Shima menoleh terkejut saat melihat adiknya Kun, Jun Hongli, sudah berada dibelakangnya.
Apa yang dikatakannya tadi?
“Kau sudah pulang?” Basa-basi Shima hanya untuk mengalihkan pertanyaan Jun yang sepertinya aneh. Dia ingat bahwa pria ini tinggal bersama kakaknya. Jadi tidak aneh melihatnya berkeliaran di rumah Kun.
“Aku ada di rumah sejak tadi.” Jun tersenyum, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Shima. “Tawaranku masih berlaku. Kau tidak mau menerimanya?”
Shima menjauhkan diri dari bisikan Jun, walau menggunakan cara yang halus.
Perlahan, dia sudah berada sedikit berjarak dari tempat Jun berdiri saat ini.
Tidak begitu terlihat. Hanya sekilas pandang, Shima mengenal Jun di pesta pernikahannya dengan Kun.
Pria itu datang terlambat, karena baru saja kembali dari luar negeri.
Kun bahkan tidak sempat memperkenalkan Shima pada Jun. Shima tahu bahwa Jun itu adiknya Kun, dari pemberitahuan ibu mertuanya.
“Dia putra kedua sekaligus anak bungsu di keluarga kami. Mungkin dia terlihat sedikit menyebalkan, tapi kepeduliannya terhadap keluarga patut dibanggakan.”
Hanya itu dan cuma itu perkenalan Shima dengan si adik ipar. Ibu mertua juga tidak sempat memberitahu apa pun lagi padanya, karena tamu terus berdatangan untuk mengucapkan selamat dan rasa heran.
“Tawaran apa?” Shima tidak pura-pura bodoh. Dia memang tidak yakin dengan apa yang tadi ditawarkan oleh Jun padanya. Mungkin itu hanya candaan selamat datang untuk anggota keluarga baru.
Jun tersenyum lebar. Senyum yang menyiratkan banyak makna. Apa yang menjadi milik Kun, akan selalu menjadi miliknya juga, bukan?
Dari dulu seperti itu. Hanya saja, Jun tidak tertarik pada milik Kun yang sebelumnya. Elia Eve. Gadis yatim piatu yang tidak menarik minatnya sama sekali.
Bukan karena statusnya, tapi memang tidak tertarik. Itu saja.
Jadi, dia tidak akan mengganggu wanita itu, sampai kapan pun. Kecuali, yang satu ini. Dilihat dari sisi mana pun, Jun menginginkannya jauh lebih besar daripada para wanita yang biasa merangkak ke tempat tidurnya.
Alasannya? Karena Shima terlihat tidak tertarik padanya. Satu-satunya hal yang membuatnya semakin tertantang. Memastikan bahwa kakak iparnya itu tidak tertarik padanya atau hanya berpura-pura tidak tertarik. Dia bertekad tidak akan berhenti sebelum menemukan jawabannya.
Karena biasanya, siapa pun wanita yang melihat wajahnya, pasti tidak akan memalingkan pandangan darinya. Bahkan pada pertemuan pertama sekali pun. Tapi itu tidak berlaku untuk seorang Shima Naomi yang ketika pertama kali melihatnya, cuma sekedar melihat, lalu memalingkan wajah ke arah lain. Seolah pria setampan dan semenarik Jun Hongli hanya pajangan tua yang tidak menarik sama sekali di mata Shima.
“Kau tidak akan mendapatkan malam pertamamu dari Kun, bukan?”
Jantung Shima berdetak lebih keras saat mendengar ucapan Jun yang di luar dugaannya. Itu fakta. Benar adanya.
Tapi, dari mana Jun tahu tentang hal itu? Padahal, Kun sampai sengaja mengharuskan mereka berdua tidur sekamar karena berniat merahasiakan hal ini dari adiknya.
“Kau juga takut pernikahan palsu kalian ini diketahui oleh ayahmu, bukan?”
Lagi. Lagi-lagi benar.
“Apa Kun yang memberitahumu?”
Jun menggeleng dengan senyum manis berisi racun dari dewa iblis. “Tidak. Dia bahkan tidak tahu jika aku sudah mengetahui rahasia kalian.”
