“Apa ini semacam lelucon dan test yang harus aku lakukan?” kekeh Jenar dengan tertawa canggung kemudian melipat bibirnya ke arah dalam dalam upaya untuk membuatnya terlihat lebih tipis jika dibandingkan dengan sebelumnya.“Bertemu dengan Pak Oscar? Seorang Oscar Lawana? Wah, sepertinya aku bermimpi dengan sangat indah semalam,” sambung si perempuan dengan mengerucutkan bibir lalu menggeleng pelan, sekelebat rasa kecewa menyeruak ke permukaan dan tercetak jelas di wajah Mada.Jenar jelas langsung menyadari perubahan pada air wajah Mada hingga membuat telapak tangannya terasa dingin.Meski demikian, Jenar mencoba untuk mengabaikan raut yang ditunjukan oleh Mada lalu berpaling.“A—aku tidak yakin untuk itu,” lanjutnya dengan diselimuti oleh kegugupan.Dirinya menjauhkan diri dari Mada, melepaskan dekap yang sejak tadi terjalin lalu memilih untuk berjalan memunggungi si lelaki.Jenar duduk di sofa yang empuk sambil memiringkan kedua kakinya ke arah kiri dan mendekap tab kerja yang sejak t
“Tidak kusangka kamu akan mengikutiku sampai sini.”Mada bersedekap kemudian menggaruk area dagunya seraya menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang kedua matanya luhat saat ini.Pada salah satu sisi café sederhana yang dirinya dan Jenar sambangi sejak beberapa saat lalu ketika keduanya meninggalkan Lawana Corporation, kini Mada memandang lekat seseorang yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya."Ini sangat menyebalkan. Saya merasa tidak memiliki privasi sama sekali."Mada berdecak pertanda kadung merasa sebal, kepalanya terjulur untuk memeriksa area sekitar, sisa-sisa rinai hujan masih membasahi lokasi mereka saat ini, menyebarkan hawa dingin yang tidak terlalu menyenangkan dan cenderung membuat bulu kuduk meremang.“Bisakah untuk sekali saja kamu berhenti melakukannya?” sambungnya disertai mata yang menyipit.Josh sadar bahwa Mada jengah terus diawasi olehnya sejak kedatangan duda tampan itu di Indonesia beberapa waktu yang lalu dan tidak sekali dua kali Mada meminta
“Mada, sejak kapan papa meminta untuk bertemu dengan Jenar?”Bagai tersambar oleh petir pada malam hari, Mada memijat pangkal hidung sebanyak dua kali dengan gerak naik dan turun.Tangannya terentang selebar bahu, mencengkram pinggiran mini bar yang berada di griya tawang setelah sebelumnya Mada mengantarkan Jenar terlebih dahulu ke tempat tinggal sang perempuan.“Paps, bukankah seharusnya aku yang bertanya?” balas Mada dengan menolehkan kepala ke arah kiri untuk meneguk air dingin yang berada di dalam gelas bersama dengan beberapa es batu mengapung, menciptakan bulir-bulir bunga es di sekelilingnya.“Kapan papa dan Jenar bertukar nomor ponsel satu sama lain?” balas Mada di sela-sela tegukan sambil menyeka bibirnya dan menaruh gelas itu di sebelah kiri.Oscar yang berada di seberang sana terdiam untuk sejenak lalu mendecakan lidah sebelum mengembuskan napas gusar dan terkekeh pelan melalui panggilannya dengan sang putra.“Apa yang baru saja kamu minum?”“Bagaimana jika aku katakan alk
“Suck itu, baby. Oh … damn,” racaunya dengan mata terpejam. Hangat rongga mulut kembali menyapa sisi terdalam Mada hingga dirinya tersenyum miring dan bokongnya bergerak pelan dari posisi duduknya saat ini. “Smart. Smart little girl,” puji si lelaki dengan diselingi geram yang berasal dari Mada dengan suara rendah. Jakunnya bergerak naik dan turun, begitu pula mulutnya yang sedikit terbuka ketika berupaya mengambil pasokan udara. "Aku rasa mulai besok kamu harus memotong rambut menjadi lebih pendek atau lebih sering menguncirnya seperti ini. Terlihat sangat ... memabukan." Dengan tubuh yang sedikit bergetar terpacu akan adrnelin serta keinginan yang membuncah, Mada menyampaikan pendapatnya sehingga membuat Jenar berhenti sejenak. "Apa?" "Kamu cantik," pujinya agar Jenar terus melanjutkan aksinya. Jenar bergumam dan sedikit tersentak ketika Mada menarik cepol rambutnya, sedikit mencakar kulit kepala sebelum beralih mengusapnya, membuat helai demi helai terurai dan membingkai wa
