Gerald meremas napkin yang ada di hadapannya. Ceriata Devon mengenai suami Josephine yang sekarang sungguh mengganggunya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Josephine bisa tahan dengan kehidupan rumah tangganya sekarang.
“Jika dibandingkan denganmu, tentu saja lelaki itu tak ada apa-apanya dibandingkan denganmu, kau jauh di atasnya,” Devon yang tahu betul suasana hati Gerald pun semakin memanas-manasinya.
Ia tahu betul kalau Gerald adalah lelaki yang haus akan sanjungan, tak ingin kalah dari siapapun juga. Apa yang diinginkan tentu saja harus dimiliki olehnya, itulah mengapa ia sangat marah ketikan mengetahui Josephine Windsor dimiliki oleh orang lain.
Siapa yang tak mengenal kecantikan dan pesona kakak beradik Windsor. Dua bersaudari itu menjadi rebutan para lelaki dari berbagai kalangan. Memiliki satu dari Windsor bersaudara bukan hanya sekedar rasa cinta, tapi juga tentang gengsi.
&
Damian menyambut kedatangan Chad Marley dengan keramahan. Tak hanya dirinya, tapi juga Nenek dan juga Paman Howard, dan juga Catherine ikut-ikutan menunjukkan keramahan walaupun itu palsu.Kali ini Hotel Windsor memang tengah berencana melakukan ekspansi bisnis mereka, membuka sebuah hotel bed and breakfast yang lokasinya tak jauh dari bandara. Konsisi bisnis kali ini sedang bagus, perputaran uang di Westcoast Town begitu cepat, sehingga bisnis penginapan ikut berkembang.Secara kebetulah Elizabeth Windsor masih memiliki sebuah tanah di area sekitar bandara, lokasi yang sangat strategis untuk transit. Namun keluarga Windsor tak memiliki cukup banyak dana untuk membuka bisnis baru.“Selamat pagi Tuan Marley, kami benar-benar sudah menantikan kedatangan Anda, silakan Tuan,” kata Howard mempersilakan tamu istimewa mereka untuk mengikuti ke board room yang berada tak jauh dari lobi.Damian su
Petugas yang tengah memungut sampah berserakan itu adalah Emma, dulunya ia bekerja sebagai pelayan rumah tangga. Mengurusi kebersihan rumah adalah keahliannya, dan memiliki kesetiaan yang dapat diandalkan. Hal itulah yang membuat Gerald menunjuk Emma untuk menjadi petugas kebersihan di kantor Richmond.Wanita bertubuh berisi itu dibekali oleh camera tersembunyi dan ponsel yang terpasang di dalam sakunya. Tugasnya memang memata-matai direktur Richmond yang baru.Dugaan Devon memang benar, keberadaan seorang karyawan selevel Emma memang ada dan tiada. Mereka memiliki peran menjaga suasana kantor tetap nyaman dan bersih, tapi keberadaan mereka seringkali tidak dianggap. Seperti saat ini, ketika Raymond Evans tengah membicarakan masalah bisnis dengan bosnya. Tak satupun dari mereka berhenti bicara atau berbisik-bisik agar tak didengar oleh Emma. Mungkin semuanya menganggap orang seperti Emma tidak memiliki keahlian yang kompeten untuk mengurusi
Wajah Catherine semakin memerah saat mendengar ucapan yang dilontarkan Chad. Seakan ia bermimpi mendengar ucapan pemuda yang baru dikenalnya itu.“Kau … kau bicara apa?” tanya Catherine gugup.“Aku hanya bertanya apa yang harus kuperbuat agar kau mempercayai ucapanku kalau aku menyukaimu,” Chad mengulang pertanyaannya, sementara kedua tangan pemuda itu masih menyentuh pipi Catherine yang lembut.Catherine menunduk lagi, semakin lama berdekatan dengan Chad semakin jantungnya berdebar dengan cepat. Sudah lama ia tak merasakan situasi seperti sekarang ini. Bahkan saat berdua dengan Nicko ia tak pernah merasakan hal ini.“Hey Cathy, kau harus bisa profesional, dia adalah klien Hotel Windsor. Apa kau bermaksud menggodanya agar bisa berinvestasi di perusahaan ini?” sisi lain Cathy berbicara dalam hati.Bagaimanapun ia harus menjaga kewarasan.
Janet baru saja membuka kedua matanya setelah menghabiskan waktu bermesraan di atas ranjang bersama Gerald. Perlahan perempuan ini bangun dan merapikan dirinya.Gerald sudah tak ada di sampingnya, dan ia sudah terbiasa dengan hal ini. janet melirik ke atas nakas di samping ranjang, tak ada cek yang diletakkan di sana. Ia memeriksa ponselnya tak ada pemberitahuan uang masuk dari aplikasi mobile banking.“Hmm sepertinya ia masih ada di sini,” gumamnya kemudian ia membuka pintu kamarnya sedikit.Benar saja, Gerald tengah berjalan perlahan bersama dengan dua orang laki-laki. Tampaknya mereka tengah membicarakan sesuatu yang serius.Janet segera beringsut mundur, dan cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Sudah kebiasaannya untuk bersikap seperti ini, berpura-pura tidak tahu, khawatir kalau Gerald akan marah dan berhenti memberikan fasilitas padanya.&n
Keringat dingin menetes di kening Madeline saat supir taxi menodongkan senjata ke arahnya. Joshua, anak kecil yang kritis itu mendadak pucat pasi. Yang bisa dilakukannya hanya bersembunyi di balik lengan sang ibu, dia ketakutan.Bayi dalam dekapan Madeline mulai menangis, sama ketakutan seperti ibu dan kakaknya. Wanita ini pun tak berani melawan memprotes tindakan lelaki yang membawanya entah kemana karena tak ingin keselamatan dua buah hatinya terancam. Saat ini ia hanya diam-diam melirik ke arah sekitar untuk mengetahui dimana keberadaan dirinya.“Diamkan anakmu! Jangan berisik atau aku harus membuatnya diam dengan senjata yang ada di dalam tanganku?” ancam pengemudi taksi.Madeline tersentak, kini bukan hanya si kecil yang menangis, tapi Joshua pun mulai terisak.“Hei kau anak kecil sok tahu, diam atau kau akan kutembak!” ancam pengemudi lagi.Madeline
“Aarghhhh!” teriak Raymond Evans kemudian meremas kartu ucapan dengan kasar.Pekerjaan hari ini sungguh melelahkan baginya. Ia harus menganalisa instumen investasi sebelum memutuskana dimana ia akan meletakkan uang milik Nicholas Lloyd. Kepercayaan yang sudah diberikan oleh bosnya ini harus digunakan olehnya sebaik mungkin. Tak mudah untuk mendapatkan kepercayaan mengurus keuangan milik pemuda kaya itu.Raymond Evans berharap ketika kembali ke rumah ia bisa melepaskan penatnya. Menikmati hidangan yang telah dibuat oleh sang istri, dan bercanda bersaam kedua putranya. Namun ia justru mendapatkan kenyataan pahit tentang kondisi keluarganya.Raymond Evans segera mengambil air dingin dan mencoba menenangkan dirinya, ia harus berpikir mencari jalan keluar akan masalah ini.“Kau harus tenang Raymond, pikir apa yang bisa kau perbuat untuk menyelamatkan mereka,” gumamnya sambil mengam
Masih terekam jelas bagaimana ekspresi wajah Joshua saat penculik itu menempelkan pistol pada ubun-ubun anak sulungnya. Joshua nyaris tak mampu membuka matanya, karena ketakutan yang menyelimuti dirinya. Bibir anak kecil itu bergetar, ingin berteriak minta tolong.Cukup lama Raymond Evans menunggu di balik kemudi, ia sedikit ragu antara bertemu dengan penculik itu atau tidak, meskipun sudah berada di lokasi tempat mereka bertemu. Sepanjang perjalanan pria bermata biru ini tampak tegang, ingin sekali bertemu dengan anak dan istrinya.“Aku harus menyelamatkan mereka. Apapun taruhannya mereka harus selamat, bahkan nyawaku sendiri aku tak akan peduli,” gumamnya kemudian keluar dari mobil dan menuju gang tempat yang telah disepakati untuk bertemu.Raymond Evans pun melangkah dengan kaki yang lebar, sambil ia membawa alat pengejut listrik dalam saku jasnya. Setidaknya ia harus berjaga-jaga sebelum hal buruk menimpa
Pria bermasker itu menepuk bahu Raymond Evans sekali lagi. Ia tak berkata apa-apa tetapi membuka galeri video dalam ponselnya. Terlihat bagaimana keadaan Madeline dan kedua putranya meringkuk di sana.Kedua anak itu sudah tidur, dan menunjukkan ekspresi wajah yang kelelahan, sementara Madeline duduk bersandar di atas karpet sambil mendongak menahan air mata. Ini yang selalu dilakukan olehnya ketika sedang bersedih atau lelah.“Madeline!” teriak Raymond.“Apa kau suka melihat istrimu bersedih seperti ini?” tanya pria penculik itu.“Hhh, banyak bicara kau. Cepat katakan apa yang harus kulakukan agar kalian membebaskan mereka?”“Hmm mudah saja, bukankah kau mendapatkan kepercayaan penuh dari Nicholas Lloyd?”Raymond Evans mengangguk, pikirannya kini dipenuhi bayangan putranya Joshua yang ditodong oleh senjata api.