Prang!“Oh astaga, dasar ceroboh sekali dirimu, Jenar!” rutuknya dengan memutar bola mata.Jenar mundur sejenak, berusaha menjauhkan dirinya dari pecahan kaca yang berserak di bawah kakinya tersebut.“Dasar pembawa petaka, harusnya aku meminta agar ditemani oleh Josh jika tahu akan berujung seperti ini.”Apa yang harus dirinya katakan kepada Mada serta Oscar jika kedua lelaki itu tahu bahwa kedatangan perdana Jenar ke sini justru merusak sesuatu yang berada di rumah ini?Rasanya, rapalan harapan yang datang dari belah bibir Jenar langsung terjawab begitu saja ketika sebuah suara menyapanya disertai napas yang terdengar memburu.“Nona Jenar, anda tidak apa-apa?” tanya Josh seraya duduk bersimpuh ala seorang ksatria.“Eh—ap … apa yang kamu lakukan di sini, Josh?” balasnya kikuk karena tercengang seraya bertanya di dalam hati mengapa Josh sangat sigap menghampirinya.“Apa Nona terluka?”“A—aku baik-baik saja,” kata Jenar dengan menyelipkan helai rambut ke area belakang telinga.Jenar men
“Pa, pertanyaan papa terdengar sangat klise.” Mada terdiam sejenak mendengar penuturan dari Oscar sebelum kalimat tadi terucap, dia perlu untuk memikirkannya selama beberapa saat. “Dengarkan papa, Mada. Jangan menyia-nyiakan Jenar,” kata Oscar dengan segenap keyakinan yang ada di hatinya. “Jika kamu masih tidak dapat berpaling dari Bianca sama sekali, jangan berani untuk membuka hati pada perempuan lain. Kamu hanya akan berakhir dengan menyakitinya.” “Pa,” tegas Mada dengan memandang tegas ke arah Oscar. Pria yang lebih muda lantas melirik tangan Oscar melalui sudut mata, masih menerka-nerka apakah telapak itu akan kembali mendarat di atas pipinya seperti tadi atau tidak. Mada menggerakan rahangnya dan sedikit memutar tumit untuk berpaling ke arah kiri. Dirinya meraih dua lembar tisu dan menunduk serta menjauh dari jangkauan Oscar untuk meludah ketika Mada merasakan sesap asin pada rongga mulut. “Aku tegaskan kepada papa bahwa aku tidak akan menyakiti Jenar sama sekali,” ucap M
“Perempuan yang memakai gaun pengantin dan berpose disamping dirimu adalah Bianca, istrimu,” tebak Jenar dengan ringan. “Bagiku, kamu tidak perlu menjelaskannya lagi," sambungnya ketika menatap Mada yang nampak bersiap untuk memberikan seribu alasan kepadanya. "Lagipula, siapa perempuan muda yang bersanding denganmu di dalam foto tersebut serta dipajang di area rumah jika bukan seseorang yang spesial, bukan?” “Jenar …” Jenar menganggukan kepala, nampak tidak terganggu dengan fakta yang baru dirinya temui ini. “Untuk hal ini aku akui bahwa Bianca cantik.” Mada menelan saliva, tangannya terasa menjadi cukup dingin. "Kamu cemburu buta?" “Cemburu?” “Seperti pasangan pada umumnya. Sebab, foto yang kamu lihat adalah pernikahanku,” kata Mada dengan penuh harap kepada Jenar yang mengedipkan mata. Mulutnya terbuka kemudian menutup dengan cukup cepat sebelum tertawa canggung ketika mengatakan yang sejujurnya kepada Mada. "Sejujurnya, aku tidak tahu apakah ini buruk atau tidak, tetapi
“Jadi, bagaimana Mada? Kamu tinggal mengatakan bahwa tebakan yang aku sampaikan salah atau benar," ucapnya dengan cukup tegas yang membuat Mada berupaya mengatur kalimat balasannya dengan cukup hati-hati. "Hanya perlu iya dan tidak, tidak perlu membuatnya menjadi lebih rumit dibandingkan yang seharusnya.” Bukan. Bukan pertanyaan Jenar yang membuat Mada terpaku dan kehilangan kemampuannya untuk berbicara dalam beberapa detik setelahnya. “Mada Lawana, kenapa sekarang dirimu justru menjadi bungkam?” Sejujurnya, dengan mudahnya Mada dapat mengatakan tidak kepada sang perempuan serta mengatakan bahwa tebakan perempuan itu salah. Akan tetapi, ketenangan Jenar saat bertanya kepadanya, itu yang membuatnya terkagum. “Tidak. Dirimu dan Bianca berbeda, Jenar,” katanya dengan menunjukan seulas senyum yang cukup canggung sambil menatap Jenar cukup intens. Seakan-akan, tidak ada siapapun di sana selain dirinya dan Jenar, tidak pula Josh maupun Oscar serta para pengurus rumah serupa villa ter
