pindahin datanya?" Jo mengambil hard disk dari tangan Ailaa.
"Udah." Ailaa menepuk kasur yang ia duduki. "Duduk dulu, lama banget kan kamu nggak ke sini. Nggak kangen apa?"
Jo mengikuti arahan Ailaa, duduk di sampingnya. Matanya memperhatikan seluruh sudut kamar. "Bukannya mau ganti cat?"
"Iya, tapi kamu bilangnya sibuk. Katanya mau bantuin ngecat." Ailaa mengingat bagaimana Jo menawarkan jasanya untuk mengecat kamar satu bulan yang lalu. Tetapi tawaran itu sampai saat ini tidak juga terlaksanakan. "Kamu sesibuk itu ya?"
"Ya gimana. Namanya juga startup, masih harus terus kerja keras kan, Ail." Jo mengelus kepala Ailaa lembut, mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir Ailaa. "Maaf ya."
Ailaa mengangguk. "Nggak apa-apa."
Mereka saling bertatapan. Kedua tangan Jo memegang wajah Ailaa, ia pun lanjut mencium cewek itu perlahan, tanpa henti. Dia mendekap tubuh Ailaa lebih erat, mencium leher Ailaa dan memberi 'tanda' di satu sisinya sambil mengingat kembali bahwa mereka saling memiliki satu sama lain. Sejujurnya Jo rindu menghabiskan banyak waktu dengan Ailaa. Seperti saat ini.
Tidak ada yang berubah dari Rise. Sekian tahun lamanya meninggalkan sebuah tempat yang penuh kenangan. Marlo menatap plang coffee shop itu dua kali, semuanya masih sama, hanya saja warna putihnya sudah berubah menjadi putih gading. Sambil mendorong pintu dengan sebelah tubuh, matanya kini meraba penghuni Rise dari sudut ke sudut, dari satu meja ke meja lainnya. Jumlah meja yang bertambah membuat ruangan terasa semakin sempit. Kini di setiap meja diletakan satu buah vas bening kecil berisi setangkai bunga, didampingi dengan satu kubus kayu kecil bernomor. Mesin kopi ganti dan tambahan beragam bentuk gelas. Marlo menyadarinya, dia hafal betul Rise dulu memakai sebuah mesin kopi berukuran kecil, berwarna hitam. Sekarang di tempat diletakannya mesin itu, berdiri gagah mesin kopi yang lebih besar berwarna silver dengan paduan warna merah metalik. Manual grinders kayu di sampingnya juga sudah tidak ada lagi. Bukan soal desain interior Rise, tetapi segalan
Awalnya Ailaa dan Marlo ragu dengan tempat bernama Rise. Rise baru saja resmi dibuka satu bulan lalu. Keberadaannya sudah lama menyita perhatian mereka sejak awal tempat itu di bangun. Letaknya berada di Jalan Ungu, tidak jauh dari tempat mereka berlatih kabaret secara rutin. Saat masih berbentuk beton dan dipenuhi pekerja bangunan, warga sekitar selalu berkata bahwa nantinya bangunan itu akan dibuat menjadi sebuah mini market. Tetapi seiring waktu berjalan, semakin bangunannya terbentuk sempurna, terlihat jelas kalau Rise adalah sebuah coffee shop kecil di pinggir jalan yang bersanding dengan jajaran ruko, warung makan, dan toko perlengkapan olahraga. Apalagi saat sebuah plang berbentuk oval berwarna putih dengan tulisan ‘RISE’ di dalamnya dipasang. Bagian pada huruf ‘I’ diganti dengan susunan biji kopi vertikal menyerupai huruf ‘I’. Ailaa melipat kertas di tangannya, mencoba praktek adegan demi adegan yang terulis dalam kertas bersama dua tema
Jo menatap Ailaa dalam. Sejujurnya, Ailaa ingin mengetahui apa yang ada di pikirannya saat memberi tatapan seperti itu. Jo memberi ciuman kembali, lagi, dan lagi. Ada rasa bahagia campur haru yang dirasakan oleh Ailaa. Ia merindukan bahasa kasih sayang dari Jo yang lebih serius seperti ini, yang hanya bisa dinikmati mereka berdua dan merekalah yang paham semua itu.Tangan Jo perlahan mengangkat kemeja berwarna kuning muda yang dikenakan Ailaa, memasukan kedua tangannya ke punggung lembut Ailaa. Terpikirkan sekilas di kepala Jo bahwa Ailaa semakin kurus, tulangnya semakin mudah diraba.Jo melepas kaitan bra dan dengan cepat memindahkan tangannya ke payudara Ailaa yang berukuran sedang, tidak besar, tidak juga kecil. Dia meremas pelan, memainkan puting, tanpa menyudahi ciumannya.Ailaa mengalungkan tangannya di
Tidak tahu mengapa, malam-malam yang Marlo lalui terasa jauh berbeda setelah pertemuan singkatnya dengan Ailaa melalui group chat. Nyatanya mereka tidak benar-benar bertemu dan membahas hal yang sensitif bagi mereka berdua. Marlo mengambil peti kayu kecil dengan balutan bahan kulit, di bagian penutupnya dilengkapi gembok tua dari Garasi Eyang. Dalam ingatannya Ailaa menyukai segala yang berbau klasik. Dulu, mereka bahkan menciptakan playlist di iPod Nano berisikan lagu-lagu era tahun 70-90’s. Banyak hal yang sama-sama mereka sukai, menonton pertunjukan wayang orang, menikmati malam di atas bukit sambil makan mie instan, lari di lapangan pusat kota sambil hunting menu sarapan, sampai pergi ke berbagai toko buku untuk mencari potongan harga paling murah. Kalau dipikir, semuan
Marlo dan Ailaa menatap satu sama lain, berhadapan tanpa sepatah kata. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka dari jauh membuat suasana semakin terasa canggung. Untuk sesaat Ailaa merasa telinganya tidak bisa mendengar apapun, hanya mampu mendengar degupan jantungnya yang semakin cepat. Seorang pengunjung yang lewat begitu saja di tengah mereka menyadarkan keduanya.Ailaa mengulas senyum singkat, memutuskan berjalan ke arah meja pemesanan sebelum benar-benar menghampiri Marlo. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu membaca deretan menu.“Iced americano satu ya.” Ailaa mengangkat ponselnya ke hadapan pegawai di depan, dengan cepat mendekatkannya ke lembaran barcode. Dia pun menoleh ke arah Marlo. “Udah pesan?”Marlo mengangguk yang kemudian dibalas dengan gerakan serupa oleh Ailaa. Ma
Hari sudah berganti, tapi Ailaa tidak bisa juga tidur. Dia masih bisa merasakan emosi kepada Marlo, mengingat bagaimana permintaan maaf itu keluar dari mulutnya. Mengapa semudah itu? Ailaa bertanya pada langit-langit kamar. Gelapnya ruang kamar membuatnya semakin mudah melihat langit-langit kamar yang tampak lebih terang karena cahaya yang menembus dari luar. "Dia pergi gitu aja tanpa kabar, empat tahun menghilang, dan sekarang dia dengan mudahnya bilang maaf?" Ucap Ailaa dengan volume suara terkecil yang ia punya. Air matanya kembali mengalir. Baik perpisahan, maupun pertemuan kembali dengan Marlo sama-sama memberinya rasa sakit yang sulit untik dijelaskan. Ailaa mengambil ponsel dari bawah bantal. Jonathan Rahadi: Cepat membaik ya, kalau masih nggak enak badan, minum obat. Jangan dientar-entarin.
Melewati pagi bersama Jo menjadi satu hal yang selama ini Ailaa rindukan. Dengan kesibukan yang sedang dijalani Jo, juga perubahan sikapnya yang semakin cuek, membuat Ailaa sedikit tidak percaya dengan pemandangan di pagi ini. Ailaa membuka gorden untuk membuat cahaya matahari di jam setengah delapan pagi masuk ke kamar.Bukan untuk pertama kali, tetapi menghabiskan malam bersama Jo adalah bagian dari ‘keistimewaan’ dari memiliki laki-laki itu seutuhnya. Tidak hanya berhubungan badan, menyatukan tubuh mereka satu sama lain, tetapi menyadari keberadaan Jo ada di sampingnya sepanjang malam menjadi hal yang semakin jarang ia rasakan.Jo masih tertidur dan sama sekali tidak memberi respon ketika cahaya matahari menyentuh wajahnya. Ailaa memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, bersih-bersih. Dia memilih pakaian terbaiknya yang sudah ia bawa sejak kemarin,
“Balik lagi sama gue Hamid Pratama di Bintang Berlian FM, your sweetness station. Sesuai yang gue bilang tadi, malam ini kita kedatangan tamu, satu band indie yang lagi ngehits banget. Siapa lagi kalau bukan House of Brokenheart! Tapi sebelum gue ngajak ngobrol para personilnya, gue mau kasih lo semua satu lagu yang jadi soundtrack salah satu film dan baru aja tayang sekitar dua hari lalu. Kalau gue sih udah nonton ya, kalau lo?”Jo mengecilkan volume radio. Pandangannya fokus menatap jalanan dan mobil-mobil yang terus melaju. Tangannya memutar kemudi dengan perlahan, namun pasti. Sesekali dia menaikan kaca matanya dengan telunjuk. Hari ini Jo memakai sweater berwarna cokelat khaki, dipadu celana krem dengan bercak-bercak hitam di ujung celananya. Hasil lukisan dari genangan air jalanan basah akibat hujan yang rutin menyiram Bandung dua minggu terakhir ini. Jo menghentikan mobil Katana bercat cokelat kopi
