Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, memandangi cahaya lampu yang temaram. Anak-anak sudah tertidur di kamar mereka, dan keheningan malam seakan menjadi latar bagi perasaan-perasaan yang selama ini ia sembunyikan.
Ia memejamkan mata sejenak, merasakan lelah yang menguasai tubuh dan pikirannya. Namun, malam itu, ada sesuatu yang membuatnya tetap terjaga, sebuah firasat bahwa akan ada hal besar yang akan terungkap.
Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya. Dimas pulang, wajahnya terlihat letih dan tegang. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki ruangan, dan tanpa berkata apa-apa, ia duduk di sofa di hadapan Laras.
Keheningan yang tercipta begitu pekat, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka.
Laras menatap Dimas, merasakan jarak yang begitu be
Pagi itu, Laras memasuki gedung kantor pengacara dengan perasaan yang campur aduk. Tangannya sedikit gemetar saat ia mendorong pintu kaca, dan ada sedikit keraguan yang menghantui langkahnya. Namun, ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Setelah malam penuh pengakuan yang menghancurkan dari Dimas, Laras menyadari bahwa ia harus mengambil tindakan untuk dirinya sendiri dan untuk masa depan anak-anaknya.Ruang tunggu kantor pengacara terlihat tenang dan profesional, dengan sofa berwarna abu-abu dan dinding berhiaskan lukisan-lukisan minimalis. Laras duduk di salah satu sofa, menatap tangan di pangkuannya sambil berusaha menenangkan dirinya. Ia sudah membuat janji dengan salah satu pengacara yang terkenal kompeten dalam kasus-kasus perceraian. Meskipun berat, L
Dimas duduk sendirian di dalam mobilnya, menatap gedung rumah yang dulunya ia anggap sebagai tempatnya pulang. Malam sudah larut, dan lampu di ruang tamu masih menyala, tanda bahwa Laras mungkin belum tidur. Hatinya terasa hampa. Pikiran tentang pertemuannya dengan Laras di ruang tamu beberapa malam lalu terus menghantui, mengingatkan dirinya pada pengakuan yang akhirnya keluar dari mulutnya, sesuatu yang selama ini ia coba hindari.Ia tahu bahwa Laras akan benar-benar pergi kali ini. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Dimas merasakan kesungguhan dalam tatapan dingin Laras, dalam suara yang penuh ketegasan ketika ia memutuskan untuk tidak lagi bertahan dalam pernikahan mereka. Dimas menunduk, merasakan kesedihan yang mendalam menyelimutinya, sebuah perasaan yang lama
“Sarah, pelan-pelan makannya,” suara lembut Laras menegur putri sulungnya yang tengah menyuap sesendok nasi goreng sambil asyik bercanda dengan adiknya, Naya.“Mama, aku udah bisa makan sendiri!” seru Naya dengan bangga, menunjukkan sendoknya yang gemetar, berisi potongan kecil telur dadar.Laras tersenyum lembut sambil mengusap kepala putri kecilnya itu. “Hebat banget Naya! Jadi anak pintar ya.”Pagi di rumah keluarga kecil ini selalu diiringi suasana hangat, penuh canda dan tawa. Dimas duduk di seberang meja, mengamati Laras dan anak-anak mereka dengan senyum bangga.Sambil menyesap kopi hitam yang masih mengepul, ia merasa tenang. Pemandangan di hadapannya adalah definisi kebahagiaan yang selama ini ia idamkan: istri yang penuh kasih dan anak-anak yang ceria.Raka, si bungsu, mengoceh sendiri sambil bermain sendok dan garpu di atas piringnya. Suaranya yang lincah dan celotehnya yang belum jelas memeriahkan meja makan.Laras tertawa kecil, memperhatikan Raka yang tampak senang memai
“Mas, pernah nggak kamu mikir kalau hidup kita bakal kayak gini?” Laras bertanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Dimas. Mereka duduk di sofa ruang tamu, menikmati ketenangan pagi sementara anak-anak bermain di halaman depan.Dimas menoleh ke arah istrinya, tertawa kecil. “Maksudnya? Hidup sederhana ini?”Laras tertawa juga. “Nggak, bukan cuma itu, Mas. Semua ini… kamu, anak-anak, rumah kecil kita. Rasanya semua terlalu sempurna untuk dipercaya.”Dimas menatap dalam-dalam ke mata Laras, sambil menggenggam tangannya. “Aku juga kadang merasa ini semua seperti mimpi. Kadang, aku masih nggak percaya kamu bisa jatuh cinta sama aku dulu.” Ia menambahkan dengan nada bercanda, membuat Laras tertawa kecil lagi.Mata Laras menerawang ke jendela, menembus pemandangan yang kini tak terlihat, ingatannya kembali ke tahun-tahun lampau. Dia mengingat pertama kali bertemu Dimas, di sebuah kafe kecil dekat kampus.Laras masih menjadi mahasiswi akhir saat itu, sibuk dengan skripsi dan tugas-tugas y