“Jenar,” panggil Mada cukup lirih ketika sebuah deham terdengar di telinganya.Mada menolehkan kepala, menatap kearah punggung Jenar yang perlahan terlihat mengecil seiring langkahnya ketika menghampiri Oscar."Tuan Oscar, apa yang Tuan lakukan di sini? Mari kita kembali ke area meja makan," ajak Jenar dengan hangat, berusaha untuk tidak mendengar bahwa terdapat sayup suara Mada yang memanggil namanya."Kalian berdua lama sekali.""Kami habis membahas beberapa hal, seperti hal-hal yang berkaitan dengan urursan pekerjaan," tutur Jenar.Dia berdiri di sebelah Oscar dan tersenyum memancarkan kehangatan sebelum memutuskan untuk berjalan disebelah si pria renta.“Sepertinya kursi yang berada di ruang makan hanya dua, bukan?""Papa ayolah, jangan menjadi menyebalkan seperti ini," gerung Mada pada Oscar."Tidak akan ada ruang untuk orang ketiga, terlebih jika orang itu bernama Mada Lawana,” sindir Oscar kepada sang putra ketika Jenar tersipu malu lalu berupaya memapah Oscar agar dapat berjal
[Nomor Tidak Dikenal : Jenar, bisakah kita berdua bertemu?] “Mungkin aku ingin membahasnya nanti ketika waktunya tiba, tidak untuk sekarang,” tutur Jenar dengan menatap ke arah pria yang berada dibelakang kemudi ketika kendaraan beratap rendah itu tiba di dekat tempat tinggalnya. Suara mesin masih terdengar menderu begitu juga dengan tangan kiri Mada yang memegang kemudi sedangkan tangan kanannya sibuk mengetuk atap rendah kendaran itu dengan bibir yang mengerucut sambil sesekali menoleh ke arah Jenar yang tengah merapikan diri. "Aku tidak tahu apa yang saat ini kamu pikirkan. Akan tetapi, one thing for sure, aku tidak pernah mencoba menyamai dirimu dengan Bianca. Kalian berdua berbeda dan—" "Anggaplah seperti ini." Jenar yang semula tengah merapikan jam tangan rantai dipergelangan tangan kiri kemudian dengan tegas menatap ke arah Mada. "Pertama, anggap saja dari sejuta manusia di muka bumi, kamu justru bertemu dengan Bianca dan diriku." Jenar menjeda sejenak kemudian menarik tur
"Masa laluku adalah milikku, sejauh apa kamu bisa tahu dan melibatkan diri di dalamnya, tentu harus seizin diriku," lugasnya yang membuat Jenar lekas berpaling, mengabaikan gedoran yang semula datang dari arah luar tersebut.Alih-alih memperhatikan serta mendengarkan sekeliling mereka dengan saksama, Jenar justru menunduk dalam-dalam.Sama seperti Mada yang juga tengah terengah-engah karena merasa energinya terkuras habis ketika dirinya bersitegang dengan Jenar tadi."God damn it!" raungnya pelan dengan memukul kemudi sebelum menelungkupkan kepalanya di atas kemudi lalu menggeram untuk meredakan amarah yang semula menggebu-gebu di relung hati."Sekali lagi aku tegaskan kepada dirimu, aku tidak pernah menyamai dirimu dengan siapapun, termasuk Bianca." Mada menjeda sejenak kemudian menekan-nekan pelipisnya yang terasa berdenyut tidak berkesudahan."Aku tidak berbohong ketika mengatakannya dan cukup, cukup untuk merasa bahwa semua ini berputar di dunia orang yang sudah lama meninggal dun
"30 detik dan tidur bersamaku di akhir pekan. Sepakat?" tawar Mada kepada Jenar yang rasanya gatal sekali ingin mengusak wajah pria itu menggunakan sabut yang digunakan untuk mencuci piring."Penawaran yang tidak masuk akal, Mada.""Baik."Mada bergumam sejenak lalu mendecakan lidah. "Jika begitu, kamu sudah mengetahui jawabanku. Aku tidak akan membiarkanmu untuk bertemu dengan Sambara.""Kenapa tidak?""Karena aku tidak bertemu dengan seseorang yang membuat hatiku patah, Jenar. Logikanya seperti itu."Jenar mengetatkan rahang, nampak kesal dengan Mada. Padahal, jawabannya sudah sangat jelas bahwa pria itu tidak akan dapat bertemu kembali dengan seseorang yang mematahkan hatinya; Bianca Rose."Tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi karena Bianca sudah ....""Apa ada yang salah dari ucapanku?" potong Mada dengan lengan kanan yang bersandar pada kemudi sementara Jenar melemas."Sepakat," kata Jenar dengan susah payah karena ponselnya terus saja berdering tak berkesudahan."Buka pintun