Melewati pagi bersama Jo menjadi satu hal yang selama ini Ailaa rindukan. Dengan kesibukan yang sedang dijalani Jo, juga perubahan sikapnya yang semakin cuek, membuat Ailaa sedikit tidak percaya dengan pemandangan di pagi ini. Ailaa membuka gorden untuk membuat cahaya matahari di jam setengah delapan pagi masuk ke kamar.Bukan untuk pertama kali, tetapi menghabiskan malam bersama Jo adalah bagian dari ‘keistimewaan’ dari memiliki laki-laki itu seutuhnya. Tidak hanya berhubungan badan, menyatukan tubuh mereka satu sama lain, tetapi menyadari keberadaan Jo ada di sampingnya sepanjang malam menjadi hal yang semakin jarang ia rasakan.Jo masih tertidur dan sama sekali tidak memberi respon ketika cahaya matahari menyentuh wajahnya. Ailaa memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, bersih-bersih. Dia memilih pakaian terbaiknya yang sudah ia bawa sejak kemarin,
Hari sudah berganti, tapi Ailaa tidak bisa juga tidur. Dia masih bisa merasakan emosi kepada Marlo, mengingat bagaimana permintaan maaf itu keluar dari mulutnya. Mengapa semudah itu? Ailaa bertanya pada langit-langit kamar. Gelapnya ruang kamar membuatnya semakin mudah melihat langit-langit kamar yang tampak lebih terang karena cahaya yang menembus dari luar. "Dia pergi gitu aja tanpa kabar, empat tahun menghilang, dan sekarang dia dengan mudahnya bilang maaf?" Ucap Ailaa dengan volume suara terkecil yang ia punya. Air matanya kembali mengalir. Baik perpisahan, maupun pertemuan kembali dengan Marlo sama-sama memberinya rasa sakit yang sulit untik dijelaskan. Ailaa mengambil ponsel dari bawah bantal. Jonathan Rahadi: Cepat membaik ya, kalau masih nggak enak badan, minum obat. Jangan dientar-entarin.
Marlo dan Ailaa menatap satu sama lain, berhadapan tanpa sepatah kata. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka dari jauh membuat suasana semakin terasa canggung. Untuk sesaat Ailaa merasa telinganya tidak bisa mendengar apapun, hanya mampu mendengar degupan jantungnya yang semakin cepat. Seorang pengunjung yang lewat begitu saja di tengah mereka menyadarkan keduanya.Ailaa mengulas senyum singkat, memutuskan berjalan ke arah meja pemesanan sebelum benar-benar menghampiri Marlo. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu membaca deretan menu.“Iced americano satu ya.” Ailaa mengangkat ponselnya ke hadapan pegawai di depan, dengan cepat mendekatkannya ke lembaran barcode. Dia pun menoleh ke arah Marlo. “Udah pesan?”Marlo mengangguk yang kemudian dibalas dengan gerakan serupa oleh Ailaa. Ma
Tidak tahu mengapa, malam-malam yang Marlo lalui terasa jauh berbeda setelah pertemuan singkatnya dengan Ailaa melalui group chat. Nyatanya mereka tidak benar-benar bertemu dan membahas hal yang sensitif bagi mereka berdua. Marlo mengambil peti kayu kecil dengan balutan bahan kulit, di bagian penutupnya dilengkapi gembok tua dari Garasi Eyang. Dalam ingatannya Ailaa menyukai segala yang berbau klasik. Dulu, mereka bahkan menciptakan playlist di iPod Nano berisikan lagu-lagu era tahun 70-90’s. Banyak hal yang sama-sama mereka sukai, menonton pertunjukan wayang orang, menikmati malam di atas bukit sambil makan mie instan, lari di lapangan pusat kota sambil hunting menu sarapan, sampai pergi ke berbagai toko buku untuk mencari potongan harga paling murah. Kalau dipikir, semuan
Jo menatap Ailaa dalam. Sejujurnya, Ailaa ingin mengetahui apa yang ada di pikirannya saat memberi tatapan seperti itu. Jo memberi ciuman kembali, lagi, dan lagi. Ada rasa bahagia campur haru yang dirasakan oleh Ailaa. Ia merindukan bahasa kasih sayang dari Jo yang lebih serius seperti ini, yang hanya bisa dinikmati mereka berdua dan merekalah yang paham semua itu.Tangan Jo perlahan mengangkat kemeja berwarna kuning muda yang dikenakan Ailaa, memasukan kedua tangannya ke punggung lembut Ailaa. Terpikirkan sekilas di kepala Jo bahwa Ailaa semakin kurus, tulangnya semakin mudah diraba.Jo melepas kaitan bra dan dengan cepat memindahkan tangannya ke payudara Ailaa yang berukuran sedang, tidak besar, tidak juga kecil. Dia meremas pelan, memainkan puting, tanpa menyudahi ciumannya.Ailaa mengalungkan tangannya di
Awalnya Ailaa dan Marlo ragu dengan tempat bernama Rise. Rise baru saja resmi dibuka satu bulan lalu. Keberadaannya sudah lama menyita perhatian mereka sejak awal tempat itu di bangun. Letaknya berada di Jalan Ungu, tidak jauh dari tempat mereka berlatih kabaret secara rutin. Saat masih berbentuk beton dan dipenuhi pekerja bangunan, warga sekitar selalu berkata bahwa nantinya bangunan itu akan dibuat menjadi sebuah mini market. Tetapi seiring waktu berjalan, semakin bangunannya terbentuk sempurna, terlihat jelas kalau Rise adalah sebuah coffee shop kecil di pinggir jalan yang bersanding dengan jajaran ruko, warung makan, dan toko perlengkapan olahraga. Apalagi saat sebuah plang berbentuk oval berwarna putih dengan tulisan ‘RISE’ di dalamnya dipasang. Bagian pada huruf ‘I’ diganti dengan susunan biji kopi vertikal menyerupai huruf ‘I’. Ailaa melipat kertas di tangannya, mencoba praktek adegan demi adegan yang terulis dalam kertas bersama dua tema
Tidak ada yang berubah dari Rise. Sekian tahun lamanya meninggalkan sebuah tempat yang penuh kenangan. Marlo menatap plang coffee shop itu dua kali, semuanya masih sama, hanya saja warna putihnya sudah berubah menjadi putih gading. Sambil mendorong pintu dengan sebelah tubuh, matanya kini meraba penghuni Rise dari sudut ke sudut, dari satu meja ke meja lainnya. Jumlah meja yang bertambah membuat ruangan terasa semakin sempit. Kini di setiap meja diletakan satu buah vas bening kecil berisi setangkai bunga, didampingi dengan satu kubus kayu kecil bernomor. Mesin kopi ganti dan tambahan beragam bentuk gelas. Marlo menyadarinya, dia hafal betul Rise dulu memakai sebuah mesin kopi berukuran kecil, berwarna hitam. Sekarang di tempat diletakannya mesin itu, berdiri gagah mesin kopi yang lebih besar berwarna silver dengan paduan warna merah metalik. Manual grinders kayu di sampingnya juga sudah tidak ada lagi. Bukan soal desain interior Rise, tetapi segalan
Mobil katana Jo terparkir di tempat biasanya. Ailaa dapat melihat si pemilik sedang serius membaca sesuatu di tangannya. Satu lembar kertas dengan bagian-bagian yang tampaknya sudah terlipat. Langit sudah tidak lagi terang. Ailaa menghampiri mobil itu, membuka pintu dan menaikinya. Jo menoleh, memberikan selembar kertas di tangannya pada Ailaa.“Pertunjukan wayang orang.” Jo langsung menjawab saat Ailaa baru saja ingin bertanya. “Favorit kamu, kan? Besok sehabis kerja ayo kita ke sana.”Tangan Ailaa membolak-balik kertas yang rupanya sebuah brosur. “Boleh, tapi kamu kan nggak begitu suka.”“Kata siapa?” Jo menyalakan mesin mobil. Derung mesin mobil itu begitu khas, suara mesin mobil tua berbadan besar.“Terakhir nonton wayang seni kamu tidur, Jo. Jangan ngelak karena aku masih ingat.” Senyum Ailaa menunjukan kemenanganJo menjalankan mobil. Bibirnya tersenyum kecil seolah menahan tawa bers
Marlo selalu rindu dengan rumah. Dengan nada berat suara Ayah, aroma cengkeh setiap pagi dan sore dari gelas Ayah, lagu-lagu nyaring dari vinyl yang diputar, dan hal-hal sederhana yang mengingatkan akan identitas. Empat tahun lalu, Marlo memutuskan pergi meninggalkan Bandung. Empat tahun itu pula dia berusaha menahan rasa rindunya akan rumah.Marlo memandangi Berta dari balik rak buku yang menjadi pembatas antara ruang televisi dan meja makan. Wanita bertubuh gemuk dengan rambut panjang ikal alami itu sedang menata makan malam. Sudah hampir enam tahun pemandangan itu dapat disaksikan setiap malamnya. Berta menyukai dunia masak dan masakannya selalu berhasil membuat Marlo terkagum. Hanya saja ada beberapa alasan yang membuatnya tidak ingin terlalu mengagumi itu.Masakan Ibu. Marlo masih menjadikan masakan Ibu sebagai menu makanan paling lezat sedunia. Walau tidak selezat buatan Berta, walau terkadang gosong atau juga gagal. Mungkin kalau masih ada Ibu, Marlo se