Pagi itu, matahari bersinar cerah, dan angin berembus lembut. Suasana di rumah Laras terasa hangat. Suara tawa anak-anak yang bermain di halaman depan terdengar mengisi udara, membawa kebahagiaan sederhana di pagi yang damai itu.Laras sedang di dapur, sibuk mencuci piring sisa sarapan sambil sesekali melirik keluar jendela, melihat anak-anak yang bermain dengan tawa riang. Ada perasaan tenang yang mengalir dalam hatinya, perasaan puas dan bahagia. Semua tampak sempurna.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, mengusik ketenangan pagi itu. Laras mengerutkan kening, sedikit terkejut. Dia tidak mengharapkan tamu di pagi hari seperti ini. Siapa yang datang?Laras mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan menuju pintu depan, sambil berharap itu mungkin tetangganya yang datang untuk sesuatu yang sepele. Tapi ketika ia membuka pintu, dia dihadapkan pada pemandangan yang benar-benar tak terduga.Di depan pintu berdiri seorang wanita muda, mungkin sekitar akhir dua puluhan. Wajahnya tegas, deng
Laras duduk diam di ruang tamu, pandangannya kosong. Ruangan yang biasanya terasa hangat dan nyaman itu kini terasa asing, dingin, seolah tak lagi menjadi bagian dari kehidupannya.Kata-kata Nina masih terngiang di telinganya, menghantam jiwanya berulang kali, mengoyak perasaannya hingga tak tersisa.Anak-anak sudah tidur siang, tertidur lelap di kamar mereka setelah pagi yang penuh dengan permainan dan tawa. Tapi Laras tidak bisa merasakan kebahagiaan dari suara tawa mereka kali ini. Di dalam dirinya hanya ada kekosongan, kehancuran, dan rasa sakit yang tak tertanggungkan.Pintu depan terdengar terbuka. Langkah-langkah Dimas mendekat, terdengar biasa dan tenang, tanpa ia tahu badai besar yang tengah menghancurkan kehidupan mereka. Laras menoleh perlahan, melihat suaminya berdiri di depan pintu, menatapnya dengan senyuman kecil seperti biasanya.“Hai, Ras… Kok bengong?” Dimas menyapa dengan nada ringan. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika melihat ekspresi wajah Laras yang dingin
Laras berdiri di depan meja makan, memandangi Dimas yang duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ruangan yang biasa dipenuhi canda tawa anak-anak kini terasa begitu sunyi, seolah menyisakan hanya keheningan yang menyakitkan.Laras meremas jemarinya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan kemarahan yang membakar di dalam dadanya. Tapi kesabarannya semakin menipis.“Jadi, kamu benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Nina?” Suaranya terdengar dingin, namun setiap kata mengandung kemarahan yang tertahan. Matanya menatap Dimas tajam, tak memberi ruang bagi suaminya untuk berkelit.Dimas mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Laras. Dia menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Laras… Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Tidak seperti yang kupikirkan?” suara Laras meninggi, penuh nada sarkasme yang tajam. “Kamu bahkan nggak tahu apa yang aku pikirkan, Mas! Aku ingin mendengar kebenaran. Cuma itu.”Dimas menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Laras, dengar d
Laras duduk sendirian di kamar, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong. Hatinya terasa begitu hampa, seolah-olah semua emosi dan rasa bahagia yang pernah ada dalam dirinya lenyap begitu saja.Semenjak pengakuan Dimas tentang perselingkuhannya dengan Nina, segalanya berubah. Hidup yang selama ini terasa penuh warna kini tampak buram, kehilangan makna dan tujuan.Malam itu terasa sunyi. Biasanya, ia menikmati saat-saat setelah anak-anak tidur dengan perasaan tenang, saat ia dan Dimas bisa berbicara tentang apa saja—mengenai hari mereka, anak-anak, atau mimpi-mimpi kecil yang ingin mereka capai bersama.Tapi malam ini, ruang itu terasa kosong dan dingin, dan Laras hanya bisa menatap tembok tanpa tujuan, pikirannya bercampur aduk.Pikirannya kembali pada momen pertama kali ia bertemu Dimas, pada bagaimana cinta mereka berkembang dari sekadar perkenalan menjadi sebuah ikatan yang ia pikir akan abadi.Mereka berdua saling mengisi, saling mendukung, membangun kehidupan bersam
Dimas duduk sendirian di dalam mobilnya, menatap gedung rumah yang dulunya ia anggap sebagai tempatnya pulang. Malam sudah larut, dan lampu di ruang tamu masih menyala, tanda bahwa Laras mungkin belum tidur. Hatinya terasa hampa. Pikiran tentang pertemuannya dengan Laras di ruang tamu beberapa malam lalu terus menghantui, mengingatkan dirinya pada pengakuan yang akhirnya keluar dari mulutnya, sesuatu yang selama ini ia coba hindari.Ia tahu bahwa Laras akan benar-benar pergi kali ini. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Dimas merasakan kesungguhan dalam tatapan dingin Laras, dalam suara yang penuh ketegasan ketika ia memutuskan untuk tidak lagi bertahan dalam pernikahan mereka. Dimas menunduk, merasakan kesedihan yang mendalam menyelimutinya, sebuah perasaan yang lama
Pagi itu, Laras memasuki gedung kantor pengacara dengan perasaan yang campur aduk. Tangannya sedikit gemetar saat ia mendorong pintu kaca, dan ada sedikit keraguan yang menghantui langkahnya. Namun, ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Setelah malam penuh pengakuan yang menghancurkan dari Dimas, Laras menyadari bahwa ia harus mengambil tindakan untuk dirinya sendiri dan untuk masa depan anak-anaknya.Ruang tunggu kantor pengacara terlihat tenang dan profesional, dengan sofa berwarna abu-abu dan dinding berhiaskan lukisan-lukisan minimalis. Laras duduk di salah satu sofa, menatap tangan di pangkuannya sambil berusaha menenangkan dirinya. Ia sudah membuat janji dengan salah satu pengacara yang terkenal kompeten dalam kasus-kasus perceraian. Meskipun berat, L
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, memandangi cahaya lampu yang temaram. Anak-anak sudah tertidur di kamar mereka, dan keheningan malam seakan menjadi latar bagi perasaan-perasaan yang selama ini ia sembunyikan. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan lelah yang menguasai tubuh dan pikirannya. Namun, malam itu, ada sesuatu yang membuatnya tetap terjaga, sebuah firasat bahwa akan ada hal besar yang akan terungkap.Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya. Dimas pulang, wajahnya terlihat letih dan tegang. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki ruangan, dan tanpa berkata apa-apa, ia duduk di sofa di hadapan Laras. Keheningan yang tercipta begitu pekat, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka.Laras menatap Dimas, merasakan jarak yang begitu be
Malam itu, Laras pulang ke rumah dengan langkah gontai, seolah-olah beban yang ia bawa semakin bertambah berat. Seluruh tubuhnya terasa lelah, namun bukan hanya karena keletihan fisik, melainkan kelelahan emosional yang menggerogoti dari dalam. Begitu pintu rumah tertutup di belakangnya, Laras terdiam sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan.Rumah ini terasa begitu sunyi, begitu kosong, meskipun ia tahu anak-anak sedang tertidur di kamar mereka. Kepergian Andi telah menciptakan lubang yang dalam di hatinya, sebuah kehampaan yang tak mudah diisi. Laras mulai menyadari betapa besar ketergantungannya pada Andi selama ini, betapa Andi selalu menjadi pelindung dan pemberi kekuatan di tengah badai yang menerjang rumah tangganya.Ia mengedarkan pandangannya ke seke
Pagi itu, Laras duduk sendirian di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Ia menunggu Andi, meskipun pertemuan ini terasa berat. Setelah beberapa minggu berlalu sejak Andi mengatakan ingin menjauh, Andi tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Laras menerima ajakan itu dengan perasaan campur aduk—ada kerinduan, ada juga rasa takut.Tak lama kemudian, Andi muncul di hadapannya dengan senyum lembut yang begitu Laras kenal. Senyum yang selama ini membuatnya merasa diterima, dipahami, dan dihargai. Senyum yang selalu berhasil membuat dunianya terasa sedikit lebih ringan.“Hai,” sapa Andi pelan, matanya penuh perhatian.Laras tersenyum tipis, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak biasa. “Hai, Andi. Kamu baik-baik aja?