Tercengang, Shima mulai merasakan hawa tidak menyenangkan. Seakan sesuatu bisa terjadi karena pengaruh mulut pria di depannya ini. Keringat dingin merambat lambat di punggungnya. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana, sebab sejauh ini dia merasa yakin semua akan berjalan baik-baik saja.
“Aku akan bersikap pura-pura tidak tahu, jika kau bersedia menghabiskan malam pertamamu bersamaku. Bagaimana? Tawaran ini menarik sekali. Coba lah.” Bagai setan penggoda dengan rupa yang menawan, Jun menaikturunkan alisnya.
“Kau bercanda?” Shima nyaris darah tinggi. Dia berusaha menahan diri andai bisa jika Jun menarik ucapannya. Bersikap hanya sekedar bermain-main atau mengujinya sebagai kakak ipar. Istri dari Kun.
“Tidak. Lihat aku, Shima Naomi. Di mana dari diriku yang kau lihat bercanda?” Jun maju. Membuat jarak di antara mereka lenyap dalam sekejap, ketika wajah mereka saling tatap.
Shima tidak bisa mundur. Dibelakangnya itu pintu kamar yang tertutup rapat. Punggungnya berakhir bersandar di sana.
“Jangan banyak berpikir. Kun tidak akan pernah menyentuhmu, Shima. Terlepas itu ada dalam perjanjian kalian atau tidak, hati dan tubuh kakakku hanya untuk Elia Eve seorang. Dia akan terus mengecewakanmu seperti malam ini.”
Jun membuka pintu kamar kakaknya, beruntung Shima tidak terjatuh karena sedang bersandar di sana. Lalu masuk tanpa menunggu. “Ayo, cepat masuk. Biar kutunjukkan padamu bagaimana malam pertama yang luar biasa untukmu. Jangan khawatir. Kun tidak akan kembali sebelum pagi.”
Dorongan kebencian terhadap Jun, tidak melebihi rasa kecewanya terhadap Kun.
Kecewa? Ya. Shima teramat kecewa. Seharusnya, jika tidak mendapatkan nafkah batin bahkan melewati malam pertama yang sudah seharusnya, setidaknya, Kun tidak meninggalkannya begitu saja demi wanita lain.
Memang tidak harus. Tapi itu sikap untuk saling menghargai satu sama lain, bukan? Shima merasa sangat tidak adil. Keberadaan dirinya sebagai seorang istri sangat tidak dihargai.
Menimang, memilih dan memutuskan. Shima butuh hampir dua puluh menit untuk menyatakan suara hatinya pada Jun.
Menghabiskan malam pertama Shima bersama Jun. Shima menyetujuinya.
*****
Shima berusaha tidak canggung, saat harus berada di satu meja makan bersama Jun dan Kun suatu pagi.
Ini sudah beberapa hari berlalu. Shima baru kembali bertemu Jun pagi ini, setelah tiga hari tidak melihat pria itu di rumah. Dan selama tiga hari itu juga, Kun tidur di ruang kerjanya. Karena hanya ada mereka berdua di rumah, tidak ada rahasia yang perlu dijaga.
“Aku akan terlambat pulang hari ini.” Kun membuka percakapan. Bertingkah seolah dirinya memang suami yang baik, yang terbiasa memberitahu jadwal kegiatannya pada sang istri.
“Ada pekerjaan yang harus kukerjakan sampai selesai,” tambahnya lagi.
Hal pertama yang dilakukan Shima adalah melirik Jun. Penasaran pada reaksi adik iparnya akan pemberitahuan dari Kun.
Tenang. Seolah tidak mendengar, Jun sibuk memotong sandwich-nya menggunakan pisau. Tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu akan peduli.
“Shima?” panggil Kun. Dia merasa Shima sedang melamun dan tidak mendengar perkataannya.
“Ya?”
“Kau baik-baik saja? Ada masalah?”
“Oh, Tidak. Aku hanya sedang memikirkan rencana untuk berkunjung ke rumah ayah setelah pulang kerja.” Karena bisa bahaya jika hanya ada Shima dan Jun di rumah. Shima tersenyum pada Kun, sementara pria itu ikut tersenyum lembut padanya.
“Andai dia jatuh cinta padaku, ah tidak. Jatuh cinta itu terlalu jauh. Maksudku, andai dia bisa sedikit saja tertarik padaku, pasti aku tidak akan menghabiskan malam pertamaku dengan adiknya.” Berandai-andai dalam hati, Shima terus menatap Kun yang kini sibuk dengan semangkuk serealnya.
Pria tampan, sopan, sempurna. Tidak ada harapan yang bisa membangkitkan semangat Shima untuk tetap bertahan. Namun lucu sekali rasanya, jika mengingat bahkan ini baru beberapa hari setelah upacara pernikahan mereka.
“Kau pikir, boleh kau bersikap seperti itu di depanku?” cegat Jun di depan pintu depan, saat Shima akan keluar rumah. Sementara Kun sudah berangkat kerja lebih dulu.
“Bersikap seperti apa?” Shima menepis lengan Jun yang terentang dari sisi pintu ke sisi lainnya. Pria itu jadi penguasa pintu.
“Menatapku diam-diam di depan kakakku. Itu tatapan menginginkan, Shima. Pandangan yang mengundang gairah.” Jun tersenyum. Mengikuti Shima hingga keluar pagar rumah. “Biar kuantar kau sampai ke kantor.”
“Tidak perlu.”
“Aku memaksa.”
Betapa pun ingin marah, Shima tahu bahwa saat ini saja dia sudah terlambat lima belas menit. Shima memutuskan untuk ikut, karena Kun tidak menawarinya tumpangan ketika pria itu meninggalkan meja makan.
Selama dalam perjalanan, Shima merasa lega karena Jun tidak mengajaknya bicara atau menatapnya dengan mata seolah lapar.
Tiba di depan kantor kecilnya yang mulai sepi, karena semua karyawannya sudah masuk ke dalam, Jun menahan lengan Shima.
“Cium aku dulu.” Setengah tubuh dan wajah Jun sudah mendekat ke arah Shima yang belum beranjak dari sana. “Ayo, cepat. Selagi tidak ada orang di sini.”
Shima menelan kecemasan. Dia tidak yakin bisa menolak, karena sebelumnya, untuk hal yang lebih besar dari sekedar ciuman saja, dia tidak kuasa membantah.
“Oke, tapi hanya satu kali.”
Kepala Jun mengangguk.
Shima merasa sedikit lega karena itu artinya, dia cukup mengecup pipi adik iparnya sekilas saja. “Pejamkan matamu kalau begitu.”
Jun sedang mengingat momen pagi tadi ketika Shima berhasil menipunya dengan cuma mencium pipinya sekilas, bukan bibirnya.Tertawa geli, Jun tidak menyangka ada wanita yang tidak menginginkan bibirnya.Tawanya terhenti, ketika tiba-tiba saja Nasco muncul ke ruangannya dan berbisik.“Kau gila, ya? Targetmu selanjutnya itu, kakak iparmu?”“Mm-hm,” angguk Jun. “Gila apanya?” Sekarang dia tertawa lagi. Mengingat wajah Shima yang memerah malu sebelum membanting pintu mobilnya.“Tentu saja gila. Jika dia berhasil termakan bujuk rayumu, kau siap bertanggung jawab?” Nasco mengerutkan kening. Dia cuma tahu bahwa Jun tertarik pada kakak iparnya. Tidak diberitahu jika pernikahan Kun dan Shima itu palsu.Tentang kebenaran akan hal itu, Jun cuma ingin menyimpannya seorang diri.“Bahkan jika dia hamil, aku siap menikahinya.”“Apa? Kau gila, hah? Sejak kapan kau membiarkan ada wanita yang mengandung benih darimu?”Jun tertawa lagi. “Sejak mengenal Shima Naomi.” Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Nas
Alaric melintasi dapur untuk mencapai ruang makan, ketika mendengar suara putrinya dari ruangan itu.“Hei, mau apa kau?”Dia melihat Shima yang mundur beberapa langkah dari gerakan Jun yang semakin maju ke arah putri tunggalnya itu.“Ada bulu mata jatuh di pipimu, Kakak ipar.” Jun bersikap tenang. Meski tidak tahu bahwa ayahnya Shima sedang mengintai kegiatan mereka. Dia memang butuh kepercayaan pria itu untuk bisa bebas bergerak di rumah ini. Meski itu, nanti. Belum sekarang. Pelan, tapi pasti.“O-oh.” Shima gugup. Terbaca oleh Alaric sebagai sesuatu yang lucu.“Kenapa putriku itu canggung sekali pada adik iparnya? Padahal Jun itu pria baik. Walau menantuku pun tidak kalah sopan dan tampan dari adiknya.” Setelah berspekulasi sendiri di dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Alaric pergi ke ruang makan.Mereka makan malam bersama. Bahkan Alaric melarang Jun untuk pulang.“Menginap saja. Kamar di rumahku banyak.” Alaric bukan pamer, dia benar-benar berharap rumahnya kembali
Shima mengangguk kuat-kuat, karena tahu Jun pasti tidak bisa melihatnya, tapi ada sedikit cahaya masuk dari jendela di ujung lorong. Melepas bekapan tangannya, Jun menyeret Shima ke kamarnya. “Kenapa ke sini?” “Ssst. Jangan berisik, Shima. Aku merasa ada orang yang berniat menyelinap masuk ke rumah ini.” Mata Shima membulat terkejut. Sebelumnya, walau sudah bertahun-tahun berlalu, kejadian serupa pernah terjadi. Tapi waktu itu, ibunya masih ada. Ibunya, yang melindunginya dari para penyusup yang tidak dikenal saat mereka masuk ke rumah, ditengah malam seperti ini. Saat itu, Alaric Domina tidak ada di tempat. Dia masih dalam perjalanan pulang dari melayat salah satu rekannya yang terkena tembakan salah sasaran. “Jangan bercanda.” Shima memasang raut marah dengan begitu serius. Untuk hal seperti ini, dia tidak bisa diajak main-main. Trauma atas kematian ibunya masih sangat jelas dirasakannya sampai detik ini. Bahkan kedua tangannya kembali bergetar karena begitu ketakutan. Jun men
Alaric kembali ke rumahnya dengan keadaan ruang kerjanya yang berantakan.Tidak peduli, yang ingin dia pastikan tentu saja keadaan putrinya.Alaric melihat Shima dan Jun berdiri di lorong. Sedang bicara dengan seorang pria asing. Yang jelas, bukan salah satu dari musuhnya.“Shima,” panggil Alaric. Dia berjalan menghampiri putrinya dengan tergesa.“Ayah!” Saat melihat Alaric, Shima berlari meski kedua lututnya masih lemas.Shima menumpahkan rasa takutnya dengan memeluk sang ayah.“Kau baik-baik saja. Tidak apa-apa. Semua sudah aman.” Alaric menenangkan. Dia punya firasat, bahwa kejadian ini akan terulang kembali dan membangkitkan kenangan menyakitkan untuk Shima.“Apa Ayah juga baik-baik saja?” Melepas pelukan, dia menatap Alaric yang berwajah pucat.“Tentu saja.” Sekarang, tatapan Alaric Domina tertuju pada Jun. “Nak, bisakah kau membawa pulang Shima bersamamu?”“Bisa, Ayah.” Jun mengangguk, lalu memberi isyarat agar temannya itu segera pergi dari hadapannya.“Ayah, kenapa aku harus p
Eve menunggu sambil memeriksa ponselnya. Menanti dengan tidak tenang karena yang ditunggu belum kunjung tiba.[Kau sungguh tidak akan datang?]Berselang dua puluh menit, ketika Eve bahkan sudah lelah menanti, yang ditunggu sejak tadi akhirnya muncul juga.“Maaf. Sudah lama?”“Nyaris saja aku pergi.” Berwajah sedih, Eve menatap Kun dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca.“Maafkan aku.”Eve menghela napas. “Jangan terus meminta maaf, Kun.”Kun bermaksud meraih tangan Eve untuk dia genggam seperti biasanya, tapi tiba-tiba hatinya menolak. Menolak agar jangan melakukan lagi hal seperti itu.Bukan karena kini Kun yang sudah menikah dengan wanita lain, tapi sungguh dia tidak ingin membuat Eve dalam keadaan yang sulit.Sulit dalam artian, jika sampai hal ini terendus oleh Mun Kamli—ayah Kun dan Jun—maka tamat lah riwayat mereka. Kun tidak ingin menyeret Eve ke dalam masalah yang lebih besar, apalagi jika itu melibatkan ayahnya.Mun Kamli adalah seorang kepala divisi di sebuah perusahaan te
Kun pulang ke rumah setelah mengantarkan Eve. Mun Kamli sudah menunggunya di ruang keluarga. Duduk tenang di sana, sambil membaca koran. Ada dua cangkir teh yang telah disiapkan Shima untuk mereka. Masih panas. Asap yang menguap dari permukaan cangkir-cangkir itu, terlihat dari jarak Kun berdiri saat ini di ambang pintu.Mun Kamli tahu ada mata yang menatapnya. Menurunkan koran, dia menatap sekilas putra sulungnya dan mengangguk, isyarat bahwa Kun boleh mengganggu waktu membacanya.“Ya, Ayah?” Sapaan, bukan. Itu langsung inti dari pembicaraan. Kun mengatakan itu karena tahu, tadi ayahnya memperpendek waktu pembicaraan mereka ditelepon.“Kenapa menantuku dijemput oleh adikmu?”Tersentak. Kun tidak tahu akan hal itu. Pikirannya langsung kosong setiap kali terjebak oleh pertanyaan Mun Kamli yang tidak ada jawaban di kepalanya.Mun tahu bahwa Kun tidak punya jawabannya. Dia meneliti wajah putranya yang kebingungan.“Sesuatu terjadi di rumah ayah mertuamu. Pencurian. Kebetulan sekali adikmu
Jun menyembunyikan kekesalannya lewat sikap yang seolah tidak peduli, saat melihat Shima dan Kun keluar kamar bersama sambil mengobrol santai.“Tingkah mereka seperti pasangan sungguhan saja,” gerutu Jun. Berharap semoga Shima mendengar sindirannya barusan.Tentu saja tidak. Jarak mereka cukup jauh. Bahkan Shima tidak berpaling sedikit pun dari tatapannya pada Kun. Membuat perasaan Jun kian memanas. “Jun.” Kun menyapa, ketika dia dan Shima sampai tepat di sisi Jun yang tengah bersantai. Ada senyum singkat yang serasa tak enak, melihat raut wajah sang adik. “Bisa bicara sebentar?”“Tidak bisa di sini saja?”Kun merasai keengganan Jun yang terdengar jelas lewat suaranya.“Tidak masalah, kalau kau tidak keberatan didengar oleh selain kita.” Tentu maksud Kun itu, Shima.Jun bangkit dengan malas. Mendorong perasaan hatinya yang masih memanas karena ulah Kun dan Shima yang keluar kamar dengan wajah seolah terpuaskan.Tidak ada seks. Jun paham benar siapa itu Kun Yongli. Bahkan dia sudah tah
Alasan konyol!Karenina membutuhkan masukan dan arahan untuk presentasi senin di kantor.Minggu adalah hari peringatan kematian ayahnya, sehingga hanya hari ini dia memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri dan segala keperluan lainnya.Jun tidak dapat berkata apa-apa lagi, karena mereka satu tim dan Karenina menggunakan alasan ‘peringatan kematian sepuluh tahun ayah’-nya sebagai niat terencananya ke rumah ini.“Tunggu aku di halaman belakang.” Jun meminta kedua rekan kerjanya itu pergi lebih dulu, karena dia harus mengambil laptop di kamarnya.Sepeninggal Jun, Nasco dan Karenina bergerak menuju ke arah samping.“Oh, aku lupa memberikan buah dan puding yang kubawa.” Karenina sengaja melupakannya tadi dan baru mengingatnya sekarang.“Ya sudah, ambil lah.” Nasco berkata sambil lalu. Dia sibuk mengetik pesan untuk teman-teman di obrolan grupnya. “Nanti letakkan saja di ruang tamu.”“Oke.” Karenina melangkah cepat menuju garasi, mengambil bungkusan buah dan kotak puding di mobil Nasco,
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid