“Jenar,” panggil Mada cukup lirih ketika sebuah deham terdengar di telinganya.Mada menolehkan kepala, menatap kearah punggung Jenar yang perlahan terlihat mengecil seiring langkahnya ketika menghampiri Oscar."Tuan Oscar, apa yang Tuan lakukan di sini? Mari kita kembali ke area meja makan," ajak Jenar dengan hangat, berusaha untuk tidak mendengar bahwa terdapat sayup suara Mada yang memanggil namanya."Kalian berdua lama sekali.""Kami habis membahas beberapa hal, seperti hal-hal yang berkaitan dengan urursan pekerjaan," tutur Jenar.Dia berdiri di sebelah Oscar dan tersenyum memancarkan kehangatan sebelum memutuskan untuk berjalan disebelah si pria renta.“Sepertinya kursi yang berada di ruang makan hanya dua, bukan?""Papa ayolah, jangan menjadi menyebalkan seperti ini," gerung Mada pada Oscar."Tidak akan ada ruang untuk orang ketiga, terlebih jika orang itu bernama Mada Lawana,” sindir Oscar kepada sang putra ketika Jenar tersipu malu lalu berupaya memapah Oscar agar dapat berjal
[Nomor Tidak Dikenal : Jenar, bisakah kita berdua bertemu?] “Mungkin aku ingin membahasnya nanti ketika waktunya tiba, tidak untuk sekarang,” tutur Jenar dengan menatap ke arah pria yang berada dibelakang kemudi ketika kendaraan beratap rendah itu tiba di dekat tempat tinggalnya. Suara mesin masih terdengar menderu begitu juga dengan tangan kiri Mada yang memegang kemudi sedangkan tangan kanannya sibuk mengetuk atap rendah kendaran itu dengan bibir yang mengerucut sambil sesekali menoleh ke arah Jenar yang tengah merapikan diri. "Aku tidak tahu apa yang saat ini kamu pikirkan. Akan tetapi, one thing for sure, aku tidak pernah mencoba menyamai dirimu dengan Bianca. Kalian berdua berbeda dan—" "Anggaplah seperti ini." Jenar yang semula tengah merapikan jam tangan rantai dipergelangan tangan kiri kemudian dengan tegas menatap ke arah Mada. "Pertama, anggap saja dari sejuta manusia di muka bumi, kamu justru bertemu dengan Bianca dan diriku." Jenar menjeda sejenak kemudian menarik tur
"Masa laluku adalah milikku, sejauh apa kamu bisa tahu dan melibatkan diri di dalamnya, tentu harus seizin diriku," lugasnya yang membuat Jenar lekas berpaling, mengabaikan gedoran yang semula datang dari arah luar tersebut.Alih-alih memperhatikan serta mendengarkan sekeliling mereka dengan saksama, Jenar justru menunduk dalam-dalam.Sama seperti Mada yang juga tengah terengah-engah karena merasa energinya terkuras habis ketika dirinya bersitegang dengan Jenar tadi."God damn it!" raungnya pelan dengan memukul kemudi sebelum menelungkupkan kepalanya di atas kemudi lalu menggeram untuk meredakan amarah yang semula menggebu-gebu di relung hati."Sekali lagi aku tegaskan kepada dirimu, aku tidak pernah menyamai dirimu dengan siapapun, termasuk Bianca." Mada menjeda sejenak kemudian menekan-nekan pelipisnya yang terasa berdenyut tidak berkesudahan."Aku tidak berbohong ketika mengatakannya dan cukup, cukup untuk merasa bahwa semua ini berputar di dunia orang yang sudah lama meninggal dun
"30 detik dan tidur bersamaku di akhir pekan. Sepakat?" tawar Mada kepada Jenar yang rasanya gatal sekali ingin mengusak wajah pria itu menggunakan sabut yang digunakan untuk mencuci piring."Penawaran yang tidak masuk akal, Mada.""Baik."Mada bergumam sejenak lalu mendecakan lidah. "Jika begitu, kamu sudah mengetahui jawabanku. Aku tidak akan membiarkanmu untuk bertemu dengan Sambara.""Kenapa tidak?""Karena aku tidak bertemu dengan seseorang yang membuat hatiku patah, Jenar. Logikanya seperti itu."Jenar mengetatkan rahang, nampak kesal dengan Mada. Padahal, jawabannya sudah sangat jelas bahwa pria itu tidak akan dapat bertemu kembali dengan seseorang yang mematahkan hatinya; Bianca Rose."Tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi karena Bianca sudah ....""Apa ada yang salah dari ucapanku?" potong Mada dengan lengan kanan yang bersandar pada kemudi sementara Jenar melemas."Sepakat," kata Jenar dengan susah payah karena ponselnya terus saja berdering tak berkesudahan."Buka pintun
"Aku ingin membicarakan hal ini berdua saja dengan Jenar jika dirimu tidak keberatan," pinta Sambara yang ditolak mentah-mentah oleh Mada. "Permintaan retoris, dasar otak udang konyol."Laki-laki berpakaian parlente tersebut dengan terang-terangan menunjukan rasa tidak sukanya kepada Sambara dengan berdecih serta memandangnya tajam,"Pergi sebelum diriku benar-benar murka," ancamnya yang tidak diindahkan oleh Sambara karena fokus si pria sejak tadi adalah Jenar, bukan Mada.Dengan tegas, Mada menggelengkan kepalanya, sekali dia katakan tidak kepada Sambara, maka jutaan kata lainnya yang keluar dari belah bibirnya tetaplah sama.Apapun pertanyaan Sambara, jawabannya adalah tidak. Mustahil Mada ingin mengubahnya.Sikap keduanya sama-sama keras, Sambara tidak akan pergi jika belum mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Jenar sementara Mada bersikeras bahwa Sambara harus enyah."Hanya sekali ini saja.""KALAU BEGITU, KATAKAN!""Dia."Sambara menunjuk ke arah Jenar yang matanya ber
"Anak yang dikandung oleh Rula kemungkinan besar bukan darah dagingku, Jenar."Sebuah senyap terjadi untuk beberapa saat, Mada terlalu tercengang untuk memberikan respons sementara Jenar hanya memasang raut datar."Untuk itu ...ah, aku tidak tahu apakah ini bisa dikatakan karma atau bukan," tuturnya dengan menggaruk area tengkuk."Setidaknya, aku ingin meminta maaf dan tolong maafkan diriku," tutup Sambara."Jadi kamu ingin meminta maaf karena menyesal atau karena terpojok?""Keduanya. Namun lebih banyak pada poin menyesal." Sambara menarik napas panjang, seolah-olah dia hendak mempertimbangkan kembali ucapannya."Menyesal karena meninggalkan dirimu. Nah, itu maksudku. Harusnya aku tidak melakukan itu, harusnya pernikahan kita tetap berjalan dan aku ... seharusnya aku tidak berpaling untuk Rula."Perkataan Sambara sontak membuat Jenar mengerjap dengan cepat dan bahkan menyempatkan diri untuk mengubah tumpuan kaki kendati beberapa detik sebelumnya, kakinya terasa sakit karena terkilir.
"Oh astaga, aku merasa seperti pasien yang memiliki penyakit mematikan dan usia hidupku tinggal beberapa menit ke depan.""Dan aku akan mati jika kamu tidak segera pulih.""Hati-hati saat berbicara, tampan," balas Jenar gemas dengan mencubit ujung hidung Mada lalu tersenyum pelan ketika matanya menatap si lelaki yang keluar dari pintu pengemudi untuk beralih ke arah Jenar.Mada tidak bermain-main dengan apa yang dia sampaikan sebelumnya kepada Jenar ketika keduanya berada di rumah sakit kemarin malam.Kendati Jenar menganggap bengkak di kakinya sebagai hal yang biasa, tetapi Mada tidak demikian. Setelah semalam pria itu mengantarnya pulang dan untuk kali pertama bertemu dengan kakak yang keheranan karena Jenar datang dengan lelaki yang luar biasa tampan selain Sambara, pada pagi buta Mada sudah kembali tiba di depan rumah Jenar.Dia bersikeras untuk mengajak Jenar untuk datang bersama, tidak peduli akan pandangan masyarakat Lawana Corporation nantinya.Lagipula, kondisi Jenar saat in
Aman.Satu hal yang berada di benak Jenar ketika dirinya dipapah oleh Mada serta langsung dibawa ke ruang kerja si pria agar tidak bertemu dengan karyawan lainnya adalah aman.Dirinya kadung merasa bahwa hanya ada dirinya dan Mada saja sejak mereka meninggalkan area parkir kendaraan lalu terpingkal-pingkal seakan dunia tercipta untuk mereka berdua. Nyatanya ..."Hei hei hei! Berkumpul, aku membawa sesuatu yang sangat penting!" pekik Dalilah yang baru saja sampai lalu menaruh barang-barang di dalam kubikelnya dengan cukup berisik hingga beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, ingin tahu apa yang hendak disampaikan oleh si biang gosip tersebut."Apa?""Jika yang kamu katakan bukan tentang promo makan siang di salah satu restauran, aku tidak ingin mendengarnya.""Oh ayolah, apalagi yang akan diberi tahu oleh biang gosip ini selain .... jadi, siapa lagi yang berselingkuh di kantor ini?" tebak yang lain ketika mereka mulai berkerumun."Selamat pagi pekerja Lawana, kembali lagi dengan Dal