“Kun, maafkan aku. Aku tidak bisa menikah denganmu.” Elia Eve menundukkan kepalanya. Matanya tertuju hanya pada perutnya yang rata.
“Tolong jangan bercanda, Eve. Besok kita akan menikah. Semua sudah dipersiapkan. Kenapa tiba-tiba kau mengatakan omong kosong seperti ini?” Kun Yongli mencengkeram kedua pundak sang kekasih yang teramat dicintainya itu. Penuh rasa putus asa.
“Ini bukan omong kosong, Kun. Kenyataannya, aku sedang hamil tiga minggu.”
Seharusnya, itu kabar yang menggembirakan bagi mereka yang akan menikah. Tidak untuk Kun. Dia tidak pernah menyentuh Eve lebih dari sekedar pelukan dan ciuman. Sebaik dan sesopan itu lah dirinya terhadap wanita yang sangat dicintainya.
“Kau ... kau—”
“Aku melewati beberapa malam dengan rekan kerjaku saat kau melakukan perjalanan bisnis keluar kota.”
Kun menelan kepahitan kenyataan itu dengan tubuhnya yang nyaris goyah. Dia, pria berhati lembut yang selalu berusaha hidup lurus, termasuk dalam urusan percintaan, nyatanya dikhianati juga.
“Aku menyesal,” isak Eve. Dia terus menunduk. “Itu lah kenapa aku tidak ingin kita melangsungkan pernikahan ini. Aku tidak bisa membohongimu, terutama keluargamu. Maafkan aku, Kun. Meski pun begitu, sungguh, aku masih sangat mencintaimu.”
Eve berjalan pergi, tapi Kun menahan lengannya.
“Jangan memutuskan seenaknya,” geram Kun. “Aku tidak keberatan dengan keadaanmu. Kita tidak bisa membatalkan pernikahan ini begitu saja setelah semuanya sudah dipersiapkan. Pikirkan keluarga kita.”
“Keluarga?” Eve mendengus dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. “Kau lupa? Aku tidak memiliki keluarga. Mungkin, yang kau maksud dan yang kau cemaskan itu adalah keluargamu.”
Itu benar. Elia Eve tidak memiliki siapa pun di dunia ini, kecuali seorang Kun Yongli.
“Maaf, tapi aku tetap tidak bisa menikah denganmu, Kun. Lepaskan aku.” Menghempas tangan Kun dari lengannya, Eve berlari menjauh. Tidak lagi berniat menoleh ke belakang.
Kaki Kun terasa berat untuk menyusul. Masih sulit baginya untuk memahami kenyataan ini. Eve meninggalkannya? Setelah dua tahun bersama? Tidak akan menikah dengannya besok? Inikah kenyataannya?
“Kau berengsek, Bruno! Katamu kita akan menikah minggu ini? Kau menipuku?”
Teriakan seorang wanita, terdengar tidak jauh dari tempat Kun berdiri. Dia melihat sepasang kekasih sedang berdebat. Nyaris mirip dengan apa yang tengah dialaminya. Bedanya, mereka lebih berisik.
“Aku tidak lagi mencintaimu, Shima! Kau tuli? Sejak tadi sudah kuberitahu padamu tentang apa yang kurasakan. Kenapa kau tetap memaksaku menikahimu, hah?”
“Aku sudah berjanji pada ayahku untuk mengenalkan calon suamiku padanya malam ini. Atau jika tidak, aku pasti akan dijodohkan dengan anak dari pemilik peternakan sapi. Aku tidak mau!”
Pria bernama Bruno itu melotot marah pada lawan bicaranya. “Persetan dengan itu. Itu masalahmu. Urus saja sendiri. Aku tidak tertarik!” Tertawa penuh kedengkian, Bruno meninggalkan wanita itu seorang diri di sana.
Meledak penuh amarah, wanita itu melempar sneakers-nya ke arah punggung Bruno yang terus berjalan menjauh. Sayangnya, tidak tepat sasaran.
“Permisi, Nona.” Kun sudah berdiri tepat dibelakang si wanita yang terus mengumpat ditengah taman yang sepi. Karena sore ini mendung dan gerimis menghiasi langit, tidak ada banyak orang selain mereka di sana. Hanya beberapa. Dan orang-orang itu tidak peduli.
