Restu tersenyum miring menatap layar ponselnya. Sepertinya keberuntungan telah menunjukkan jalan padanya. "Lepaskan aku!" sekali lagi, wanita yang berada di hadapannya meronta meminta untuk dilepaskan. Restu tidak ambil pusing, sekali sentak, tubuh Siska terjatuh ke lantai."Restu, tega sekali kau!""Aku ada penawaran terbaik untuk dirimu. Kali ini, kita akan menjadi partner kerja yang baik. Jadi, urungkan niat bodohmu itu. Memang butuh kesabaran. Jadi, berhentilah bertindak seperti anak kecil!"Siska memandang wajah Restu dengan menampilkan gurat kecurigaan begitu mendalam. Namun, Restu tak ambil pusing. Pria itu dengan santainya pergi meninggalkan Siska di dalam kamar dengan mengunci pintu kamarnya. Membuat sang wanita berteriak dan meminta untuk dilepaskan.Keesokan harinya, Rangga tidak dapat menemani Suci sarapan pagi. Ia bergegas menuju ke Pabrik pembuatan Roti karena ada sesuatu yang harus dilakukan.Suci tidak mempermasalahkan hal itu. Justru, ia memiliki celah untuk keluar d
Suci menyusuri jalan setapak yang telah dijadikan tempat untuk janji temunya dengan Restu. Rambutnya yang panjang telah diikat, sehingga tidak membuatnya kepanasan di cuaca yang lumayan panas ini.Suci terus menelusuri jalanan yang lumayan becek dan berlumpur. Ia tidak memperhitungkan resiko yang akan dilaluinya, yang terpenting adalah soal Ibunya yang telah menghilang meninggalkan dirinya dan Ayahnya.Di ujung jalan, ada sebuah rumah yang tidak terawat. Suci menghela nafas berat, sebelum memasuki rumah yang telah di foto Restu itu, Ia memanjatkan doa. Berharap Tuhan masih mau menolongnya jika hal yang ia lakukan ini salah. Terlebih, Ia telah meninggalkan jejak masalah baru di rumahnya dan kemungkinan besar, Rangga akan marah dengan hal yang telah diperbuatnya.Suci Kembali menatap layar ponselnya, lalu memandang ke arah rumah tersebut. Ya, rumah itulah yang dikirimkan oleh Restu pada dirinya."Restu, kau di dalam?" Suci disambut dengan bau tak sedap. Mungkin ini dampak dari rumah yan
"Duduk dan minum terlebih dahulu agar anda bisa sedikit tenang." Bujuk Anton sambil memberikan isyarat agar para anak buah Rangga pergi. Ia tidak ingin Rangga Kembali naik darah dan mengulangi perbuatannya Kembali.Rangga duduk di kursi yang berada di pos penjagaan. Anton mengulurkan sebuah air mineral kemasan pada Rangga. Pria itu tak lantas mengambilnya. Pikirannya masih tertuju pada istri tercintanya."Bodoh sekali Suci! Kenapa-""Apakah istri anda masih memakai Jam tangannya?"Rangga menoleh menatap wajah asistennya. "Maksudmu?""Maaf jika saya lancang, Pak. Tapi, jam tangan istri yang anda pesan itu, memiliki beberapa kelebihan, salah satunya yaitu ada GPS di dalamnya. Jadi, jika kita beruntung, istri anda memakai jam tersebut, kita bisa mengetahui keberadaannya."Rangga tidak menjawab. Entah ia harus senang atau kesal dengan sikap Anton yang lancang, namun begitu berguna untuk saat ini."Aku belum pernah melihat Suci memakainya, tapi setahuku, dia adalah tipe wanita yang beperg
Karena merasa percuma berteriak meminta pertolongan, Suci berinisiatif untuk menyimpan tenaganya. Ia berpikir, bahwa Rangga saat ini pasti sedang berusaha untuk menemukannya. Tidak mungkin pria itu diam begitu saja setelah tahu, bahwa dirinya tidak berada di rumah. Suci sangat yakin, jika Rangga telah memberikan perintah pada anak buahnya untuk mencari keberadaannya."Ini sudah dua jam, tapi rombongan yang akan menjemput kita belum juga sampai." Restu masih terlihat mondar-mandir melihat ke arah pintu, berharap agar orang-orang yang ditunggunya akan segera tiba."Sabarlah, kita harus tetap bersikap tenang. Siapa tahu saja ada kendala di luar sana," sahut Siska dengan tatapannya yang tak pernah sekalipun terlepas dari wajah Suci.Ditatap seperti itu tidak membuat keberanian Suci menghilang. Justru, ia berinisiatif untuk melawan dengan cara menatap balik ke arah Siska."Aku ingin kau tunggu disini. Sepertinya ada yang tidak beres. Anak buahku yang menjemput dokter itu tidak juga datang
“Kau sudah mengurusnya?” ucap wanita berpakaian serba hitam yang terlihat menuruni anak tangga. “Sudah, Bu. Semuanya sudah sesuai dengan rencana yang anda inginkan.” Jawaban pria berbadan besar yang mengikuti langkah sang Majikannya.“Jangan sampai salah langkah. Karena ini menyangkut tentang anakku.”"Lalu, bagaimana dengan orang yang mencoba mencelakai-"Sang wanita berbalik menatap wajah anak buahnya saat sudah berada di lantai bawah rumahnya."Singkirkan saja!"***“Akhhhh!” Suci menatap wajah Siska yang mengerang kesakitan, tubuh wanita itu ambruk begitu saja di lantai dengan luka tusuk di punggungnya. Darah segar terlihat merembes keluar membasahi baju yang ia kenakan. Sebuah pisau masih tertancap di punggung sang wanita yang terlihat mengerang kesakitan.Suci mendongak, menatap tubuh orang yang sudah melukai Siska. Ia bersiap untuk lari, namun pria itu nampak tidak bergerak sedikitpun dan hanya menatapnya dengan tatapan mata tak dapat Suci artikan.“Pergilah, sebelum orang-or
“Maafkan aku. Tidak seharusnya aku membentakmu seperti itu. Lebih baik, sekarang kita masuk ke dalam mobil,” ajak Rangga menyadarkan Suci yang sempat membeku beberapa saat lalu. Ia menggendong tubuh Suci, wanita itu sama sekali tidak protes dengan sikap Rangga. Menyadari perubahan wajah Suci, menyadarkan Rangga ada sesuatu yang tidak beres. Sebelum mengulas tentang apa yang terjadi, ia harus memprioritaskan tentang kesehatan Suci, terlebih bagian lengan istrinya itu terluka.Setelah keduanya telah berada di dalam kursi penumpang, Anton segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Ia tidak ingin disalahkan karena terlalu lama saat menyetir mobil.Rangga menoleh ke arah Suci yang terlihat menatap kaca jendela mobil.“Apa ini perbuatan Restu?” Rangga tak dapat mengendalikan rasa penasaran atas luka yang saat ini diderita oleh istrinya. “Mas, bisakah nanti saja kita bicaranya?” sahut Suci dengan memegang dadanya yang sedari tadi terasa begitu tak karuan. Ia benar-benar merasa telah be
Rangga membersihkan keringat yang terdapat di area kening wajah Suci. Setelah mendapatkan perawatan medis, Suci menolak untuk dirawat di Rumah Sakit. Walaupun mendapatkan jahitan akibat luka robek yang dideritanya, Suci tetap bersikukuh untuk tetap dirawat di rumah saja.“Bangunlah, aku tahu kau hanya berpura-pura tidur.” Rangga mengelus pipi Suci berulang kali, ada rasa bersalah atas perlakuannya selama ini pada Suci. Selalu memprioritaskan pekerjaan tanpa melihat situasi yang akhir-akhir ini sedang dialami oleh istrinya itu.Perlahan kedua mata Suci terbuka lebar, hal pertama yang ia lihat adalah sang Suami yang saat ini sedang berbaring di sampingnya, wajahnya terlihat begitu memperhatikannya dengan tatapan mata sayu.“Maaf,” satu kata yang terucap mampu membuat seorang Rangga tersenyum. “Banyak hal yang terjadi, tapi aku begitu ceroboh dan tidak memikirkan bagaimana resikonya. Maafkan aku, mas.”Rangga tak merespon ucapan istrinya itu. Tangan kirinya masih fokus mengelus lembut p
Di tengah dilema hati yang sedang Suci rasakan, tiba-tiba saja ia teringat bahwa ponselnya tertinggal di rumah tempat penyekapannya.Suci menghela nafas panjang, berharap agar ponselnya itu kembali lagi. Ada banyak foto-foto dirinya dan kedua orang tuanya dalam galeri ponsel tersebut. Ada rasa sesal, mengapa ia harus melupakan benda berharga itu. Saat akan keluar dari kamarnya, seorang pelayan datang, membawa paper bag kecil.“Maaf, nona. Ada kurir paket yang mengantarkan pesanan anda.” Ucap wanita paruh baya sambil menyodorkan paper bag itu pada Suci.“Aku tidak memesan apa-apa,” Suci hendak menolak, namun hatinya berkata lain. Tangannya segera meraih benda itu dan mengisyaratkan agar pelayan itu untuk meninggalkan dirinya.Suci kembali lagi masuk ke dalam kamar, lalu membuka isinya.“Ponsel…ini ponselku!” teriak Suci kegirangan mendapatkan kembali ponselnya.“Tapi, siapa sebenarnya orang itu. Lalu, bagaimana keadaan Siska?” lirihnya seraya mengamati ponselnya.***Siska merasakan s
"Sepertinya, kita salah kamar."Rangga dan Joni saling tatap, lalu mengalihkan pandangannya pada Suci."Apa maksudmu, sayang?" tanya Rangga."Wanita itu, dia tidak mungkin Siska. wajahnya...sama sekali, tidak mirip dengan Siska. aku yak-""Maaf, tapi itulah Siska. wanita yang wajahnya rusak dan bertubuh kurus itu Siska." Potong Joni. Saat Suci akan mematahkan perkataan Joni, seorang dokter dan perawat datang menghampiri mereka."Siapa diantara kalian, yang bernama Rangga?" tanya dokter itu sambil tersenyum."Saya, dok. " Rangga maju selangkah, agar bisa lebih dekat dengan sang dokter bertubuh gempal itu."Saya harap, kedatangan anda bisa sedikit membantu kesembuhan Siska," Mendengar nama Siska disebut, Suci kembali menolehkan kepalanya pada kaca jendela ruangan itu.Suci kembali mendekatkan wajahnya pada kaca jendela ruangan itu. Berkali-kali ia menggelengkan kepalanya, air matanya menetes begitu saja tanpa dapat ia cegah. Siska yang dulu terlihat begitu cantik dengan wajah yang semp
Sandi yang telah sepenuhnya pulih dari luka yang dideritanya, telah kembali ke rumah. Lebih tepatnya, rumah yang disediakan oleh Lestari. Ia begitu menjaga keamanan mantan sahabatnya itu, dari orang-orang yang bisa saja kembali akan melukainya."Bagaimana, sudah kau urus semuanya?"Joni mengangguk mengiyakan.Lestari mendesah lega, karena semua rencana yang telah ia rancang sudah mulai menemui titik terang."Baguslah, kalau begitu tugasmu kali ini adalah mengantarkan anak menantuku ke Rumah Sakit-""Anda serius?"potong Joni. Pria itu nampak menatap wajah majikannya itu begitu serius."Maaf, apabila tindakan saya tidak sopan. tapi, terlalu berisiko jika harus kembali mempertemukan Rangga dengan mantan kekasihnya itu. saya hanya kasihan pada Suci." Lanjutnya tanpa berani memandang wajah Lestari.wanita itu sempat ingin memprotes, namun hal itu urung ia ucapkan karena paham bahwa Joni sudah mengetahui seluk beluk tentang keluarganya.Joni bukan sekedar anak buah Lestari. Namun, pria itu
Lestari menatap wajah Suci, sebenarnya ia tidak ingin menyakiti buah hatinya itu. Tapi, sebagai seorang wanita, Lestari tidak cukup kuat untuk menahan beban pikiran saat melihat penderitaan Siska.“Maafkan, ibu sayang. Ibu kasihan melihat keadaan Siska. Dia benar-benar membutuhkan bantuan kita. Ibu tahu, kau akan kembali terluka saat suamimu menolongnya. Tapi, ibu yakin kau akan merasa kasihan jika melihat keadaannya.”Suci mengalihkan pandangannya pada suaminya. Ia ingin melihat dan mendengar, apa yang akan diucapkan oleh Rangga. Suci ingin mendengar, jawaban yang akan keluar dari bibir pria itu.Rangga yang ditatap seperti itu, mengalihkan pandangannya. Ia tidak dapat langsung memberikan jawaban atas apa yang diinginkan oleh ibu mertuanya itu. Jujur saja, banyak hal yang dulu pernah ia alami bersama dengan Siska. Ia tidak menampik, bahwa kehadiran Siska dulu pernah mengisi ruang dalam hatinya.“Apa jawabanmu, mas?” Suci tidak dapat bersabar lagi. Ia tidak ingin menunggu lebih lama l
Rangga hanya diam menatap isi karung yang telah dibuang oleh seseorang di depan pagar rumahnya.“Apa kita laporkan ke polisi saja, mas?” tanya Suci saat melihat isi karung yang membuat perutnya bergejolak ingin muntah.“Tega sekali mereka,”“Hubungi Polisi, kita akan lihat apa yang sebenarnya mereka inginkan. Jangan-jangan ini perbuatan Anton.” Pikir Rangga dengan mata yang masih menatap tubuh anjing yang telah mati. Bukan hanya satu, melainkan tiga ekor anjing yang sudah tidak bernyawa.***Pemberitaan tentang Karung berisi anjing yang telah mati menjadi topik hangat untuk, dibicarakan diberbagai macam platform media elektronik. Keluarga Rangga kembali menjadi bulan-bulanan pembicaraan media sosial manapun. Hal itu, membuat pria itu kembali harus ekstra berhati-hati saat pergi ke suatu tempat, terutama untuk keselamatan Suci, istrinya.“Ini adalah hasil petisi tanda tangan para karyawan yang tidak menginginkan kehadiran mu, di kantor ini.” Anton membuka rapat koordinasi dengan para p
"Apa kau mau aku pecat, hah! mengganggu saja!" ucap Rangga pada seorang wanita yang terlihat menundukkan kepalanya saat pintu kamar telah terbuka."Ma-maaf pak, tapi tadi ada mobil berhenti di depan gerbang. terus melemparkan sesuatu di dalam karung. penjaga di depan gerbang, tidak berani membukanya tanpa persetujuan anda." Jawab wanita itu.Rangga menggeleng, otaknya terasa ingin pecah. namun, ia berusaha untuk tetap tegar menghadapi kenyataan bahwa ada saja manusia yang mencoba untuk mengganggu waktunya."Baiklah, dengarkan aku baik-baik. biarkan karung itu ditempatnya, tunggu sampai aku turun ke bawah, yang terpenting. kamera pengawas sudah merekam aksi orang tersebut. mengerti?""Baik, pak. saya akan memberikan informasi ini pada para penjaga." wanita itu bergegas untuk pergi meninggalkan Rangga."Ada apa mas?" tanya Suci, saat Rangga kembali masuk.ke dalam kamar dan menutup pintu."Hanya masalah kecil, tapi mereka membesarkan semuanya."Rangga menatap tubuh Suci yang sudah terbal
Rangga masih belum beranjak dari tempat duduknya. pria itu terlihat kesal karena sudah mendapatkan penolakan mentah-mentah oleh Suci. wanita itu nampak lebih segar setelah keluar dari kamar mandi.Suci memang menolak berhubungan dengan Rangga. hal itu karena bagian bawah tubuhnya masih merasa sakit karena ulah Rangga saat di kantor tadi."Masih marah?" Rangga menatap dingin wanita cantik yang saat ini sedang menatapnya."Sayang..." Suci mendekat, duduk di samping pria yang masih menampilkan wajah enggannya.Rangga mendesah pasrah, ia tidak mungkin bisa terus-terusan marah pada istrinya itu."Aku kesal, tidak dapat menikmati makananku." Jawab Rangga dengan senyum liciknya."Jadi, kau pikir aku ini makanan?"Rangga tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Istrinya itu.Suci terlihat sedikit terkejut, dengan respon yang diberikan oleh suaminya itu. setelah beberapa lama tidak melihat wajah Rangga yang tertawa lepas Seperti ini, rasanya hal ini begitu menakjubkan.Suci merengkuh tubuh
Rangga mendekatkan wajahnya pada Suci, membuat wanita itu seketika mundur dan tidak dapat berbuat apa-apa karena kepalanya telah terpojok ke kaca jendela mobil."Mas, berhenti!"Rangga menghentikan gerakannya, alisnya terangkat satu. raut wajahnya terlihat agak kesal karena ucapan Suci."Mas, tolonglah. ini di jalanan, masa mau ciuman di dalam mobil?""Tidak ada yang salah, kita adalah suami istri yang sah!" Rangga terlihat kesal, pria itu kembali memperbaiki posisi duduknya pada kursi yang diduduki."Mas, jangan marah. dengarkan aku, setelah itu... terserah dirimu mau melakukan apa pun yang mas mau."Rangga menoleh, menatap wajah sang istri dengan senyum liciknya."Aku sempat menatap sorot mata Anton yang begitu kosong. apa mungkin selama ini Anton berpura-pura saja menjadi jahat?"Rangga semakin mengerutkan keningnya . ia masih merasa aneh dengan cara berpikir Suci. bagaimana bisa, apa motifnya?Rangga menggeleng, bentuk dari tidak setujunya ucapan yang baru saja Suci ucapkan."Tapi
Suci sedang bersandar pada mobil, menunggu Rangga yang sedang mengambil kunci mobilnya yang tertinggal di ruangannya.“Suci?”Mendengar namanya dipanggil, Suci sedikit terkejut. Terlebih, ia mengenali suara itu. Walaupun ragu, Suci akhirnya menoleh . Karena tidak mungkin dirinya berpura-pura tidak mendengar sapaan itu. “Anton?”Pria itu menyunggingkan senyumnya. Seperti tidak terjadi apa-apa.“Pertemuan ini terasa canggung,” ujar Anton. Langkah kakinya semakin mendekat pada tubuh Suci.Suci berdehem beberapa kali, untuk menghilangkan rasa gugupnya.“Sebenarnya…hal ini tidak perlu terjadi. Aku, masih berharap agar kau tetap jadi asisten, mas Rangga.” Anton menghentikan langkahnya, tepat dihadapan Suci.Pria itu terlihat masih tersenyum menanggapi perkataan Suci. Namun, senyumannya justru membuat wanita cantik itu terlihat tidak suka. Lebih tepatnya, rasa takut yang terlihat jelas pada wajah Suci.“Kenapa ekspresi mu seperti itu? bukankah kita teman?”“Teman?”Anton mengangguk, mengiy
Setelah puas menikmati permainan singkat yang telah Rangga lakukan, Suci segera membasuh tubuhnya di toilet ruangan Rangga. Ia tidak ingin jika bertemu dengan karyawan di kantor ini, mereka dapat mencium aroma tubuh Rangga yang masih menempel pada tubuhnya.“Sudah?” tanya Rangga yang melihat tubuh istrinya itu baru keluar dari toilet.Suci mengangguk, lalu memilih untuk duduk di Sofa.Rangga dapat melihat bagaimana lelahnya sang istri setelah mendapatkan hukuman atas kesalahannya karena main kabur dari rumah. Namun, siapa sangka jika Suci tidak menyadari hal itu. Rangga memang sengaja akan mengerjai Suci di kantor, itulah sebabnya mengapa ia memilih untuk berangkat pagi-pagi sekali.“Mas, apa hari ini kau ada rapat?”Rangga mencoba untuk mengingat.“Hari ini tidak, tapi besok jam sebelas akan ada Rapat yang membahas soal petisi tanda tangan untuk aku dikeluarkan dari kantor ini, dan di pindahkan ke kantor cabang.” Jawab Rangga, wajahnya sama sekali tidak mengisyaratkan kesedihan. Pri