Arshaka membuka mata, mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyapu kantuk yang masih mengganggunya. Cahaya pagi mulai memenuhi ruangan, menerangi sudut-sudut gelap yang sebelumnya tersembunyi dalam kegelapan. Saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya, Arshaka merasakan hangatnya selimut yang membungkus tubuh polosnya, sementara pakaiannya masih berserakan di lantai. Arshaka menyadari bahwa ia masih berada di sofa yang telah menjadi saksi bisu dari gairah membara yang ia bagikan bersama Varisha.Arshaka merenung, merenung tentang malam yang takkan pernah bisa dilupakan. Malam yang mungkin telah merubah segalanya dalam hidupnya. Ia merasa getaran dalam hatinya, yang semula terkunci erat dalam dinding yang telah ia bangun, telah terbuka oleh wanita itu. Varisha mampu meruntuhkan pertahanan Arshaka hanya dengan senyuman dan ciumannya yang memabukkan.Arshaka tersenyum kecil, mengenakan kembali pakaian dengan sedikit kesulitan, terutama karena tangannya yang cedera kembali terasa sakit. Aktiv
Setelah tangannya pulih dengan baik, Arshaka memutuskan untuk kembali sepenuhnya pada pekerjaannya. Ia merasa perlu untuk mengalihkan perhatiannya dari rencana pernikahan yang dituntut oleh ayahnya setelah ia menghadiri pesta ulang tahun Adelia. Meskipun acara tersebut telah berlalu, bayangan tentang pernikahan yang akan datang masih menghantui pikirannya.Arshaka memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya. Ia mengambil beberapa proyek bisnis yang penting, yang akan membutuhkan perhatian dan dedikasi penuh. Ia bekerja tanpa kenal lelah, menghabiskan banyak waktu dalam perjalanan bisnis, dan mengurus detail-detail yang rumit. Pekerjaan menjadi pelarian yang sempurna dari masalah pribadinya, dan Arshaka tidak peduli jika itu berarti ia tidak bisa beristirahat.Salah satu perjalanan bisnisnya membawanya ke berbagai negara Eropa. Ia terbang ke Italia dan Paris selama dua hari, menghadiri pertemuan penting, mengejar kontrak baru, dan menjalin hubungan bisnis yang lebih kuat. Kemudian, dalam
Matahari senja memancarkan sinar emas yang lembut di langit Berlin, memberikan sentuhan keemasan pada bangunan-bangunan tua di sepanjang jalanan kota. Udara musim gugur yang sejuk menyapa wajah Varisha, membelai pipinya dengan angin sejuk yang bertiup pelan. Wanita itu melangkah dengan langkah ringan, matanya berbinar-binar penuh kekaguman ketika ia melihat sekitarnya. Jerman, dengan arsitektur klasiknya yang mempesona dan atmosfernya yang kaya sejarah, menariknya ke dalam pesona yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.Varisha telah menjelajahi berbagai negara Eropa selama dua minggu terakhir, mengeksplorasi keindahan dan keajaiban benua itu. Namun, kali ini, panggilan dari Cakra membawanya ke Jerman, tanpa memberikan petunjuk tentang apa yang akan menunggunya di sana. Keingintahuan dan rasa penasaran membuatnya mencari jawaban, meskipun ia sama sekali tidak tahu apa yang diharapkan oleh Cakra dari pertemuan mereka.Sejak hampir dua bulan terakhir, Varisha telah berada dalam perjalana
Restoran yang sama di hotel mewah Berlin kembali menjadi saksi pertemuan antara Varisha dan Cakra. Ketika Varisha memasuki ruangan, Sebastian Richter sudah meninggalkan tempat itu, dan Cakra tampak duduk dengan tenang menunggu kedatangan Varisha. Cakra tersenyum lembut saat melihatnya, dan Varisha menjawab senyuman itu dengan penuh sopan. Varisha mengenali pelayan-pelayan yang masih sama dengan sebelumnya. Restoran ini memiliki suasana yang elegan dengan ornamen-ornamen klasik yang menghiasi dinding dan langit-langit, menciptakan aura yang mewah dan tenang.Setelah saling menyapa, mereka duduk bersama di meja yang sama dengan pertemuan sebelumnya. Cakra segera memesan hidangan untuk mereka berdua, menunjukkan perhatian dan sopan santunnya.Mereka berbicara tentang hal-hal biasa untuk mengisi keheningan. Cakra bertanya tentang perjalanan Varisha dan apa yang dia nikmati selama berada di Jerman. Varisha menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan antusiasme, seperti saat dia melihat k
Tatapan Arshaka yang penuh kebencian dan kemarahan mematikan seperti kilat menyambar di tengah ruangan. Matanya melebar, mencoba menangkap setiap ekspresi di wajah Varisha, mencari tahu apakah ada keraguan di dalam hati wanita itu. Namun, apa pun yang ditemukan, amarah yang membakar hatinya tidak memudar. Varisha menatapnya dengan tangguh, seperti benteng yang bertahan di tengah badai."Sudah berapa lama kamu merencanakannya?" bentak Arshaka dengan suara yang tegas dan penuh amarah. Varisha menatapnya dengan tajam, tetapi suaranya tetap tenang. "Kamu terlalu berlebihan. Kesimpulanmu juga salah. Kamu harus memahami kalau malam itu adalah kesalahan besar, kita berdua mabuk, dan itu tidak berarti apa pun."Arshaka tersenyum sinis, senyum yang menciptakan rasa jijik di hati Varisha. "Oh, kamu memang ahli dalam menyembunyikan kebenaranmu, Varisha. Saya kira kamu hanya akan terus berbohong dan merencanakan lebih banyak tipu daya. Saya tahu semuanya. Saya tahu betapa rendahnya dirimu, betap
Arshaka merasa kehilangan kendali, dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Puncak amarah dan kebingungan mendesaknya. Dalam keputusasaannya, ia melancarkan tinjunya ke arah cermin, menghancurkannya dengan keras. Pecahan kaca beterbangan, menyebabkan darah mengalir dari jari-jari tangannya. Meski rasa sakit fisik itu nyata, tidak ada yang bisa menyamai rasa sakit dan kebencian yang mengoyak hatinya saat ini.Dalam pandangannya, dia melihat wajah Varisha, kadang menggoda, kadang berani, dan terkadang penuh dengan ketakutan.Arshaka bergerak menuju pancuran, menyalakan air sepanas yang masih bisa ia toleransi. Dia menempelkan dahinya ke dinding dingin dan membiarkan semburan air menerpa pundaknya yang tegang. Kepalanya terasa penuh dengan kekacauan, pikiran-pikiran yang tak teratur mencoba mencari jalan keluar dari labirin emosinya yang rumit.Air panas membasahi tubuhnya, mengalir di atas kulitnya yang memerah. Tetapi, meskipun air panas itu seharusnya memberikan kehangatan, dalam hati Ar
Suara gemuruh mesin helikopter yang terdengar di atas mengakhiri niat Arshaka untuk berselisih dengan Varisha. Ia melihat ke arah langit biru yang cerah, menyadari bahwa tak ada tempat untuk pertengkaran di sini. Mungkin ini juga alasan mengapa pria itu memutuskan untuk membawa Varisha ke tempat yang jauh dari semua masalah yang menimpanya, ke tempat di mana suara mesin helikopter adalah satu-satunya hal yang bisa didengarnya.Dalam sekejap, Arshaka mengulurkan tangannya, menyambar tas Varisha dengan gerakan cepat dan tegas. Ia memandu wanita itu dengan langkah-langkah mantap menuju helikopter hitam mengilap yang berdiam di landasan. Helikopter itu terlihat begitu megah dengan garis luar keemasan yang memancar di bawah sinar matahari terik.Namun, ketika mereka tiba di samping helikopter, Varisha memberhentikan langkahnya. Tatapannya penuh tanya menatap Arshaka, "Kemana kita akan pergi? Bukannya tadi kamu bilang kita akan ke rumah sakit? Kenapa harus naik helikopter?"“Kita harus perg
Saat helikopter itu mendarat, getaran mesin besar itu seolah terasa sampai ke dalam tulang Varisha. Perutnya terasa terpilin, bukan hanya oleh perasaan mual yang telah menghantuinya sejak pagi, tetapi juga oleh rasa ketidakpastian yang semakin merajalela. Arshaka membuka pintu samping helikopter dengan sikap penuh kesabaran, bersiap membantunya turun. Namun, Varisha menolak bantuan itu dengan dingin. Matanya yang penuh ketegangan menatap Arshaka, menolak untuk memberi kesempatan pria itu mendekat.Arshaka berusaha bersikap sopan, meskipun kehadirannya selalu memberikan aura ancaman. Tatapannya yang tajam menembus ruang di antara mereka, menciptakan distansi yang tak terucapkan namun begitu nyata. Tak lama kemudian, sebuah Porsche hitam model terbaru terparkir di depan mereka, seorang pria muda yang tampak gagah dan tampan berdiri di samping mobil itu, menunggu dengan sabar.Arshaka bergerak menuju mobil tersebut, mengangkat tangan untuk menangkap kunci yang dilemparkan pemuda itu. Na