“Kamu beneran mau pergi?” Laras menatap Andi dengan mata penuh tanya, tapi jauh di dalam hatinya ia tahu jawabannya. Andi mengangguk perlahan, menatapnya dengan pandangan yang lembut namun penuh ketegasan.Keduanya duduk di taman kota yang sepi, sebuah tempat yang selama ini menjadi tempat pelarian Laras saat ingin bicara dengan Andi, saat dunia terasa begitu menghimpitnya. Namun, kali ini, ada keheningan yang berat di antara mereka, keheningan yang menyimpan begitu banyak kata tak terucap, begitu banyak perasaan yang terpendam.“Aku pikir… ini saat yang tepat, Laras,” kata Andi akhirnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keputusan. “Kamu tahu aku selalu ada untukmu. Tapi sekarang, kamu perlu waktu untuk diri sendiri, untuk menyelesaikan semuanya tanpa… gangguan dari
Sore itu, Laras berdiri terpaku di depan kafe kecil di pinggir kota, dadanya terasa sesak. Ia tidak sengaja menemukan tempat ini saat ia berbelanja kebutuhan rumah tangga, namun pandangannya terpaku pada pemandangan di dalam kafe, tepat di sudut ruangan yang jauh dari pandangan umum.Di sana, Dimas duduk berhadapan dengan Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupannya. Laras mengamati mereka dari balik kaca, bersembunyi di balik tiang toko di dekatnya. Meskipun hatinya berdebar-debar dan telinganya berdengung, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk tetap melihat apa yang terjadi di hadapannya.Dimas terlihat berbicara dengan nada serius, sementara Nina terlihat sesekali menyeka air mata dengan saputangan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari cara mereka salin
“Mama, kenapa Papa jarang di rumah?” suara kecil Raka yang penuh kebingungan mengambang di udara, membuat hati Laras serasa dihantam oleh kenyataan yang ia coba hindari selama ini.Laras menatap putranya yang baru berusia dua tahun itu dengan perasaan campur aduk. Raka menatapnya dengan mata bulat yang besar, penuh kepolosan dan rasa ingin tahu yang begitu tulus. Ia tahu, di usia sekecil itu, Raka mungkin belum sepenuhnya mengerti tentang absennya Dimas dari rumah. Namun, anak sekecil itu memiliki hati yang peka, dan setiap ketidakhadiran atau perubahan dalam rutinitas akan dengan mudah ia sadari.“Papa lagi sibuk kerja, Sayang,” jawab Laras, mencoba tersenyum. Senyum yang terasa getir, seolah bibirnya sulit melengkung tanpa ada rasa sakit di baliknya.
“Kamu tahu, Ras, aku nggak akan kemana-mana,” suara Andi terdengar lembut di seberang telepon, membungkus hati Laras yang tengah bergemuruh.Laras menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar suara Andi, ada rasa damai yang memenuhi hatinya, seolah-olah menemukan tempat perlindungan di tengah badai yang tak kunjung reda. Suara Andi selalu berhasil membuatnya merasa diterima, seolah tak ada yang perlu disembunyikan, seolah ia bisa melepaskan semua kepenatan tanpa takut dihakimi.“Aku tahu, Andi. Kamu selalu di sana, dan aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” jawab Laras, suaranya bergetar samar. “Aku nggak mau kamu terlalu terbebani sama semua masalahku.”Di ujun