“Bu, ini terlalu banyak.” Jun sebisa mungkin menghindari ucapan yang menyakiti ibunya. Sudah kekenyangan, sebenarnya. Namun Tiska menyodorkan ini dan itu. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara menolaknya, tapi tetap memaksa untuk menelan pelan-pelan.Jika itu dikatakan tekad, maka mungkin akhirnya Jun bisa punya keinginan kuat pertama setelah masa pemulihannya selesai.Dia begitu berharap mampu membahagiakan Tiska lewat cara apa pun. Sebab yang diingatnya, entah itu sebelum koma atau berada di dalam mimpi, rasanya hubungannya dengan ibunya cukup jauh.Bahkan dia jarang berkunjung dan lebih sering sibuk dengan dunianya sendiri.Namun yang didapatkannya justru sebaliknya. Selama dia koma, cuma ibunya yang ada di sisinya. Tidak terbayangkan bagaimana lelah fisik dan tertekannya batin sang ibu saat mengurusnya.Bahkan dokter terus mengatakan padanya di sesi pemeriksaan, bahwa ketika pihak rumah sakit hampir menyerah sebab tidak ada perkembangan apa pun pada Jun, Tiska adalah orang pertama ya
“Cosi!” Jun sudah tiba di anak tangga terbawah dan memanggil. Dia melihat bagaimana wanita itu berbalik, turun satu anak tangga dan panik saat tatapan mata mereka bertemu.“Siapa dia, Cosima?” Pria itu tidak lebih tinggi dari Jun, malah lebih pendek. Bahkan kalah tampan dari Kun, meski berkulit sangat putih, cenderung pucat.Pria Asia. Ya, serumpun dengan Cosi. Tapi mereka tidak serasi sama sekali.“Dia ....” Cosi ragu, sehingga dia melirik Jun yang masih menunggu di anak tangga terbawah.“Aku temannya. Bisa beri kami waktu untuk bicara sebentar?” Jun memutuskan untuk mengatakan kebohongan. Hanya demi menyelamatkan Cosi dari banyak pertanyaan.“Benar, Cosima?” Pria itu bahkan memiliki aksen yang kental.“Ya. Kau duluan saja. Aku akan bicara dengannya di bawah.”Pria itu tampak tidak rela, tapi mengiyakan setelah beberapa detik memperhatikan Jun.“Kau nyaman bicara di sini?” Jun memastikan mereka berada dibalik dinding tanpa karyawan Hong-J yang bisa melihat mereka, kecuali tadi si man
“Ibumu tahu bahwa kakakmu mengalami kondisi serius setelah kecelakaan.”Apa hubungannya dengan rumah dipinggir pantai ini? Jun bingung sendiri. Namun dia pikir, dia harus mendengarkan mereka yang mengingat semua hal, dibandingkan dia yang nyaris tidak ingat apa pun selain memori yang telah ada saat terbangun dari koma.“Kondisi apa? Maksudnya apa, Cosi?” Mata Jun memperhatikan Cosi yang sedang menggantungkan mantel ke tiang gantungan dipinggir jendela. Langit sepenuhnya gelap, tapi rumah ini terang di bawah kerlap-kerlip lampu.Ada kelelahan terpancar jelas dari wajah cantik Cosi yang matanya selalu terlihat menyipit, daripada melebar. Senyumnya tidak lepas seperti yang pernah Jun lihat sejauh ini.Lebih tepatnya, Cosi itu seperti wanita pemurung.“Kun tidak bisa kembali normal setelah kecelakaan yang menimpa kalian setahun lalu.” Cosi menyandarkan pinggulnya ke jendela besar yang langsung menghadap ke pantai. “Ibumu jadi orang pertama yang tahu tentang hal itu.”“Tidak bisa kembali n
Kepedihan dari suara yang keluar dari mulut Cosi, jelas bukan hinaan untuk suaminya. Justru wanita itu merasa bersalah karena tidak dapat membantu dalam bentuk apa pun.“Bersikaplah di depan Kun seakan kau tidak mengetahuinya, Jun.”“Ya. Akan kulakukan.” Tidak jelas bagaimana Jun harus bersikap, tapi pasti dia wajib tutup mulut.Dia hanya masih terkejut sampai tidak dapat berpikir jernih pada kenyataan yang datang bertubi-tubi.Kun mengalami disfungsi ereksi. Di luar perkiraan. Sama sekali tidak terpikirkan akan terjadi hal-hal seperti itu, ketika dia malah berpikir fokus pada kondisi anggota tubuh Kun yang lain.Sedikit banyak, Jun merasa bersalah. Meski dia tidak ingat letak pasti kesalahannya di bagian mana, tapi menurut cerita ibunya, dia yang meminta Kun untuk datang menjemputnya hari itu.“Bagaimana caraku menebus kesalahanku, Cosi?”Cosi tersentak dengan pertanyaan Jun yang nyaris ditanyakan oleh pria itu seolah hanya pada diri sendiri.“Jun, kau tidak bersalah. Itu bukan salah