Wanita itu berbalik. Hal pertama yang disadarinya adalah, pria tampan. Berwajah muram dengan sorot mata yang seolah kehilangan semangat.
“Kau bicara padaku?”
Kun mengangguk. “Perkenalkan.” Dia mengulurkan tangan kanannya. “Aku Kun Yongli. Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ini penting.”
“Aku Shima Naomi.” Meski keheranan, Shima menyambut uluran tangan Kun. “Hal penting apa yang ingin kau bicarakan denganku?”
Setelah setengah akal sehatnya kembali, Kun mengatakan maksud dan tujuannya. Bagaimana dia terdesak dengan keadaan. Pesta pernikahan dengan segala persiapannya yang sudah selesai, terpampang di depan mata. Hanya ini satu-satunya cara yang terpikirkan olehnya. Menyelamatkan keluarganya dari rasa malu.
“Kita sepakat?” Kun sedikit ngeri dengan ajakannya. Sebelumnya, dia tidak pernah bertindak tanpa perhitungan seperti ini.
Kepala Shima mengangguk. Dia juga membutuhkan seorang pria yang bisa meyakinkan ayahnya, bahwa dia akan menikah dengan pria pilihan hatinya.
“Kau bisa menemui ayahku malam ini?” Shima tahu, dia sama konyolnya dengan si pria putus asa.
“Tentu saja. Kita sudah sepakat. Ayo, waktu tidak banyak. Kita perlu membahas perjanjian yang harus kita sepakati bersama.”
Mereka berdua sudah duduk berhadapan di sebuah kafe depan taman. Langit mendung dan gerimis deras sama sekali tidak mengganggu acara mereka dalam menulis kesepakatan bersama.
“Akan kubacakan. Ini point yang paling utama. Tidak ada nafkah batin, tapi kita tetap harus tidur sekamar karena adik laki-lakiku tinggal serumah denganku. Dia pun tidak boleh tahu tentang hal ini. Apa kau setuju?”
Shima Naomi mengangguk. “Aku setuju.”
Kun Yongli menarik dan menghembuskan napasnya dengan lelah. Ini sangat gila baginya. Menggantikan Eve dengan wanita asing, walau ini bukan pernikahan yang sesungguhnya.
“Silakan bacakan point utama milikmu, Shima Naomi.”
“Yang paling penting, pernikahan ini harus terlihat meyakinkan di depan ayahku. Sangat nyata, agar dia tidak mencurigaiku membayar pria sepertimu untuk menjadi suami bayaranku.”
Jika tidak sedang dalam kondisi panik dan binggung seperti ini, Kun mungkin akan tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan oleh Shima.
“Aku serius. Ayahku itu pria tua mengerikan.” Shima membulatkan matanya, seolah ayahnya itu memang benar-benar pria menakutkan. Dia tahu Kun seperti tidak mempercayai ucapannya.
“Oke. Aku bisa melakukannya. Lalu, yang ingin kutanyakan padamu ...” Kun menatap Shima yang serius mendengarkannya, “berapa lama pernikahan tidak sungguhan ini harus berlangsung?”
Keinginan jujur dalam hati Shima adalah selama mungkin. Dia tertarik pada Kun, bahkan sejak pertama kali melihat pria itu. Benar-benar pria yang menjadi idaman semua wanita.
“Setahun? Dua tahun?”
Sebenarnya, Kun keberatan. Itu terlalu lama. Tapi dia pikir, semua orang butuh waktu. Benar. Orang tuanya pun butuh yakin jika setahun ke depan nanti, mereka memang sebaiknya harus bercerai.
“Oke. Aku sepakat. Satu tahun lebih baik.” Kun menghela napas lega. Untuk saat ini, biarkan masalah pengganti Eve terselesaikan. Nasib baik memang. Dia tidak perlu membayar mahal wanita sembarang dijalanan untuk menggantikan tugas Eve.
Setidaknya, hubungan ini saling menguntungkan. Menyelamatkan kedua belah pihak.
“Jika ada lagi yang ingin kita sepakati, kau dan aku bisa membicarakannya dan mendiskusikan tentang hal itu sebelum kita tulis di surat perjanjiannya.”
Shima mengangguk. Berusaha yakin bahwa ini bukan mimpi.
“Untuk saat ini, cukup itu saja. Aku harus segera mempersiapkan diri untuk bertemu dengan ayahmu, bukan?” Kun melihat jam tangannya. Mereka harus cepat. Waktu terus berjalan tanpa menunggu siapa pun. “Jam berapa pertemuannya?”
Shima tersenyum. Tidak bermaksud membuat panik pria di depannya. “Sebelum jam makan malam.”
Itu artinya, empat puluh lima menit lagi.
*****
Kecurigaan para keluarga dan tamu bisa ditanggulangi dengan baik oleh pasangan pengantin baru. Walau masih akan selalu ada yang tidak bisa percaya dengan mereka berdua.
Sandiwara Shima dan Kun sungguh sempurna.
Malam ini, seharusnya jadi malam yang indah. Harusnya. Tapi, Shima sadar akan perjanjian mereka yang tidak boleh ada nafkah batin yang bisa dia minta sesuka hati pada suami sahnya.
Harapan. Itu pasti tumbuh di dalam hati Shima. Dia berharap, walau hanya kali ini saja, agar Kun bersedia bercinta dengannya. Menghabiskan malam pertama mereka layaknya pasangan pengantin baru. Karena tidak ada cuti libur untuk bulan madu, setidaknya, libur bekerja dua hari bisa mereka pergunakan untuk membangun hubungan yang baik satu sama lain.
Tapi sialnya, dia hanya bisa menghela napas ketika Kun berlari secepat angin, saat seorang wanita meneleponnya.
Wanita yang meninggalkan Kun di saat seharusnya mereka mengucap janji setia sehidup semati bersama. Elia Eve merindukan Kun dan berharap pria itu datang menemuinya malam ini.
Shima ditinggalkan oleh suaminya di malam pertamanya.
Kecewa? Sangat. Meski kecewa pun seolah dilarang di antara mereka, tapi Shima sungguh kecewa malam ini. Jauh di dalam hatinya, dia sungguh berharap, Kun bersedia menganggap keberadaannya ssebagai seorang istri.
“Mau kuberikan malam pertama yang tidak terlupakan untukmu?”
Shima menoleh terkejut saat melihat adiknya Kun, Jun Hongli, sudah berada dibelakangnya.Apa yang dikatakannya tadi?“Kau sudah pulang?” Basa-basi Shima hanya untuk mengalihkan pertanyaan Jun yang sepertinya aneh. Dia ingat bahwa pria ini tinggal bersama kakaknya. Jadi tidak aneh melihatnya berkeliaran di rumah Kun.“Aku ada di rumah sejak tadi.” Jun tersenyum, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Shima. “Tawaranku masih berlaku. Kau tidak mau menerimanya?”Shima menjauhkan diri dari bisikan Jun, walau menggunakan cara yang halus.Perlahan, dia sudah berada sedikit berjarak dari tempat Jun berdiri saat ini.Tidak begitu terlihat. Hanya sekilas pandang, Shima mengenal Jun di pesta pernikahannya dengan Kun.Pria itu datang terlambat, karena baru saja kembali dari luar negeri.Kun bahkan tidak sempat memperkenalkan Shima pada Jun. Shima tahu bahwa Jun itu adiknya Kun, dari pemberitahuan ibu mertuanya.“Dia putra kedua sekaligus anak bungsu di keluarga kami. Mungkin dia terlihat sedikit
