Tidak ada yang spesial kecuali pertunjukan live band khas Rise di akhir pekan. Ailaa mengeluarkan lembaran uang dari dompet, memberikan pada Miftah, pegawai kasir Rise yang sudah lama Ailaa kenal. Sudah hampir empat setengah tahun Rise berdiri dan Miftah masih setia menjadi salah satu pegawainya. Bukan hanya sebagai kasir, dia juga merangkap sebagai peramu minuman. Senyum ramah diberikan Miftah kepada semua pelanggan. Ailaa paling senang melihat senyumnya yang tulus dibarengi mendengar suara cowok berusia dua puluh lima tahun itu. Suaranya cukup berat dan samar terdengar serak di sela perkataannya dengan kestabilan irama yang teratur.
Miftah menjulurkan tangan kanannya ke arah sebuah meja kosong yang bersandar pada dinding. “Di sana kosong, Mbak.”
“Rise makin ramai ya?” Mata Ailaa meraba seluruh bangku-bangku yang berjajar pararel dan dipenuhi pelanggan. “Tapi bagus dong, semenjak dipakai syuting jadi ramai gini.”
Miftah menekan-nekan tombol mesin kasir. “Ada untung dan ruginya, sih, Mbak.”
“Ruginya apa?”
“Terlalu banyak perhatian. Sebelum dipakai syuting jarang banget ada yang ngasih kritik. Sekarang dikit-dikit dikritik, serba salah. Kemarin ada ibu-ibu marah cuma gara-gara menu yang ingin dipesan habis. Padahal wajar, kan? Rise sekarang selalu penuh dan menu-menu andalan kalau sudah malam biasanya habis.” Miftah menyodorkan selembar kertas bon kemudian mengambil gelas bening dari rak. “Pakai gula?”
“Tiga puluh persen aja ya, Mif. Aku duduk dulu. Takut direbut tempatnya sama pelanggan lain. Hahaha.” Dengan cepat Ailaa berlari kecil, duduk di atas kursi dengan meja nomer empat belas.
Ailaa menopang dagu dengan tangan. Hanya dia yang duduk sendirian menikmati suasana Rise yang cozy saat ini di antara semua pengunjung. Rise memiliki desain ruangan yang setengah klasik, setengah modern. Dinding Rise tidak semuanya bercat, sebagian hanya dipoles dengan semen seperti bangunan yang belum selesai dibangun.
Pada bagian dinding yang tidak bercat digantung bohlam-bohlam berkabel panjang yang mengeluarkan cahaya kuning oranye, memberi suasana hangat. Sementara pada bagian dinding lain yang bercat, diberi warna broken white dengan gambar sketsa deretan gedung. Ailaa tidak pernah bosan berlama-lama menghabiskan waktu di Rise, menikmati kopi dan teh racikan Miftah sambil melakukan kegiatan sederhana seperti membaca buku, atau juga membuat power point sebagai tugas dari kantor.
Alunan lagu-lagu Love Song yang di-medley dengan warna modern menghiasi Rise, beradu dengan suara pengunjung. Live band yang ditempatkan di sudut ruangan membawakan lagu ‘Say You’ll Never Go’ dari Neocolours, membuat Ailaa tersenyum kecil. Sebelumnya Ailaa tidak pernah tahu lagu itu, tapi karena Rise, dia jadi tahu dan bahkan ketagihan untuk mendengarnya. Sambil menunggu pesanan datang, Ailaa memainkan ponsel, membuka deretan chat dalam chat gorup yang baru dia ikuti semalam. Tidak ada yang seru, hanya perbincangan para alumni anggota Versatile yang saling bertanya kabar dan berencana membuat acara reuni. Refleks, Ailaa kembali membuka daftar member dalam grup. Jarinya berhenti di satu nama yang sejak malam terus terngiang di kepala.
Apa yang harus aku lakuin? Nge-add kontak dia terus nyapa dia seolah nggak pernah terjadi apa-apa di antara kami? Atau basa-basi bertanya kabar, lalu membawanya ke obrolan serius tentang kami? Ah, nggak, deh! Ailaa menggeleng, berusaha memusnahkan segala ide yang dia yakini akan membawanya ke situasi yang tidak dia inginkan.
Cukup mengetahui bahwa dia masih hidup saja mungkin sudah merupakan kabar baik, pikir Ailaa. Ailaa kembali memandangi sudut demi sudut Rise, membuat hatinya mulai berkecamuk ketika satu-persatu kenangan tiba-tiba kembali muncul, menyayat perlahan, membuat napasnya terasa sedikit sesak. Ailaa tahu, seberapa jauh dia melangkah untuk melupakan semuanya, sejauh itu pula dia akan tetap jatuh di lubang yang sama. Sebuah lubang besar dan dalam yang tidak terlihat. Seperti ada yang menariknya untuk terus mengingat kebersamaan antara mereka.
Marlo... Ailaa mengucapkan nama itu dalam hati, namun secepat kilat dia kembali menggeleng. Aku punya Jo! Jo yang selalu ada dan nggak pernah pergi tanpa kabar begitu aja kayak Marlo!
“Nggak mau sama kuenya? Ada kue baru, Mbak.” Miftah menaruh gelas berisi teh camomile dingin di hadapan Ailaa, menyadarkannya. “Lemon cake with coffee, rasanya unik dan dijamin bikin ketagihan.”
Ailaa mengambil gelas di hadapannya lalu mengulas senyum. “Next ya, Mif. Aku belum kepengin ngemil.”
Miftah membalas senyuman itu lalu kembali ke meja kasir untuk membuat pesanan pelanggan lain.
Sambil menikmati teh yang dipesan, Ailaa memutuskan untuk menghubungi Jo.
“Hei,” sapa Ailaa sambil mengingat kejadian semalam. Sejujurnya dia sudah lupakan kekesalannya dengan Jo. “Udah makan? Aku lagi di Rise nih.”
“Belum, sih, masih nunggu kepastian klien. Dapat tempat? Aku dengar Rise sekarang penuh terus gara-gara film itu.”
“Dapat, kayaknya emang udah jodoh ngabisin Sabtu ini sendirian di Rise.” Nada suara Ailaa tegas penuh maksud. “Kamu nggak mau mampir ke sini, Jo?”
“Sori ya, kayaknya aku nggak sempat ke sana. Kalau kamu mau ke kantor aku boleh, kok. Aku ada di kantor.”
Ailaa menyerengit. Apa Jo kira aku ini nggak percaya sama dia? Pake nawarin ke kantor segala. “Nggak, aku mau di Rise abis ini langsung pulang.”
“Oh.”
“Maaf udah ganggu kerjaan kamu. Udah ya, aku tutup.” Ada beberapa kata yang tertahan di mulut dan Ailaa paham kalau kata-kata itu harus tetap dia tahan sampai waktunya tiba.
“Oke.”
It’s okay, Ail... Lo kan udah biasa sama Jo yang kayak gitu. Ailaa mengingat ucapan Martha yang selalu dia dengar kalau sedang membicarakan Jo. Dia memilih mengambil buku dari dalam tas, membacanya hingga rasa jenuh dan rasa ingin pulang ke rumah datang menghampiri.
Langit di luar mulai berubah warna dan matahari sudah tidak lagi berada di posisi paling terangnya. Ailaa mengintip jam digital di layar ponsel kemudian merapikan tas, memasukan barang-barang miliknya ke dalam, lalu meminum sisa teh camomile yang hanya tinggal sedikit. Dia bangkit dari duduknya, melambaikan tangan pada Miftah, setelah itu melangkahkan kaki ke pintu. Ailaa berjalan pelan sambil memeriksa tidak ada yang tertinggal, bersiap berjalan ke ujung Jalan Ungu untuk menaiki angkutan umum. Cuaca masih kondusif untuk naik angkutan umum, menurut Ailaa.