“Tempat ini diberikan ibu sebagai hadiah. Agar aku punya ruang untuk melampiaskan kesedihan.”Jun kembali fokus mendengarkan. Ibunya memang seperhatian itu, sepertinya.“Rumah ini milik ayahmu, awalnya. Diberikan pada ibumu sebagai hadiah pernikahan, lalu diturunkan padaku yang cuma menantunya. Aku ... tidak bisa menerimanya, Jun. Namun ibu bersikeras agar aku mau menerimanya. Jadi kupikir, ini akan berakhir diturunkan pada El atau kukembalikan padamu.”“Berikan pada El. Saat dewasa, dia pasti butuh tempat seperti ini pada akhir pekan.” Jun coba melucu walau dasarnya tetap serius. Dia mulai merasa tidak nyaman, sebab malam kian larut dan sepi.“Ide bagus.” Bisa-bisanya Cosi tidak tertawa, walau memang candaan Jun tidak lucu sama sekali, tapi setidaknya, pria itu sudah berusaha.“Kita kembali?”“Kau bosan di sini?” Cosi menanggapi dengan berbeda.“Bukan. Ini sudah larut. Kupikir kita sebaiknya pulang. Angin malam di sekitar pantai tidak baik untukmu.”“Ah, ya.” Cosi setuju dengan seger
Ada senyum geli yang disembunyikan oleh Cosi. Dia merasa beruntung bahwa sekarang hubungan mereka punya perkembangan yang bagus.Tidak, tidak. Dia tidak mengharap apa pun. Bukan berpikir mereka harus punya hubungan melebihi kakak dan adik ipar.“Kau tidak melecehkanku, tapi cuma menyentuhku dalam tidurmu.”“Apa?” Seakan ditampar begitu keras, Jun sampai merasakan telinganya berdenging karena pengakuan Cosi.Cosi terbahak-bahak oleh tawanya sendiri. Tidak keberatan andai dia cuma tergelak secara sepihak dengan raut tampan Jun yang berubah bingung, tampak bodoh.“Aku menipumu, Jun. Reaksimu jelek,” balas Cosi. Tentu ini untuk yang tadi. Ada kalanya balasan bukan berarti harus sesuatu yang berbau dendam, tadi itu cuma sedikit bersenang-senang. Lama rasanya dia tidak mendapatkannya dari sang suami.Apa cinta mereka mulai hambar? Tidak. Cosi tidak setuju soal itu. Dia masih sangat mencintai suaminya. Sampai detik ini.Jun membuang napas lega bahwa tidak sekalipun dia berani menyentuh Cosi,
“Dari dulu, aku tidak pernah keberatan untuk apa pun keinginan Anda, Pak Jun.” Senyum Fla masih seperti tadi, tidak berkurang, malah lebih lebar.Saat Jun ingin mengatakan bahwa dia berniat melakukan beberapa perubahan di kantor, Cosi muncul dengan tiba-tiba.“Jun, ayo pulang. Aku harus ke kantor dalam tiga puluh menit jika tidak ingin terlambat.”“Pak Jun akan pulang bersamaku, Bu.” Sangat sopan, Fla mengatakannya tanpa bertanya dulu pada Jun. Dia berinisiatif sendiri. Akan cocok bila dia dan Jun bersama, karena status mereka yang atasan dan bawahan. Sementara sangat tidak pantas jika kakak ipar perempuan terus menempel pada adik ipar laki-laki. Menurut Fla begitu.“Begitu, Jun?” Tidak serta merta langsung percaya, Cosi menatap Jun tanpa ekspresi apa pun yang bisa dimaknai oleh adik iparnya itu. Dia butuh jawaban.“Ya. Ada beberapa hal yang masih perlu kubicarakan dengan manajer Fla.” Membenarkan, Jun bukan sekedar ingin bicara, tapi dia merasa tidak nyaman jika sampai orang rumah me
Cosi menangis tanpa suara. Air matanya benar-benar membanjiri pipinya. Dia merasa bersalah. Tidak sekalipun menyalahkan Jun, apalagi Kun, karena telah jadi begini.“Cosi, tolong lakukan. Jangan buat aku semakin merasa bersalah padamu. Kita bisa buat aturan yang akan kita sepakati bersama. Harus adil. Ketiga belah pihak tak boleh merugi. Jika rugi, semua harus mendapat satu sama. Bagaimana?” Kun masih tetap tidak berhenti membujuk. Rasanya aneh, memang ini gila, tapi baginya lebih baik begini daripada bercerai atau membiarkan Cosi diam-diam melakukan seks dengan pria di luaran sana atau pria bayaran yang tidak jelas.Di sini, ada Jun yang tanpa berat hati bersedia menggantikan perannya, menutup rahasia dan ikut aturan mereka berdua.Kun tahu bahwa meski Cosi bersikeras akan menahan diri dan tidak jatuh ke rayuan di luar sana, tapi dia ragu. Setahun tidak disentuh, sementara Cosi hampir setiap hari berinteraksi di kantor dengan rekan pria, tidak serta merta meredam hasrat normalnya begi
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid