[Nomor Tidak Dikenal : Kita harus bicara dan aku tahu kamu sedang berada di mana, Je.]Jenar yang tengah menunduk untuk memainkan ponsel dari dalam mobil lantas tercengang ketika membaca sebaris pesan yang masuk dari nomor tidak dikenal tersebut, keningya berkerut-kerut cukup dalam dan tangannya terasa dingin.“Jenar?”[Nomor Tidak Dikenal : Mengirimkan detail lokasi.][Nomor Tidak Dikenal : Kamu berada di sana, bukan?]“Kamu kenapa terlihat begitu gugup? Siapa yang mengirimkan pesan?” rentet Mada yang sejak tadi sudah memperhatikan Jenar dengan saksama ketika mobil tersebut berhenti di area parkiran bawah tanah milik Oscar.Mada sudah melepaskan sabuk pengaman dan tubuhnya sedikit dia miringkan untuk menoleh ke arah Jenar yang matanya terus tertuju kepada benda pipih di pangkuannya.“Oh, t—tidak ada apa-apa,” balas Jenar seraya menggaruk hidung lalu menelungkupkan ponsel dengan gerak yang cukup rusuh sebelum melepas sabuk pengaman.“Jadi bagaimana dengan pertanyaanku?”“P—pertanyaanm
“Aku tidak berbau ketiak dan keringat basah, ‘kan?” Jenar berbisik di sebelah Mada, berupaya meyakinkan diri sendiri bahwa dia sudah siap untuk bertemu dengan Oscar dan tidak akan membuat malu karena aroma tidak sedap yang keluar dari tubuhnya. “Pertanyaanmu terdengar cukup konyol,” kekeh Mada sambil mengacak puncak kepala Jenar. Jenar mendelik ke arah si pria lalu menunduk sebelum berbisik pelan. “Mada, sungguh, aku tidak berbau ‘kan?” Jenar menoleh, menatap pria tersebut dengan penuh pertanyaan yang belum terjawab sama sekali. Mada memasukan kedua tangannya di dalam kantung celana dan memutar sedikit tumit ke arah Jenar lalu mengatupkan bibir untuk beberapa saat. “Kalau kamu berbau, aku juga berbau. Sebab, kita menghabiskan waktu seharian penuh bersama-sama.” “Sudahlah, terserah apa katamu,” balas Jenar yang di mata Mada terlihat sangat menggemaskan sebelum mengulum bibir kemudian menunduk guna menatap jemarinya yang berhiaskan pewarna sewarna salem. “Padahal, bukan itu yang
“Kamu yakin meninggalkan Jenar untuk ke kamar mandi begitu saja, Mada?” “Kenapa tidak?” Mada meneguk air yang berada di dalam gelas, merasakan sedikit manis yang mengalir di kerongkongannya sebelum menggosok kedua tangan di atas paha lalu menoleh ke arah Oscar dengan sorot santai, bahunya terangkat secara bersamaan sebelum dia menguap. “Kamu tahu bahwa banyak hal yang disembunyikan oleh rumah ini, Mada," terang Oscar yang berupaya untuk berdiri kemudian menyusul Jenar sebelum Mada menahan tangan sang papa, memintanya agar duduk tenang tepat disampingnya. “Benar, papa. Dan itu menjadi satu dari sekian banyaknya alasan mengapa aku merasa lebih tenang tinggal di griya tawang.” Oscar menunduk, menatap tangannya yang dicekal oleh Mada sebelum suaranya berubah menjadi sebuah desis di hadapan si pria yang berusia lebih muda. “Sama sepertimu, papa juga mempunyai alasan mengapa tidak memberikan sembarang orang untuk singgah ke sini.” “Aku tahu,” jedanya sambil mengetuk jemari. “Akan teta
Prang!“Oh astaga, dasar ceroboh sekali dirimu, Jenar!” rutuknya dengan memutar bola mata.Jenar mundur sejenak, berusaha menjauhkan dirinya dari pecahan kaca yang berserak di bawah kakinya tersebut.“Dasar pembawa petaka, harusnya aku meminta agar ditemani oleh Josh jika tahu akan berujung seperti ini.”Apa yang harus dirinya katakan kepada Mada serta Oscar jika kedua lelaki itu tahu bahwa kedatangan perdana Jenar ke sini justru merusak sesuatu yang berada di rumah ini?Rasanya, rapalan harapan yang datang dari belah bibir Jenar langsung terjawab begitu saja ketika sebuah suara menyapanya disertai napas yang terdengar memburu.“Nona Jenar, anda tidak apa-apa?” tanya Josh seraya duduk bersimpuh ala seorang ksatria.“Eh—ap … apa yang kamu lakukan di sini, Josh?” balasnya kikuk karena tercengang seraya bertanya di dalam hati mengapa Josh sangat sigap menghampirinya.“Apa Nona terluka?”“A—aku baik-baik saja,” kata Jenar dengan menyelipkan helai rambut ke area belakang telinga.Jenar men
“Pa, pertanyaan papa terdengar sangat klise.” Mada terdiam sejenak mendengar penuturan dari Oscar sebelum kalimat tadi terucap, dia perlu untuk memikirkannya selama beberapa saat. “Dengarkan papa, Mada. Jangan menyia-nyiakan Jenar,” kata Oscar dengan segenap keyakinan yang ada di hatinya. “Jika kamu masih tidak dapat berpaling dari Bianca sama sekali, jangan berani untuk membuka hati pada perempuan lain. Kamu hanya akan berakhir dengan menyakitinya.” “Pa,” tegas Mada dengan memandang tegas ke arah Oscar. Pria yang lebih muda lantas melirik tangan Oscar melalui sudut mata, masih menerka-nerka apakah telapak itu akan kembali mendarat di atas pipinya seperti tadi atau tidak. Mada menggerakan rahangnya dan sedikit memutar tumit untuk berpaling ke arah kiri. Dirinya meraih dua lembar tisu dan menunduk serta menjauh dari jangkauan Oscar untuk meludah ketika Mada merasakan sesap asin pada rongga mulut. “Aku tegaskan kepada papa bahwa aku tidak akan menyakiti Jenar sama sekali,” ucap M
“Perempuan yang memakai gaun pengantin dan berpose disamping dirimu adalah Bianca, istrimu,” tebak Jenar dengan ringan. “Bagiku, kamu tidak perlu menjelaskannya lagi," sambungnya ketika menatap Mada yang nampak bersiap untuk memberikan seribu alasan kepadanya. "Lagipula, siapa perempuan muda yang bersanding denganmu di dalam foto tersebut serta dipajang di area rumah jika bukan seseorang yang spesial, bukan?” “Jenar …” Jenar menganggukan kepala, nampak tidak terganggu dengan fakta yang baru dirinya temui ini. “Untuk hal ini aku akui bahwa Bianca cantik.” Mada menelan saliva, tangannya terasa menjadi cukup dingin. "Kamu cemburu buta?" “Cemburu?” “Seperti pasangan pada umumnya. Sebab, foto yang kamu lihat adalah pernikahanku,” kata Mada dengan penuh harap kepada Jenar yang mengedipkan mata. Mulutnya terbuka kemudian menutup dengan cukup cepat sebelum tertawa canggung ketika mengatakan yang sejujurnya kepada Mada. "Sejujurnya, aku tidak tahu apakah ini buruk atau tidak, tetapi
“Jadi, bagaimana Mada? Kamu tinggal mengatakan bahwa tebakan yang aku sampaikan salah atau benar," ucapnya dengan cukup tegas yang membuat Mada berupaya mengatur kalimat balasannya dengan cukup hati-hati. "Hanya perlu iya dan tidak, tidak perlu membuatnya menjadi lebih rumit dibandingkan yang seharusnya.” Bukan. Bukan pertanyaan Jenar yang membuat Mada terpaku dan kehilangan kemampuannya untuk berbicara dalam beberapa detik setelahnya. “Mada Lawana, kenapa sekarang dirimu justru menjadi bungkam?” Sejujurnya, dengan mudahnya Mada dapat mengatakan tidak kepada sang perempuan serta mengatakan bahwa tebakan perempuan itu salah. Akan tetapi, ketenangan Jenar saat bertanya kepadanya, itu yang membuatnya terkagum. “Tidak. Dirimu dan Bianca berbeda, Jenar,” katanya dengan menunjukan seulas senyum yang cukup canggung sambil menatap Jenar cukup intens. Seakan-akan, tidak ada siapapun di sana selain dirinya dan Jenar, tidak pula Josh maupun Oscar serta para pengurus rumah serupa villa ter
“Jenar,” panggil Mada cukup lirih ketika sebuah deham terdengar di telinganya.Mada menolehkan kepala, menatap kearah punggung Jenar yang perlahan terlihat mengecil seiring langkahnya ketika menghampiri Oscar."Tuan Oscar, apa yang Tuan lakukan di sini? Mari kita kembali ke area meja makan," ajak Jenar dengan hangat, berusaha untuk tidak mendengar bahwa terdapat sayup suara Mada yang memanggil namanya."Kalian berdua lama sekali.""Kami habis membahas beberapa hal, seperti hal-hal yang berkaitan dengan urursan pekerjaan," tutur Jenar.Dia berdiri di sebelah Oscar dan tersenyum memancarkan kehangatan sebelum memutuskan untuk berjalan disebelah si pria renta.“Sepertinya kursi yang berada di ruang makan hanya dua, bukan?""Papa ayolah, jangan menjadi menyebalkan seperti ini," gerung Mada pada Oscar."Tidak akan ada ruang untuk orang ketiga, terlebih jika orang itu bernama Mada Lawana,” sindir Oscar kepada sang putra ketika Jenar tersipu malu lalu berupaya memapah Oscar agar dapat berjal
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya