Sesampainya Ressa di rumah Vera, ia mengetuk pintu rumah sahabatnya itu. Sekali, dua kali, tak ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Ia duduk di kursi teras depan sambil memainkan ponselnya. Ia biasa menunggu sang empunya rumah pulang. Lagi pula, Vera sudah membalas pesannya dan bersedia menampungnya sampai sore hari.
Benar saja, beberapa menit kemudian terlihat Ressa yang mengendarai motor memasuki halaman rumahnya dan memarkirkan motornya di garasi. Ia menenteng map plastik yang berisi kertas-kertas entah apa, mungkin saja kertas skripsi. Ya, Vera masuk kuliah satu tahun di bawah Ressa, sehingga saat ini Vera sedang disibukkan menyelesaikan tugas akhir tersebut.
“Sudah lama Res? Maaf ya membuatmu menunggu,” ucap Vera sambil melepas helmnya. Ia merasa tak enak hati membiarkan temannya duduk menunggu.
“Iya, kamu lama banget sih, pasti sama doi kan,” jawab Ressa sambil menekuk muka.
Vera yang paham malah tertawa dengan jawaban Ressa. “Hahaha... Iya sorry, nanggung tadi ngabisin es kelapa dulu di pinggir jalan.”
Tiba-tiba raut muka Ressa menjadi sedih, “enak ya kamu, bisa menjalani hubungan dengan Adit apa adanya.”
“Eh, ada apa nih, yuk masuk dulu, cerita sama aku, ayo cerita!” ajak Vera sambil membuka kunci rumahnya. Ressa membuntuti masuk ke dalam rumah. Vera mempersilakan sahabatnya itu untuk duduk di ruang tamu kemudian mengambil sebotol es jeruk dengan dua gelas yang diletakkan di nampan.
Ressa melihat sekitar nampak sepi, biasanya ibunya Vera akan menyambut hangat Ressa. Beliau sangat welcome terhadap semua teman Vera. Ini yang membuatnya iri dengan keluarga Vera.
“Ve, rumah kamu sepi?” tanya Ressa ketika melihat Vera datang dengan nampan yang berisi minuman. Harusnya tidak perlu ditanya, sebab tadi waktu masuk ke rumah pun Vera membuka kunci sendiri, itu berarti memang Vera orang pertama yang masuk ke rumah. Ini pertanyaan retoris. Atau Ressa hanya butuh sebuah validasi.
“Iya nih, sepi. Aku sendirian. Semua lagi pada liburan ke rumah nenek, aku gak bisa ikut karena udah janjian sama dosbingku, nasib emang,” jawab Vera sambil memanyunkan bibirnya.
Ressa tertawa mendengarnya, tapi beberapa saat kemudian raut mukanya berubah serius.
“Semangat ya Ve, mudah-mudahan cepet selesai skripsinya.”Vera mengatupkan kedua tangannya kemudian mengusapkan ke mukanya, “Amin, thanks Ress, oh iya minum dulu gih, haus pasti dari tadi nunggu di teras.”
Ressa mengambil es jeruk yang disuguhkan Vera padanya dan segera meminumnya, “seger banget nih minumannya, lumayan ikut nyegerin otak.”
“Hahaha, bisa saja kamu Res, eh, by the way tadi katanya mau cerita, ada masalah apa?” tanya Vera pada Ressa penasaran. Ia mengubah posisi duduknya menghadap ke Ressa. Kedua kakinya dinaikkan ke kursi dan disilangkan. Mirip duduknya bapak-bapak yang sedang mengaji.
“Ve, ayahku tiba-tiba menyuruhku untuk memutuskan hubungan dengan Arya,” jawab Ressa sedih.
“Hah?” Vera kaget mendengar jawaban Ressa. Sampai-sampai es yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya hampir muncrat tapi tidak jadi karena ia buru-buru menelannya. “Serius? Lah, alasannya apa? Bukankah selama ini Arya main ke rumahmu juga tidak ada penolakan?” selidik Vera.
Sambil terisak Ressa menceritakan semua pada sahabatnya, “Ayah bilang kami berbeda jauh, ya status sosial, ekonomi, pendidikan. Aku ga habis pikir dengan Ayah, kenapa tiba-tiba ngomongin soal ini, selama ini kalau Arya main memang jarang ditemui ayah, selalu sama ibu, ayah hanya diam, tidak ada respon apapun. Menurutmu aku harus bagaimana?”
Vera menepuk-nepuk punggung Ressa mencoba memberikan dukungan padanya.“Kalau soal restu orang tua, aku ga bisa berkata apa-apa Res, aku berdoa semoga kamu bisa melewati semua ini.”
“Aku sangat mencintai Arya Ve, kamu kan tau, sudah dua tahun kami bersama, dia laki-laki yang baik, pekerja keras, dan penyayang. Di lain sisi, aku juga menghormati ayah, aku benar-benar dilema,”
Vera hanya diam, ia membiarkan sahabatnya itu menangis untuk beberapa saat. Setelah puas menangis, Ressa mengusap air matanya, dan mendongak melihat Vera.
“Ve, apa aku harus ceritakan ini ke Arya?” tanya Ressa.
“Menurut aku ya lebih baik memang cerita ke Arya Ve, bagaimanapun dalam suatu hubungan harus ada keterbukaan, jangan memendam masalah sendiri. Biar bisa dicari solusinya bersama,”
“Oh, gitu yah, baiklah aku akan cerita ke Arya. Kebetulan nanti sore aku ada janji jalan bareng doi, aku suruh dia jemput di sini, boleh ya Ve,” pinta Ressa
“It's ok, Res,” jawab Vera tanda mengizinkan, “kamu mau istirahat dulu?”
“Pasti kamu kan yang mau tidur?” tebak Ressa yang tahu banget kalau sahabatnya ini sangat suka tidur.
“Tau aja kamu Res, kamu memang sahabat baikku,” jawab Vera sambil merangkul Ressa beberapa detik. Ressa tertawa mendengar pujian Vera. Sukses sudah mengubah tangis sahabatnya menjadi tawa.
“Ya siapa yang gak kenal Vera si putri tidur,” ujar Ressa yang membuat gelak tawa Vera.
“Ya abis gimana, emangnya mau ngapain lagi kalo gak molor, hahaha.”
Dret dret dret
Ponsel Vera berdering dan getarannya semakin keras karena diletakkan di meja kaca.“Ve, hape kamu tuh bunyi,” Ressa memberi tahu Vera yang tidak fokus pada ponselnya. Vera spontan melihat ponselnya. Di sana terlihat nama Adit dan emotikon hati warna merah.
“Kyaaa, Adit telepon, Res, aku telepon di kamar aja ya, ikut gak?” ajak Vera pada Ressa.
“Nanti deh,” tolak Ressa karena tidak ingin mengganggu sahabatnya.
“Baiklah, kau santai aja di sini ya, mau ke dapur oke, tidur di kamar oke, ke toilet oke, tiduran di depan TV juga oke, anggap saja rumah sendiri, lagi pula bapak ibukku pulangnya besok, jadi sepi deh,” pesan Vera pada Ressa yang masih betah duduk di kursi depan televisi.
“Hahaha... Oke sip” jawab Ressa sambil mengacungkan jempolnya.
Vera ketiduran setelah telepon dengan Adit di kamar, sedangkan Ressa ia tidak bisa memejamkan matanya. Pikiran Ressa seperti berlari ke sana kemari, bahkan televisi yang menyala pun tidak ia tonton, hanya dijadikan sumber suara agar tidak terlalu sunyi suasananya.
Ressa berpikir, setelah ia lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, ia bisa langsung menikah dengan lelaki pujaannya. Namun kenyataannya terlalu pahit, belum juga membicarakan hal ini ke orang tuanya, sudah ada penolakan dari ayahnya. Mau di bawa ke mana hubungannya? Dia benar-benar merasa bingung.
Pikirannya terus melayang hingga tak terasa matahari terus berjalan ke arah barat. Tiba-tiba sudah hampir sore, sebentar lagi Arya datang menjemputnya. Ressa masih malas untuk bangun dari kursinya.
Vera yang sudah merasa kenyang tidurnya, bangun dan menghampiri Ressa yang tiduran di kursi depan tv, “kamu gak tidur Res?” tanya Vera.
Ressa segera bangun dan mengambil posisi duduk. Vera spontan langsung duduk di sebelah Ressa dan mengambil sestoples keripik singkong dan dipeluknya.
“Bagaimana bisa aku tidur, pikirannya lagi gak karuan,” alibi Ressa.
“I feel you, Ress. Aku tau kamu lebih sabar dan lebih semangat dari sekedar kata-kataku,” ucap Vera.
Tok tok tok.Pintu rumah Vera diketuk seseorang, Berapa dan Ressa mengalihkan pandangan ke arah pintu. Sebenarnya percuma juga mereka memandang pintu. Sudah jelas tidak akan terlihat siapa yang datang sebab pintu terkunci dan korden tertutup rapat.Vera bangkit dari duduknya setelah meletakkan dan menutup stoples keripik singkong. Sambil mengunyah sisa-sisa keripik di mulutnya, ia berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu. Benar dugaannya, Arya yang bertamu ke rumahnya.“Ve, Ressa di sini?” tanya Arya langsung tanpa basa basi.“Iya, silakan masuk dulu Ar!” ajak Vera pada Arya.Arya berjalan mengikuti Vera. Langkah mereka terhenti di depan televisi. Vera mempersilakan Arya untuk duduk.Arya memilih duduk di samping Ressa dengan kursi yang berbeda. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Sedangkan Vera memilih pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas minum untuk Arya sekaligus mem
Tuan Sanjaya tampak menjentikkan abu rokoknya di asbak, “Ibu beneran ingin tahu alasan Ayah menolak keras hubungan mereka berdua?”Nyonya Mira mengangguk dua kali dengan cepat. Ia sangat penasaran.Tuan Sanjaya membetulkan posisi duduknya, “Bu, Ibu tahu? Arya Permana itu adalah anak dari Sukardi dan Kalimah,”Nyonya Mira tampak berpikir sejenak, “Sukardi yang dulu kerja bareng Ayah?” tanyanya.Tuan Sanjaya mengangguk sambil menyesap batang rokoknya yang hampir habis. Nyonya Mira masih belum yakin.“Dia akhirnya menikahi Kalimah? Bagaimana kabar Gayatri?” tanya nyonya Mira.“Entah. Kabar terakhir yang Ayah tahu Gayatri kembali ke rumah orang tuanya. Sukardi mengambil alih perusahaan Ayah Kalimah, tapi karena gila judi, aset perusahaan habis dan akhirnya gulung tikar. Itu kenapa anak-anaknya berpendidikan rendah dan ikut kerja di gudang kita. Selebihnya Ayah tidak mau
“Please, Mas, antar aku ke rumah Vera saja ya,” ujar Ressa kembali mengatupkan kedua telapak tangannya meminta diantar ke rumah Vera, sahabatnya.“Kenapa gak langsung pulang saja? Nanti kelamaan,” tanya Arya yang masih keberatan dengan permintaan kekasihnya. Baginya, mengantar sampai ke rumah adalah suatu bentuk tanggung jawab.“Aku belum siap menunjukkan hubungan kita ke ayah, ke Vera dulu ya, nanti kalau sudah waktunya kita bisa leluasa pergi antar jemput di rumah,” pinta Ressa masih dengan tatapan memohonnya.Arya akhirnya menyerah. Ia tak punya daya untuk satu hal ini, terpaksa ia mengikuti saran Ressa meskipun dalam hati kecilnya selalu menolak jika harus antar jemput di rumah Vera. Dengan gontai lelaki itu mengangguk, ia memakai helm dan menstater motornya.Ceklek ceklek ceklek. Ressa berkali-kali mencoba mengunci helmnya tapi usahanya tidak juga membuahkan hasil. Sia-sia. Ia terus mencoba
“Aw,” pekik Ressa.Ia membuka matanya. Melihat sekitar. Pemandangannya mirip kamarnya. Siapa yang sudah menggotongnya ke kamar? Di mana Arya?Tok tok tokTiba-tiba pintu kamar diketuk, sekali, dua kali, ia tak mendengarnya. Ketukan itu semakin kencang.Sayup-sayup terdengar suara dari luar, “Ressa, sayang, Nak, ditunggu ayah di luar.”Itu suara ibu Ressa, Ressa mengucek matanya. Ia melihat pakaian yang dikenakannya. Bukan gaun pengantin.Jadi tadi itu mimpi? Batin Ressa.Ia tak tahu harus sedih atau senang. Sedih karena pernikahannya dengan lelaki pilihannya hanya sebuah mimpi, atau harus senang karena insiden terjatuh saat pernikahan ternyata hanyalah sebuah mimpi.Kepalanya terasa berat karena tidur singkatnya di sore hari. Ressa membuka pintu kamarnya, “ada apa Bu?”“Kamu tidur? Sore hari jangan tidur!” larang ibu Ressa.&
Di rumah Arya.Malam ini Arya menonton televisi sambil sesekali mengecek notifikasi ponselnya. Takut kalau-kalau tiba-tiba kekasihnya menghubunginya.“Arya anak ibu, lagi apa?” ibu Kalimah menghampiri anak lelakinya yang sedang menonton televisi.“Ini Bu, nonton moto gp, seru, sini Bu duduk,” jawab Arya sambil menepuk karpet di sebelahnya.Ibu Kalimah pun ikut duduk di samping Arya. Matanya melihat layar kaca, sesekali menatap anak lelakinya itu.“Nak, kayaknya sudah lama sekali pacarmu enggak main kesini lagi. Kamu masih sama Ressa?” tanya ibu Kalimah.“Masih, Bu,” Jawab Arya singkat. Matanya masih terpaku pada jajaran motor di layar kaca.“Kenapa kok enggak main kesini lagi?” tanya ibu Kalimah mengulangi pertanyaannya karena penasaran.“Dia sibuk kerja di kota, Bu,” jawab Arya dengan lembut.
Hari ini Arya tetap berangkat kerja ke gudang seperti biasanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tetap Arya yang pekerjaan keras.Seandainya tuan Sanjaya mau sedikit saja membuka hatinya, ia akan bisa melihat watak Arya yang berbeda jauh dengan ayahnya, Sukardi.Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu peribahasa yang selalu dipegang teguh oleh tuan Sanjaya sehingga ia menutup mata atas segala perilaku baik dari Arya.Tuan Sanjaya tidak merasa sedang balas dendam. Ia hanya masih merasa sakit hati atas apa yang diperbuat rekannya, Sukardi. Juga ia tidak mau putrinya diperlakukan dengan tidak baik oleh keluarga Sukardi. Masih ada trauma yang mendalam baginya.Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba tuan Sanjaya mengunjungi gudang. Biasanya ia akan menyuruh orang kepercayaannya untuk mengecek. Di sanalah ia melihat dan berpapasan dengan Arya, putra dari si penghancur kariernya.Arya sedang menata barang ketika tuan Sanjaya berk
“Maafkan aku, Ress. Aku mau kamu tetap hormat pada orang tuamu, ikuti dulu kemauan orang tuamu. Sambil berjalan, kita sambil cari solusi, aku akan membuktikan pada ayahmu, kalau aku pantas mendapatkanmu. Kita berdoa bersama semoga semesta menyatukan kita. ”Sebuah deru motor mendekat pintu masuk. Ressa dan Arya kompak melihat ke arah luar. Dika. Rekan kerja Arya sudah sampai. Ia membuka pintu menggunakan kunci yang dibawanya. Tapi gagal, karena ada kunci yang tergantung di dalam.Arya membukakan pintu dan mempersilakan Dika untuk masuk.“Dik, masuk, gih, siapin semuanya!”Dika masuk ke dalam. Pandangan matanya menangkap sosok gadis cantik yang sering diceritakan Arya. Apa dia Ressa? Dika bertanya-tanya dalam hatinya. Wajar saja karena Dika memang belum pernah ketemu sebelumnya.“Eh, siapa itu Ar? Ressa kah?” Tanya Dika setengah berbisik.Arya mengangguk, “yoi.”