Sambil menunggu angkutan umum, Ailaa kembali membuka group chat di ponsel untuk memantau acara reuni yang ingin dibuat oleh teman-temannya.
Deva Ramadhan: Cuy, rapat langsung aja gimana? Yang bisa ikut aja, nggak usah semua.
Marlo Wicaksana: Sorry, baru muncul. Gue tunggu jadwal rapatnya, kalau pas di waktu kosong, gue ikut.
Ailaa menelan ludah, pikirannya sibuk. Dengan hati-hati dia menekan layar ponsel, huruf demi huruf, merangkai kata yang berkali-kali dia hapus kembali dan kemudian rangkai kembali. Setelah membaca ulang hasil ketikan, dia menekan tombol ‘send’.
Ailaa Leswara: Halo, kalian apa kabar? Aku baru sempat buka grup nih. Hehe.
Sekian menit berlalu dan angkutan umum yang harusnya dinaiki Ailaa ikut berlalu. Ailaa menggigit bibir, menahan perasaannya yang campur aduk. Tidak ada balasan apa pun dari Marlo, melainkan hanya teman-teman lain yang menyambutnya. Dia menghela napas panjang, lalu memasukan ponsel ke dalam tas kembali.
Apa yang sebenarnya kamu harapkan, Ail?
Ailaa mendongakan kepala setelah satu kantung kresek tiba-tiba mendarat di hadapannya. Dia sudah tahu apa yang ada di dalam kantung kresek itu walau belum membukanya. Ailaa tetap fokus menekan-nekan tombol keyboard menumpahkan apa yang ada di otaknya, samar dia melirik bayangan seseorang yang terpantul di layar monitor komputer. Siapa lagi kalau bukan Martha. Cewek itu melipat lengan kemejanya, lalu membuka tutup botol air mineral yang sejak tadi dia genggam.“Jadi, Sabtu kemarin Jo sama sekali nggak datang? Minggu juga?” Martha menarik kursi terdekat dan duduk di atasnya. Matanya mengikuti ketikan Ailaa di layar monitor.Ailaa mengangkat bahu dan terus mengetik. “Minggu dia bilang nggak enak badan. Kecapekan kayak biasa. Aku udah bilang kan sama kamu, dia lagi super sibuk akhir-akhir ini.”“Lo selalu ngebela Jo deh. Ini pera
Pukul tiga sore dan Garasi Eyang sedang penuh-penuhnya oleh pengunjung. Marlo baru saja melirik jam Rolex yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Seperti sebelum-sebelumnya, sejak kembali pindah ke Bandung, dia memutuskan menjaga toko barang antik milik Ayahnya itu. Dulu Garasi Eyang memang sekadar rumah kecil yang disulap menjadi toko barang-barang antik.Sekitar lima tahun terakhir, tepatnya saat toko kian dipenuhi pengunjung, Berta membuat space khusus yang sengaja disediakan untuk para pengunjung. Dia juga menjual berbagai menu makanan dan minuman yang dimasak sendiri olehnya. Berta, Marlo menyebutnya dengan nama itu. Bukannya tidak mau terima, tetapi baginya sapaan ‘Ibu’ hanya untuk Ibu. Sedangkan Berta bukanlah seorang ibu baginya. Hanya teman pendamping hidup yang baru untuk Ayah.Dekorasi dinding Garasi Eyang layaknya rumah yang ditempeli banyak pajangan zaman du
Marlo selalu rindu dengan rumah. Dengan nada berat suara Ayah, aroma cengkeh setiap pagi dan sore dari gelas Ayah, lagu-lagu nyaring dari vinyl yang diputar, dan hal-hal sederhana yang mengingatkan akan identitas. Empat tahun lalu, Marlo memutuskan pergi meninggalkan Bandung. Empat tahun itu pula dia berusaha menahan rasa rindunya akan rumah.Marlo memandangi Berta dari balik rak buku yang menjadi pembatas antara ruang televisi dan meja makan. Wanita bertubuh gemuk dengan rambut panjang ikal alami itu sedang menata makan malam. Sudah hampir enam tahun pemandangan itu dapat disaksikan setiap malamnya. Berta menyukai dunia masak dan masakannya selalu berhasil membuat Marlo terkagum. Hanya saja ada beberapa alasan yang membuatnya tidak ingin terlalu mengagumi itu.Masakan Ibu. Marlo masih menjadikan masakan Ibu sebagai menu makanan paling lezat sedunia. Walau tidak selezat buatan Berta, walau terkadang gosong atau juga gagal. Mungkin kalau masih ada Ibu, Marlo se
