Ailaa mendongakan kepala setelah satu kantung kresek tiba-tiba mendarat di hadapannya. Dia sudah tahu apa yang ada di dalam kantung kresek itu walau belum membukanya. Ailaa tetap fokus menekan-nekan tombol keyboard menumpahkan apa yang ada di otaknya, samar dia melirik bayangan seseorang yang terpantul di layar monitor komputer. Siapa lagi kalau bukan Martha. Cewek itu melipat lengan kemejanya, lalu membuka tutup botol air mineral yang sejak tadi dia genggam.
“Jadi, Sabtu kemarin Jo sama sekali nggak datang? Minggu juga?” Martha menarik kursi terdekat dan duduk di atasnya. Matanya mengikuti ketikan Ailaa di layar monitor.
Ailaa mengangkat bahu dan terus mengetik. “Minggu dia bilang nggak enak badan. Kecapekan kayak biasa. Aku udah bilang kan sama kamu, dia lagi super sibuk akhir-akhir ini.”
“Lo selalu ngebela Jo deh. Ini perasaan gue aja apa Jo makin lama makin cuek dan nggak peka? Atau, Ail, dia itu punya...”
“Punya apa?” Ailaa menahan tawa sambil membayangkan kata-kata yang akan dikeluarkan Martha. Bukan untuk pertama dia mendengar pendapat konyol Martha tentang Jo.
“Gue udah beberapa kali ngomong lho sama lo, Ail. Jo dulu kan nggak semenyebalkan sekarang. Walau Jo itu tipe cowok yang cuek dan nggak peka, dia bisa salah juga. Cuek dan nggak peka itu cuma sebagian sifat nyebelin dia yang bisa dirasa sama lo.”
Tawa Ailaa meledak. Dia berhenti mengetik dan menoleh ke arah Martha. “Hahaha nggak usah ngaco deh, Tha. Maksud kamu dia punya cewek lain selain aku, kan? Iya ada kok, dia punya nyokap sama adik ceweknya.” Ailaa bersandar, tangannya merogoh isi dari kantong kresek di hadapannya. “Mau bakwan ya?”
“Ambil...” Martha ikut morogoh isi kantung kresek, mengambil satu pisang goreng berbentuk kipas yang dia beli di kantin kantor. “Cowok cupu, yang ke mana-mana pake kacamata yang tebelnya kayak pantat botol, sama kancing rapet sampe leher juga bisa selingkuh kali. Apa lagi Jo yang cuek gitu. Sangking cueknya lo nggak pernah tahu dia selingkuh. Masa lama-lama makin nyebelin, cuek, dan nggak peka? Kan aneh. Menurut gue ya, yang ngikutin perjalanan lo dan Jo.”
Ailaa berdecak. “Udah deh, nggak usah jelekin Jo gini. Aku kenal dia nggak cuma satu atau dua bulan aja, Tha. Kamu tahu sendiri.”
“Iya, tahu. Tapi manusia itu bisa berubah. Waktu ngerubah segalanya, Ail. Gue cuma nggak mau nantinya berujung lo yang ngerasain sakitnya. Karena hampir tiap hari lo selalu curhat sama gue soal Jo akhir-akhir ini. Udah nih ambil aja gorengannya, gue balik ke meja gue dulu. Lupa, harus ada yang gue print.”
Rasanya ada yang mengganjal saat Martha mengatakan kata-kata itu bagi Ailaa. Ailaa sadar, selama ini dia memang terbiasa diam untuk menghadapi sifat Jo. Di balik itu, dia juga sadar Jo memang berubah. Ailaa menghela napas panjang setelah menelah kunyahan terakhir. Dia berdiri, mengambil gelasnya yang sejak tadi kosong, lalu membawanya ke pantry. Tidak lupa mengulas senyum saat berpapasan dengan karyawan-karyawan lain meski pikirannya sedang tidak berada di situ. Ailaa memasukan tiga sendok kopi hitam, tiga sendok creamer, dan satu setengah sendok gula ke dalam gelas. Setelah semuanya teraduk, dia mengisi gelasnya dengan air panas. Air dalam gelas itu memutar mengikuti gerakan sendok yang diputar olehnya. Ailaa memandangi putaran air itu.
Berubah? Iya, Jo memang berubah.
Ailaa tidak ingin memikirkan lebih dalam lagi dan dia yakin dengan apa yang selama ini dia nilai dari seorang Jo. Tapi percuma, kata-kata itu tidak berhenti berterbangan di kepala, perlahan mengubah penilaiannya terhadap Jo. Jo adalah cowok yang setia dan menyayanginya. Sejak awal dia dapat merasakan rasa sayang Jo, perhatian sederhana tapi sangat berkesan. Jo mungkin berubah karena dia semakin sibuk dengan kerjaannya. Ailaa menanamkan pemikiran itu sejak satu tahun terakhir, ketika dia mulai merasakan adanya perubahan. Pemikiran itu juga yang membuatnya selalu memaafkan perubahan Jo dan peristiwa-peristiwa menyebalkan karenanya.
Apa mungkin ada orang lain selain aku? Pertanyaan itu terkadang hadir dan mulai membuat Ailaa tidak bisa tidur nyenyak. Banyak alasan yang bisa membuat seseorang berubah, termasuk kehadiran sosok baru di hidupnya. Seperti Jo yang hadir di kehidupan Ailaa. Waktu yang terus berputar juga mampu jadi alasan atas perubahan tersebut. Sesungguhnya Ailaa paham tentang perubahan, tapi apakah rasa sayang atau cinta bisa berubah tanpa sebab yang jelas?
Bagi Ailaa, selama ini tidak ada yang harus dipermasalahkan atau menjadi bibit dari masalah besar antara dia dengan Jo. Ailaa seratus persen yakin, baik dirinya, maupun Jo tidak pernah punya keinginan untuk membesar-besarkan masalah. Perdebatan kecil antara mereka pasti berujung dengan komunikasi yang semakin intens. Ya, meski akhir-akhir ini mereka lebih sering menghindari semuanya dan memilih menutup masalah dengan pergantian hari, menyerahkan semuanya pada waktu yang terus berjalan.
Sambil meregangkan lehernya yang terasa pegal, Ailaa mengoprek isi ponsel. Mengamati media sosial, mencari hal-hal yang menarik. Ailaa teringat sesuatu. Dengan perlahan jarinya membuka sebuah aplikasi dan matanya berpusat pada sebuah kolom dengan sejumlah angkat di samping nama kolom itu. Dia melirik sebuah tanda yang menggambarkan bahwa pemberitahuan kolom itu telah dinon-aktifkan.
Ah, lupa! Ailaa baru ingat bahwa dia mematikan notifikasi group dan dia juga baru ingat alasan mengapa dia mematikannya. Ada seratus tiga puluh delapan chat yang belum dia baca. Dia membukanya, menggiring layar ponsel untuk sampai ke chat terakhir yang dia baca. Dari semuanya, satu kalimat membuatnya merasa tidak karuan, seolah jantungnya berhenti berdegup untuk satu atau dua detik saja.
Marlo Wicaksana: Hei, Ail, kamu apa kabar?
Pukul tiga sore dan Garasi Eyang sedang penuh-penuhnya oleh pengunjung. Marlo baru saja melirik jam Rolex yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Seperti sebelum-sebelumnya, sejak kembali pindah ke Bandung, dia memutuskan menjaga toko barang antik milik Ayahnya itu. Dulu Garasi Eyang memang sekadar rumah kecil yang disulap menjadi toko barang-barang antik.Sekitar lima tahun terakhir, tepatnya saat toko kian dipenuhi pengunjung, Berta membuat space khusus yang sengaja disediakan untuk para pengunjung. Dia juga menjual berbagai menu makanan dan minuman yang dimasak sendiri olehnya. Berta, Marlo menyebutnya dengan nama itu. Bukannya tidak mau terima, tetapi baginya sapaan ‘Ibu’ hanya untuk Ibu. Sedangkan Berta bukanlah seorang ibu baginya. Hanya teman pendamping hidup yang baru untuk Ayah.Dekorasi dinding Garasi Eyang layaknya rumah yang ditempeli banyak pajangan zaman du
Marlo selalu rindu dengan rumah. Dengan nada berat suara Ayah, aroma cengkeh setiap pagi dan sore dari gelas Ayah, lagu-lagu nyaring dari vinyl yang diputar, dan hal-hal sederhana yang mengingatkan akan identitas. Empat tahun lalu, Marlo memutuskan pergi meninggalkan Bandung. Empat tahun itu pula dia berusaha menahan rasa rindunya akan rumah.Marlo memandangi Berta dari balik rak buku yang menjadi pembatas antara ruang televisi dan meja makan. Wanita bertubuh gemuk dengan rambut panjang ikal alami itu sedang menata makan malam. Sudah hampir enam tahun pemandangan itu dapat disaksikan setiap malamnya. Berta menyukai dunia masak dan masakannya selalu berhasil membuat Marlo terkagum. Hanya saja ada beberapa alasan yang membuatnya tidak ingin terlalu mengagumi itu.Masakan Ibu. Marlo masih menjadikan masakan Ibu sebagai menu makanan paling lezat sedunia. Walau tidak selezat buatan Berta, walau terkadang gosong atau juga gagal. Mungkin kalau masih ada Ibu, Marlo se
Mobil katana Jo terparkir di tempat biasanya. Ailaa dapat melihat si pemilik sedang serius membaca sesuatu di tangannya. Satu lembar kertas dengan bagian-bagian yang tampaknya sudah terlipat. Langit sudah tidak lagi terang. Ailaa menghampiri mobil itu, membuka pintu dan menaikinya. Jo menoleh, memberikan selembar kertas di tangannya pada Ailaa.“Pertunjukan wayang orang.” Jo langsung menjawab saat Ailaa baru saja ingin bertanya. “Favorit kamu, kan? Besok sehabis kerja ayo kita ke sana.”Tangan Ailaa membolak-balik kertas yang rupanya sebuah brosur. “Boleh, tapi kamu kan nggak begitu suka.”“Kata siapa?” Jo menyalakan mesin mobil. Derung mesin mobil itu begitu khas, suara mesin mobil tua berbadan besar.“Terakhir nonton wayang seni kamu tidur, Jo. Jangan ngelak karena aku masih ingat.” Senyum Ailaa menunjukan kemenanganJo menjalankan mobil. Bibirnya tersenyum kecil seolah menahan tawa bers
Tidak ada yang berubah dari Rise. Sekian tahun lamanya meninggalkan sebuah tempat yang penuh kenangan. Marlo menatap plang coffee shop itu dua kali, semuanya masih sama, hanya saja warna putihnya sudah berubah menjadi putih gading. Sambil mendorong pintu dengan sebelah tubuh, matanya kini meraba penghuni Rise dari sudut ke sudut, dari satu meja ke meja lainnya. Jumlah meja yang bertambah membuat ruangan terasa semakin sempit. Kini di setiap meja diletakan satu buah vas bening kecil berisi setangkai bunga, didampingi dengan satu kubus kayu kecil bernomor. Mesin kopi ganti dan tambahan beragam bentuk gelas. Marlo menyadarinya, dia hafal betul Rise dulu memakai sebuah mesin kopi berukuran kecil, berwarna hitam. Sekarang di tempat diletakannya mesin itu, berdiri gagah mesin kopi yang lebih besar berwarna silver dengan paduan warna merah metalik. Manual grinders kayu di sampingnya juga sudah tidak ada lagi. Bukan soal desain interior Rise, tetapi segalan
Awalnya Ailaa dan Marlo ragu dengan tempat bernama Rise. Rise baru saja resmi dibuka satu bulan lalu. Keberadaannya sudah lama menyita perhatian mereka sejak awal tempat itu di bangun. Letaknya berada di Jalan Ungu, tidak jauh dari tempat mereka berlatih kabaret secara rutin. Saat masih berbentuk beton dan dipenuhi pekerja bangunan, warga sekitar selalu berkata bahwa nantinya bangunan itu akan dibuat menjadi sebuah mini market. Tetapi seiring waktu berjalan, semakin bangunannya terbentuk sempurna, terlihat jelas kalau Rise adalah sebuah coffee shop kecil di pinggir jalan yang bersanding dengan jajaran ruko, warung makan, dan toko perlengkapan olahraga. Apalagi saat sebuah plang berbentuk oval berwarna putih dengan tulisan ‘RISE’ di dalamnya dipasang. Bagian pada huruf ‘I’ diganti dengan susunan biji kopi vertikal menyerupai huruf ‘I’. Ailaa melipat kertas di tangannya, mencoba praktek adegan demi adegan yang terulis dalam kertas bersama dua tema