Jun sedang mengingat momen pagi tadi ketika Shima berhasil menipunya dengan cuma mencium pipinya sekilas, bukan bibirnya.Tertawa geli, Jun tidak menyangka ada wanita yang tidak menginginkan bibirnya.Tawanya terhenti, ketika tiba-tiba saja Nasco muncul ke ruangannya dan berbisik.“Kau gila, ya? Targetmu selanjutnya itu, kakak iparmu?”“Mm-hm,” angguk Jun. “Gila apanya?” Sekarang dia tertawa lagi. Mengingat wajah Shima yang memerah malu sebelum membanting pintu mobilnya.“Tentu saja gila. Jika dia berhasil termakan bujuk rayumu, kau siap bertanggung jawab?” Nasco mengerutkan kening. Dia cuma tahu bahwa Jun tertarik pada kakak iparnya. Tidak diberitahu jika pernikahan Kun dan Shima itu palsu.Tentang kebenaran akan hal itu, Jun cuma ingin menyimpannya seorang diri.“Bahkan jika dia hamil, aku siap menikahinya.”“Apa? Kau gila, hah? Sejak kapan kau membiarkan ada wanita yang mengandung benih darimu?”Jun tertawa lagi. “Sejak mengenal Shima Naomi.” Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Nas
Alaric melintasi dapur untuk mencapai ruang makan, ketika mendengar suara putrinya dari ruangan itu.“Hei, mau apa kau?”Dia melihat Shima yang mundur beberapa langkah dari gerakan Jun yang semakin maju ke arah putri tunggalnya itu.“Ada bulu mata jatuh di pipimu, Kakak ipar.” Jun bersikap tenang. Meski tidak tahu bahwa ayahnya Shima sedang mengintai kegiatan mereka. Dia memang butuh kepercayaan pria itu untuk bisa bebas bergerak di rumah ini. Meski itu, nanti. Belum sekarang. Pelan, tapi pasti.“O-oh.” Shima gugup. Terbaca oleh Alaric sebagai sesuatu yang lucu.“Kenapa putriku itu canggung sekali pada adik iparnya? Padahal Jun itu pria baik. Walau menantuku pun tidak kalah sopan dan tampan dari adiknya.” Setelah berspekulasi sendiri di dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Alaric pergi ke ruang makan.Mereka makan malam bersama. Bahkan Alaric melarang Jun untuk pulang.“Menginap saja. Kamar di rumahku banyak.” Alaric bukan pamer, dia benar-benar berharap rumahnya kembali
Shima mengangguk kuat-kuat, karena tahu Jun pasti tidak bisa melihatnya, tapi ada sedikit cahaya masuk dari jendela di ujung lorong. Melepas bekapan tangannya, Jun menyeret Shima ke kamarnya. “Kenapa ke sini?” “Ssst. Jangan berisik, Shima. Aku merasa ada orang yang berniat menyelinap masuk ke rumah ini.” Mata Shima membulat terkejut. Sebelumnya, walau sudah bertahun-tahun berlalu, kejadian serupa pernah terjadi. Tapi waktu itu, ibunya masih ada. Ibunya, yang melindunginya dari para penyusup yang tidak dikenal saat mereka masuk ke rumah, ditengah malam seperti ini. Saat itu, Alaric Domina tidak ada di tempat. Dia masih dalam perjalanan pulang dari melayat salah satu rekannya yang terkena tembakan salah sasaran. “Jangan bercanda.” Shima memasang raut marah dengan begitu serius. Untuk hal seperti ini, dia tidak bisa diajak main-main. Trauma atas kematian ibunya masih sangat jelas dirasakannya sampai detik ini. Bahkan kedua tangannya kembali bergetar karena begitu ketakutan. Jun men
Alaric kembali ke rumahnya dengan keadaan ruang kerjanya yang berantakan.Tidak peduli, yang ingin dia pastikan tentu saja keadaan putrinya.Alaric melihat Shima dan Jun berdiri di lorong. Sedang bicara dengan seorang pria asing. Yang jelas, bukan salah satu dari musuhnya.“Shima,” panggil Alaric. Dia berjalan menghampiri putrinya dengan tergesa.“Ayah!” Saat melihat Alaric, Shima berlari meski kedua lututnya masih lemas.Shima menumpahkan rasa takutnya dengan memeluk sang ayah.“Kau baik-baik saja. Tidak apa-apa. Semua sudah aman.” Alaric menenangkan. Dia punya firasat, bahwa kejadian ini akan terulang kembali dan membangkitkan kenangan menyakitkan untuk Shima.“Apa Ayah juga baik-baik saja?” Melepas pelukan, dia menatap Alaric yang berwajah pucat.“Tentu saja.” Sekarang, tatapan Alaric Domina tertuju pada Jun. “Nak, bisakah kau membawa pulang Shima bersamamu?”“Bisa, Ayah.” Jun mengangguk, lalu memberi isyarat agar temannya itu segera pergi dari hadapannya.“Ayah, kenapa aku harus p
