Malam itu, Laras sedang membereskan dapur setelah makan malam ketika ia mendengar langkah pelan mendekatinya. Sarah, putri sulungnya, berdiri di ambang pintu dapur, tampak ragu namun dengan tatapan yang serius.
Laras mengenali tatapan itu; Sarah bukan lagi gadis kecil yang bisa dialihkan perhatiannya dengan mudah. Selama ini, ia mencoba melindungi Sarah dan adik-adiknya dari kenyataan yang pahit, tetapi ia sadar bahwa Sarah mungkin telah merasakan beban yang terpendam di dalam rumah mereka.
“Bu, aku ingin bicara,” kata Sarah dengan suara pelan, namun tegas.
Laras tersenyum tipis, berusaha menenangkan diri. “Tentu, Sayang. Ada apa? Ayo duduk di sini.”
Sarah duduk di meja dapur, masih diam beberapa saat seolah mengumpulkan keberanian untuk mengungk
Malam itu, setelah memastikan anak-anak sudah tertidur lelap, Laras duduk sendirian di ruang tamu. Lampu kecil di sudut ruangan menerangi sekitarnya dengan cahaya hangat, namun tetap saja ada keheningan yang terasa dingin. Di hadapannya, foto-foto keluarga mereka masih terpajang di dinding—gambar-gambar yang dulunya adalah bagian dari kehidupan sehari-harinya yang bahagia. Kini, foto-foto itu hanya menjadi kenangan dari masa yang seolah-olah milik orang lain, masa ketika segalanya masih terasa utuh dan sempurna.Laras menatap salah satu foto itu dengan tatapan penuh kerinduan. Di foto tersebut, Dimas menggendong Raka yang masih bayi, sementara Sarah dan Naya berdiri di samping mereka dengan tawa ceria. Laras sendiri ada di samping Dimas, tersenyum lebar, tampak begitu bahagia. Momen itu diambil saat mereka b
Hari demi hari berlalu, dan tanpa ia sadari, Laras semakin sering menghabiskan waktu bersama Andi. Sebagai sahabat yang setia, Andi selalu ada di sisinya, memberikan dukungan tanpa pamrih, menjadi tempat Laras bersandar di tengah badai hidup yang ia hadapi. Setiap kali mereka berbicara, baik tentang hal-hal sederhana maupun tentang masa depan, Laras merasakan kehangatan dan kenyamanan yang semakin sulit ia abaikan.Pagi itu, mereka bertemu di kafe kecil dekat rumah Laras. Andi sudah duduk di pojok, tersenyum hangat saat melihat Laras masuk. Laras merasakan hatinya berdebar—sebuah perasaan yang ia anggap tak wajar, tetapi sulit diabaikan. Setiap kali melihat senyuman Andi, ia merasa ada percikan kecil di hatinya yang membuatnya merasa hidup kembali, meski perasaan itu ia anggap tak seharusnya ada.
Dimas duduk di ruang tamu apartemennya yang sunyi, memandangi botol minuman di atas meja dengan tatapan kosong. Kamar yang biasanya terasa hangat dan hidup kini berubah dingin dan hampa. Tak ada lagi suara tawa anak-anak, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia rasakan saat pulang ke rumah bersama keluarganya. Kini, yang ada hanyalah sepi yang semakin menyesakkan.Sudah berbulan-bulan sejak Laras pergi, sejak ia menerima kenyataan bahwa rumah tangga mereka hancur akibat kesalahannya sendiri. Setiap malam, Dimas merasakan kesepian yang begitu dalam, seolah ia terjebak dalam penyesalan yang tidak pernah bisa ia lupakan. Kehilangan Laras dan anak-anak telah membuatnya benar-benar menyadari betapa berharganya mereka dalam hidupnya, namun ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengembalikan semua itu.
Hari itu, ruang sidang dipenuhi dengan suasana tegang yang seolah bisa dirasakan oleh setiap orang yang hadir. Laras duduk di barisan penonton, hatinya berdebar dan terasa berat saat melihat Dimas memasuki ruangan dengan wajah tegang, duduk di sebelah pengacaranya. Nina hadir bersama pengacaranya di sisi berlawanan, wajahnya penuh tekad dan dingin, seolah siap untuk memenangkan tuntutannya dengan segala cara.Laras tidak pernah membayangkan dirinya akan berada dalam situasi seperti ini, menyaksikan persidangan yang mempertemukan suaminya dengan wanita lain dalam konflik yang melibatkan anak di luar pernikahan mereka. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata, dan meskipun ia telah membuat keputusan untuk meninggalkan Dimas, melihatnya dalam situasi ini tetaplah menyakitkan. Ia merasakan campuran anta
Laras duduk di kamar, memandangi tumpukan dokumen di depannya. Tumpukan itu terasa begitu berat, seolah mewakili beban yang tak kunjung berakhir. Di tengah lembaran dokumen itu, ada surat-surat pengajuan perceraian yang tertunda. Setiap kali ia melihatnya, perasaannya campur aduk antara ingin menandatangani dan segera berpisah dari Dimas, atau mencoba bertahan, setidaknya sampai persidangan selesai. Ia merasa bahwa keputusannya untuk tetap hadir di persidangan tidak hanya mempengaruhi dirinya, tetapi juga anak-anak dan kehidupan mereka ke depan.Persidangan yang berlangsung telah membangkitkan begitu banyak rasa sakit, dan melihat Dimas yang tampak begitu terpuruk membuat Laras semakin bingung. Ia tahu bahwa suaminya kini berada dalam titik terendah hidupnya, dan bagian kecil dari hatinya merasa kasihan. Namun, di
Pagi itu, Laras merasa ada yang berbeda. Biasanya, pesan singkat dari Andi sudah menunggu di ponselnya setiap pagi. Entah itu sekadar ucapan selamat pagi atau ajakan untuk sekadar ngopi bersama. Tapi kali ini, tidak ada pesan yang masuk. Laras merasa ada kekosongan kecil yang tidak biasa di hatinya. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi sepanjang hari, rasa hampa itu semakin membesar.Beberapa hari berlalu, dan Laras mulai menyadari bahwa Andi benar-benar menghindar. Setiap kali ia mencoba menghubungi atau mengajaknya bertemu, Andi selalu memiliki alasan untuk tidak bisa. Laras tidak ingin berpikir berlebihan, tetapi ia tahu ada sesuatu yang berbeda. Andi, yang biasanya selalu ada di sisinya, yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, kini seperti menjauh, dan Laras tidak tahu mengapa.
Hari-hari terasa semakin berat bagi Laras. Setelah kepergian Andi yang tanpa penjelasan lebih lanjut, ia merasakan kesendirian yang begitu mendalam. Pagi-pagi di rumah terasa hampa tanpa pesan dukungan dari Andi, dan setiap kali ia menghadapi masalah, tidak ada lagi tempat yang bisa ia tuju untuk sekadar mencurahkan isi hatinya.Sebagai ibu tunggal yang masih bergulat dengan tekanan persidangan Dimas dan Nina, Laras mencoba sekuat tenaga menjalani hari-harinya tanpa dukungan emosional yang selama ini diberikan Andi. Namun, meskipun ia mencoba bersikap kuat, hati kecilnya merasakan kehampaan yang semakin besar. Beban itu terasa begitu berat ketika ia harus mengurus anak-anak yang semakin sering mempertanyakan situasi di rumah mereka, sementara di sisi lain ia juga harus mempersiapkan diri menghadapi sidang yang tam
Rumah itu terasa hening, terlalu hening, seperti tempat yang kehilangan kehangatan dan kehidupan. Laras dan Dimas masih tinggal di rumah yang sama, tetapi mereka tidak lagi berbicara dengan cara yang biasa. Hubungan mereka yang dulu dipenuhi tawa dan kebersamaan kini berubah menjadi keheningan yang menusuk dan penuh ketegangan. Mereka bergerak di dalam rumah layaknya dua orang asing yang kebetulan tinggal di atap yang sama.Setiap pagi, Laras bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan anak-anak. Ia melakukan semuanya dengan cepat, menghindari kemungkinan bertemu Dimas yang biasanya baru bangun setelah anak-anak berangkat ke sekolah. Begitu juga Dimas, yang sekarang lebih sering duduk sendirian di ruang tamu atau teras, seolah-olah sengaja menghindari Laras. Jika mereka bertemu di lorong atau di dapur, mereka hanya
Malam itu, Laras pulang ke rumah dengan langkah gontai, seolah-olah beban yang ia bawa semakin bertambah berat. Seluruh tubuhnya terasa lelah, namun bukan hanya karena keletihan fisik, melainkan kelelahan emosional yang menggerogoti dari dalam. Begitu pintu rumah tertutup di belakangnya, Laras terdiam sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan.Rumah ini terasa begitu sunyi, begitu kosong, meskipun ia tahu anak-anak sedang tertidur di kamar mereka. Kepergian Andi telah menciptakan lubang yang dalam di hatinya, sebuah kehampaan yang tak mudah diisi. Laras mulai menyadari betapa besar ketergantungannya pada Andi selama ini, betapa Andi selalu menjadi pelindung dan pemberi kekuatan di tengah badai yang menerjang rumah tangganya.Ia mengedarkan pandangannya ke seke
Pagi itu, Laras duduk sendirian di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Ia menunggu Andi, meskipun pertemuan ini terasa berat. Setelah beberapa minggu berlalu sejak Andi mengatakan ingin menjauh, Andi tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Laras menerima ajakan itu dengan perasaan campur aduk—ada kerinduan, ada juga rasa takut.Tak lama kemudian, Andi muncul di hadapannya dengan senyum lembut yang begitu Laras kenal. Senyum yang selama ini membuatnya merasa diterima, dipahami, dan dihargai. Senyum yang selalu berhasil membuat dunianya terasa sedikit lebih ringan.“Hai,” sapa Andi pelan, matanya penuh perhatian.Laras tersenyum tipis, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak biasa. “Hai, Andi. Kamu baik-baik aja?
“Kamu beneran mau pergi?” Laras menatap Andi dengan mata penuh tanya, tapi jauh di dalam hatinya ia tahu jawabannya. Andi mengangguk perlahan, menatapnya dengan pandangan yang lembut namun penuh ketegasan.Keduanya duduk di taman kota yang sepi, sebuah tempat yang selama ini menjadi tempat pelarian Laras saat ingin bicara dengan Andi, saat dunia terasa begitu menghimpitnya. Namun, kali ini, ada keheningan yang berat di antara mereka, keheningan yang menyimpan begitu banyak kata tak terucap, begitu banyak perasaan yang terpendam.“Aku pikir… ini saat yang tepat, Laras,” kata Andi akhirnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keputusan. “Kamu tahu aku selalu ada untukmu. Tapi sekarang, kamu perlu waktu untuk diri sendiri, untuk menyelesaikan semuanya tanpa… gangguan dari
Sore itu, Laras berdiri terpaku di depan kafe kecil di pinggir kota, dadanya terasa sesak. Ia tidak sengaja menemukan tempat ini saat ia berbelanja kebutuhan rumah tangga, namun pandangannya terpaku pada pemandangan di dalam kafe, tepat di sudut ruangan yang jauh dari pandangan umum.Di sana, Dimas duduk berhadapan dengan Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupannya. Laras mengamati mereka dari balik kaca, bersembunyi di balik tiang toko di dekatnya. Meskipun hatinya berdebar-debar dan telinganya berdengung, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk tetap melihat apa yang terjadi di hadapannya.Dimas terlihat berbicara dengan nada serius, sementara Nina terlihat sesekali menyeka air mata dengan saputangan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari cara mereka salin
“Mama, kenapa Papa jarang di rumah?” suara kecil Raka yang penuh kebingungan mengambang di udara, membuat hati Laras serasa dihantam oleh kenyataan yang ia coba hindari selama ini.Laras menatap putranya yang baru berusia dua tahun itu dengan perasaan campur aduk. Raka menatapnya dengan mata bulat yang besar, penuh kepolosan dan rasa ingin tahu yang begitu tulus. Ia tahu, di usia sekecil itu, Raka mungkin belum sepenuhnya mengerti tentang absennya Dimas dari rumah. Namun, anak sekecil itu memiliki hati yang peka, dan setiap ketidakhadiran atau perubahan dalam rutinitas akan dengan mudah ia sadari.“Papa lagi sibuk kerja, Sayang,” jawab Laras, mencoba tersenyum. Senyum yang terasa getir, seolah bibirnya sulit melengkung tanpa ada rasa sakit di baliknya.
“Kamu tahu, Ras, aku nggak akan kemana-mana,” suara Andi terdengar lembut di seberang telepon, membungkus hati Laras yang tengah bergemuruh.Laras menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar suara Andi, ada rasa damai yang memenuhi hatinya, seolah-olah menemukan tempat perlindungan di tengah badai yang tak kunjung reda. Suara Andi selalu berhasil membuatnya merasa diterima, seolah tak ada yang perlu disembunyikan, seolah ia bisa melepaskan semua kepenatan tanpa takut dihakimi.“Aku tahu, Andi. Kamu selalu di sana, dan aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” jawab Laras, suaranya bergetar samar. “Aku nggak mau kamu terlalu terbebani sama semua masalahku.”Di ujun
“Kamu sadar nggak, Laras, ini sudah terlalu jauh?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.Laras mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan penuh luka yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan. Keduanya duduk di sebuah kedai kopi yang sepi, di pojok kota tempat mereka biasa bertemu ketika Laras butuh pelarian dari kekacauan yang Dimas bawa dalam hidupnya.Andi menatap Laras penuh simpati. Ia tahu, masalah ini sudah menggerogoti perempuan yang selalu ia kagumi dalam diam. Namun, entah kenapa, Laras masih saja terlihat ragu untuk benar-benar melepaskan Dimas, meskipun pengkhianatan itu jelas telah menghancurkan hatinya.“Aku juga nggak nyangka semuanya akan begini, Andi,” jawab Laras akhirnya, suaranya bergetar. “Seakan-akan semua yang kubangun... rapuh. Seperti pasir yang tersa
Laras merasakan kelelahan yang luar biasa. Setiap hari, ia harus menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Persidangan yang berlarut-larut dengan Dimas dan Nina, sikap memberontak dari Sarah yang semakin sulit dikendalikan, dan tuntutan sehari-hari sebagai seorang ibu tunggal yang harus mengurus dua anak lainnya, semuanya menumpuk menjadi beban yang terasa semakin tak tertahankan.Malam itu, Laras duduk sendirian di dapur setelah anak-anak tidur. Ia menatap secangkir teh yang belum sempat ia minum, merasakan kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Kepalanya berdenyut, badannya lelah, tetapi pikirannya terus berputar, mengingat setiap konflik dan pertengkaran yang baru-baru ini terjadi. Sarah semakin berontak, Naya yang sering menangis melihat pertengkaran ibunya dengan kakaknya, dan Raka
Sejak berita tentang perpisahan Laras dan Dimas sampai ke telinga anak-anak, terutama Sarah, suasana di rumah menjadi semakin tegang. Sarah, yang dulunya adalah anak yang ceria dan penurut, kini mulai menunjukkan perubahan sikap yang mencolok. Laras menyadari bahwa putri sulungnya ini sangat terpengaruh oleh keretakan rumah tangga mereka, dan dampaknya mulai terlihat dalam kesehariannya.Sarah sering kali pulang sekolah dengan wajah cemberut, langsung mengurung diri di kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Laras tahu bahwa putrinya sedang mengalami masa yang sulit, dan ia berusaha untuk tetap sabar dan memahami perasaannya. Namun, semakin hari, Sarah menjadi semakin sulit diatur. Ia sering membantah, mengabaikan nasihat ibunya, bahkan mulai menunjukkan sikap pemberontakan yang belum pernah Laras lihat sebelumn