Jo menatap Ailaa dalam. Sejujurnya, Ailaa ingin mengetahui apa yang ada di pikirannya saat memberi tatapan seperti itu. Jo memberi ciuman kembali, lagi, dan lagi. Ada rasa bahagia campur haru yang dirasakan oleh Ailaa. Ia merindukan bahasa kasih sayang dari Jo yang lebih serius seperti ini, yang hanya bisa dinikmati mereka berdua dan merekalah yang paham semua itu.Tangan Jo perlahan mengangkat kemeja berwarna kuning muda yang dikenakan Ailaa, memasukan kedua tangannya ke punggung lembut Ailaa. Terpikirkan sekilas di kepala Jo bahwa Ailaa semakin kurus, tulangnya semakin mudah diraba.Jo melepas kaitan bra dan dengan cepat memindahkan tangannya ke payudara Ailaa yang berukuran sedang, tidak besar, tidak juga kecil. Dia meremas pelan, memainkan puting, tanpa menyudahi ciumannya.Ailaa mengalungkan tangannya di
Tidak tahu mengapa, malam-malam yang Marlo lalui terasa jauh berbeda setelah pertemuan singkatnya dengan Ailaa melalui group chat. Nyatanya mereka tidak benar-benar bertemu dan membahas hal yang sensitif bagi mereka berdua. Marlo mengambil peti kayu kecil dengan balutan bahan kulit, di bagian penutupnya dilengkapi gembok tua dari Garasi Eyang. Dalam ingatannya Ailaa menyukai segala yang berbau klasik. Dulu, mereka bahkan menciptakan playlist di iPod Nano berisikan lagu-lagu era tahun 70-90’s. Banyak hal yang sama-sama mereka sukai, menonton pertunjukan wayang orang, menikmati malam di atas bukit sambil makan mie instan, lari di lapangan pusat kota sambil hunting menu sarapan, sampai pergi ke berbagai toko buku untuk mencari potongan harga paling murah. Kalau dipikir, semuan
Marlo dan Ailaa menatap satu sama lain, berhadapan tanpa sepatah kata. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka dari jauh membuat suasana semakin terasa canggung. Untuk sesaat Ailaa merasa telinganya tidak bisa mendengar apapun, hanya mampu mendengar degupan jantungnya yang semakin cepat. Seorang pengunjung yang lewat begitu saja di tengah mereka menyadarkan keduanya.Ailaa mengulas senyum singkat, memutuskan berjalan ke arah meja pemesanan sebelum benar-benar menghampiri Marlo. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu membaca deretan menu.“Iced americano satu ya.” Ailaa mengangkat ponselnya ke hadapan pegawai di depan, dengan cepat mendekatkannya ke lembaran barcode. Dia pun menoleh ke arah Marlo. “Udah pesan?”Marlo mengangguk yang kemudian dibalas dengan gerakan serupa oleh Ailaa. Ma
Melewati pagi bersama Jo menjadi satu hal yang selama ini Ailaa rindukan. Dengan kesibukan yang sedang dijalani Jo, juga perubahan sikapnya yang semakin cuek, membuat Ailaa sedikit tidak percaya dengan pemandangan di pagi ini. Ailaa membuka gorden untuk membuat cahaya matahari di jam setengah delapan pagi masuk ke kamar.Bukan untuk pertama kali, tetapi menghabiskan malam bersama Jo adalah bagian dari ‘keistimewaan’ dari memiliki laki-laki itu seutuhnya. Tidak hanya berhubungan badan, menyatukan tubuh mereka satu sama lain, tetapi menyadari keberadaan Jo ada di sampingnya sepanjang malam menjadi hal yang semakin jarang ia rasakan.Jo masih tertidur dan sama sekali tidak memberi respon ketika cahaya matahari menyentuh wajahnya. Ailaa memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, bersih-bersih. Dia memilih pakaian terbaiknya yang sudah ia bawa sejak kemarin,
Hari sudah berganti, tapi Ailaa tidak bisa juga tidur. Dia masih bisa merasakan emosi kepada Marlo, mengingat bagaimana permintaan maaf itu keluar dari mulutnya. Mengapa semudah itu? Ailaa bertanya pada langit-langit kamar. Gelapnya ruang kamar membuatnya semakin mudah melihat langit-langit kamar yang tampak lebih terang karena cahaya yang menembus dari luar. "Dia pergi gitu aja tanpa kabar, empat tahun menghilang, dan sekarang dia dengan mudahnya bilang maaf?" Ucap Ailaa dengan volume suara terkecil yang ia punya. Air matanya kembali mengalir. Baik perpisahan, maupun pertemuan kembali dengan Marlo sama-sama memberinya rasa sakit yang sulit untik dijelaskan. Ailaa mengambil ponsel dari bawah bantal. Jonathan Rahadi: Cepat membaik ya, kalau masih nggak enak badan, minum obat. Jangan dientar-entarin.
Marlo dan Ailaa menatap satu sama lain, berhadapan tanpa sepatah kata. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka dari jauh membuat suasana semakin terasa canggung. Untuk sesaat Ailaa merasa telinganya tidak bisa mendengar apapun, hanya mampu mendengar degupan jantungnya yang semakin cepat. Seorang pengunjung yang lewat begitu saja di tengah mereka menyadarkan keduanya.Ailaa mengulas senyum singkat, memutuskan berjalan ke arah meja pemesanan sebelum benar-benar menghampiri Marlo. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu membaca deretan menu.“Iced americano satu ya.” Ailaa mengangkat ponselnya ke hadapan pegawai di depan, dengan cepat mendekatkannya ke lembaran barcode. Dia pun menoleh ke arah Marlo. “Udah pesan?”Marlo mengangguk yang kemudian dibalas dengan gerakan serupa oleh Ailaa. Ma
Tidak tahu mengapa, malam-malam yang Marlo lalui terasa jauh berbeda setelah pertemuan singkatnya dengan Ailaa melalui group chat. Nyatanya mereka tidak benar-benar bertemu dan membahas hal yang sensitif bagi mereka berdua. Marlo mengambil peti kayu kecil dengan balutan bahan kulit, di bagian penutupnya dilengkapi gembok tua dari Garasi Eyang. Dalam ingatannya Ailaa menyukai segala yang berbau klasik. Dulu, mereka bahkan menciptakan playlist di iPod Nano berisikan lagu-lagu era tahun 70-90’s. Banyak hal yang sama-sama mereka sukai, menonton pertunjukan wayang orang, menikmati malam di atas bukit sambil makan mie instan, lari di lapangan pusat kota sambil hunting menu sarapan, sampai pergi ke berbagai toko buku untuk mencari potongan harga paling murah. Kalau dipikir, semuan
Jo menatap Ailaa dalam. Sejujurnya, Ailaa ingin mengetahui apa yang ada di pikirannya saat memberi tatapan seperti itu. Jo memberi ciuman kembali, lagi, dan lagi. Ada rasa bahagia campur haru yang dirasakan oleh Ailaa. Ia merindukan bahasa kasih sayang dari Jo yang lebih serius seperti ini, yang hanya bisa dinikmati mereka berdua dan merekalah yang paham semua itu.Tangan Jo perlahan mengangkat kemeja berwarna kuning muda yang dikenakan Ailaa, memasukan kedua tangannya ke punggung lembut Ailaa. Terpikirkan sekilas di kepala Jo bahwa Ailaa semakin kurus, tulangnya semakin mudah diraba.Jo melepas kaitan bra dan dengan cepat memindahkan tangannya ke payudara Ailaa yang berukuran sedang, tidak besar, tidak juga kecil. Dia meremas pelan, memainkan puting, tanpa menyudahi ciumannya.Ailaa mengalungkan tangannya di
Awalnya Ailaa dan Marlo ragu dengan tempat bernama Rise. Rise baru saja resmi dibuka satu bulan lalu. Keberadaannya sudah lama menyita perhatian mereka sejak awal tempat itu di bangun. Letaknya berada di Jalan Ungu, tidak jauh dari tempat mereka berlatih kabaret secara rutin. Saat masih berbentuk beton dan dipenuhi pekerja bangunan, warga sekitar selalu berkata bahwa nantinya bangunan itu akan dibuat menjadi sebuah mini market. Tetapi seiring waktu berjalan, semakin bangunannya terbentuk sempurna, terlihat jelas kalau Rise adalah sebuah coffee shop kecil di pinggir jalan yang bersanding dengan jajaran ruko, warung makan, dan toko perlengkapan olahraga. Apalagi saat sebuah plang berbentuk oval berwarna putih dengan tulisan ‘RISE’ di dalamnya dipasang. Bagian pada huruf ‘I’ diganti dengan susunan biji kopi vertikal menyerupai huruf ‘I’. Ailaa melipat kertas di tangannya, mencoba praktek adegan demi adegan yang terulis dalam kertas bersama dua tema
Tidak ada yang berubah dari Rise. Sekian tahun lamanya meninggalkan sebuah tempat yang penuh kenangan. Marlo menatap plang coffee shop itu dua kali, semuanya masih sama, hanya saja warna putihnya sudah berubah menjadi putih gading. Sambil mendorong pintu dengan sebelah tubuh, matanya kini meraba penghuni Rise dari sudut ke sudut, dari satu meja ke meja lainnya. Jumlah meja yang bertambah membuat ruangan terasa semakin sempit. Kini di setiap meja diletakan satu buah vas bening kecil berisi setangkai bunga, didampingi dengan satu kubus kayu kecil bernomor. Mesin kopi ganti dan tambahan beragam bentuk gelas. Marlo menyadarinya, dia hafal betul Rise dulu memakai sebuah mesin kopi berukuran kecil, berwarna hitam. Sekarang di tempat diletakannya mesin itu, berdiri gagah mesin kopi yang lebih besar berwarna silver dengan paduan warna merah metalik. Manual grinders kayu di sampingnya juga sudah tidak ada lagi. Bukan soal desain interior Rise, tetapi segalan
Mobil katana Jo terparkir di tempat biasanya. Ailaa dapat melihat si pemilik sedang serius membaca sesuatu di tangannya. Satu lembar kertas dengan bagian-bagian yang tampaknya sudah terlipat. Langit sudah tidak lagi terang. Ailaa menghampiri mobil itu, membuka pintu dan menaikinya. Jo menoleh, memberikan selembar kertas di tangannya pada Ailaa.“Pertunjukan wayang orang.” Jo langsung menjawab saat Ailaa baru saja ingin bertanya. “Favorit kamu, kan? Besok sehabis kerja ayo kita ke sana.”Tangan Ailaa membolak-balik kertas yang rupanya sebuah brosur. “Boleh, tapi kamu kan nggak begitu suka.”“Kata siapa?” Jo menyalakan mesin mobil. Derung mesin mobil itu begitu khas, suara mesin mobil tua berbadan besar.“Terakhir nonton wayang seni kamu tidur, Jo. Jangan ngelak karena aku masih ingat.” Senyum Ailaa menunjukan kemenanganJo menjalankan mobil. Bibirnya tersenyum kecil seolah menahan tawa bers
Marlo selalu rindu dengan rumah. Dengan nada berat suara Ayah, aroma cengkeh setiap pagi dan sore dari gelas Ayah, lagu-lagu nyaring dari vinyl yang diputar, dan hal-hal sederhana yang mengingatkan akan identitas. Empat tahun lalu, Marlo memutuskan pergi meninggalkan Bandung. Empat tahun itu pula dia berusaha menahan rasa rindunya akan rumah.Marlo memandangi Berta dari balik rak buku yang menjadi pembatas antara ruang televisi dan meja makan. Wanita bertubuh gemuk dengan rambut panjang ikal alami itu sedang menata makan malam. Sudah hampir enam tahun pemandangan itu dapat disaksikan setiap malamnya. Berta menyukai dunia masak dan masakannya selalu berhasil membuat Marlo terkagum. Hanya saja ada beberapa alasan yang membuatnya tidak ingin terlalu mengagumi itu.Masakan Ibu. Marlo masih menjadikan masakan Ibu sebagai menu makanan paling lezat sedunia. Walau tidak selezat buatan Berta, walau terkadang gosong atau juga gagal. Mungkin kalau masih ada Ibu, Marlo se