Mobil katana Jo terparkir di tempat biasanya. Ailaa dapat melihat si pemilik sedang serius membaca sesuatu di tangannya. Satu lembar kertas dengan bagian-bagian yang tampaknya sudah terlipat. Langit sudah tidak lagi terang. Ailaa menghampiri mobil itu, membuka pintu dan menaikinya. Jo menoleh, memberikan selembar kertas di tangannya pada Ailaa.“Pertunjukan wayang orang.” Jo langsung menjawab saat Ailaa baru saja ingin bertanya. “Favorit kamu, kan? Besok sehabis kerja ayo kita ke sana.”Tangan Ailaa membolak-balik kertas yang rupanya sebuah brosur. “Boleh, tapi kamu kan nggak begitu suka.”“Kata siapa?” Jo menyalakan mesin mobil. Derung mesin mobil itu begitu khas, suara mesin mobil tua berbadan besar.“Terakhir nonton wayang seni kamu tidur, Jo. Jangan ngelak karena aku masih ingat.” Senyum Ailaa menunjukan kemenanganJo menjalankan mobil. Bibirnya tersenyum kecil seolah menahan tawa bers
Tidak ada yang berubah dari Rise. Sekian tahun lamanya meninggalkan sebuah tempat yang penuh kenangan. Marlo menatap plang coffee shop itu dua kali, semuanya masih sama, hanya saja warna putihnya sudah berubah menjadi putih gading. Sambil mendorong pintu dengan sebelah tubuh, matanya kini meraba penghuni Rise dari sudut ke sudut, dari satu meja ke meja lainnya. Jumlah meja yang bertambah membuat ruangan terasa semakin sempit. Kini di setiap meja diletakan satu buah vas bening kecil berisi setangkai bunga, didampingi dengan satu kubus kayu kecil bernomor. Mesin kopi ganti dan tambahan beragam bentuk gelas. Marlo menyadarinya, dia hafal betul Rise dulu memakai sebuah mesin kopi berukuran kecil, berwarna hitam. Sekarang di tempat diletakannya mesin itu, berdiri gagah mesin kopi yang lebih besar berwarna silver dengan paduan warna merah metalik. Manual grinders kayu di sampingnya juga sudah tidak ada lagi. Bukan soal desain interior Rise, tetapi segalan
Awalnya Ailaa dan Marlo ragu dengan tempat bernama Rise. Rise baru saja resmi dibuka satu bulan lalu. Keberadaannya sudah lama menyita perhatian mereka sejak awal tempat itu di bangun. Letaknya berada di Jalan Ungu, tidak jauh dari tempat mereka berlatih kabaret secara rutin. Saat masih berbentuk beton dan dipenuhi pekerja bangunan, warga sekitar selalu berkata bahwa nantinya bangunan itu akan dibuat menjadi sebuah mini market. Tetapi seiring waktu berjalan, semakin bangunannya terbentuk sempurna, terlihat jelas kalau Rise adalah sebuah coffee shop kecil di pinggir jalan yang bersanding dengan jajaran ruko, warung makan, dan toko perlengkapan olahraga. Apalagi saat sebuah plang berbentuk oval berwarna putih dengan tulisan ‘RISE’ di dalamnya dipasang. Bagian pada huruf ‘I’ diganti dengan susunan biji kopi vertikal menyerupai huruf ‘I’. Ailaa melipat kertas di tangannya, mencoba praktek adegan demi adegan yang terulis dalam kertas bersama dua tema