Eve menunggu sambil memeriksa ponselnya. Menanti dengan tidak tenang karena yang ditunggu belum kunjung tiba.[Kau sungguh tidak akan datang?]Berselang dua puluh menit, ketika Eve bahkan sudah lelah menanti, yang ditunggu sejak tadi akhirnya muncul juga.“Maaf. Sudah lama?”“Nyaris saja aku pergi.” Berwajah sedih, Eve menatap Kun dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca.“Maafkan aku.”Eve menghela napas. “Jangan terus meminta maaf, Kun.”Kun bermaksud meraih tangan Eve untuk dia genggam seperti biasanya, tapi tiba-tiba hatinya menolak. Menolak agar jangan melakukan lagi hal seperti itu.Bukan karena kini Kun yang sudah menikah dengan wanita lain, tapi sungguh dia tidak ingin membuat Eve dalam keadaan yang sulit.Sulit dalam artian, jika sampai hal ini terendus oleh Mun Kamli—ayah Kun dan Jun—maka tamat lah riwayat mereka. Kun tidak ingin menyeret Eve ke dalam masalah yang lebih besar, apalagi jika itu melibatkan ayahnya.Mun Kamli adalah seorang kepala divisi di sebuah perusahaan te
Kun pulang ke rumah setelah mengantarkan Eve. Mun Kamli sudah menunggunya di ruang keluarga. Duduk tenang di sana, sambil membaca koran. Ada dua cangkir teh yang telah disiapkan Shima untuk mereka. Masih panas. Asap yang menguap dari permukaan cangkir-cangkir itu, terlihat dari jarak Kun berdiri saat ini di ambang pintu.Mun Kamli tahu ada mata yang menatapnya. Menurunkan koran, dia menatap sekilas putra sulungnya dan mengangguk, isyarat bahwa Kun boleh mengganggu waktu membacanya.“Ya, Ayah?” Sapaan, bukan. Itu langsung inti dari pembicaraan. Kun mengatakan itu karena tahu, tadi ayahnya memperpendek waktu pembicaraan mereka ditelepon.“Kenapa menantuku dijemput oleh adikmu?”Tersentak. Kun tidak tahu akan hal itu. Pikirannya langsung kosong setiap kali terjebak oleh pertanyaan Mun Kamli yang tidak ada jawaban di kepalanya.Mun tahu bahwa Kun tidak punya jawabannya. Dia meneliti wajah putranya yang kebingungan.“Sesuatu terjadi di rumah ayah mertuamu. Pencurian. Kebetulan sekali adikmu
Jun menyembunyikan kekesalannya lewat sikap yang seolah tidak peduli, saat melihat Shima dan Kun keluar kamar bersama sambil mengobrol santai.“Tingkah mereka seperti pasangan sungguhan saja,” gerutu Jun. Berharap semoga Shima mendengar sindirannya barusan.Tentu saja tidak. Jarak mereka cukup jauh. Bahkan Shima tidak berpaling sedikit pun dari tatapannya pada Kun. Membuat perasaan Jun kian memanas. “Jun.” Kun menyapa, ketika dia dan Shima sampai tepat di sisi Jun yang tengah bersantai. Ada senyum singkat yang serasa tak enak, melihat raut wajah sang adik. “Bisa bicara sebentar?”“Tidak bisa di sini saja?”Kun merasai keengganan Jun yang terdengar jelas lewat suaranya.“Tidak masalah, kalau kau tidak keberatan didengar oleh selain kita.” Tentu maksud Kun itu, Shima.Jun bangkit dengan malas. Mendorong perasaan hatinya yang masih memanas karena ulah Kun dan Shima yang keluar kamar dengan wajah seolah terpuaskan.Tidak ada seks. Jun paham benar siapa itu Kun Yongli. Bahkan dia sudah tah
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid