“Aku nggak bisa, Laras. Ini terlalu berat,” Dimas menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan singkat dari Laras, meminta kepastian tentang pertemuan mereka minggu depan.
Jari-jarinya gemetar, dan keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Di ruang kerjanya yang biasanya terasa megah dengan perabot kayu mahal dan jendela besar yang menghadap kota, Dimas merasakan udara yang begitu menyesakkan, seakan ruangan itu menyusut setiap kali ia menarik napas.
Di atas meja, berkas-berkas menumpuk, beberapa di antaranya adalah dokumen proyek yang tertunda karena pikirannya yang tidak pernah fokus.
Dimas berdiri, meraih rambutnya dengan kedua tangan, dan melangkah ke jendela. Ia memandang ke bawah, ke jalan-jalan yang penuh dengan mobil dan orang-orang yang berlalu-lalang, hidup mereka tampak begitu sederhana dibandingkan kekacauan yang dirasakannya.
“Dimas, kamu sudah makan siang?” Suara rekan kerjanya, Surya, memecah keheningan. Dimas be
“Dimas, aku tidak bisa terus begini,” suara Nina bergetar namun penuh ketegasan. Di ruang apartemen Dimas yang remang, suasana terasa berat.Cahaya lampu meja di sudut ruangan memantulkan bayangan mereka, menciptakan siluet yang tampak saling berjauhan.Nina berdiri di depan jendela, memunggungi Dimas, sementara pandangannya menembus malam kota yang basah karena hujan. Butiran air hujan yang menempel di kaca memantulkan cahaya lampu jalan yang redup, membuat pemandangan itu terasa sendu.Dimas duduk di sofa, tangan terkepal di atas lututnya, ekspresi wajahnya tegang dan letih. Udara di dalam ruangan seolah membeku, menghimpit mereka dengan rasa berat yang sulit dijelaskan.Dimas mengangkat wajahnya, menatap punggung Nina yang tegak namun tampak rapuh. Gaun biru lembut yang dikenakan Nina terlihat berkibar sedikit saat ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan.“Nina, aku tahu ini sulit. Tapi aku...” kata-kata
“Laras, kamu yakin ini keputusan terbaik?” suara Ayah Laras terdengar berat, penuh kehati-hatian. Ia duduk di sofa ruang keluarga yang terasa akrab, dengan dinding yang dipenuhi foto-foto masa kecil Laras.Ruangan itu beraroma kayu tua dan teh hangat, membawa nuansa nyaman yang kontras dengan percakapan serius yang sedang berlangsung.Laras mengalihkan pandangannya dari jendela yang memantulkan cahaya sore, menatap ayahnya dengan mata yang lelah.Di sisi lain ruangan, Ibu Laras duduk dengan tangan yang saling menggenggam erat, wajahnya menyiratkan kekhawatiran mendalam. Garis-garis halus di sekitar matanya semakin dalam, mempertegas usianya yang telah termakan waktu.“Ayah, aku hanya ingin yang terbaik untuk anak-anakku,” jawab Laras, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar.Ia meremas kedua tangannya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa kencang. Bayangan Sarah, Naya, dan Raka berputar di kepalanya, wajah-wajah mungil mereka y
“Laras, aku tidak bisa diam lagi,” suara Andi terdengar tegas, namun di dalamnya ada nada yang gemetar. Mata Laras membesar saat ia melihat Andi berdiri di depan pintu rumahnya.Wajah pria itu tegang, rahangnya mengeras, dan tatapan matanya penuh dengan emosi yang selama ini ia tahan. Di luar, hujan masih turun, butirannya memantul di atas daun dan menciptakan ritme yang tak henti-hentinya di malam itu. Andi basah, jaketnya menempel erat di tubuhnya yang mulai menggigil.“Andi... kamu... kenapa kamu di sini?” Laras terbata, mencoba meresapi kehadiran Andi yang tiba-tiba. Hatinya berdebar, bercampur aduk antara terkejut dan perasaan lain yang selama ini ia coba abaikan.“Boleh aku masuk?” Andi bertanya, suaranya kini lebih lembut, namun tetap penuh keteguhan. Laras ragu sejenak sebelum mengangguk dan membukakan pintu lebih lebar. Andi masuk, aroma hujan yang segar mengiringi kehadirannya.Di ruang tamu yang hangat, cahay
"Laras?"Suara itu memecah keheningan siang di kafe kecil di sudut jalan. Laras, yang sedang menyeruput kopi pahitnya, menoleh dengan cepat. Matanya bertemu dengan sorot mata tajam Nina. Ada jeda panjang sebelum Laras menjawab, dengan napas yang tertahan di tenggorokannya."Nina," ucapnya pelan, seolah tidak percaya bahwa wanita yang berdiri di depannya benar-benar ada di sana.Rambut Nina digulung rapi, bibirnya pucat tanpa lipstik, dan wajahnya terlihat lebih lelah dari yang Laras ingat. Tanpa menunggu undangan, Nina menarik kursi di depan Laras dan duduk. Kafe itu sepi, hanya ditemani oleh suara denting gelas dan alunan musik jazz yang mengalun lembut.Suasana di antara mereka terasa dingin, seperti pisau yang bisa memotong keheningan. Laras menghela napas, menggenggam cangkirnya lebih erat seolah itu adalah jangkar yang menahannya tetap di tempat. Sementara itu, Nina menatap ke bawah, jari-jarinya sibuk merapikan kain rok yang sudah sempurna."
Hujan malam itu sudah berhenti, meninggalkan jalanan basah dan aroma tanah yang segar. Laras duduk di kamarnya, punggungnya bersandar pada kepala tempat tidur yang dingin.Di tangannya, secangkir teh melati yang mulai kehilangan kehangatannya. Ia menatap kosong ke luar jendela, memandangi lampu jalan yang memantulkan cahaya temaram di atas genangan air.Percakapan dengan Nina di kafe tadi siang masih terngiang di benaknya, menggema seperti suara yang terus menerus diputar ulang.Laras memejamkan mata, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. Ada perasaan campur aduk—marah, sedih, bingung, dan sesuatu yang mirip dengan rasa lega.Ia menghela napas panjang, merasakan dadanya naik-turun dengan berat. Selama ini ia mengira hanya dirinya yang terjebak dalam penderitaan, namun kini ia tahu bahwa Nina pun terjebak dalam perangkap yang sama, tersesat di antara cinta dan penyesalan.Suara ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Naya berdiri di s
Hujan mengguyur deras di luar jendela apartemen Dimas, menciptakan bunyi gemuruh yang terus menerus menghantam kaca dan dinding.Langit mendung seperti menyelimuti kota dengan selimut kelabu yang tebal, memantulkan perasaan berat yang melingkupi hati Dimas.Ia duduk di lantai ruang tamu, punggungnya bersandar pada sofa, dengan pandangan kosong tertuju pada lantai kayu yang dingin. Tangan kirinya menggenggam botol bir yang isinya hampir habis, sementara tangan kanannya bergetar tanpa henti.Di ruangan itu, hanya ada suara hujan dan deru napas Dimas yang tersengal. Cahaya lampu di apartemen redup, hanya sebatas menerangi wajahnya yang tirus dan pucat.Kantung mata yang menghitam menandakan malam-malam panjang yang ia lalui tanpa tidur. Janggutnya yang tak terurus menambah kesan lusuh pada wajah yang dulunya menawan dan penuh percaya diri.Ponsel di atas meja bergetar, menampilkan nama Nina di layarnya. Dimas menatapnya sekilas, ekspresi wajahnya data
"Mama, aku nggak mau sekolah," suara Naya terdengar serak dan nyaris tak terdengar. Laras duduk di tepi ranjang putrinya, menatap wajah mungil Naya yang pucat dan mata besar yang kehilangan sinar keceriaan.Sejak beberapa minggu terakhir, senyum Naya jarang terlihat, dan kegugupannya semakin sering muncul dalam bentuk tangisan tiba-tiba dan insomnia. Di tengah malam, Laras sering menemukannya terjaga, meringkuk di pojok tempat tidur dengan mata yang penuh ketakutan.“Naya, kamu sakit, Sayang?” Laras menyentuh dahi putrinya yang dingin, mencari tanda-tanda demam. Tapi ia tahu, ini bukan soal fisik.Naya menggeleng pelan, lalu menyusupkan wajahnya ke dalam pelukan boneka kelincinya, mencoba menghindari tatapan mamanya. Laras menahan napas, merasa nyeri di dadanya semakin kuat.Di ruang tamu, Laras berjalan bolak-balik dengan cemas, kedua tangannya saling menggenggam erat. Pikirannya berputar seperti badai.Di atas meja, tergeletak brosur
Pintu depan rumah Laras berderit saat terbuka, membawa aroma hujan yang masih melekat di udara.Sarah berdiri di ambang pintu dengan ransel besar di punggungnya, rambut panjangnya sedikit basah karena gerimis yang baru saja turun. Matanya, yang biasanya berbinar penuh rasa ingin tahu, kini tampak sendu, seolah membawa beban yang jauh lebih besar dari usianya.“Mama...” Sarah mengucapkan kata itu dengan nada pelan, nyaris seperti bisikan. Laras, yang sejak pagi menunggu kabar, berdiri di ujung lorong dengan tangan yang gemetar.Pandangannya bertemu dengan mata Sarah, dan seketika itu, sebuah emosi kuat meledak dalam dada Laras. Ia berlari mendekat dan merengkuh putrinya dalam pelukan erat.“Sayang, Mama kangen sekali,” Laras berkata dengan suara serak, tak mampu menahan air mata yang akhirnya tumpah.Sarah, yang awalnya tampak tegar, kini membiarkan air matanya mengalir, membasahi pipinya. Pelukan itu, meski penuh dengan keha
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh
Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.
Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu
Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk
Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang kerja Laras, menerangi tumpukan berkas dan dokumen di atas mejanya.Matanya tertuju pada layar laptop, di mana email berisi tawaran pekerjaan di luar negeri masih terbuka. Ia membaca paragraf demi paragraf dengan hati yang berkecamuk.Kesempatan untuk bekerja di perusahaan ternama di Singapura, posisi yang menjanjikan kenaikan karier dan pendapatan yang menggiurkan. Namun, setiap kata dalam email itu seperti menambah beban di dadanya.Suara anak-anak terdengar dari ruang tengah. Naya tertawa renyah karena candaan Raka, dan Sarah terdengar menceritakan sesuatu dengan semangat.Laras menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah pintu terbuka yang menghubungkan ruang kerja dengan ruang keluarga. Wajah anak-anaknya muncul dalam pikirannya, memaksanya mempertimbangkan apa yang benar-benar penting.Dengan tangan gemetar, Laras menutup laptopnya. Tawaran itu memang menggiurkan, namun perasaa
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kecil apartemen Nina, menyinari sudut-sudut ruangan dengan kehangatan yang lembut.Di meja dapur, Nina duduk dengan rambut yang disanggul rapi, mengenakan kaus putih dan celana jeans longgar.Tangan kanannya sibuk menggambar sketsa bunga-bunga di buku catatan kecilnya, sementara di sampingnya, sepiring roti panggang dan secangkir teh hangat menemani. Ruangan itu dipenuhi aroma harum teh melati, membawa kedamaian yang tak terlukiskan.Di dekat Nina, bayi kecilnya, Aidan, tertidur pulas di kursi bayi. Wajahnya yang mungil dan polos membuat hati Nina terasa penuh, meskipun letih sering kali membayangi.Setiap kali ia melihat Aidan, rasa cinta yang begitu kuat mengalir dalam dirinya, memberinya alasan untuk terus melangkah maju. Tidak ada lagi bayangan Dimas di balik senyumnya, hanya ada dirinya dan Aidan, serta tekad kuat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.Nina menutup buku catatannya, menghela napa
Hujan rintik-rintik mengguyur jalanan kota, menciptakan suara gemericik yang menyusup ke dalam apartemen Dimas yang sepi.Udara dingin dan lembap merayap melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, mengisi ruangan dengan aroma tanah basah.Dimas duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong memandangi selembar kertas putih di depannya.Tangannya yang gemetar menggenggam pena, namun tulisan yang tertoreh di atas kertas itu baru separuh jadi. Di sebelahnya, secangkir kopi yang sudah dingin tak disentuh, melengkapi suasana kesendirian yang membungkus dirinya.Sore itu, Dimas merasa keheningan menggerogotinya, namun entah mengapa, ada kedamaian samar yang merayap di antara rasa penyesalan dan kelelahan.Setelah berminggu-minggu diliputi kebingungan dan konflik batin, akhirnya ia menemukan titik terang di tengah kekacauan ini—sebuah keputusan yang terasa pedih namun perlu. Ia harus merelakan Laras, bukan hanya untuk kebaikan Laras, tetapi untuk