Jo menatap Ailaa dalam. Sejujurnya, Ailaa ingin mengetahui apa yang ada di pikirannya saat memberi tatapan seperti itu. Jo memberi ciuman kembali, lagi, dan lagi. Ada rasa bahagia campur haru yang dirasakan oleh Ailaa. Ia merindukan bahasa kasih sayang dari Jo yang lebih serius seperti ini, yang hanya bisa dinikmati mereka berdua dan merekalah yang paham semua itu.Tangan Jo perlahan mengangkat kemeja berwarna kuning muda yang dikenakan Ailaa, memasukan kedua tangannya ke punggung lembut Ailaa. Terpikirkan sekilas di kepala Jo bahwa Ailaa semakin kurus, tulangnya semakin mudah diraba.Jo melepas kaitan bra dan dengan cepat memindahkan tangannya ke payudara Ailaa yang berukuran sedang, tidak besar, tidak juga kecil. Dia meremas pelan, memainkan puting, tanpa menyudahi ciumannya.Ailaa mengalungkan tangannya di
Tidak tahu mengapa, malam-malam yang Marlo lalui terasa jauh berbeda setelah pertemuan singkatnya dengan Ailaa melalui group chat. Nyatanya mereka tidak benar-benar bertemu dan membahas hal yang sensitif bagi mereka berdua. Marlo mengambil peti kayu kecil dengan balutan bahan kulit, di bagian penutupnya dilengkapi gembok tua dari Garasi Eyang. Dalam ingatannya Ailaa menyukai segala yang berbau klasik. Dulu, mereka bahkan menciptakan playlist di iPod Nano berisikan lagu-lagu era tahun 70-90’s. Banyak hal yang sama-sama mereka sukai, menonton pertunjukan wayang orang, menikmati malam di atas bukit sambil makan mie instan, lari di lapangan pusat kota sambil hunting menu sarapan, sampai pergi ke berbagai toko buku untuk mencari potongan harga paling murah. Kalau dipikir, semuan
Melewati pagi bersama Jo menjadi satu hal yang selama ini Ailaa rindukan. Dengan kesibukan yang sedang dijalani Jo, juga perubahan sikapnya yang semakin cuek, membuat Ailaa sedikit tidak percaya dengan pemandangan di pagi ini. Ailaa membuka gorden untuk membuat cahaya matahari di jam setengah delapan pagi masuk ke kamar.Bukan untuk pertama kali, tetapi menghabiskan malam bersama Jo adalah bagian dari ‘keistimewaan’ dari memiliki laki-laki itu seutuhnya. Tidak hanya berhubungan badan, menyatukan tubuh mereka satu sama lain, tetapi menyadari keberadaan Jo ada di sampingnya sepanjang malam menjadi hal yang semakin jarang ia rasakan.Jo masih tertidur dan sama sekali tidak memberi respon ketika cahaya matahari menyentuh wajahnya. Ailaa memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, bersih-bersih. Dia memilih pakaian terbaiknya yang sudah ia bawa sejak kemarin,
Hari sudah berganti, tapi Ailaa tidak bisa juga tidur. Dia masih bisa merasakan emosi kepada Marlo, mengingat bagaimana permintaan maaf itu keluar dari mulutnya. Mengapa semudah itu? Ailaa bertanya pada langit-langit kamar. Gelapnya ruang kamar membuatnya semakin mudah melihat langit-langit kamar yang tampak lebih terang karena cahaya yang menembus dari luar. "Dia pergi gitu aja tanpa kabar, empat tahun menghilang, dan sekarang dia dengan mudahnya bilang maaf?" Ucap Ailaa dengan volume suara terkecil yang ia punya. Air matanya kembali mengalir. Baik perpisahan, maupun pertemuan kembali dengan Marlo sama-sama memberinya rasa sakit yang sulit untik dijelaskan. Ailaa mengambil ponsel dari bawah bantal. Jonathan Rahadi: Cepat membaik ya, kalau masih nggak enak badan, minum obat. Jangan dientar-entarin.
