Dengan kasar Damian langsung melepaskan tangan Daisy dan berbalik ke arah Nicko. Kedua matanya tajam menatap, dan bersiap untuk menantang suami sepupunya.
Dengan sikap yang dibuat segagah mungkin, pemuda ini pun mengacungkan telunjuk. Kemudian mengarahkan pada wajah lelaki di hadapannya."Jadi kau pikir kau yang akan menjadi lawan yang sempurna untukku?" tanya Damian kemudian mengepalkan tangan dan menekan buku-buku jarinya hingga menciptakan bunyi."Huh aku tak takut. Kau kira kau sudah bisa mengalahkan aku hanya karena Nenek memberikan villa ini padamu. Huh itu tak akan pernah terjadi. Orang tak berguna sepertimu sangat tidak pantas untuk berada di tempat ini!" cacinya.Nicko membuang muka dan mendesis,"Cih, lalu menurutmu kau yang pantas di sini? Dengar ya, nenek memberikan bangunan ini padaku. Asal kau tahu villa ini sudah berganti nama atas namaku dan Josephine. Jadi tak seorangpun bisa menjualnya.Bahkan aku punPara pria berpakaian serba hitam itu melihat ke arah Damian dengan tajam. Bahkan salah seorang dari mereka mengeluarkan pistol yang bersarang di pinggang mereka.Melihat pemandangan ini, tentu membuat sikap Damian mendadak berubah. Semua keberanian yang ia kumpulkan hilang seketika."Sial, biar aku sudah belajar beladiri, kalau musuhnya menggunakan pistol, jelas aku kalah," batinnya."Bagaimana Damian? Apa kau siap menantang mereka?" tanya Nicko."Huh sial," gumam Damian.Pemuda itu pun mulai beringsut mundur, perlahan rahangnya mengendur. Ia tak lagi menyimpan amarah untuk suami sepupunya. Yang ada saat ini hanyalah ketakutan menghadapi orang-orang ini."Sial, gara-gara rencana yang kurang matang aku harus berhadapan dengan orang-orang itu. Mereka semua pasti kecewa karena villa ini tak jadi dijual," pikir Damian.Pemuda itu pun berdiam sejenak, sampai akhirnya ia menemukan sebuah gagasan yang brilian.
Nicko hanya tersenyum mendengar ucapan Russell. Kemudian ia pun menyampaikan terima kasih atas pengertian klien pura-puranya."Maafkan saya Tuan, karena saya tidak tahan, bisakah saya menghajar lelaki yang menyakiti seorang wanita?" tanya Russell meminta ijin.Damian yang mendengar hal ini pun langsung tak berkutik. Ia tak tahu lagi harus berbicara seperti apa."Sial, meminta maaf akan menghancurkan harga diriku. Apalagi kalau meminta maaf pada lelaki pecundang yang telah merusak semua rencanaku. Namun jika aku melawan tubuhku yang akan hancur oleh mereka," pikir Damian.Saudara sepupu Josephine sadar betul kalau ia bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan kelompok jubah hitam. Dari kapasitas saja, ia sudah kalah.Bahkan sebenarnya Damian tak mungkin bisa menang melawan Nicko. Putra Howard Windsor ini baru saja belajar beladiri, itu pun masih tingkat dasar. Sementara Nicko sendiri sudah terbiasa hidup dalam lingkungan
Josephine melirik ke arah sang suami setelah ia mendengar pertanyaan dari lelaki itu. Kemudian ia berganti melirik ke arah sepupunya yang terlihat ketakutan."Hmm sebenarnya kasihan juga, tapi Damian sudah keterlaluan, lagipula ia belum meminta maaf pada siapapun," batinnya."Kau ingin tahu pendapatku tentang apa yang seharusnya kau lakukan pada dia?" tanya Jo."Ya, aku ikut saja dengan usulanku," balas Nicko.Namun, lagi-lagi Daisy justru meminta menantunya untuk tidak memberikan pengampunan apapun pada Damian. Wanita paruh baya ini bersikeras agar keponakannya mendapatkan hal yang setimpal.Rupanya kekecewaan dan kemarahan dari Daisy telah sampai di ubun-ubun. Ia benar-benar tak menyangka akan ditipu mentah-mentah oleh keponakannya.Edmund sendiri hanya bisa mengelus dada mendengar ucapan sang istri yang tak henti mendesak Nicko. Ia juga kesal terhadap Damian, dan sudah menduga kalau sang istri akan bersikap ber
Perlahan kedua anggota jubah hitam melepaskan Damian dari cengkeramannya. Putra Howard Windsor pun langsung jatuh dalam keadaan bersimpuh. Ia masih memegangi perutnya yang kesakitan."Kau memintaku meminta maaf?" tanyanya pada Josephine dengan sedikit terbata."Jelas, bukankah kau sudah melakukan suatu kesalahan?" tanya Josephine.Damian tampak membuang muka. Kelihatan sekali kalau ia enggan menuruti permintaan Jo. Lagi-lagi gengsi membuatnya enggan mengakui kesalahan. Ia merasa sangat terhina jika hal itu harus terjadi."Jo, bukankah aku sudah mendapatkan pukulan karena telah menyakiti Ibumu? Lalu untuk apa aku meminta maaf pada Bibi dan juga suamimu?" tanyanya dengan suara yang pelan karena menahan sakit. Namun tak meninggalkan kesan sombong.Jo melipat kedua tangannya di depan dada. Kemudian sedikit merendahkan tubuhnya ke arah Damian."Jadi kau tidak mengakui kesalahanmu?" tanya Jo.Damian pun men
Damian yang saat itu bersimpuh langsung bangkit dan berdiri tegak. Ia sungguh tak terima dengan ucapan Nicko yang dirasa sok.kembali jari telunjuknya diarahkan kepada suami Jospehine,"Ka ... Kau,-" seru Damian tertahan lantaran mendapati saudara sepupunya melotot ke arahnya."Kau beruntung kali ini Jo, gara-gara kehadiran pria berpakaian serba hitam itu aku jadi tak bebas memberimu pelajaran. Coba saja kala tak ada mereka, pasti kau tak akan bisa selamat," batin Damian kemudian menurunkan tangannya dengan terpaksa."Kau belum miminta maaf pada suamiku. Kau tahu sendiri kan kalau mereka akan mendengar perkataan suamiku?" balas Josephine yang mebuat Damian semakin menyimpan dendam pada suami sepuunya yang bodoh."Huh, baiklah. Aku minta maaf Nicko," katanya dengan tak kalah cepat."Apatu caramu meminta maaf? katakan dengan sopan dan elegan. Bukankah selama ini kau selalau mengatakan bahwa dirimu be
"Ah Nicko, kau hampir saja membuatku shock karena terpengaruh ucan Damian," papar Daisy saat perjalanan pulang menuju rumah tinggal mereka.Nicko hanya tersenyum dan diam. Ia lebih milih untuk berkonsentarsi mengemudi dibandingkan mendengar ocehan Ibu mertuanya yang penuh dengan kepalsuan."Iya itu benar. huh untung saja kau talau dengan harta hingga menjual villa itu diam-diam. Kami sungguh bangga terhadapmu Nicko," Kali ini Emund ikut-ikutan memuji.Catherine yang sedari tadi diam pun ikut-ikutan berbicara. Ia muak mendengar ucapan dari kedua orang tuanya sendiri."Kurasa Nicko tak mungkin sampai hati menjual villa yang menjadi simbol keuarga kita. Dia bukanlah tipe lelaki serakah," katanya dengan maksud menyindi kedua orang tuanya. Sayang, sindiran yang disampaikan ini tidak mempan untuk mereka."Ah iya itu benar. Aku tahu sejak dulu kau sngat mencintai putriku, jadi kurasa kau tak mungkin melakukan perbuatan hina s
"Huh Nenek pasti akan memarihi habis-habisan karena tidak berhasil merebut kei villa kebanggan keluarga kami. Aduh alasan apa yang harus kuungkapkan kali ini?" pikir Damian yang belum juga beranja menuju ruangan neneknya.Pemuda itu mengetuk-ngetukkan telunjuk pada meja kerjanya. Cukup lama, sampai sang Nenek pun kembali harus menghubunginya."Hei, sedang apa kau? Bukankah aku sudah memintamu datang ke ruanganku sejak adi?" hardik Nenek melalui telepon.Damian gelagapan, ia tak mengira neneknya akan sebegitu serius menanggapi janjinya.Dengan sedikit malas, ia pun terpakasa untuk mendatangi ruangan sang nenek. Ia berpikir apapun yang akan ia lakukan kali ini tentu saja mengundang kemarahan nenek, entah ia mengabarkan kegagalan atau tidak mengabarkan.***Sesuatu menyambut Daisy dan Edmund begitu mereka tiba di kediaman mereka. Sebuah sedan hitam terparkir rapi di depan halaman rumah mereka yang tidak terla
Kembali Daisy dan Edmund mengamati mobil mewah yang ada di depan rumahnya. Kemudian kembali memperhatikan Adrian, sosok yang mereka anggap sebagai seorang menantu idaman."Adrian, apa kau tidak sedang bercanda? Apa mungkin kau memberikan kami hadiah mobil sementara saat ulang tahun nenek kau memberikan lukisan palsu," sindir Daisy.Josephine yang terlihat risih dengan kedatangan pemuda perlente itu pun memalingkan muka. Ia enggan berkomenta apapun tentang hadiah yang diberikan kepada orang tuanya. ia tahu pasti kalau hadiah ini adalah sogokan untuk mendapakannya.Meski dalam hati ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Sang Ibu kalau sepertinya tidak mungkin kalau Adrian akan memberikan hadiah semahal ini."Jangan-jangan Adrian hanya membayar uang mukanya saja, sementara sisanya harus kami cicil. Huh itu sungguh merepotkan," pikir Jo.Tampaknya Daisy mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran putri bungsunya. Dengan sin