Jenar berulang kali menatap ke arah Maps untuk memantau lokasi mereka sebelum beralih kepada Mada dan jalanan lengang yang dilalui oleh keduanya.“Mada, katakan yang sejujurnya kepadaku. Kamu yakin ini arah yang tepat untuk menuju rumah keluargamu?” selidiknya hingga Mada mendengkus pelan tanpa menatap Jenar sama sekali.Pria itu nampak begitu fokus mengemudi dan bahkan menginjak pedal gas sedikit lebih kencang hingga kendaraan beratap rendah itu melonjak dengan kecepatan penuh.“Kamu tidak akan mengajak diriku berputar-putar tanpa kepastian, bukan?”Sesekali Mada menggaruk dagunya kemudian menatap Jenar melalui sudut mata. “Kenapa?”“H—hanya bertanya,” tuturnya tidak yakin dengan melirik ke arah Maps yang menunjukan jalan satu arah itu dengan perasaan gugup.“Jenar, kamu meragukan kemampuan diriku dalam mengemudi atau kamu justru meragukan alamat yang muncul di dalam Maps?” tanyanya dengan cukup spesifik hingga Jenar sibuk menggigit bibir bawahnya.Sudah hampir satu jam lamanya Mada
[Nomor Tidak Dikenal : Kita harus bicara dan aku tahu kamu sedang berada di mana, Je.]Jenar yang tengah menunduk untuk memainkan ponsel dari dalam mobil lantas tercengang ketika membaca sebaris pesan yang masuk dari nomor tidak dikenal tersebut, keningya berkerut-kerut cukup dalam dan tangannya terasa dingin.“Jenar?”[Nomor Tidak Dikenal : Mengirimkan detail lokasi.][Nomor Tidak Dikenal : Kamu berada di sana, bukan?]“Kamu kenapa terlihat begitu gugup? Siapa yang mengirimkan pesan?” rentet Mada yang sejak tadi sudah memperhatikan Jenar dengan saksama ketika mobil tersebut berhenti di area parkiran bawah tanah milik Oscar.Mada sudah melepaskan sabuk pengaman dan tubuhnya sedikit dia miringkan untuk menoleh ke arah Jenar yang matanya terus tertuju kepada benda pipih di pangkuannya.“Oh, t—tidak ada apa-apa,” balas Jenar seraya menggaruk hidung lalu menelungkupkan ponsel dengan gerak yang cukup rusuh sebelum melepas sabuk pengaman.“Jadi bagaimana dengan pertanyaanku?”“P—pertanyaanm
“Aku tidak berbau ketiak dan keringat basah, ‘kan?” Jenar berbisik di sebelah Mada, berupaya meyakinkan diri sendiri bahwa dia sudah siap untuk bertemu dengan Oscar dan tidak akan membuat malu karena aroma tidak sedap yang keluar dari tubuhnya. “Pertanyaanmu terdengar cukup konyol,” kekeh Mada sambil mengacak puncak kepala Jenar. Jenar mendelik ke arah si pria lalu menunduk sebelum berbisik pelan. “Mada, sungguh, aku tidak berbau ‘kan?” Jenar menoleh, menatap pria tersebut dengan penuh pertanyaan yang belum terjawab sama sekali. Mada memasukan kedua tangannya di dalam kantung celana dan memutar sedikit tumit ke arah Jenar lalu mengatupkan bibir untuk beberapa saat. “Kalau kamu berbau, aku juga berbau. Sebab, kita menghabiskan waktu seharian penuh bersama-sama.” “Sudahlah, terserah apa katamu,” balas Jenar yang di mata Mada terlihat sangat menggemaskan sebelum mengulum bibir kemudian menunduk guna menatap jemarinya yang berhiaskan pewarna sewarna salem. “Padahal, bukan itu yang
“Kamu yakin meninggalkan Jenar untuk ke kamar mandi begitu saja, Mada?” “Kenapa tidak?” Mada meneguk air yang berada di dalam gelas, merasakan sedikit manis yang mengalir di kerongkongannya sebelum menggosok kedua tangan di atas paha lalu menoleh ke arah Oscar dengan sorot santai, bahunya terangkat secara bersamaan sebelum dia menguap. “Kamu tahu bahwa banyak hal yang disembunyikan oleh rumah ini, Mada," terang Oscar yang berupaya untuk berdiri kemudian menyusul Jenar sebelum Mada menahan tangan sang papa, memintanya agar duduk tenang tepat disampingnya. “Benar, papa. Dan itu menjadi satu dari sekian banyaknya alasan mengapa aku merasa lebih tenang tinggal di griya tawang.” Oscar menunduk, menatap tangannya yang dicekal oleh Mada sebelum suaranya berubah menjadi sebuah desis di hadapan si pria yang berusia lebih muda. “Sama sepertimu, papa juga mempunyai alasan mengapa tidak memberikan sembarang orang untuk singgah ke sini.” “Aku tahu,” jedanya sambil mengetuk jemari. “Akan teta
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya