Cintara menggigit bibirnya bagian dalam sambil sesekali menoleh ke samping. Terkutuklah Kanaya yang punya segudang alasan untuk berkilah dan tidak mau mengantarnya pulang, padahal perempuan itu jelas-jelas berbohong.
"Pulang sama gue bisa kan, Ta? Kayak biasa lo sama siapa, sih?""Nggak gitu." Cintara menoleh ke arah Kanaya yang tampak tak acuh dengannya. "Gue—""Apaan sih, Ta? Bener tuh, kata Dante. Biasanya lo sama siapa? Gue mau kencan sama Caraka soalnya.”Dan lihatlah bagaimana liciknya Kanaya sekarang? Dalam hatinya ingin sekali ia mengumpat sejadi-jadinya. Jika seandainya tidak ada insiden lamaran tadi, barangkali Cintara akan dengan sukarela menerima tawaran itu. Tetapi situasinya kali ini sedikit berbeda.“Ta?”Cintara berjengit kaget, lalu menoleh dengan cepat. “Hm? Kenapa?”“Lagi mikirin apa, sih?” tanya Dante tanpa memalingkan wajahnya sama sekali dari depan.Keduanya sudah sedang dalam perjalanan menuju pulang.“Ngg… nggak ada, Te. Gue cuma… capek aja, sih.”Dante mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kembali fokus dengan kemudinya. Sementara Cintara memilih untuk melemparkan tatapannya ke samping jendela dengan pikirannya yang kini berkelana entah ke mana.“Ada yang salah sama gue, ya?” kejar Dante lagi.“Nggak, kok. Emang salah kenapa?” Bisa tidak nggak usah banyak tanya? “Mending lo fokus nyetir, deh!” Cintara mendecak, berharap jika Dante tidak lagi mengajaknya bicara.Bagaimana bisa Dante sekarang bersikap biasa-biasa saja setelah apa yang terjadi dengan mereka? Apakah pria itu sama sekali tidak ingin memikirkannya?“Lo lucu banget kalau lagi diem gini tahu, nggak?” kekeh Dante.“Emang gue badut?” cibir Cintara kesal.“Ya nggak badut juga, sih,” Dante lantas membelokkan mobilnya menuju sebuah komplek perumahan. Namun belum sampai mobil itu tiba di depan rumah Cintara, Dante sudah lebih dulu menghentikan laju mobilnya di ujung jalan komplek.Komplek perumahan itu terlihat gelap dan senyap. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang di sana. Sementara mobil itu terparkir di pinggir jalan dengan mesin mobil yang masih menyala.“Kok berhenti? Kenapa?” tanya Cintara bingung.Dante mengulas senyuman samar. Hal yang jarang sekali ditunjukkan pria itu kepada orang-orang di sekitarnya. Seharusnya Cintara senang, tetapi nyatanya sikap itu justru membuat kinerja jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Terlebih saat Dante menoleh sepenuhnya ke arah perempuan itu.“Apa?” salak perempuan itu. “Kenapa lo lihat gue begitu?”“Besok terbang jam berapa, Ta?” tanya Dante dengan lembut.Cintara memalingkan wajahnya ke depan, lalu mendesah pelan. “Jam enam gue mesti udah di bandara. Kenapa?”“Rute ke mana?”"Jakarta-Bali, Bali-Lombok, Lombok-Bali."Dante manggut-manggut. “Jadi stay di Bali, ya?”“Emang biasanya begitu, kan? Apaan sih tanya-tanya, jangan bertingkah yang aneh-aneh, deh. Lo mau apa sebenarnya?" sungut perempuan itu kesal.“Mumpung lo masih di sini, gue mau bahas yang tadi dulu,” ujar Dante dengan tenang.“Hah? Yang tadi? Yang mana? Bahasan kita sejak tadi banyak. Nggak bisa besok aja kita bahasnya?” sahut Cintara dengan cepat.Dante menggeleng. “Lo besok udah nugas, kan? Atau lo minta gue susulin lo ke Bali?”Cintara melotot tajam. “Jangan gila, deh!”Dante terkekeh. “Lo nggak lagi ngehindar dari gue, kan?”