Marlo dan Ailaa menatap satu sama lain, berhadapan tanpa sepatah kata. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka dari jauh membuat suasana semakin terasa canggung. Untuk sesaat Ailaa merasa telinganya tidak bisa mendengar apapun, hanya mampu mendengar degupan jantungnya yang semakin cepat. Seorang pengunjung yang lewat begitu saja di tengah mereka menyadarkan keduanya.Ailaa mengulas senyum singkat, memutuskan berjalan ke arah meja pemesanan sebelum benar-benar menghampiri Marlo. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu membaca deretan menu.“Iced americano satu ya.” Ailaa mengangkat ponselnya ke hadapan pegawai di depan, dengan cepat mendekatkannya ke lembaran barcode. Dia pun menoleh ke arah Marlo. “Udah pesan?”Marlo mengangguk yang kemudian dibalas dengan gerakan serupa oleh Ailaa. Ma
Tidak tahu mengapa, malam-malam yang Marlo lalui terasa jauh berbeda setelah pertemuan singkatnya dengan Ailaa melalui group chat. Nyatanya mereka tidak benar-benar bertemu dan membahas hal yang sensitif bagi mereka berdua. Marlo mengambil peti kayu kecil dengan balutan bahan kulit, di bagian penutupnya dilengkapi gembok tua dari Garasi Eyang. Dalam ingatannya Ailaa menyukai segala yang berbau klasik. Dulu, mereka bahkan menciptakan playlist di iPod Nano berisikan lagu-lagu era tahun 70-90’s. Banyak hal yang sama-sama mereka sukai, menonton pertunjukan wayang orang, menikmati malam di atas bukit sambil makan mie instan, lari di lapangan pusat kota sambil hunting menu sarapan, sampai pergi ke berbagai toko buku untuk mencari potongan harga paling murah. Kalau dipikir, semuan
Jo menatap Ailaa dalam. Sejujurnya, Ailaa ingin mengetahui apa yang ada di pikirannya saat memberi tatapan seperti itu. Jo memberi ciuman kembali, lagi, dan lagi. Ada rasa bahagia campur haru yang dirasakan oleh Ailaa. Ia merindukan bahasa kasih sayang dari Jo yang lebih serius seperti ini, yang hanya bisa dinikmati mereka berdua dan merekalah yang paham semua itu.Tangan Jo perlahan mengangkat kemeja berwarna kuning muda yang dikenakan Ailaa, memasukan kedua tangannya ke punggung lembut Ailaa. Terpikirkan sekilas di kepala Jo bahwa Ailaa semakin kurus, tulangnya semakin mudah diraba.Jo melepas kaitan bra dan dengan cepat memindahkan tangannya ke payudara Ailaa yang berukuran sedang, tidak besar, tidak juga kecil. Dia meremas pelan, memainkan puting, tanpa menyudahi ciumannya.Ailaa mengalungkan tangannya di
Awalnya Ailaa dan Marlo ragu dengan tempat bernama Rise. Rise baru saja resmi dibuka satu bulan lalu. Keberadaannya sudah lama menyita perhatian mereka sejak awal tempat itu di bangun. Letaknya berada di Jalan Ungu, tidak jauh dari tempat mereka berlatih kabaret secara rutin. Saat masih berbentuk beton dan dipenuhi pekerja bangunan, warga sekitar selalu berkata bahwa nantinya bangunan itu akan dibuat menjadi sebuah mini market. Tetapi seiring waktu berjalan, semakin bangunannya terbentuk sempurna, terlihat jelas kalau Rise adalah sebuah coffee shop kecil di pinggir jalan yang bersanding dengan jajaran ruko, warung makan, dan toko perlengkapan olahraga. Apalagi saat sebuah plang berbentuk oval berwarna putih dengan tulisan ‘RISE’ di dalamnya dipasang. Bagian pada huruf ‘I’ diganti dengan susunan biji kopi vertikal menyerupai huruf ‘I’. Ailaa melipat kertas di tangannya, mencoba praktek adegan demi adegan yang terulis dalam kertas bersama dua tema
