Ponsel Flora berdering. Ujung matanya menatap layar ponsel yang tertera sebuah nama. Wanita itu mengabaikan panggilan yang baginya tidak penting itu.Flora melanjutkan acara makannya. Namun deringan ponsel terus berdering sehingga mengganggu aktifitas makan mereka."Momy, siapa yang telpon?" tanya Key sambil mengunyah kentang goreng."Om Kevin, sebentar yaa. Momy angkat telpon dulu." Flora meraih benda pipih itu dan segera melangkah pergi.Flora memilih tempat sepi dan menggeser tombol hijau. "Ada apa?" tanya wanita itu ketus."Rebecca mengundang kalian?" tanya Demian tidak percaya."Yaa, istri yang baiki itu sudah mengibarkan bender perdamaian. Tapi sayangnya aku dan anak-anak masih ada acara lain," jawab Flora."Kau selalu mengekang mereka," sahut Demian tak mau kalah."Yaa, aku memang mengekang mereka. Aku tidak mau mental mereka rusak bila terlalu dekat dengan ular berbisa mu itu," emosi Flora mulai meletup.Terdengar tarikan napas panjang di ujung sambungan. Ternyata sang mantan
Air mata Flora tak terbendung ketika melihat wanita paruh baya dengan baju elegan melihatnya dari kejauhan.Wanita itu berdiri terpaku. Buliran air mata bening menetes, menyapu make up yang sudah di tata rapi oleh MUA keluarganya.Key dan Rey hanya berdiri mematung. Melihat kedua orang yang berbeda usia ini saling tatap dan sama-sama menangis.Si Mbok menuntun kedua anak itu untuk mendekati wanita paruh baya yang masih berdiri di ambang pintu. Kedua anak kecil itu tak henti-henti berdecak takjub melihat kemewahan rumah yang saat ini ada di hadapannya. Hingga tanpa terasa kedua anak itu sudah berdiri di hadapan wanita paruh baya di ambang pintu.Wanita itu menutup mulutnya. Air matanya semakin deras ketika melihat Rey dan Key. Dia segera menekuk kedua kakinya dan memeluk kedua anak kecil itu."Maafkan Oma ya," ucap wanita paruh baya itu."Oma," ucap Key dan Rey bersamaan.Si Mbok melempar senyum haru. Berulang kali dia mengelap air mata dan lendir yang keluar dari hidung dengan daster
Flora mengayunkan langkahnya masuk ke dalam kamar bernuansa biru muda itu. Foto dan semua barangnya masih tertata rapi di tempat masing-masing. Dia tak menyangka Mamanya masih merawat kamar ini. Kaki Flora berhenti di depan meja rias. Sedetik Flora menatap pantulan wajahnya.Bayangan pertengkarannya dengan sang mantan suami tiba-tiba terlintas begitu saja. Mungkin benar apa kata Demian, dia terlalu mementingkan egonya sendiri.Flora terkejut saat sebuah tangan menepuk pundaknya."Mama," ucap Flora ketika melihat wanita paruh baya itu menuntunnya duduk.Flora dan Lidya duduk di kasur empuk berbalutkan seprai berwarna senada dengan tembok. Wanita paruh baya itu menatap lekat buah hatinya yang dulu pernah dia usir.Dia tidak menyangka putri kecilnya bisa menaklukkan dunia. Dulunya dia merasa cemas karena keterbatasan pasangan yang di pilihnya dulu."Setiap rumah tangga pasti mengalami ujian Sayang, percayalah. Semua luka itu akan terhapus dengan seiring berjalannya waktu." Lidya membela
Mentari pagi bersinar terang. Tidak terasa Flora sudah dua hari tinggal bersama sang Mama. Kehadiran Lidya dalam kehidupan Rey dan Key membuat mereka sedikit melupakan rasa rindu pada sang Dady.Seperti saat ini, Key dan Rey sedang berenang bersama dengan Lidya. Tawa riang bergema di rumah mewah yang sudah lama begitu sepi.Senyum bahagia tak hentinya menghiasi wajah tua si Mbok yang selama ini tau bagaimana tersiksanya Lidya."Non nggak main bareng sama anak-anak?" tanya si Mbok saat melihat Flora hanya duduk di tepi kolam renang."Nggak Mbok, saya di sini aja," jawab Flora singkat."Mau Mbok bikinin pempek?" tanya si Mbok menatap Flora.Flora mendongakkan pandangan. Dia menatap lekat wajah tua yang mulai di penuhi keriput. Wajah itu masih sama teduhnya. Hanya garis halus yang sedikit membedakan."Mbok masih ingat kalau aku saya suka Pempek?" Flora tersenyum kecil."Iyalah, kan itu ..." ucapan Si Mbok terpotong.Flora tau apa yang akan si Mbok katakan. Dia juga masih ingat bagaimana
Mendengar suara orang di ujung sambungan membuat rohnya meninggalkan jasad sesaat. Mata Flora terbelalak, tanpa sengaja dia menjatuhkan benda pipih itu kedalam air."Ada apa Nak?" tanya Lidya cemas.Kaki Flora mendadak lemas sehingga dia merosot ke lantai dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan dia mendongakkan kepala menatap sang Mama."Demian, Maa," ucap Flora dengan bibir bergetar.Lidya menoleh ke belakang sesaat. Mengecek di mana posisi Cucunya. Melihat Flora bertingkah demikian, sepertinya ini adalah kabar buruk.Melihat situasi aman. Cucunya masih sibuk dengan air kolam."Demian kenapa?" tanya Lidya menggenggam tangan Flora."Di-dia kecelakaan. Saat ini kondisinya kritis," jawab Flora dengan air mata yang berlinang.Lidya memeluk Flora dan mencoba menguatkan. Tanpa Flora jawab dia masih melihat dengan jelas bagaimana cinta masih bersemayam di sana."Bersiaplah, Anak-anak biar sama Mama," ucap Lidya."Tapi Maa, Rebecca," ucap Flora ragu."Mama yakin dia akan mengerti posisimu,"
Rebecca duduk di samping sang suami. Dia menatap lekat paras tampan yang saat masih tidak sadarkan diri.Kepalanya di balut perban yang sedikit ternoda dengan warna merah. Kaki dan tangannya di pasang gips. Tidak hanya itu, beberapa bagian wajahnya juga mengalami memar.Angan Rebecca melayang ke menit yang lalu. Saat dimana seorang pria yang tiba-tiba menghubunginya setelah sekian lama menghilang.Yang paling menyebalkan adalah saat pria itu dengan entengnya meminta bayi yang berada di rahimnya. Dasar pria gila, jangankan merawat seorang bayi. Dia merawat dirinya sendiri saja tidak bisa.Apa yang dia katakan pada Demian saat pria itu nantinya akan muncul di hadapannya? Mungkinkah dia mengakui semuanya? Tidak, Rebecca masih tidak rela melepas pria sebaik Demian.Dia tau dan sadar. Selama ini yang memicu pertengkaran adalah dirinya. Dia takut kalau bayang-bayang Flora tidak bisa Suaminya lupakan.Dengan lembut Dia meraih tangan Demian dan mengecupnya perlahan. Buliran air mata bening mu
Karena tiga hari cuti, tugas Flora di kantor mulai menumpuk. Dia memutuskan untuk pulang kembali ke rumah dan menitipkan kedua buah hatinya pada Mamanya.Untung saja Sang Mama bisa memberi kasih sayang tulus melihat dulunya dia sangat membenci Demian.Flora bersyukur, setidaknya anak-anak memiliki tempat nyaman untuk berbagi cerita. Saat ini dia memilih lebih fokus pada dirinya sendiri untuk menyembuhkan luka."Mama, Aku balik lagi ke Jakarta ya Maa. Titip Anak-anak," ucap Flora saat benda pipih nya menempel di telinga."Iya Sayang, Mama akan jaga anak-anak. Fokuslah dengan pekerjaan mu," jawab Lidya."Makasih Maa, bye." Flora memutus sambungan.Ingatannya kembali pada masa lalu. Masa di mana Demian baru saja menginjakan kakinya ke rumah. Di sana Mama dan Papanya menolak mentah-mentah kehadiran pria itu.Sumpah serapah yang di ucapkan Mamanya begitu menusuk uli hatinya."Kau tau Demian, Mama sudah merestui hubungan kita? Kenapa kau malah pergi memilih wanita lain?" ucap Flora lirih."
Demian mengernyitkan matanya. Dia melempar pandangan ke segala arah. Ruangan dengan nuansa putih, di tambah lagi aroma khas obat. "Mas, aku panggilkan Dokter ya," ucap Rebecca bangkit dari kursinya dan berlari keluar ruangan."Astaga, apa aku salah lihat? Sejak kapan sikapnya manis seperti ini," ucap Demian berusaha bangun.Sayangnya dia tidak bisa melakukan hal itu. Memar di tubuh akibat kecelakaan mempersempit gerakannya. Tak lama kemudian datang seorang Dokter. Tampak Rebecca berjalan di belakang sambil menampakkan wajah khawatir.Dokter segera memeriksa Demian. Sepuluh menit pemeriksaan, dokter menyatakan kalau Demian sudah sadar dari obat bius yang di masukkan beberapa jam yang lalu.Cedera di kepalanya membuat pria itu mendapat beberapa jahitan. "Jangan banyak gerak dulu ya Pak, Ibu tidak perlu khawatir, Pak Demian sudah sadar. Nanti ada suster yang memberi Bapak obat lagi untuk pereda rasa nyeri," ucap Sang Dokter melempar pandangan ke Demian dan Rebecca bergantian.Dokter t