“Menghindar?” Cintara memalingkan wajahnya, lalu menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Mendadak ia gugup. “Ngg… nggak, kok. Ngapain juga gue menghindar dari lo?”“Kalau gitu, jelasin apa yang terjadi sama lo. Termasuk soal permintaan lo pas nyamperin gue ke kantor tadi."Bisa tidak waktu terulang kembali? Rasanya Cintara tak lagi memiliki kesempatan untuk menghindar. Perempuan itu menggigit bibirnya, tampak ragu mengutarakan ide gilanya untuk kedua kalinya.“Gue—” Cintara menautkan kedua tangannya di pangkuan. Mendadak ia gugup sekali. Terlebih saat tatapan Dante memakunya dengan lembut. Meskipun cahaya di sekitarnya gelap, Cintara masih bisa melihat mata Dante berbinar terang. “Lo aneh tahu, nggak!”“Aneh?” Dante mengernyit. “Bukan lo, ya?”“Gue aneh kenapa, coba?”Dante mengurut pelipisnya dengan satu tangan. Mendadak kepalanya pening. “Aneh banget. Sampai-sampai lo tiba-tiba ngajak gue nikah, tapi habis itu ngilang. Kan gue jadi bingung sama permintaan lo, Ta.” “Bingung bagian mananya? Bukannya udah jelas permintaan gue?”“Lo serius sama permintaan lo itu?”“Ya menurut ngana aja?” sungut Cintara kesal. “Lo boleh menolaknya kalau lo nggak mau, kok. Daripada yang ada kita canggung, kan?” Cintara menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menggeleng-geleng. “Sumpah, kita lupain aja gimana, sih? Please, gue malu banget tahu, nggak!” sambungnya dengan nada lirih.Sementara Dante hanya tersenyum tipis. “Jadi lo sejak tadi aneh gini tuh, gara-gara canggung sama gue?”‘Menurut ngana?’Cintara memukul lengan Dante. Kesal luar biasa. “Lo emang paling bisa bikin gue malu gini, ya?”Dante terkekeh. “Nggak gitu, Ta. Gue mau kita tuntas pokoknya.« Pria itu meraih tangan Cintara agar menoleh ke arahnya. “Ayolah, Ta?”“Apaan?”"Cerita sama gue dulu... kenapa lo tiba-tiba ngajak gue nikah."“Kalau lo nggak setuju, lo langsung bilang aja, Te. Gue nggak mau maksa lo de—”“Kalau gue mau?” Dan detik itu bibir Cintara terkatup rapat. “Gimana kalau gue mau?”Cintara mencebikkan bibir. “Lo cuma pengen nenangin gue, kan?”“Nenangin gimana, sih?” Dante terkekeh. “Suka banget sih ambil kesimpulan sendiri?" Dante mendesah pelan. “Tapi sebelum kita bicara sampai sejauh itu, nggak ada salahnya kalau gue tahu alasannya, kan?”Sementara Cintara tidak menjawab, dan wajah perempuan itu kini terlihat begitu menggemaskan. “Jadi?” desak Dante lagi.Cintara memberanikan diri untuk menoleh ke arah pria itu. “Apa?”Dante menghela napas. “Kenapa lo ngajak gue?”“Ya karena cuma lo doang yang ada di pikiran gue, Te.” Cintara menarik napas. “Ini kalau lo nggak mau, gue rencananya cuma pengen pinjem lo bentaran, Te. Maksud gue… kita nggak serius. Cukup sebatas pernikahan kontrak? Eh, pacaran kontrak? Atau apalah. Yang penting nggak ada yang dirugikan sama hubungan ini,” ujar Cintara. “Gue nggak mungkin ajak Niko. Ya kali gue ngajak dia nikah? Gue nggak mau nikah sama cowok yang nggak setia."“Nggak setia gimana?”“Gue nggak sengaja lihat dia make out sama cewek lain tempo hari. Gila, kan? Makanya gue males sama dia, meskipun gue nggak bisa kayak apa yang dia harapkan, tapi sejak awal gue udah bilang soal itu. Kalau dianya nggak mau ngikutin aturan gue, harusnya bilang sejak awal, dong? Kayak gue nggak ngomong aja dari awal. Kalau taunya dia diam-diam tidur sama cewek lain, gimana gue nggak sakit hati, coba?”“Terus sekarang udah putus?"“Gue maunya gitu. Dari tadi dia masih gangguin gue, tapi gue males nanggepin dia."“Perlu gue kasih pelajaran dia?”Cintara menoleh cepat ke arah perempuan itu. “Nggak usah aneh-aneh, deh. Jangan mengotori tangan lo dengan hal-hal nggak guna! Udah biarin aja. Gue bisa kok mengatasi Niko.”“Oke.” Dante manggut-manggut. “Terus balik ke yang tadi. Lo mau dijodohin sama nyokap kalau lo nggak bawa calon suami gitu?"“Iya.”“Dijodohin sama siapa emangnya, Ta?”“Itu tuh, anaknya Om Praba temennya Mama. Gue juga nggak kenal siapa dia. Kolot amat deh, minta gue cepat-cepat kawin biar apa, coba?” gerutu Cintara kesal.“Ya mungkin nyokap lo khawatir sama lo kali, Ta,”“Gue baik-baik aja kok dengan status available gue!” sanggah Cintara.“Bukan soal baik-baiknya, Ta. Gue tau lo bakalan bisa jaga diri lo sendiri dalam hal apapun. Tapi yang namanya nyokap, apalagi tahu anaknya kerja jadi pramugari, yang pulang aja nggak pasti. Gue sih udah kebayang segimana khawatirnya nyokap lo,” ujar Dante.“Nyokap aja yang berlebihan, Te! Terus terang gue belum mau nikah sebenarnya. Gue tahu gimana mengerikannya kehidupan dua pasangan dalam rumah tangga, dan gue belum siap.”Bukan hal mudah bagi Cintara. Mengingat bahwa perempuan itu dibesarkan oleh orang tua tunggal karena perceraian.“Ta…”“Benar, kan?” Cintara menoleh ke arah Dante. “Nyokap gue nggak mungkin cerai dari bokap gue kalau mereka bisa mempertahankan pernikahan mereka. Untuk apa menikah kalau ujung-ujungnya bakalan pisah? Gue nggak ngerti apa tujuan mereka menikah dulu. Tapi kalau pada akhirnya ada perselingkuhan kayak apa yang pernah bokap gue lakuin ke nyokap. Mending gue nggak usah nikah sekalian, kan?"“Sorry, Ta…” Hening sesaat. “Terus lo mau gue gimana? Pura-pura jadi pasangan lo di depan nyokap biar lo nggak dijodohin sama cowok lain, kan?”“Iya.”“Oke.” Dante mengangguk. “Tapi nggak gratis. Gimana?"*** Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.CINTARA masih tergamam di halaman depan rumahnya saat mendadak kepalanya terasa pening. Setelah memastikan mobil Dante menghilang dari pandangannya, perempuan itu duduk berjongkok dengan kedua tangannya yang memegang kepalanya. “Wah, lo kayaknya udah benar-benar gila deh, Ta. Lo barusan ngajak main-main sahabat lo sendiri? Lo perlu dibawa ke rumah sakit jiwa kayaknya deh, Ta,” ujarnya pada dirinya sendiri.Cintara hanya bisa mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia bertindak sekonyol itu? Bahkan hanya dengan melihat bagaimana reaksi yang ditunjukkan Dante padanya tadi, ingin rasanya Cintara tenggelam detik itu juga.Perempuan itu menarik napas pendek lalu mengembuskannya perlahan. Ia kemudian bangkit lalu melangkah menuju teras rumahnya. Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam saat Cintara tiba di rumah. Tubuhnya terasa lelah luar biasa, padahal ia sangat yakin tidak melakukan aktivitas apapun seharian ini.Cintara menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu rumahnya. “Assala
“Mandi terus istirahat ya, Ta.” Dante mengusap puncak kepala Cintara. “Gue balik dulu.”Setelah memastikan Cintara turun dari mobilnya, pria itu kemudian melajukan mobilnya meninggalkan komplek perumahan Cintara. Alih-alih langsung pulang, Dante menyempatkan diri untuk mampir ke rumah orang tuanya.“Mas? Lho, tumben mampir?" Kinnas yang baru saja melihat Dante muncul dari balik pintu rumahnya itu lantas berjalan menghampirinya."Mama kebiasaan deh, nggak pernah ngunci pintu!" gerutu Dante setelah mengecup pipi Kinnas.“Iya, ya? Mama lupa kayaknya, Mas. Tumben ke sini?”Dante berdecak pelan. “Kok dibilang tumben sih, Ma? Aku kan kangen sama Mama. Nggak boleh mampir, ya?" ujarnya beralasan.“Beneran kangen, kan? Atau… pasti ada maunya, nih?” Lalu Dante terkekeh. “Mau dibuatin teh hangat?”“Boleh, Ma.” Dante lantas berjalan mengekori Kinnas ke dapur, lalu menarik salah satu kursi bar stool yang ada di sana. “Rumah kok sepi banget, Ma? Zidny sama Papa ke mana?”“Kenapa? Kangen sama adik k
“WHAT! Lo gila, Nay?"Suara teriakan Cintara sontak membuat orang-orang di sekitar mereka lantas menoleh ke arah mereka. Dengan tatapan tajamnya, Cintara ingin sekali memaki Kanaya detik itu juga.Mereka baru saja landing di Jakarta usai melakukan penerbangan dari Bali. Keduanya memilih untuk menikmati kopi di kedai favorit seperti yang selalu dilakukan mereka sebelum bergegas untuk pulang.“Suara lo, Ta! Bisa-bisa kita diusir sama yang punya kafe tahu, nggak!”“Bodo amat! Lo gila, ya? Beneran lo obral gue?”Kanaya meringis tanpa rasa bersalah. “Lo bisa biasa nggak ekspresinya? Gue udah bilang sama lo waktu di Despresso Coffee tempo lalu, ya. Ya gue sebagai sahabat, pengennya bantu, Ta. Eh, betulan kecantol juga, dong.”Cintara meraup wajahnya dengan gusar, menatap heran pada Kanaya. “Terus? Gue mesti ngapain? Awas aja kalau sampai foto gue disalahgunakan sama orang, ya! Gue tuntut Diamond Group sampai bangkrut!”Kanaya mencebikkan bibir. Perempuan itu lantas menyodorkan ponselnya ke
“Ta, lo mandi apa pingsan, sih?”Suara Dante dari luar sana seketika membuat Cintara terlonjak kaget. Sudah hampir satu jam lamanya—padahal biasanya perempuan itu tidak pernah mandi selama itu, membuat Dante mendadak khawatir.Pria itu mengetuk pintu kamar mandi berulang kali. Lalu tak berselang lama, Cintara dengan rambutnya yang hampir kering keluar dari kamar mandi dengan tanpa sedikitpun rasa bersalah.“Apa sih, Te? Ganggu aja!” ujar Cintara dengan kedua tangannya yang menyisir rambutnya yang sudah kering.“Apa apa! Lo yang kenapa, Ta?”“Apa, sih? Emang gue kenapa?” tanya Cintara heran. Dante sudah lebih dulu menahan lengan Cintara hingga perempuan itu membalikkan badan dan kini keduanya saling berhadapan. “Nggak kayak biasanya lo mandi berjam-jam segala tahu, nggak. Lo sakit?” Tangan Dante terulur, punggung tangannya menyentuh kening Cintara. Namun perempuan itu justru menghindar."Apaan sih, Te? Nggak usah lebay, deh. Perasaan gue mandi cuma setengah jam doang deh!”“Setengah j
“CINTARAAAAAAAA, YA ALLAH, NAK! Kamu ini anak perawan jam segini belum bangun! Nggak malu sama ayam tetangga apa? Bangun, Ta! Itu ada Kanaya di depan rumah!”Mendengar suara teriakan Mama Elisa, Cintara kemudian meraih selimut untuk menutup seluruh tubuhnya lalu meraih bantal untuk menutup telinganya.“Ya Allah, Ta. Kalau kamu lagi nugas biasanya rajin banget. Kalau lagi libur gini kenapa malas banget, sih? Sebenarnya kamu kesurupan dari jin mana?” Mama Elisa lantas menarik selimut yang menutupi tubuh Cintara, membuat perempuan itu seketika melotot. “ASTAGA MAMAAAA! Mama lagi di kamarnya Cintara bukan lagi di hutan! Nggak bisa apa banguninnya kaleman dikit? Misal banguninnya pakai hati gitu, jangan pakai toa!” sembur Cintara kesal.“Kata siapa bukan hutan? Mana ada kamar kayak kapal pecah gini?! Astaga! Ini kenapa bisa kaos kaki kelempar sampai ke kolong, sih?” Mama Elisa mendengus pelan sembari meraih sepatu, kaos kaki, dan jaket milik Cintara yang berceceran di lantai. “Buruan bang
“Lo yakin ini acara kencan buta aman-aman aja kan, Nay? Awas aja kalau sampai aneh-aneh, ya!”“Aman kok, Ta. Gue udah kontak pihak Hellove juga tadi. Kalau nih, misal lo-nya kenapa-napa, pihak Hellove bakalan tanggung jawab sepenuhnya. Jadi lo nggak usah khawatir, okay?” Kanaya menoleh ke samping. “Kenapa? Lo gugup?”“Nggak bisa dibilang gugup, sih.” Cintara mendesah pelan lalu menurunkan kaca di depannya, memastikan penampilannya sudah sempurna. “Cuma ya… gue agak khawatir aja. Ini pengalaman pertama gue.”Mobil yang dikendarai mereka akhirnya tiba di salah satu restoran tempat Cintara dan Romeo melakukan janji. Perempuan itu menarik napas lalu menoleh ke arah Kanaya.“Gue turun, ya?”“Kasih tahu gue kalau lo udah kelar, gue tunggu di mobil, kok.”“Nggak usah kali, Nay. Lo balik aja. Katanya bokap lo lagi sakit, kan? Nggak mungkin juga lo malah keluyuran gini.”“Lo yakin?”Cintara mengangguk. “Iya! Bawel, deh! Pulang, gih!” Perempuan itu kemudian melepaskan seat belt yang melingkar d
“Dante?”Cintara lantas bangkit dari duduknya. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar kencang. Terlebih saat pandangan Cintara tidak hanya menangkap sosok Dante sendirian, melainkan ada Kinnas, Arjuna, dan Zidny di sana.”Cintara menoleh pada Romeo. Lalu, “Rom, bentar, ya? Gue ke sana dulu.”Romeo mengangguk. Membiarkan Cintara bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri mereka.“Malam, Tante, Om, Zidny…” Cintara tersenyum canggung, “Kebetulan banget ya, bisa ketemu di sini?” Lalu tatapannya tertoleh ke arah Dante yang kini tengah menatapnya datar.“Lho, Cintara juga ada di sini?” Kinnas mengulas senyuman kecil. “Kebetulan banget ya, Ta. Cintara ke sini sama siapa?” tanya Kinnas penasaran.“Sama temen, Tante.”“Sama pacarnya dong, Ma. Nggak mungkin juga kan, kalau udah berduaan gitu terus di tempat romantis pula, Kak Cintara-nya cuma sama teman, doang?” sahut Zidny dengan cepat.“Oh, pacar, Ta.” Arjuna manggut-manggut lalu menoleh ke arah Dante. “Terus kamunya kapan nyusul, Mas? Cint
DANTE mengayunkan langkahnya meninggalkan ruang kerjanya saat pekerjaannya baru saja selesai. Terlebih saat ia harus menghabiskan waktunya seharian dengan meeting bersama kliennya.Saat tiba di lobi, langkah Dante tiba-tiba saja berhenti. “Ra, saya pulang, ya? Laporan hasil meeting tadi pagi jangan lupa dikirim ke saya sebelum kamu pulang, ya.”Clara mengangguk kecil. “Baik, Pak.”“Besok saya ada agenda apa?” tanya Dante saat ia sudah berdiri di hadapan Clara.Clara dengan sigap membuka iPad yang ada di tangannya. Membuka jadwal bulanan Dante yang selalu dicatatnya dalam sebuah agenda. “Besok cuma ketemu sama mandor untuk membicarakan project lanjutan yang telah disetujui klien, Pak. Dan itupun jam makan siang. Sebelum dan setelah itu tidak ada agenda lain.”Dante mengangguk kecil. “Besok saya pulang lebih awal. Jadi minta tolong pastikan kalau meeting besok bisa selesai sebelum jam empat sore ya, Ra.”"Baik, Pak."Dante tidak mengatakan apa-apa setelahnya dan langsung berlalu begitu
Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan