Ibu Kalimah mencoba mencegah kak Tania agar tak berkata lebih lagi. Kak Tania yang ditegur segera beringsut ke pojokan sambil terus bermain ponsel.
“Ibu sudah agak mendingan Nak,” jawab ibu Kalimah, “kamu sendiri, bagaimana kabarnya?”
“Ressa baik, Bu,” jawab Ressa, “ini ada sedikit buah buat ibu, dimakan ya, Bu.”
“Enggak usah repot-repot gini Nak, makasih ya,” ucap bu Kalimah.
Ressa tersenyum manis, “Ressa sama sekali enggak repot kok Bu.”
“Kamu sudah ketemu Arya? Dia kelihatan sedih karena enggak bisa datang ke acara wisudamu, maafin ibu ya Nak,” ujar bu Kalimah.
“Ibu tidak perlu minta maaf, ibu tidak salah. Ressa sudah ketemu mas Arya Bu tadi, buat nanya ibu dirawat di mana,” jawab Ressa lembut, “Ressa do’ain semoga ibu cepat sembuh ya, Bu,” lanjutnya.
“Amin, makasih Nak Ressa,” ujar bu Kalimah.
Kak Tania yang diam-diam mendengarkan pembicaraan ibu dan Ressa, dia jadi penasaran dengan cerita Ressa. Rasa penasarannya mendorong untuk bertanya dan menggali informasi, “Ress, kamu udah wisuda? Terus udah daftar kerja?” tanya kak Tania yang kepo.
Kali ini ibu Kalimah tidak mencegah kak Tania bertanya, ia berharap anaknya tidak menyakiti Ressa.
“Lusa Ressa sudah mulai kerja Kak, do’ain lancar ya Kak,” jawab Tania ramah.
“Halah paling juga kerja di perusahaan ayahmu kan?” ledek kak Tania mulai nyinyir.
Ibu Kalimah ingin menyetop pembicaraan mereka, tapi Ressa keburu menjawabnya, “enggak Kak, Ressa dapat panggilan di perusahaan tempat Ressa magang dulu.”
“Halah, perusahaan kecil begitu,” ucap kak Tania.
Kali ini ibu Kalimah segera menghentikan ucapan kak Tania.
“Tania..., jangan bicara seperti itu!” Bu Kalimah mulai memperingati kak Tania.
Pandangan bu Kalimah beralih ke arah Ressa, “Nak, jangan dimasukkan ke hati ya omongan kak Tania.”Senyumnya masih saja indah, nada bicaranya masih saja lembut, tak ada sedikit pun kemarahan tergambar di wajah gadis cantik calon menantu bu Kalimah ini.
“Iya, Bu.” Jawab Ressa, “Bu, Ressa pamit pulang ya, Bu, hari sudah mulai sore,” pamitnya.
“Oh, iya, kamu hati-hati di jalan ya Nak,” pesan bu Kalimah pada Ressa.
“Iya, Bu,” jawab Ressa.
Ressa mencium tangan bu Kalimah dan juga kak Tania. Setelah Ressa membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, diam-diam kak Tania memperhatikan style fashion Ressa. Ia penasaran di mana Ressa membelinya? Kenapa terlihat anggun sekali. Sial, uang dari bang Doni hanya cukup untuk makan sehari-hari. Mana bisa membeli baju-baju yang fashionable seperti milik Ressa?
--Sesampainya di rumah, tak didapati orang rumah kecuali asisten rumah tangga. Mungkin ayah dan ibunya masih di kantor, atau masih ada urusan di luar, entahlah. Ressa tak ambil pusing dengan itu. Ia segera naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya. Ressa bergegas membersihkan diri setelah seharian di luar.
Setelah selesai membersihkan diri, Ressa segera menyiapkan barang-barang yang akan dibawa esok hari. Ia mengambil selembar kertas dan membuat daftar barang bawaan. Tak lupa ia menceklis setiap barang yang sudah masuk ke koper.
Saat sedang fokus memeriksa setiap daftar, ia dikejutkan ketukan pintu kamarnya. Terpaksa Ressa menghentikan aktivitasnya, dan segera membukakan pintu. Rupanya Ibunya yang mengetuk.
“Ressa, yuk turun, sudah waktunya makan malam,” ajak nyonya Mira.“Iya Bu,” jawab Ressa.
Ressa mengekori ibunya menuruni anak tangga.
Di meja makan, di sana hanya ada ayahnya, tuan Sanjaya. Rasanya rumah ini terlalu besar untuk ditinggali tiga orang. Apalagi Ressa empat tahun belakangan lebih sering tinggal di kos dibandingkan tinggal di rumah sendiri dengan alasan tempat kosnya lebih dekat dengan kampus.
Dua kakak Ressa masing-masing sudah berkeluarga dan memiliki rumah sendiri. Ressa yang anak bungsu diharapkan kedua orang tuanya bisa tinggal bersama pasangannya nanti di rumah itu. Tapi bagaimanapun keputusan ada di tangan Ressa dan pasangannya kelak.
“Ayaah,” sapa Ressa sambil menarik kursi makan yang terletak di seberang kursi ibunya.
“Oh, kamu sudah pulang, gimana tadi cari baju kerjanya? Ada?” tanya tuan Sanjaya.
“Ya ada dong Yah, meskipun di pinggiran kota, tetep ada yang jual, hahaha,” jawab Ressa berkelakar.
Tuan Sanjaya dan nyonya Mira ikut tertawa mendengar jawaban anaknya.
“Yah, kenapa kita enggak pindah ke pusat kota saja sih, Yah,” celetuk Ressa sambil menyentong nasi.
Bukan tanpa alasan Ressa berkata demikian. Orang tua Ressa, tuan Sanjaya, yang terkenal sebagai tuan tanah di daerah pinggiran kota, memiliki beberapa tanah di pusat kota juga. Selain itu, ada pula rumah mewah di pusat kota. Rumah yang hanya ditempati ketika tuan Sanjaya dan nyonya Mira ada pekerjaan yang harus diselesaikan beberapa hari di pusat kota.
Tuan Sanjaya menjeda makannya sebentar, “Lah, kamu saja ada rumah di kota malah milih tinggal di kos.”
“Iya Nak, kamu tinggal di rumah saja jadi enggak perlu ngontrak,” nyonya Mira menimpali obrolan ayah dan anak.
“Gitu ya, Bu?” Ressa tampak sedang berpikir sambil mengunyah makanan.
“Kamu kenapa enggak mau tinggal di rumah sendiri?” tanya nyonya Mira penasaran.
“Soalnya di sana rumahnya besar, sepi, sendirian, paling cuma ada bibi sama paman kepercayaan ayah dan ibu doang.”
“Alasan klasik, bilang saja biar bisa bebas jalan-jalan haha hihi sama temen-temen kamu kan?” tebak tuan Sanjaya.
Ressa tidak menyangkal dugaan ayahnya, justru ia malah tertawa, “hahaha, Ayah tahu saja.”
“Besok mau dianterin sama sopir? Nanti biar pak sopirnya pulang naik taksi,” tanya bu Mira menawarkan opsi agar anaknya tidak kelelahan menyetir.
“Betul kata ibumu Ress,” ujar tuan Sanjaya menimpali.
Ressa tampak berpikir sesaat menimbang tawaran ibunya, sebelum akhirnya menyetujuinya, “boleh juga deh saran Ibu, Ressa setuju.”
“Nah, gitu kan ayah juga merasa lega kamu ada yang nganterin. Ya walaupun bukan ayah yang nganterin,”
“Ih, ayah, Ressa sudah dewasa masa mau dianterin ayah ibu, kaya anak SD saja,” kilah Ressa.
“Sudah, sudah, makannya dihabiskan dulu semua,” ucap nyonya Mira.
--Sementara itu, di rumah sakit, petang ini Arya menemani ibunya menggantikan kak Tania yang sedang pulang sebentar untuk istirahat. Biasanya kak Tania akan kembali ke rumah sakit setelah memandikan anak-anaknya dan menyuapinya.
Arya sendiri tidak bisa full menjaga ibunya karena ada bisnis usaha warung kopi yang harus dijalankannya di malam hari.
Ressa, gadis yang dikencaninya sejak dua tahun lalu bahkan belum tahu tentang usaha baru Arya. Ada alasan sendiri mengapa Arya menutupinya. Hanya Arya yang tahu.
Arya merogoh saku celananya, ia mengambil ponsel miliknya yang baru saja ia ambil dari tukang servis dekat rumahnya. Ia mencoba memencet tombol power untuk menghidupkan ponselnya. Ia segera mengirim pesan pada gadisnya.
Dear Ressa sayang,
Maaf, baru bisa menghubungimu sekarang, Kamu apa kabar?Klik, pesan terkirim. Sayangnya pesan yang dikirimkan Arya hanya ceklis dua abu, tanda pesan terkirim namun belum dibaca oleh sang empunya.
Arya mencoba melihat tanda last seen pada kontak Ressa. Sekitar satu jam yang lalu terakhir Ressa online.
Lama belum ada balasan, Arya bolak-balik memasukkan kembali ponselnya ke sakunya. Raut mukanya menggambarkan perasaan yang tidak jelas.
Ibunya yang sedari tadi memperhatikan tingkah Arya pun penasaran.
“Kenapa mukanya ditekuk begitu?” tanya bu Kalimah.
Arya tak menjawab pertanyaan ibunya. Namun sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, ibunya paham apa yang terjadi.“Menunggu balasan Ressa?” tanya Bu Kalimah.Arya masih malas bersuara. Ia hanya mengisyaratkan jawaban iya dengan mengangguk. Mungkin dia sedang tidak mood.“Nak, mungkin Ressa sedang membereskan barang-barangnya karena besok Ressa berangkat ke kota,” ujar ibunya.“Iya, Bu, tadi Ressa pun berkata demikian ke Arya.”“Besok kamu temani Ressa saja, mumpung kamu libur kerjanya.”“Besok kan Ibu pulang ke rumah, nanti siapa yang mengurus?”“Ada kakakmu, Tania, nanti ibu yang bicara padanya.”“Arya tidak tega meninggalkan Ibu.”“Ibu sudah baikan Nak.”“Nanti Arya pikirkan.”Sungguh kacau sekali perasaan Arya kali ini. Bagaimana mungkin ia membiarkan
Ada begitu banyak pertanyaan di benak Arya. Namun pada akhirnya, ia bisa merasa lega karena ternyata masih punya waktu setengah jam dari waktu janjiannya dengan Ressa.Pukul 10.00, Arya memesan ojek online ke rumah Ressa. Seperempat jam kemudian ia sampai di rumah Ressa.Setelah memberi uang cash pada driver, Arya berjalan mendekati gerbang rumah Ressa. Di sana ada satpam yang menjaganya.“Siang, Pak, saya mau bertemu Ressa,” ujar Arya.Satpam itu segera membukakan gerbang untuk Arya.“Silakan, Mas, Non Ressa nya masih di dalam rumah, lagi siap-siap mau berangkat ke kota.“Terima kasih,” ucap Arya sambil melangkah menuju pintu rumah Ressa.Buset, jalan dari gerbang ke pintu rumah aja lumayan ya buat olahraga raga. Batin Arya.Pintu rumah Ressa terbuka. Arya segera memencet bel rumah yang berada di sebelah kanan pintu. Tidak mungkin ia teriak salam ata
Ressa bangun dan menarik tangan Arya. Dengan gontai Arya mengikuti Ressa untuk ikut rebahan di kasur dengan setengah badannya berada di lantai.Kepala mereka saling bertaut. Arya sibuk memainkan game online di ponselnya, sedangkan Ressa sibuk klak-klik remote TV mengubah channel berkali-kali untuk mencari tontonan yang menarik versi dirinya.Makanan tak kunjung datang, Arya membetulkan posisi tidurnya menjadi sejajar dengan Ressa. Dan mengubah posisi kepalanya menjadi miring, kali ini Ressa juga ikut miring yang membuat wajah mereka berhadapan.Beberapa detik mereka berpandangan, tubuhnya saling berhadapan. Nafas mereka menjadi tak teratur. Degup jantung masing-masing menjadi sangat cepat. Tangan Arya menyentuh pipi Ressa, dan mendongakkan dagu Ressa hingga bibir mereka saling bertaut. Satu kecup dua kecup, akhirnya dilumatlah bibir ranum Ressa oleh Arya.Tok tok tok.Tiba-tiba pintu kontrakan diketuk seseorang. Arya d
Sejak mengantar Ressa berangkat ke kontrakannya, Arya tidak pernah ke sana lagi. Dia masih sibuk bekerja di gudang milik ayahnya Ressa, dan mengelola bisnis warung kopi yang kini sudah memiliki bangunan tersendiri. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan tulisan, pesan suara maupun panggilan video.Ressa pun tak merengek minta dijenguk atau diajak jalan-jalan seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim. Ia fokus pada kariernya, fokus pada pekerjaannya.Hingga dua bulan berlalu, tiba saatnya libur Natal dan tahun baru. Hari ini Ressa akan pulang. Arya yang dikabari merasa sangat senang. Mereka berdua memendam rindu yang terlalu dalam.Sudah ada banyak adegan yang tertulis dalam angan. Pulang, liburan, jalan bersama Arya, dilamar, dan tentu saja menetapkan tanggal pernikahan. Sempurna.Bukankah itu sangat membahagiakan?--Malam ini Ressa telah sampai di rumahnya. Saat makan malam, ia berniat bicara pada ayahnya pe
Sesampainya Ressa di rumah Vera, ia mengetuk pintu rumah sahabatnya itu. Sekali, dua kali, tak ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Ia duduk di kursi teras depan sambil memainkan ponselnya. Ia biasa menunggu sang empunya rumah pulang. Lagi pula, Vera sudah membalas pesannya dan bersedia menampungnya sampai sore hari.Benar saja, beberapa menit kemudian terlihat Ressa yang mengendarai motor memasuki halaman rumahnya dan memarkirkan motornya di garasi. Ia menenteng map plastik yang berisi kertas-kertas entah apa, mungkin saja kertas skripsi. Ya, Vera masuk kuliah satu tahun di bawah Ressa, sehingga saat ini Vera sedang disibukkan menyelesaikan tugas akhir tersebut.“Sudah lama Res? Maaf ya membuatmu menunggu,” ucap Vera sambil melepas helmnya. Ia merasa tak enak hati membiarkan temannya duduk menunggu.“Iya, kamu lama banget sih, pasti sama doi kan,” jawab Ressa sambil menekuk muka.Vera yang paham malah te
Tok tok tok.Pintu rumah Vera diketuk seseorang, Berapa dan Ressa mengalihkan pandangan ke arah pintu. Sebenarnya percuma juga mereka memandang pintu. Sudah jelas tidak akan terlihat siapa yang datang sebab pintu terkunci dan korden tertutup rapat.Vera bangkit dari duduknya setelah meletakkan dan menutup stoples keripik singkong. Sambil mengunyah sisa-sisa keripik di mulutnya, ia berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu. Benar dugaannya, Arya yang bertamu ke rumahnya.“Ve, Ressa di sini?” tanya Arya langsung tanpa basa basi.“Iya, silakan masuk dulu Ar!” ajak Vera pada Arya.Arya berjalan mengikuti Vera. Langkah mereka terhenti di depan televisi. Vera mempersilakan Arya untuk duduk.Arya memilih duduk di samping Ressa dengan kursi yang berbeda. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Sedangkan Vera memilih pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas minum untuk Arya sekaligus mem
Tuan Sanjaya tampak menjentikkan abu rokoknya di asbak, “Ibu beneran ingin tahu alasan Ayah menolak keras hubungan mereka berdua?”Nyonya Mira mengangguk dua kali dengan cepat. Ia sangat penasaran.Tuan Sanjaya membetulkan posisi duduknya, “Bu, Ibu tahu? Arya Permana itu adalah anak dari Sukardi dan Kalimah,”Nyonya Mira tampak berpikir sejenak, “Sukardi yang dulu kerja bareng Ayah?” tanyanya.Tuan Sanjaya mengangguk sambil menyesap batang rokoknya yang hampir habis. Nyonya Mira masih belum yakin.“Dia akhirnya menikahi Kalimah? Bagaimana kabar Gayatri?” tanya nyonya Mira.“Entah. Kabar terakhir yang Ayah tahu Gayatri kembali ke rumah orang tuanya. Sukardi mengambil alih perusahaan Ayah Kalimah, tapi karena gila judi, aset perusahaan habis dan akhirnya gulung tikar. Itu kenapa anak-anaknya berpendidikan rendah dan ikut kerja di gudang kita. Selebihnya Ayah tidak mau
“Please, Mas, antar aku ke rumah Vera saja ya,” ujar Ressa kembali mengatupkan kedua telapak tangannya meminta diantar ke rumah Vera, sahabatnya.“Kenapa gak langsung pulang saja? Nanti kelamaan,” tanya Arya yang masih keberatan dengan permintaan kekasihnya. Baginya, mengantar sampai ke rumah adalah suatu bentuk tanggung jawab.“Aku belum siap menunjukkan hubungan kita ke ayah, ke Vera dulu ya, nanti kalau sudah waktunya kita bisa leluasa pergi antar jemput di rumah,” pinta Ressa masih dengan tatapan memohonnya.Arya akhirnya menyerah. Ia tak punya daya untuk satu hal ini, terpaksa ia mengikuti saran Ressa meskipun dalam hati kecilnya selalu menolak jika harus antar jemput di rumah Vera. Dengan gontai lelaki itu mengangguk, ia memakai helm dan menstater motornya.Ceklek ceklek ceklek. Ressa berkali-kali mencoba mengunci helmnya tapi usahanya tidak juga membuahkan hasil. Sia-sia. Ia terus mencoba
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba
“Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Ressa?” tanya Winda pada Dika setelah mendengar penjelasan dari Dika terkait alasannya kenapa menjauhi dirinya.Dika mengangguk. Matanya tidak berani menatap Winda. Tatapan matanya terus ke mejanya atau terkadang ke lantai. Sesekali melihat ke arah jauh. Dika benar-benar menghoindari kontak mata dengan Winda.“Dik! Tolong lihat aku!” seru Winda karena melihat Dika yang tidak fokus kepadanya.“Dik!”Tangan Winda meraih dagu Dika dan mengarahkan ke depan dengan setengah memaksa agar Dika menatapnya.“Win, maafin aku jika aku terkesan menghindari kamu. Aku kecewa dengan sifatmu.”“Tapi Dik, semua orang bisa berubah. Apa kamu tidak bisa menerima masa lalu orang lain?”“Tapi yang kamu lakuin ke Ressa itu sangat keterlaluan. Kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri. Ressa sampai depresi gara-gara kamu dan keluargamu. Dia harus bolak-balik psikiater untuk berobat. Jiwanya terguncang. Bagaimana nanti jika aku terus dekat dengan kamu? Hal tega apa yang a
“Kedatangan saya kemari hendak mengucapkan terima kasih atas pencabutan laporan Pak Sanjaya terhadap kedua anak kami.”“Kami sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Saya mengakui jika kelakuan kedua anak kami memang sangat di luar batas kewajaran. Perbuatan mereka sangat-sangat salah. Karena itu saya tidak membela mereka di hadapan Pak Sanjaya. Saya malu dengan Pak Sanjaya. Saya merasa gagal mendidik kedua anak saya, Pak.”“Tetapi setelah mengetahui jika Pak Sanjaya mencabut laporannya terhadap Gilang, terlebih kepada Winda, Saya sujud syukur, sangat bersyukur atas kebaikan hati Pak Sanjaya. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sanjaya. Saya menunggu waktu yang tepat untuk datang kemari. Saya harap, ke depan, hubungan kita masih baik-baik saja.”Akhirnya, keluar juga kalimat yang telah dirancang Pak Budiman sejak sebelum melangkah keluar rumah menuju rumah mantan besannya itu. Pak Budiman menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja selesai berperang. Sementara Bu Nani
Bruk.Dika berlari dengan cepat sampai terengah-engah hingga menabrak sebuah kursi yang sedari tadi diam bergeming.“Ada apa sih Dik lari-lari gitu? Nggak bisa santai saja?” tegur Arya yang melihat sahabatnya menabrak kursi.“Gawat Ar. Kamu harus cepat ke kota. Kamu harus segera ke bandara!” seru Dika dengan napas yang masih terengah-engah.“Bandara? Buat apa? Aneh kamu!” ujar Arya tak menghiraukan Dika. Ia berbalik badan melangkah ke lantai atas kafenya.“Ressa, Ar. Ressa. Dia hari ini mau berangkat ke luar negeri. Dia mau kuliah di luar negeri. Dia tidak mengabari kamu?” jelas Dika dengan cepat.Deg. Terang saja Arya terkejut. Beberapa hari ini ia memang sempat mengabaikan pesan masuk dari Ressa karena kesibukannya yang seakan tidak pernah berhenti.Kakinya yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama diurungkannya.“Apa kamu bilang?”“Iya Ar. Ressa … ““Kamu handle semua urusan kerjaan di sini, aku mau nyusul Ressa,” ujar Arya terburu-buru. Tangannya dengan cepat menyambar kun