Arya kembali ke warung miliknya dengan ojek online. Meski hatinya perih, ia harus tetap bekerja. Apalagi saat ini coffe shop miliknya sudah dikenal kalangan milenial.“Bro, lesu amat abis kencan,” celetuk Dika yang melihat Arya tak bertenaga.“Nanti lah aku ceritakan kebenarannya sama kamu,” jawab Arya tak punya mood untuk bercerita.Dika tak ambil pusing tentang itu.“Kamu kalo ga semangat gitu istirahat dulu gih. Biar aku yang ambil alih semuanya. Daripada kamu nanti menurunkan kualitas minuman kamu sendiri. Oke?” ujar Dika pengertian.Sesuai motto coffe shopnya yakni "kepuasan pelanggan adalah prioritas kami".“Gak. Aku tetep kerja, semangat buat diriku sendiri!” ujar Arya.Dika terkekeh mendengarnya. Aneh sekali memang sahabatnya yang satu ini.“Bro, liat tuh, Adit sama Vera dateng,” ujar Dika menunjuk di pintu di mana Adit m
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba
“Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Ressa?” tanya Winda pada Dika setelah mendengar penjelasan dari Dika terkait alasannya kenapa menjauhi dirinya.Dika mengangguk. Matanya tidak berani menatap Winda. Tatapan matanya terus ke mejanya atau terkadang ke lantai. Sesekali melihat ke arah jauh. Dika benar-benar menghoindari kontak mata dengan Winda.“Dik! Tolong lihat aku!” seru Winda karena melihat Dika yang tidak fokus kepadanya.“Dik!”Tangan Winda meraih dagu Dika dan mengarahkan ke depan dengan setengah memaksa agar Dika menatapnya.“Win, maafin aku jika aku terkesan menghindari kamu. Aku kecewa dengan sifatmu.”“Tapi Dik, semua orang bisa berubah. Apa kamu tidak bisa menerima masa lalu orang lain?”“Tapi yang kamu lakuin ke Ressa itu sangat keterlaluan. Kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri. Ressa sampai depresi gara-gara kamu dan keluargamu. Dia harus bolak-balik psikiater untuk berobat. Jiwanya terguncang. Bagaimana nanti jika aku terus dekat dengan kamu? Hal tega apa yang a
“Kedatangan saya kemari hendak mengucapkan terima kasih atas pencabutan laporan Pak Sanjaya terhadap kedua anak kami.”“Kami sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Saya mengakui jika kelakuan kedua anak kami memang sangat di luar batas kewajaran. Perbuatan mereka sangat-sangat salah. Karena itu saya tidak membela mereka di hadapan Pak Sanjaya. Saya malu dengan Pak Sanjaya. Saya merasa gagal mendidik kedua anak saya, Pak.”“Tetapi setelah mengetahui jika Pak Sanjaya mencabut laporannya terhadap Gilang, terlebih kepada Winda, Saya sujud syukur, sangat bersyukur atas kebaikan hati Pak Sanjaya. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sanjaya. Saya menunggu waktu yang tepat untuk datang kemari. Saya harap, ke depan, hubungan kita masih baik-baik saja.”Akhirnya, keluar juga kalimat yang telah dirancang Pak Budiman sejak sebelum melangkah keluar rumah menuju rumah mantan besannya itu. Pak Budiman menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja selesai berperang. Sementara Bu Nani
Bruk.Dika berlari dengan cepat sampai terengah-engah hingga menabrak sebuah kursi yang sedari tadi diam bergeming.“Ada apa sih Dik lari-lari gitu? Nggak bisa santai saja?” tegur Arya yang melihat sahabatnya menabrak kursi.“Gawat Ar. Kamu harus cepat ke kota. Kamu harus segera ke bandara!” seru Dika dengan napas yang masih terengah-engah.“Bandara? Buat apa? Aneh kamu!” ujar Arya tak menghiraukan Dika. Ia berbalik badan melangkah ke lantai atas kafenya.“Ressa, Ar. Ressa. Dia hari ini mau berangkat ke luar negeri. Dia mau kuliah di luar negeri. Dia tidak mengabari kamu?” jelas Dika dengan cepat.Deg. Terang saja Arya terkejut. Beberapa hari ini ia memang sempat mengabaikan pesan masuk dari Ressa karena kesibukannya yang seakan tidak pernah berhenti.Kakinya yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama diurungkannya.“Apa kamu bilang?”“Iya Ar. Ressa … ““Kamu handle semua urusan kerjaan di sini, aku mau nyusul Ressa,” ujar Arya terburu-buru. Tangannya dengan cepat menyambar kun