“Buk, tadi pagi Bapak mampir ke sini. Maaf saya tidak bisa melarangnya masuk.” Begitu aku menginjakkan kaki di rumah, Bik Sum langsung memberi laporan.
“Ada perlu apa ya, Bik?” tanyaku sambil melepas kaus kaki.
“Cuma lihat Rheza, Buk. Tapi Reheza lagi tidur di kamar Jenengan tadi.”
Aku melangkah ke kamar. Oh … pantas tadi Mas Wildan menuduhku punya hubungan dengan laki-laki lain. Rupanya dia telah melihat buket mawar ini. Kertas ucapan dari Coach Akmal lusuh bekas diremas. Berarti Mas Wildan juga tahu kartu ucapannya belum kubuka. Segera kusobek amplop kecil warna putih itu, di dalamnya tertulis, ‘Al, jika kita berjodoh, pasti ada jalan untuk kembali.’
Kuletakkan kembali kartu ucapan itu ke dalam amplopnya. Benar memang jodoh di tangan Allah. Namun kata-kata Mas Wildan seolah menyiratkan, semua itu akan bim salabim tanpa a
Alya makin pelit kata-kata. Setelah kupancing dengan tuduhan sering bertemu dengan laki-laki lain, dia malah membisu. Kupikir dia akan emosi. Lalu membuat klarifikasi bahwa itu tidak benar. Sehingga ada kepuasan pada diriku, bahwa dia tidak berpaling. Namun, itu tidak dilakukannya. Dia menahan emosi atas kebenciannya terhadapku. Sungguh wanita yang sangat kuat mengontrol emosinya.Lantas siapa Coach Akmal itu? Jika benar dia developer property – sebagaimana yang dikatakan oleh Dini – berarti dia bukan orang biasa. Lebih baik kutanya langsung saja orangnya. Kulihat tadi dia terus melihat Alya dengan tatapan yang tak biasa. Aku laki-laki dewasa. Aku tahu makna tatapan itu. Aku tak akan membiarkan Alya jatuh pada perangkap laki-laki yang hanya memanfaatkan kondisinya yang sedang labil saat ini. Saat tubuhku berbalik hendak ke meja yang tadi
Pagi ini aku harus balik ke kapal. Kali ini aku memang tidak libur, hanya izin pulang karena ibu masuk rumah sakit. Sehingga tak bisa lama-lama di rumah. Seperti saat Rheza operasi dulu. Saat aku pamit dengan Nely, dia malah menagih. “Mas, mana uang belanjanya?” “Kamu enggak pegang uang sama sekali?” tanyaku memastikan. “Enggak ada Mas, uang dari mana?” ungkapnya sambil mengangkat kedua tangannya dalam posisi menengadah. “Pakailah tabunganmu dulu. Ini aku hanya cukup buat ongkos balik naik bus.” Segera kupakai jaket warna hitam dan tas punggung.&nbs
Hilang Empati Hari ini sudah tanggal empat. Kucek M-Banking belum juga ada dana masuk dari Mas Wildan. Padahal dia menjanjikan setiap gajian jatah anak-anak akan ditransfer. Melihat fakta ini, maka aku tak mungkin mengajukan cuti di luar tanggungan negara dengan alasan menjalanai masa iddah. Lagian jika mau jujur, nafkah dari Mas Wildan selama ini cukup buat kebutuhan pokok saja. Sementara biaya sekolah Rohim dan beberapa kebutuhan lain diambil dari gajiku. Jadi, aku terpaksa ke luar rumah untuk bekerja. Sebab Mas Wildan tak melaksanakan kewajibannya memberi nafkah. Untuk memastikan gaji dari perusahaan sudah masuk atau belum, kutanyakan kepada Mila. Barangkali saja ada keterlambatan. [Mil, Pak Dhimas gajinya dah masuk belum?] Sebuah pesan lewat aplikasi hijau kukirim. Untungnya Mila sedang online sehingga pesanku langsung dibaca dan dibalas. [
Sepulang kerja, ketika hendak memasuki halaman rumah, ada motor matic pelat luar kota itu lagi di tepi jalan. Apakah wanita itu ke sini? Dugaanku tak salah. Perempuan yang perutnya mulai kelihatan buncit itu sedang duduk di ruang tamu. Matanya nyalang memandangi foto pernikahan yang belum sempat kuturunkan.“Assalamu’alaikum. Eh … ada tamu,” ucapku pura-pura tak tahu.Nely mengalihkan pandangannya padaku. Bik Sum buru-buru mendatangiku. Beliau terlihat mau bicara, tetapi mulutnya hanya terbuka tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mungkin dia bingung mau bicara apa. Ada ekspresi ketakutan di wajah yang mulai keriput itu. Bisa jadi Bik Sum mengkhawatirkanku akan bertengkar dengan Nely nantinya.“Bik, tolong buatkan minum!” pintaku dengan nada tenang.“Inggih, Buk, sampun. Tinggal disuguhkan.” Bik Sum langsung kembali ke dapur.
Kutundukkan kepala. Kenapa ini baru Mas Wildan lakukan sekarang? Kala hati sudah kugiring menimbun semua kisah kami. Dikiranya mudah mengendapkan tujuh tahun waktu bersamanya.“Al, kamu enggak tidur, ‘kan?” panggilnya. Aku memang diam, tetapi terjaga. Bahkan mataku mulai berkaca-kaca.“Sebenarnya aku sudah ngantuk, Mas. Tapi denger kamu bicara gitu ngantukku langsung ilang,” sahutku sambil menahan isakan.“Jadi gimana?” tegasnya.“Kamu tahu enggak Mas?” Aku berhenti sejenak. Air mataku akhirnya tumpah. Lalu kukuatkan lagi untuk bicara. “Sejak masalah ini terkuak, aku terus berpikir. Mencari solusi terbaik yang bisa diambil. Di awal-awal egoku memang mendominasi. Aku harus memenangkanmu. Aku enggak boleh kalah sama Nely.”Kusandarkan kepala ke tembok sambil sedikit mengangkat dagu. Kemudian mata kupejamkan.&
Kukumpulkan bukti kebersamaan Nely dan Mas Wildan. Termasuk foto pernikahan mereka yang sempat dijadikan status oleh Nely. Sudah kusimpan semuanya. Ada angin segar, katanya kasus perceraian dengan alasan perselingkuhan akan lebih mudah dikabulkan oleh hakim.Namun, kabar tidak menyenangkannya Mas Wildan belum merespon pesan yang kukirim.[Mas, aku sudah mengajukan gugatan cerai. Sekarang prosesnya sampai di kepala dinas. Jika libur tolong kabari, sebab Bapak Kadis ingin bertemu]Pesan itu barusan kucek ulang. Belum juga dibalas. Entah apa yang dipikirkannya. Apakah Mas Wildan benar-benar akan mempersulit proses ini? Padahal aku ingin perceraian ini dilakukan dengan damai.Saat menginjakkan kaki di rumah, ada amplop cokelat berkop Pengadilan Agama bertengger di atas meja kamar. Surat itu ditujukan kepadaku, Alya Az-Zahra.“Bik, surat ini tadi dari siapa?” Kucari Bik Sum di belakang.
Alya tak tahu jika aku saat ini hanya berjarak puluhan meter dari rumahnya. Baru kusadari betapa bahayanya keberadaan anak-anak dan istriku di malam hari. Di dalam rumah itu, hanya ada seorang wanita dan dua anak kecil. Bagaimana jika ada orang yang nekat berbuat jahat? Apa yang bisa mereka lakukan? Aku rasanya ingin merutuki diriku sendiri.Entah bagaimana ini terjadi, motor yang kunaiki seolah memilih jalannya sendiri. Tiba-tiba saja motor ini membawaku memasuki komplek perumahan yang tenang ini. Padahal tadi aku hanya ingin mencari angin segar. Menghilangkan suntuk atas segala tuntutan Nely.Di sinilah sekarang aku terhenti. Menatap sorot cahaya dari lampu kamar depan yang masih menyala. Alya belum tidur. Kebiasaanya saat tidur selalu mematikan lampu. Dia hanya mengandalkan cahaya dari ruang tengah. Masih ada waktu untuk mengajak Alya kemba
Dengan sisa-sisa tenaga kujawab pertanyaan Hakim Ketua itu dengan mantap, “Dilanjutkan, Yang Mulia.”Aku memang masih mengharapkan pernikahan ini utuh. Ekspresi wajahku yang menunjukkan agar rumah tangga ini tak bubar tak bisa kusembunyikan, sehingga mungkin Hakim Ketua menginderanya tadi. Namun percuma, sidang pertama yang agenda acaranya mediasi ini tak akan berhasil. Sebab Alya sudah benar-benar ingin semuanya berakhir. Aku masih mencintaimu, Alya. Karena itu, aku ingin membebaskanmu. Kata orang, cinta tak harus memiliki, bukan?Jika mengakhiri pernikahan ini membuatmu bahagia, maka aku tak akan mempersulit keinginanmu itu. Begitu kau menolak ajakan rujukku malam itu, keesokan harinya berkas yang sudah lengkap itu langsung kuberangkatkan ke Pengadilan Agama.“Karena upaya mediasi untuk menyatukan kembali penggungat atas nama Wildan Pratama dan tergugat atas nama Alya Az-Zahra tidak menemukan titik te
Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”
Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik
“Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul
Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.
“Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny
“Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati
“Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised
“Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 
“Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,