Share

Bab 18: Hampir Takluk

Penulis: Ana Sh
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Hampir Takluk

Mulai jam sepuluh malam hujan turun cukup deras. Aku tak peduli Mas Wildan jadi pulang atau tidak. Setelah mengirim pesan itu, ponsel ku-mode pesawat, sebab diri ini lelah berdebat.

Tak tahan dengan efek dingin akibat air langit  yang membasahi bumi, kukenakan sweater bahan rajut yang ketebalan dan kelembutannya mengantarkanku mengikuti lelapnya kedua anakku.

Entah berapa lama netraku terpejam. Hingga pendengaranku menangkap bunyi tumbukan besi dari selot pintu pagar. Dentingnya cukup memecah kesunyian malam.

“Dik, buka pintunya!”

Suara tak asing itu memanggilku. Kamu kah itu, Mas?

Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari lebih sepuluh menit. Kerudung di cantolan baju kusambar. Dengan mata yang masih mengantuk, kubuka pintu dan pagar untuk  Mas Wildan yang akhirnya memutuska

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 19: Mazhab Panjenengan Apa?

    Selama perjalanan, kami merencanakan akan bertanya tanpa menyebutkan jika itu merupakan kasus yang kami alami. Agar Pak Kiai tidak merasa sungkan menyampaikan apa yang seharusnya beliau utarakan.Tak terasa mobil sudah memasuki area parkiran pondok pesantren. Lokasi pondok yang berada di tepi jalan raya tidak menyulitkan kami menemukannya.Aku turun dari mobil dan bertanya kepada salah satu santri yang lewat. Kemudian santri itu mengantarkan kami ke kediaman Pak Kiai. Tak lupa, kubawakan buah tangan yang sempat kubeli di kawasan wisata tadi.Santri putri bergamis hitam hilir-mudik membawa kitab. Akhirnya, kami sampai pada bangunan yang cukup asri. Sepertinya ini tempat tinggal Pak Kiai.Setelah melepas alas kaki, kami masuk ke ruang tamu yang di-setting lesehan. Ada rak buku yang cukup tinggi berfungsi sebagai sekat dengan ruangan di dalamnya. Santri yang mengantar kami mempers

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 20: Takluk

    Saat jarum jam dinding saling bertumbukan di angka sembilan kami baru sampai di rumah. Hari sudah gelap. Seharian beraktivitas di luar rumah menjadikan badanku terasa pegal semua.Anak-anak sudah tertidur di kamar sebelah. Mas Wildan masih mengunci pagar dan pintu. Setelah itu langkahnya terdengar akan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, dia ikut merebahkan badan di sampingku.“Gimana, Dik?”“Apanya?”“Masalah kita. Ibu sudah bisa nerima Nely, tinggal keluargamu.”“Aku juga nggak bisa nerima dia, Mas.”“Loh kamu ‘kan sudah dengar sendiri penjelasan Kiai Abdullah tadi. Ada pendapat yang bolehin janda nikah tanpa wali. Apalagi yang kamu permasalahkan? Kemarin 'kan kamu menolak karena persoalan itu?”“Tapi kamu pindah mazhab sak enak’e ud

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 21: Ide Tamu Dadakan

    “Aku pingin dia merasa Kak Wildan itu nggak sebaik yang dia kira. Misalnya sudah ada perempuan lainnya yang dinikahi diam-diam juga.” Pembicaraan kami semakin seru. Sampai aku lupa mempersilakan tamuku untuk minum. Tak ada suguhan lain selain air mineral kemasan gelas. Kutawarkan Susi untuk minum terlebih dahulu. “Seru sepertinya. Tar aku bantu mikir gimana caranya,” sahutku merespon usulnya yang menurutku agak gila. “Sip, Mbak Alya. Kita tukar nomor HP saja biar nanti lebih mudah komunikasinya,” jawabnya setelah meneguk air mineral beberapa kali sedotan. Setelahnya kami saling menyimpan nomor ponsel. “Oya, Mbak. Ada yang mau saya tanyakan. Jujur aku syok dengan perubahan perilaku Mas Wildan. Selama ini dia itu baik-baik saja. Bahkan jika ada temannya yang main perempuan, dia menunjukkan sikap menentang, tapi sekarang gentian dia jadi lakonnya,” keluhku dengan nada kecewa. &n

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 22: Kecebur Dua Kali

    Nely lebih dulu menyadari kedatanganku. Sepersekian detik mata kami beradu. Mungkin aku menakutkan seperti hantu sehingga gestur gelisah terlihat pada dirinya. Lantas ia bergerak mundur seperti ingin menghindariku, namun naas. Ia akhirnya terjatuh dalam kolam dan disambut tumpahan air dari tong raksasa yang ada di atasnya.Aku sebenarnya ingin tertawa melihat kejadian itu, tetapi kutahan. Katanya nggak baik tertawa di atas penderitaan orang lain. Di sisi lain, Mas Wildan tampak dikagetkan dua hal sekaligus. Keberadaanku yang tiba-tiba ada di hadapannya, juga posisi Nely yang terguyur tumpahan air. Segera kuambil Rheza dari gendongan Mas Wildan.“Mas, mana kontak mobilnya? Aku mau jemput Rohim sekarang.”“Kamu ke sini sama siapa?” Dia belum juga memberikan kontak mobil yang kuminta.“Nggak penting. Sudah ah, aku males debat di tempat umum. Kalo Mas masih mau ngadem di sini silakan. Mana kontaknya aku

