Sejak mengantar Ressa berangkat ke kontrakannya, Arya tidak pernah ke sana lagi. Dia masih sibuk bekerja di gudang milik ayahnya Ressa, dan mengelola bisnis warung kopi yang kini sudah memiliki bangunan tersendiri. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan tulisan, pesan suara maupun panggilan video.
Ressa pun tak merengek minta dijenguk atau diajak jalan-jalan seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim. Ia fokus pada kariernya, fokus pada pekerjaannya.
Hingga dua bulan berlalu, tiba saatnya libur Natal dan tahun baru. Hari ini Ressa akan pulang. Arya yang dikabari merasa sangat senang. Mereka berdua memendam rindu yang terlalu dalam.
Sudah ada banyak adegan yang tertulis dalam angan. Pulang, liburan, jalan bersama Arya, dilamar, dan tentu saja menetapkan tanggal pernikahan. Sempurna.
Bukankah itu sangat membahagiakan? --Malam ini Ressa telah sampai di rumahnya. Saat makan malam, ia berniat bicara pada ayahnya perihal Arya yang akan melamarnya meski penat di tubuhnya belum kunjung hilang.
“Ayah, ayah sudah tahu bukan kalau aku berpacaran sama Arya?” tanya Ressa pada ayahnya, “kami ada rencana....”
Belum selesai Ressa mengutarakan niat baik Arya untuk melamarnya, tuan Sanjaya memotong kalimatnya.
“Segera putuskan hubunganmu dengan Arya!” Seru ayah Ressa di hadapan istri dan anak bungsunya itu.
“Tapi kenapa, Yah?” tanya Ressa yang terkejut mendengar perintah ayahnya.
“Nurut saja kata Ayah, Arya tidak baik untukmu,” jawab Tuan Sanjaya tanpa menjelaskan secara detail.
Ressa Adha Ayuningtyas, gadis 22 tahun yang baru saja merayakan kelulusan sarjananya dan memulai bekerja di sebuah perusahaan ternama di kotanya, harus menelan pil pahitnya kehidupan. Hubungan percintaan dengan kekasihnya, Arya Permana, yang sudah dilalui dua tahun belakangan harus melewati ujian besar. Yakni penolakan dari seseorang yang nantinya akan menjadi wali pernikahan mereka, ialah tuan Sanjaya, ayah dari Ressa.
Ressa yang sangat mencintai kekasihnya merasa tidak puas dengan penjelasan ayahnya. Ia mencolek ibunya, memberi kode minta bantuan agar membantunya bicara di depan ayahnya. Nyonya Mira pun paham maksud kode anak bungsunya itu.
“Ayah, kenapa tiba-tiba menyuruh Ressa buat memutuskan hubungan Ressa dan Arya? Bukankah Ayah belum mengenal secara jelas siapa Arya? Dia anak yang baik loh Yah, Ibu sudah beberapa kali bertemu dan ngobrol dengannya,” ujar Nyonya Mira membela Ressa.
Ressa menatap Nyonya Mira. Sedikit senyum tanda terima kasih pada ibunya tersungging di bibir Ressa. Beberapa saat kemudian pandangan Ressa beralih pada ayahnya. Wajahnya berubah. Ia menurunkan sudut bibirnya dan menundukkan kepalanya. Ressa tak berani berkata.
“Ayah lebih tau dari pada yang kalian duga. Kalian benar-benar ingin tahu alasannya?” tanya Tuan Sanjaya pada Nyonya Mira dan Ressa. Keduanya seakan diam membisu. Merasa takut jika bersuara. Watak Pak Sanjaya yang keras membuat keluarga ini tidak bisa menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak hal harus sesuai keinginan Pak Sanjaya. Hanya Pak Sanjaya lah yang boleh memutuskan segala sesuatunya. Benar-benar otoriter.
“Dengar baik-baik! Pertama, dia tidak selevel dengan kita. Dia dan orang tuanya hanya buruh rendahan, sedangkan ayah ini tokoh masyarakat dan pemilik perusahaan tekstil terbesar. Kedua, kau ini lulusan sarjana terbaik di universitas terbaik pula, sedangkan dia SMP saja mungkin tidak lulus. Di mana otakmu?” jelas Tuan Sanjaya dengan nada meremehkan yang menguras emosi. Tuan Sanjaya sama sekali tidak mengetahui bisnis warung kopi Arya. Meski tahu pun, sepertinya sulit bagi tuan Sanjaya menerima Arya. Entah kenapa.
Badan Ressa bergetar, matanya berembun, menahan tangis. Memang fakta yang di katakan Tuan Sanjaya. Tetapi apakah harus diperjelas dengan nada meremehkan begitu? Apakah salah mencintai orang yang berbeda status dengan kita? Apakah semua harus diukur dengan kesetaraan status termasuk cinta?
“Ayah, tapi Ressa mencintainya Yah. Yang ayah katakan memang benar, tetapi cinta tidak memandang status sosial, ekonomi, apalagi pendidikan, cinta itu tentang ketulusan dan kasih sayang, dan dia mempunyai itu, Yah,” ujar Ressa memberanikan diri membantah dengan halus ucapan ayahnya.
“Kamu! Ayah sekolahkan tinggi-tinggi sampai sarjana tapi otakmu tetap gak dipakai. Kamu sudah dibutakan oleh cinta. Kamu mau makan cinta?” ucap Tuan Sanjaya dengan nada tinggi merasa pendapatnya paling benar.
“Yah, Ressa mohon restui Ressa dan Arya,” ucap Ressa memohon pada ayahnya.
“Tidak! Sekali Ayah bilang tidak ya tidak, titik!” Seru Ayah Ressa di hadapan istri dan anak bungsunya.
Ressa menundukkan kepalanya, sirna sudah harapannya untuk bisa hidup bersama lelaki pilihannya, Arya. Ibunya pun tidak kuasa membujuk ayahnya. Tuan Sanjaya terlalu keras kepala.
Apakah Dewi Cinta telah salah memanah jantung hati Ressa dan Arya?
--Hari ini, setelah dua bulan tidak bertemu, Arya berniat mengajak Ressa untuk melihat sunset bersama. Hingga detik ini, Arya belum mengetahui perihal penolakan tuan Sanjaya terhadap dirinya. Ketika sedang mengangkat gulungan kain, matanya menangkap sosok gadis tinggi semampai berambut lurus dengan sedikit bergelombang di bagian bawahnya. Gadis itu menghampirinya yang sedang sibuk bekerja. Arya spontan menaruh gulungan kain ke bawah.
“Ressa? Kamu kok enggak ngabarin kalau mau ke gudang? Apa kabar kamu?” tanya Arya pada anak gadis pemilik gudang tempat ia bekerja. Tangannya meraih jemari Ressa.
“Kabar baik, aku kesini untuk menemuimu, Mas,” jawab Ressa dengan senyum khasnya yang manis.
“Oh ya? Dua bulan waktu yang lama untuk menahan rindu bukan? Hari ini sepulang kerja aku mau mengajak kamu pergi ke pantai sekalian liat sunset, mau?” ajak Arya pada Ressa. Arya pikir, mumpung Ressa sedang libur, ia harus menghabiskan banyak waktu sebelum gadisnya kembali sibuk.
“Mau dong sayang, kebetulan sekali aku juga ingin mengajakmu keluar,” jawab Ressa dengan sumringah.
“Hah? Serius? Ada apa nih?” selidik Arya.
“Melepas rindu,” jawab Ressa sambil mengedipkan sebelah mata, “sepulang kerja aku tunggu kamu di rumah Vera ya, Mas,” ucap Ressa dengan setengah berbisik, khawatir yang lain akan mendengar dan mengadukan pada ayahnya.
Arya merasa heran mengapa tidak dijemput di rumah saja? Bukankah lelaki yang baik jika mengajak keluar anak gadis orang harus permisi dahulu?
“Gak mau dijemput dari rumah?” tanya Arya penasaran. Ressa menggeleng.
“Kebetulan setelah ini aku ada urusan dengan Vera jadi sekalian saja nanti,” jelas Ressa berbohong. Sebenarnya ia tidak ingin terlihat oleh ayahnya jika ia masih berhubungan dengan Arya. Bagaimanapun juga ia dan Arya saling mencintai, tetapi ia juga harus tetap menghormati ayahnya.
“Oh begitu, baiklah nanti aku jemput di rumah Vera ya,” ujar Arya.
Ressa mengacungkan jempolnya, “oke.”
Arya tiba-tiba mengubah mimik wajahnya dan menatap Ressa, “eh, tapi gak apa-apa pake motor bututku?”“Apaan sih, Yang, jangan mulai deh,” ujar Ressa sambil memukul ringan lengan Arya. Kekasihnya itu hanya terkekeh.
“Ya, sekarang aku pergi dulu, Mas, sampai jumpa nanti sore, bye,” pamit Ressa.
“Oke, hati-hati Ressa-ku sayang,” ucap Arya sambil melambaikan tangannya.
Ressa bergegas pergi, ia tidak ingin terlalu lama berada di gudang, khawatir tiba-tiba ada inspeksi mendadak dari ayahnya, tuan Sanjaya. Arya kembali melanjutkan pekerjaannya setelah punggung Ressa tak kelihatan lagi.
--Sesampainya Ressa di rumah Vera, ia mengetuk pintu rumah sahabatnya itu. Sekali, dua kali, tak ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Ia duduk di kursi teras depan sambil memainkan ponselnya. Ia biasa menunggu sang empunya rumah pulang. Lagi pula, Vera sudah membalas pesannya dan bersedia menampungnya sampai sore hari.Benar saja, beberapa menit kemudian terlihat Ressa yang mengendarai motor memasuki halaman rumahnya dan memarkirkan motornya di garasi. Ia menenteng map plastik yang berisi kertas-kertas entah apa, mungkin saja kertas skripsi. Ya, Vera masuk kuliah satu tahun di bawah Ressa, sehingga saat ini Vera sedang disibukkan menyelesaikan tugas akhir tersebut.“Sudah lama Res? Maaf ya membuatmu menunggu,” ucap Vera sambil melepas helmnya. Ia merasa tak enak hati membiarkan temannya duduk menunggu.“Iya, kamu lama banget sih, pasti sama doi kan,” jawab Ressa sambil menekuk muka.Vera yang paham malah te
Tok tok tok.Pintu rumah Vera diketuk seseorang, Berapa dan Ressa mengalihkan pandangan ke arah pintu. Sebenarnya percuma juga mereka memandang pintu. Sudah jelas tidak akan terlihat siapa yang datang sebab pintu terkunci dan korden tertutup rapat.Vera bangkit dari duduknya setelah meletakkan dan menutup stoples keripik singkong. Sambil mengunyah sisa-sisa keripik di mulutnya, ia berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu. Benar dugaannya, Arya yang bertamu ke rumahnya.“Ve, Ressa di sini?” tanya Arya langsung tanpa basa basi.“Iya, silakan masuk dulu Ar!” ajak Vera pada Arya.Arya berjalan mengikuti Vera. Langkah mereka terhenti di depan televisi. Vera mempersilakan Arya untuk duduk.Arya memilih duduk di samping Ressa dengan kursi yang berbeda. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Sedangkan Vera memilih pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas minum untuk Arya sekaligus mem
Tuan Sanjaya tampak menjentikkan abu rokoknya di asbak, “Ibu beneran ingin tahu alasan Ayah menolak keras hubungan mereka berdua?”Nyonya Mira mengangguk dua kali dengan cepat. Ia sangat penasaran.Tuan Sanjaya membetulkan posisi duduknya, “Bu, Ibu tahu? Arya Permana itu adalah anak dari Sukardi dan Kalimah,”Nyonya Mira tampak berpikir sejenak, “Sukardi yang dulu kerja bareng Ayah?” tanyanya.Tuan Sanjaya mengangguk sambil menyesap batang rokoknya yang hampir habis. Nyonya Mira masih belum yakin.“Dia akhirnya menikahi Kalimah? Bagaimana kabar Gayatri?” tanya nyonya Mira.“Entah. Kabar terakhir yang Ayah tahu Gayatri kembali ke rumah orang tuanya. Sukardi mengambil alih perusahaan Ayah Kalimah, tapi karena gila judi, aset perusahaan habis dan akhirnya gulung tikar. Itu kenapa anak-anaknya berpendidikan rendah dan ikut kerja di gudang kita. Selebihnya Ayah tidak mau
“Please, Mas, antar aku ke rumah Vera saja ya,” ujar Ressa kembali mengatupkan kedua telapak tangannya meminta diantar ke rumah Vera, sahabatnya.“Kenapa gak langsung pulang saja? Nanti kelamaan,” tanya Arya yang masih keberatan dengan permintaan kekasihnya. Baginya, mengantar sampai ke rumah adalah suatu bentuk tanggung jawab.“Aku belum siap menunjukkan hubungan kita ke ayah, ke Vera dulu ya, nanti kalau sudah waktunya kita bisa leluasa pergi antar jemput di rumah,” pinta Ressa masih dengan tatapan memohonnya.Arya akhirnya menyerah. Ia tak punya daya untuk satu hal ini, terpaksa ia mengikuti saran Ressa meskipun dalam hati kecilnya selalu menolak jika harus antar jemput di rumah Vera. Dengan gontai lelaki itu mengangguk, ia memakai helm dan menstater motornya.Ceklek ceklek ceklek. Ressa berkali-kali mencoba mengunci helmnya tapi usahanya tidak juga membuahkan hasil. Sia-sia. Ia terus mencoba
“Aw,” pekik Ressa.Ia membuka matanya. Melihat sekitar. Pemandangannya mirip kamarnya. Siapa yang sudah menggotongnya ke kamar? Di mana Arya?Tok tok tokTiba-tiba pintu kamar diketuk, sekali, dua kali, ia tak mendengarnya. Ketukan itu semakin kencang.Sayup-sayup terdengar suara dari luar, “Ressa, sayang, Nak, ditunggu ayah di luar.”Itu suara ibu Ressa, Ressa mengucek matanya. Ia melihat pakaian yang dikenakannya. Bukan gaun pengantin.Jadi tadi itu mimpi? Batin Ressa.Ia tak tahu harus sedih atau senang. Sedih karena pernikahannya dengan lelaki pilihannya hanya sebuah mimpi, atau harus senang karena insiden terjatuh saat pernikahan ternyata hanyalah sebuah mimpi.Kepalanya terasa berat karena tidur singkatnya di sore hari. Ressa membuka pintu kamarnya, “ada apa Bu?”“Kamu tidur? Sore hari jangan tidur!” larang ibu Ressa.&
Di rumah Arya.Malam ini Arya menonton televisi sambil sesekali mengecek notifikasi ponselnya. Takut kalau-kalau tiba-tiba kekasihnya menghubunginya.“Arya anak ibu, lagi apa?” ibu Kalimah menghampiri anak lelakinya yang sedang menonton televisi.“Ini Bu, nonton moto gp, seru, sini Bu duduk,” jawab Arya sambil menepuk karpet di sebelahnya.Ibu Kalimah pun ikut duduk di samping Arya. Matanya melihat layar kaca, sesekali menatap anak lelakinya itu.“Nak, kayaknya sudah lama sekali pacarmu enggak main kesini lagi. Kamu masih sama Ressa?” tanya ibu Kalimah.“Masih, Bu,” Jawab Arya singkat. Matanya masih terpaku pada jajaran motor di layar kaca.“Kenapa kok enggak main kesini lagi?” tanya ibu Kalimah mengulangi pertanyaannya karena penasaran.“Dia sibuk kerja di kota, Bu,” jawab Arya dengan lembut.
Hari ini Arya tetap berangkat kerja ke gudang seperti biasanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tetap Arya yang pekerjaan keras.Seandainya tuan Sanjaya mau sedikit saja membuka hatinya, ia akan bisa melihat watak Arya yang berbeda jauh dengan ayahnya, Sukardi.Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu peribahasa yang selalu dipegang teguh oleh tuan Sanjaya sehingga ia menutup mata atas segala perilaku baik dari Arya.Tuan Sanjaya tidak merasa sedang balas dendam. Ia hanya masih merasa sakit hati atas apa yang diperbuat rekannya, Sukardi. Juga ia tidak mau putrinya diperlakukan dengan tidak baik oleh keluarga Sukardi. Masih ada trauma yang mendalam baginya.Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba tuan Sanjaya mengunjungi gudang. Biasanya ia akan menyuruh orang kepercayaannya untuk mengecek. Di sanalah ia melihat dan berpapasan dengan Arya, putra dari si penghancur kariernya.Arya sedang menata barang ketika tuan Sanjaya berk
“Maafkan aku, Ress. Aku mau kamu tetap hormat pada orang tuamu, ikuti dulu kemauan orang tuamu. Sambil berjalan, kita sambil cari solusi, aku akan membuktikan pada ayahmu, kalau aku pantas mendapatkanmu. Kita berdoa bersama semoga semesta menyatukan kita. ”Sebuah deru motor mendekat pintu masuk. Ressa dan Arya kompak melihat ke arah luar. Dika. Rekan kerja Arya sudah sampai. Ia membuka pintu menggunakan kunci yang dibawanya. Tapi gagal, karena ada kunci yang tergantung di dalam.Arya membukakan pintu dan mempersilakan Dika untuk masuk.“Dik, masuk, gih, siapin semuanya!”Dika masuk ke dalam. Pandangan matanya menangkap sosok gadis cantik yang sering diceritakan Arya. Apa dia Ressa? Dika bertanya-tanya dalam hatinya. Wajar saja karena Dika memang belum pernah ketemu sebelumnya.“Eh, siapa itu Ar? Ressa kah?” Tanya Dika setengah berbisik.Arya mengangguk, “yoi.”
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba
“Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Ressa?” tanya Winda pada Dika setelah mendengar penjelasan dari Dika terkait alasannya kenapa menjauhi dirinya.Dika mengangguk. Matanya tidak berani menatap Winda. Tatapan matanya terus ke mejanya atau terkadang ke lantai. Sesekali melihat ke arah jauh. Dika benar-benar menghoindari kontak mata dengan Winda.“Dik! Tolong lihat aku!” seru Winda karena melihat Dika yang tidak fokus kepadanya.“Dik!”Tangan Winda meraih dagu Dika dan mengarahkan ke depan dengan setengah memaksa agar Dika menatapnya.“Win, maafin aku jika aku terkesan menghindari kamu. Aku kecewa dengan sifatmu.”“Tapi Dik, semua orang bisa berubah. Apa kamu tidak bisa menerima masa lalu orang lain?”“Tapi yang kamu lakuin ke Ressa itu sangat keterlaluan. Kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri. Ressa sampai depresi gara-gara kamu dan keluargamu. Dia harus bolak-balik psikiater untuk berobat. Jiwanya terguncang. Bagaimana nanti jika aku terus dekat dengan kamu? Hal tega apa yang a
“Kedatangan saya kemari hendak mengucapkan terima kasih atas pencabutan laporan Pak Sanjaya terhadap kedua anak kami.”“Kami sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Saya mengakui jika kelakuan kedua anak kami memang sangat di luar batas kewajaran. Perbuatan mereka sangat-sangat salah. Karena itu saya tidak membela mereka di hadapan Pak Sanjaya. Saya malu dengan Pak Sanjaya. Saya merasa gagal mendidik kedua anak saya, Pak.”“Tetapi setelah mengetahui jika Pak Sanjaya mencabut laporannya terhadap Gilang, terlebih kepada Winda, Saya sujud syukur, sangat bersyukur atas kebaikan hati Pak Sanjaya. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sanjaya. Saya menunggu waktu yang tepat untuk datang kemari. Saya harap, ke depan, hubungan kita masih baik-baik saja.”Akhirnya, keluar juga kalimat yang telah dirancang Pak Budiman sejak sebelum melangkah keluar rumah menuju rumah mantan besannya itu. Pak Budiman menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja selesai berperang. Sementara Bu Nani
Bruk.Dika berlari dengan cepat sampai terengah-engah hingga menabrak sebuah kursi yang sedari tadi diam bergeming.“Ada apa sih Dik lari-lari gitu? Nggak bisa santai saja?” tegur Arya yang melihat sahabatnya menabrak kursi.“Gawat Ar. Kamu harus cepat ke kota. Kamu harus segera ke bandara!” seru Dika dengan napas yang masih terengah-engah.“Bandara? Buat apa? Aneh kamu!” ujar Arya tak menghiraukan Dika. Ia berbalik badan melangkah ke lantai atas kafenya.“Ressa, Ar. Ressa. Dia hari ini mau berangkat ke luar negeri. Dia mau kuliah di luar negeri. Dia tidak mengabari kamu?” jelas Dika dengan cepat.Deg. Terang saja Arya terkejut. Beberapa hari ini ia memang sempat mengabaikan pesan masuk dari Ressa karena kesibukannya yang seakan tidak pernah berhenti.Kakinya yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama diurungkannya.“Apa kamu bilang?”“Iya Ar. Ressa … ““Kamu handle semua urusan kerjaan di sini, aku mau nyusul Ressa,” ujar Arya terburu-buru. Tangannya dengan cepat menyambar kun