Tidak ada yang berubah dari Rise. Sekian tahun lamanya meninggalkan sebuah tempat yang penuh kenangan. Marlo menatap plang coffee shop itu dua kali, semuanya masih sama, hanya saja warna putihnya sudah berubah menjadi putih gading. Sambil mendorong pintu dengan sebelah tubuh, matanya kini meraba penghuni Rise dari sudut ke sudut, dari satu meja ke meja lainnya. Jumlah meja yang bertambah membuat ruangan terasa semakin sempit. Kini di setiap meja diletakan satu buah vas bening kecil berisi setangkai bunga, didampingi dengan satu kubus kayu kecil bernomor. Mesin kopi ganti dan tambahan beragam bentuk gelas. Marlo menyadarinya, dia hafal betul Rise dulu memakai sebuah mesin kopi berukuran kecil, berwarna hitam. Sekarang di tempat diletakannya mesin itu, berdiri gagah mesin kopi yang lebih besar berwarna silver dengan paduan warna merah metalik. Manual grinders kayu di sampingnya juga sudah tidak ada lagi. Bukan soal desain interior Rise, tetapi segalan
Mobil katana Jo terparkir di tempat biasanya. Ailaa dapat melihat si pemilik sedang serius membaca sesuatu di tangannya. Satu lembar kertas dengan bagian-bagian yang tampaknya sudah terlipat. Langit sudah tidak lagi terang. Ailaa menghampiri mobil itu, membuka pintu dan menaikinya. Jo menoleh, memberikan selembar kertas di tangannya pada Ailaa.“Pertunjukan wayang orang.” Jo langsung menjawab saat Ailaa baru saja ingin bertanya. “Favorit kamu, kan? Besok sehabis kerja ayo kita ke sana.”Tangan Ailaa membolak-balik kertas yang rupanya sebuah brosur. “Boleh, tapi kamu kan nggak begitu suka.”“Kata siapa?” Jo menyalakan mesin mobil. Derung mesin mobil itu begitu khas, suara mesin mobil tua berbadan besar.“Terakhir nonton wayang seni kamu tidur, Jo. Jangan ngelak karena aku masih ingat.” Senyum Ailaa menunjukan kemenanganJo menjalankan mobil. Bibirnya tersenyum kecil seolah menahan tawa bers
Marlo selalu rindu dengan rumah. Dengan nada berat suara Ayah, aroma cengkeh setiap pagi dan sore dari gelas Ayah, lagu-lagu nyaring dari vinyl yang diputar, dan hal-hal sederhana yang mengingatkan akan identitas. Empat tahun lalu, Marlo memutuskan pergi meninggalkan Bandung. Empat tahun itu pula dia berusaha menahan rasa rindunya akan rumah.Marlo memandangi Berta dari balik rak buku yang menjadi pembatas antara ruang televisi dan meja makan. Wanita bertubuh gemuk dengan rambut panjang ikal alami itu sedang menata makan malam. Sudah hampir enam tahun pemandangan itu dapat disaksikan setiap malamnya. Berta menyukai dunia masak dan masakannya selalu berhasil membuat Marlo terkagum. Hanya saja ada beberapa alasan yang membuatnya tidak ingin terlalu mengagumi itu.Masakan Ibu. Marlo masih menjadikan masakan Ibu sebagai menu makanan paling lezat sedunia. Walau tidak selezat buatan Berta, walau terkadang gosong atau juga gagal. Mungkin kalau masih ada Ibu, Marlo se