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 23: Teror ke Kantor

    "Hm … maaf bukan menyalahkan penjelasan, Bapak. Saya –“ Aku tidak mungkin berbohong. Sehingga terpaksa bicaraku tak tuntas.“Oh … Saya kira tadi ada yang salah. Ini Bu Dini sama Mbak siapa namanya--?” Laki-laki berkemeja putih tulang dengan lengan panjang yang dilipat hampir ke siku itu menyipitkan matanya. Seperti mencoba mengingat sesuatu.“Alya, Pak.” Syukurlah Dini membantuku bicara. Lidahku masih keluh rasanya.“Teman sekantor dengan Bu Dini? Atau --?”“Iya, Pak. Sekantor. Cuma tadi pas Bapak presentasi Alya lagi izin keluar.” Lagi-lagi Dini menolongku.“Mbak Alya masih ingat saya?”Dini melotot ke arahku mendengar pertanyaan Pak Akmal barusan.“Masih.” Kujawab cukup satu ka

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 24: Pelaku Kecelakaan Ngaku

    Waktu menjelang tidur tiba, anak-anak sudah terlelap semuanya. Mas Wildan pun usai mengunci pagar dan pintu. Aku sudah posisi tidur di kamar anak-anak. Rezha yang minta dikeloni menjadi alasan yang tepat untuk menghindar dari Mas Wildan malam ini. Padahal kami biasannya selalu melakukan pillow talksebelum tidur.“Dik, sudah tidur?” Mas Wildan memanggilku. Namun aku pura-pura terpejam. Setelah dipanggil berkali-kali aku tetap tidak menyahut, akhirnya ia menyerah. Kubuka mata sedikit, dia telah bergeser ke kamar sebelah sepertinya. Suasana malam yang sunyi menjadikan sedikit saja ada bunyi, maka akan mudah tertangkap indera pendengaran. Termasuk nada getar dari gawai Mas Wildan yang berulang-ulang. Sepertinya dia belum tidur. Tetapi sedang berbalas pesan.Hingga setengah jam kemudian, suara dengkuran halusnya terdengar. Sepertinya dia sudah terlelap. Perlahan kutegakkan badan. Kutengok k

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 25: Terusir

    "Mas, ini ada undangan reuni sama kaos.” Kuberikan kepadanya barang yang diantar Mbak Susi kemarin.“Kamu dapat dari mana?”“Mbak Susi.”“Kok bisa kenal?”“Katanya lihat info di profil medsosku. Trus dia datang ke kantor.”“Makanya medsos itu jangan di-setting public informasinya. Kalo ada orang-orang yang niat jahat gimana? Mereka akan dengan mudah menemukan keberadaanmu.”“Iya, sudah kejadian, mau gimana lagi.”“Tuh, 'kan. 'Kan sudah kuingatkan dari dulu.”“Kemarin ada yang koar-koar menelpon nomor kantor. Buat woro-woro kalo dia istri ke duamu, Mas.”“Siapa?”“Siapa lagi kalo bukan Nely?”“Kamu punya bukti? Jangan menuduh orang sembarangan!”“Lah, siapa lagi kalo bukan dia? Apa ada wanita lain yang diam-diam kamu nikahi selain Nely?”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 26: Minggat

    Entah pukul berapa netraku akhirnya terpejam. Alarm alami tubuh kembali membangunkanku pukul setengah tiga. Ternyata ibu sudah bangun juga. Beliau kelihatan repot di dapur.“Bu, buat apa?”“Sahur. Kamu mau puasa juga?”Cukup kujawab dengan anggukan. Ini hari Kamis. Ibu memang termasuk orang yang rutin mengamalkan puasa sunah Senin Kamis. Sementara diri ini puasa hanya saat bulan Ramadan saja. Plus nyaur utang dari puasa wajib yang bolong karena datang bulan. Aku pernah mendengar, kekuatan seseorang pada hakikatnya bukan dari fisiknya semata. Melainkan lebih utama pada kekuatan ruhiyah.Kenapa ada orang sampai memilih untuk mengakhiri hidupnya? Sebab ruhiyahnya kering. Meski fisiknya sehat, nyatanya orang seperti itu tak kuat menghadapi beban hidup yang menimpanya. Makanya jika ingin kuat menjalani ujian hidup, perkuatlah aspek ruhiyah. Salah satunya dengan puasa sunah.Oleh karenanya, saat ditawari ibu untuk ikut puasa sunah

Bab terbaru

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 98: Kelahiran (Tamat)

    Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 97: Menebus Rasa Bersalah

    Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 96: Kematian

    “Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 95: Ekspresi Terima Kasih

    Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 94: Kunci Istikamah

    “Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 93: Raungan Ibu

    “Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 92: Firasat

    “Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 91: Hakikat Ujian

    “Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 90: Nasihat Usia 40 Tahun

    “Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,

DMCA.com Protection Status