Suhu ruangan diturunkan oleh James. Jendela kamar besar itu juga sudah ditutup sebelum tadi Lani pergi. Bibir Shima masih gemetaran, walau tidak sebiru sebelumnya.Menurutnya, jika bisa memilih, dia merasa lebih baik dipukuli oleh Lani, daripada harus sekamar dengan James.Pria itu menakutkan, meski sangat tampan dengan kulit sedikit kecokelatan dan bulu-bulu menggoda memenuhi dada, kaki dan tangannya. Sekitaran wajah pun tidak luput dari semua itu.Warna matanya cokelat terang. Beralis lebat dengan bulu mata yang lentik. Rambut hitam bergelombang menutupi tengkuk.Seksi, perkasa dan membuat wanita mana pun akan basah saat ditatap penuh godaan seperti itu olehnya.Meski gemetar ketakutan dan berharap—sekali lagi—lebih baik dipukuli oleh Lani, daripada harus di sini bersama James, dia masih sempat untuk menilai setiap jengkal ketampanan pria yang sekarang begitu lekat menatapnya. Mengamati bibirnya.Saat Shima mengerjap, James tiba-tiba sudah mencium bibirnya. Memang tidak kasar, tapi
“Okay. Sekarang kau punya.” Jun langsung melewati Helga untuk menyerah akhirnya. Dia masuk ke dalam rumah dan memilih duduk di tempat ternyaman menurutnya. Sofa tunggal sudut.“Kau mengambil tempatku,” kata Helga dengan tawa bercandanya.Jun mengangkat kedua alis tanpa peduli. Menganggap itu adalah cara pertama Helga untuk mencoba akrab dengannya.Helga masuk ke kamarnya sebentar. Benar-benar cuma sebentar, karena dia keluar dengan hair dryer di tangan.“Keberatan?” Dia menggoyang benda itu sebelum menyalakannya. Melihat jawaban Jun berupa anggukkan mengiyakan, dia langsung menyalakan benda itu dan bicara ditengah deru halus yang terdengar.“Kudengar dari Remi, kakakmu akan segera bebas. Dinyatakan tidak bersalah.”Jun tidak tahu tentang hal itu. Seharusnya dia yang akan melakukannya sebelum empat puluh delapan jam berakhir.“Siapa yang menjamin?”“Mun Kamli.”Ayahnya? Bagaimana bisa?Jun tidak akan mengajukan pertanyaan tanpa berpikir lebih dulu. Matanya menatap Helga yang masih meng
Lepas dari Helga yang semalam akhirnya mendapat ciuman panas serta remasan tangan Jun di payudara wanita itu sebelum pergi, paginya dia berdiri sedikit jauh di luar kantor polisi untuk menunggu ayahnya melepaskan sang kakak.“Ayahmu bukan orang biasa, Jun. Aneh sekali melihatmu tidak mengetahui fakta tentang hal itu.” Helga mendesah di telinga Jun, saat pria itu meremas-remas lembut payudaranya yang mulai menegang setelah ciuman panas mereka berakhir.“Akan kubuka kedua kakiku lebar-lebar untukmu malam ini. Masuklah ke kamarku, Honey.”Jun seketika melepas tangannya dari payudara bulat sempurna itu dan mundur beberapa langkah. “Tidak bisa malam ini, tapi aku akan menidurimu, jika kau memberiku satu informasi saja mengenai Mun Kamli.”Dan sekarang Jun mendapat dugaan yang tidak pasti tentang siapa Mun Kamli sebenarnya.Cepat, tapi santai, Jun menyeberangi jalan di depannya untuk menuju mobil ayahnya yang terparkir di samping kantor polisi. Dia masuk lebih dulu sampai tiga menit setelah
Sorak penuh ketegangan dari Kun untuk aksi Mun, kian terdengar menjauh dan samar. Bantingan kuat yang terasa kemudian, serta rasa sakit yang tidak ada, padahal tubuh Jun terhantam selagi keadaan di sekitar berputar, malah menciptakan pusaran yang makin lama makin besar.Jun tersedot ke dalam pusaran. Tanpa Kun, apalagi Mun. Ke mana perginya mereka? Dia tidak sempat berpikir karena kepalanya pusing akibat sekitar yang terus berputar. Membuatnya tidak kuat, hingga terpaksa memejamkan mata.Tadi dia mendengar denging dan suara angin, tapi kini sepi. Sunyi, senyap.Jun akhirnya membuka mata karena rasanya terlalu asing. Hal pertama yang terlihat adalah langit-langit yang putih, bersih. Matanya terasa silau entah kenapa. Aroma seperti wewangian terapi dan obat-obatan terendus begitu saja olehnya.“Jun?”Refleks dia menoleh ke kanan. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah ibunya, Tiska Ademia.“Ibu?”Tiska bukannya menyambut panggilan Jun, malah histeris berlari keluar meminta bantuan. Ju
Ini jauh di luar dugaan. Mun Kamli alias ayahnya Jun sudah lama meninggal dunia? Mana mungkin!“Bu ...” Jun gemetar. Sampai ke bibirnya ketika dia bicara. “Kapan ... sudah sejak kapan ayah meninggalkan kita?”Tiska mendekat. Memeluk putranya dengan hati yang terasa remuk. Dia tidak bisa kehilangan lagi. Cukup Mun yang pergi bersama misteri kematiannya yang ikut terkubur ke dalam liang lahat.Jangan ambil Jun darinya. Dalam hampir setahun terakhir, dia tidak pernah berputus asa barang sedetik pun. Dia yakin bahwa Jun akan bangun, tersadar dari komanya.“Saat kau dan Kun masih kecil. Wajar kau tidak ingat.” Setelah coba dipikirkan lagi, menurut Tiska, sepertinya mungkin saja Jun tidak ingat tentang kematian Mun karena waktu itu jika dibandingkan kakaknya, Jun yang lebih dekat dengan ayahnya. Bahkan si bungsulah yang paling terluka akibat kematian Mun.Jun sempat sakit hampir sebulan lamanya karena kepergian sang ayah. Lalu saat kembali sehat, dia malah menjadi bocah yang ceria seolah se
Memperhatikan wanita itu, Jun yakin bahwa Cosima tidak mirip dengan kakak iparnya di alam mimpinya. Shima Naomi. Sekilas, nama mereka terdengar serupa, namun tetap tidak sama.Bahkan wanita itu tidak memiliki perpaduan wajah antara Shima dan Eve. Cosi berbeda. Wajahnya benar sangat oriental. Kecantikan khas Asia.Sepasang mata yang sedikit sipit, hidung mancung kecil, kulit putih pucat tanpa bintik, tubuh lurus depan belakang, bahkan rambutnya lebat hitam pekat sebatas pundak. Dijalin rapi dengan menarik setiap ujung untuk dikuncir ditengah menggunakan jepit kecil berbentuk daun dan membiarkan sisanya tergerai, tanpa berantakan.Jika Shima dan Eve saja bisa sangat berbeda, apalagi Cosi yang jelas-jelas ada di antara mereka sebagai pemisah pasti.Rupanya Kun datang ke rumah sakit bersama istri dan anaknya. Dia sengaja membawa mereka untuk merayakan kembalinya Jun dari koma.Elmer tampak tidak lagi ragu mendekat pada sang paman. Bocah itu terlihat bahagia saat diminta oleh Jun untuk nai
“Bu, ini terlalu banyak.” Jun sebisa mungkin menghindari ucapan yang menyakiti ibunya. Sudah kekenyangan, sebenarnya. Namun Tiska menyodorkan ini dan itu. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara menolaknya, tapi tetap memaksa untuk menelan pelan-pelan.Jika itu dikatakan tekad, maka mungkin akhirnya Jun bisa punya keinginan kuat pertama setelah masa pemulihannya selesai.Dia begitu berharap mampu membahagiakan Tiska lewat cara apa pun. Sebab yang diingatnya, entah itu sebelum koma atau berada di dalam mimpi, rasanya hubungannya dengan ibunya cukup jauh.Bahkan dia jarang berkunjung dan lebih sering sibuk dengan dunianya sendiri.Namun yang didapatkannya justru sebaliknya. Selama dia koma, cuma ibunya yang ada di sisinya. Tidak terbayangkan bagaimana lelah fisik dan tertekannya batin sang ibu saat mengurusnya.Bahkan dokter terus mengatakan padanya di sesi pemeriksaan, bahwa ketika pihak rumah sakit hampir menyerah sebab tidak ada perkembangan apa pun pada Jun, Tiska adalah orang pertama ya
“Cosi!” Jun sudah tiba di anak tangga terbawah dan memanggil. Dia melihat bagaimana wanita itu berbalik, turun satu anak tangga dan panik saat tatapan mata mereka bertemu.“Siapa dia, Cosima?” Pria itu tidak lebih tinggi dari Jun, malah lebih pendek. Bahkan kalah tampan dari Kun, meski berkulit sangat putih, cenderung pucat.Pria Asia. Ya, serumpun dengan Cosi. Tapi mereka tidak serasi sama sekali.“Dia ....” Cosi ragu, sehingga dia melirik Jun yang masih menunggu di anak tangga terbawah.“Aku temannya. Bisa beri kami waktu untuk bicara sebentar?” Jun memutuskan untuk mengatakan kebohongan. Hanya demi menyelamatkan Cosi dari banyak pertanyaan.“Benar, Cosima?” Pria itu bahkan memiliki aksen yang kental.“Ya. Kau duluan saja. Aku akan bicara dengannya di bawah.”Pria itu tampak tidak rela, tapi mengiyakan setelah beberapa detik memperhatikan Jun.“Kau nyaman bicara di sini?” Jun memastikan mereka berada dibalik dinding tanpa karyawan Hong-J yang bisa melihat mereka, kecuali tadi si man
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid