“WHAT! Lo gila, Nay?"
Suara teriakan Cintara sontak membuat orang-orang di sekitar mereka lantas menoleh ke arah mereka. Dengan tatapan tajamnya, Cintara ingin sekali memaki Kanaya detik itu juga.Mereka baru saja landing di Jakarta usai melakukan penerbangan dari Bali. Keduanya memilih untuk menikmati kopi di kedai favorit seperti yang selalu dilakukan mereka sebelum bergegas untuk pulang.“Suara lo, Ta! Bisa-bisa kita diusir sama yang punya kafe tahu, nggak!”“Bodo amat! Lo gila, ya? Beneran lo obral gue?”Kanaya meringis tanpa rasa bersalah. “Lo bisa biasa nggak ekspresinya? Gue udah bilang sama lo waktu di Despresso Coffee tempo lalu, ya. Ya gue sebagai sahabat, pengennya bantu, Ta. Eh, betulan kecantol juga, dong.”Cintara meraup wajahnya dengan gusar, menatap heran pada Kanaya. “Terus? Gue mesti ngapain? Awas aja kalau sampai foto gue disalahgunakan sama orang, ya! Gue tuntut Diamond Group sampai bangkrut!”Kanaya mencebikkan bibir. Perempuan itu lantas menyodorkan ponselnya ke arah Cintara. “Nih, orangnya. Namanya Romeo, Ta. Ganteng, kan?”Cintara melongokkan kepalanya ke layar, lalu menghela napas panjang. “Terus gue mesti gimana?”“Lo cuma ketemu sama Romeo doang, Ta. Nanti tempatnya di mana, bakalan diatur sama Hellove, kok. Jadi, lo tinggal duduk manis, nunggu kabar gue, dan kencan deh.”“Kapan emangnya?”“Nanti malam.”Cintara seketika membelalak. “NANTI MALAM? Lo jangan gila deh, Nay.”Kanaya merengut. “Gue serius, Ta. Nih, lihat jadwalnya. Malam ini pukul tujuh malam. Tempatnya bakalan terupdate otomatis kalau gue udah klik oke.”“Udah lo klik?”Kanaya meringis kecil. “Udah, barusan.”Cintara hanya bisa melongo melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. “Hih ribet banget sih lo, Nay! Untung lo sahabat gue! Kalau bukan udah gue jual lo di loakan sana!”“Dih, status gue udah not available, Ta. Lo tuh yang maunya gue jual.”“Well, gue—” Namun belum Cintara melanjutkan ucapannya, getaran ponsel milik perempuan itu sudah lebih dulu mengalihkan perhatian mereka.“Siapa, Ta?”“Dante. Tumben amat ini orang telepon gue jam segini?” ujar Cintara dengan heran.Perempuan itu lantas meraih ponsel miliknya. Ia menggeser layar lalu melekatkan benda pipih itu ke telinganya. “Ya, Te? Ada apa?” tanya Cintara saat itu.“Lo di mana, Ta?”“Masih di Despresso Coffee, nih. Di dalam bandara. Kenapa?”“Nggak mau pulang?”“Ya mau. Tapi nggak sekarang. Kenapa sih? Udah kangen banget ya, sama gue?” celetuk Cintara dengan enteng.Dante terkekeh pelan di seberang sana. “Iya. Gue udah ada di pintu kedatangan, nih!”Mata Cintara melebar sempurna sembari menegakkan posisi duduknya. “Ngapain?”“Jemput lo lah, ngapain lagi emangnya?”Cintara sangat yakin jika ia sama sekali tidak meminta Dante untuk menjemputnya. “Emang gue ada bilang ya, buat dijemput sama lo?”“Bisa nggak sih, nggak usah banyak tanya?” potong Dante dengan cepat. “Gue tunggu, ya?”Lalu tanpa menunggu jawaban dari Cintara, sambungan teleponnya sudah diputus oleh Dante. Dan Cintara hanya bisa melongo dengan tatapan lurus ke arah Kanaya.“Dante? Jemput lo?”Cintara mengangguk bingung. “Tingkah anak itu lama-lama nyeremin ya, Nay? Udah kayak jailangkung tau nggak, sih? Kayaknya emang salah banget deh, gue ngajak kawin dia.”Seketika tawa Kanaya pecah saat itu juga. “Emangnya dia udah nerima tawaran lo?”Cintara mengangguk ragu. “Hm. Cuma… ya gitu, dia minta nggak gratis katanya,” ujar perempuan itu lirih. “Bodo, ah. Gue cabut, ya? Dante udah nunggu, nih! Mau sekalian barengan nggak?”“Nggak deh. Gue bawa mobil sendiri, kok. Yang penting jangan lupa aja nanti malam.”“Oh ya, jangan sampai soal kencan buta ini Dante tahu ya, Nay? Gue nggak mau dengerin dia ngomel-ngomel nggak jelas. Pokoknya awas aja kalau sampai dia tahu!”Kanaya mendengus pelan. “Iya-iya bawel. Sana gih! Kasian Dante nungguin lama.”“Ya udah gue duluan, Nay!” Cintara membungkuk, mengecup pipi Kanaya dengan lembut, lalu bergegas meninggalkan sahabatnya begitu saja.Dengan langkah pelan, Cintara berjalan meninggalkan Despresso Coffee detik itu juga. Perempuan itu sibuk dengan ponselnya, namun saat ia menyadari ada seseorang menatap mesum ke arahnya, Cintara mendelik tajam.“Apa lo lihat-lihat!” salak perempuan itu ketus saat ada seorang pria menatap mesum ke arahnya.Pria yang tadinya menatap Cintara, lantas mengangguk sungkan saat menyadari keberadaan Dante. “Ya ampun, Ta. Lo pramugari lho,” sahut Dante saat melihat aksi Cintara.“Yang bilang gue tukang becak juga siapa?” kelakar Cintara tak kalah ketusnya.Dante lantas mengambil alih koper milik Cintara lalu menggandeng tangan perempuan itu tanpa mengatakan apa-apa. Dan sikapnya itu seketika membuat dentuman jantung Cintara melonjak dengan cepat.“Lo kenapa sih, Te?” tanya Cintara heran dengan sikap Dante yang akhir-akhir ini aneh terhadapnya."Kenapa?""Sikap lo nggak kayak biasanya tahu, nggak! Lo habis ngelakuin kesalahan, ya?"Dante tersenyum kecil. Mereka tiba di parkiran. "Udah yuk, masuk!" Pria itu lantas membukakan pintu mobil untuk Cintara, membiarkan perempuan itu masuk lebih dulu. Baru kemudian Dante berlari memutar menuju kursi kemudinya.“Lo nggak lagi mens, kan? Belum jadwalnya kayaknya, deh,” tanya Dante sembari memasang seat belt-nya.“Kenapa emangnya?”Dante mulai melajukan mobilnya. “Habisnya ngomel-ngomel terus, sih.”"Soal cowok tadi? Habisnya punya mata jelalatan. Kayak nggak pernah lihat cewek cantik aja!" gerutu perempuan itu dengan entengnya.Sementara Dante tak lagi menanggapi Cintara memilih untuk menyandarkan punggungnya ke belakang, kemudian menoleh ke arah Dante yang mulai melajukan mobilnya.“Gue numpang bobo di apartemen lo ya, Te?” ujar Cintara begitu mobil sudah melaju membelah kemacetan kota. “Gue ada acara nanti malam sama Kanaya.”“Ke mana emangnya? Tumben?”Cintara menggeleng. “Biasa ladies night. Jadi gue pengen tidur sebentar tanpa gangguan apapun, terutama dari nyokap. Tapi kalau lo mau mijitin gue, gue nggak nolak kok, Te," ujar perempuan itu sembari terkekeh.“Bayar, ya?”Dante terkekeh. Setelahnya pria itu kembali fokus dengan kemudinya, mengabaikan Cintara yang sudah terlelap dengan matanya yang terpejam.Setelah berkendara selama tiga puluh menit lamanya, akhirnya Dante tiba di basement apartemennya. “Ta, turun yuk! Kita udah sampai,” kata pria itu sembari membangunkan perempuan itu.Cintara sontak membuka matanya, perempuan itu menguap sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Tanpa mengatakan apa-apa, Cintara kemudian turun dari mobil dan segera bergegas menuju unit milik Dante.Begitu tiba di unit Dante, Cintara melangkah ke dalam. Belum pintu apartemen itu tertutup sempurna, Cintara dengan tingkah konyolnya lantas melepaskan seragam pramugarinya hingga kini hanya menyisakan pakaian dalamnya.“Astaga, Ta!”Cintara menolehkan wajahnya dengan tanpa rasa bersalah. “What?”“Nggak bisa, ya nunggu sampai kamar dulu baru lepas baju begitu?”Cintara mengerjap bingung. “Udah gerah duluan, Te! Lagian kenapa sih, lo sensi banget? Kan emang biasanya lo lihat gue begini?” kelakar perempuan itu dengan santainya.“Gue kan juga cowok normal, Ta. Kalau tiba-tiba gue apa-apain lo gimana?”Cintara terkekeh pelan. “Justru karena gue yakin lo nggak bakalan ngapa-ngapain, makanya gue pede aja.”Dante hanya bisa menggelengkan kepalanya. Pria itu lantas meraih seragam Cintara yang berserakan di atas lantai, kemudian menyampirkan ke bagian depan tubuh Cintara yang kini terekspos sempurna. “Gue jadi takut kalau lo terus-terusan gini sama gue, Ta.”Cintara mengernyit. “Takut kenapa?”“Gue cowok normal. Gue punya batas kesabaran, tapi gue juga bisa saja gelap mata. Jadi, jangan sembarangan buka baju begini lagi, okay?” Sementara Cintara hanya diam. “Kalau gue khilaf, gimana?”Lagi-lagi Cintara terdiam.“Gue jadi bertanya-tanya, lo nggak begini juga sama cowok lain, kan?”Seketika raut wajah Cintara berubah. “Ya nggak dong, Te! Gue begini cuma sama lo doang! Enak aja mereka menikmati keindahan surga secara cuma-cuma.”Dante menerbitkan senyumannya. “Jadi ini surga cuma buat gue?” goda pria itu dengan entengnya.“Apaan sih lo, Te! Udah ah, gue mau mandi dulu!” Perempuan itu lantas membalikkan badannya, bergegas meninggalkan Dante. Yang untungnya Dante tidak melihat bagaimana meronanya wajah Cintara saat ini.“Wah… sikap Dante kenapa jadi aneh gini sih? Kan gue jadi deg-degan gini!” gerutu perempuan itu begitu pintu kamar mandi tertutup sempurna.***Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.“Ta, lo mandi apa pingsan, sih?”Suara Dante dari luar sana seketika membuat Cintara terlonjak kaget. Sudah hampir satu jam lamanya—padahal biasanya perempuan itu tidak pernah mandi selama itu, membuat Dante mendadak khawatir.Pria itu mengetuk pintu kamar mandi berulang kali. Lalu tak berselang lama, Cintara dengan rambutnya yang hampir kering keluar dari kamar mandi dengan tanpa sedikitpun rasa bersalah.“Apa sih, Te? Ganggu aja!” ujar Cintara dengan kedua tangannya yang menyisir rambutnya yang sudah kering.“Apa apa! Lo yang kenapa, Ta?”“Apa, sih? Emang gue kenapa?” tanya Cintara heran. Dante sudah lebih dulu menahan lengan Cintara hingga perempuan itu membalikkan badan dan kini keduanya saling berhadapan. “Nggak kayak biasanya lo mandi berjam-jam segala tahu, nggak. Lo sakit?” Tangan Dante terulur, punggung tangannya menyentuh kening Cintara. Namun perempuan itu justru menghindar."Apaan sih, Te? Nggak usah lebay, deh. Perasaan gue mandi cuma setengah jam doang deh!”“Setengah j
“CINTARAAAAAAAA, YA ALLAH, NAK! Kamu ini anak perawan jam segini belum bangun! Nggak malu sama ayam tetangga apa? Bangun, Ta! Itu ada Kanaya di depan rumah!”Mendengar suara teriakan Mama Elisa, Cintara kemudian meraih selimut untuk menutup seluruh tubuhnya lalu meraih bantal untuk menutup telinganya.“Ya Allah, Ta. Kalau kamu lagi nugas biasanya rajin banget. Kalau lagi libur gini kenapa malas banget, sih? Sebenarnya kamu kesurupan dari jin mana?” Mama Elisa lantas menarik selimut yang menutupi tubuh Cintara, membuat perempuan itu seketika melotot. “ASTAGA MAMAAAA! Mama lagi di kamarnya Cintara bukan lagi di hutan! Nggak bisa apa banguninnya kaleman dikit? Misal banguninnya pakai hati gitu, jangan pakai toa!” sembur Cintara kesal.“Kata siapa bukan hutan? Mana ada kamar kayak kapal pecah gini?! Astaga! Ini kenapa bisa kaos kaki kelempar sampai ke kolong, sih?” Mama Elisa mendengus pelan sembari meraih sepatu, kaos kaki, dan jaket milik Cintara yang berceceran di lantai. “Buruan bang
“Lo yakin ini acara kencan buta aman-aman aja kan, Nay? Awas aja kalau sampai aneh-aneh, ya!”“Aman kok, Ta. Gue udah kontak pihak Hellove juga tadi. Kalau nih, misal lo-nya kenapa-napa, pihak Hellove bakalan tanggung jawab sepenuhnya. Jadi lo nggak usah khawatir, okay?” Kanaya menoleh ke samping. “Kenapa? Lo gugup?”“Nggak bisa dibilang gugup, sih.” Cintara mendesah pelan lalu menurunkan kaca di depannya, memastikan penampilannya sudah sempurna. “Cuma ya… gue agak khawatir aja. Ini pengalaman pertama gue.”Mobil yang dikendarai mereka akhirnya tiba di salah satu restoran tempat Cintara dan Romeo melakukan janji. Perempuan itu menarik napas lalu menoleh ke arah Kanaya.“Gue turun, ya?”“Kasih tahu gue kalau lo udah kelar, gue tunggu di mobil, kok.”“Nggak usah kali, Nay. Lo balik aja. Katanya bokap lo lagi sakit, kan? Nggak mungkin juga lo malah keluyuran gini.”“Lo yakin?”Cintara mengangguk. “Iya! Bawel, deh! Pulang, gih!” Perempuan itu kemudian melepaskan seat belt yang melingkar d
“Dante?”Cintara lantas bangkit dari duduknya. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar kencang. Terlebih saat pandangan Cintara tidak hanya menangkap sosok Dante sendirian, melainkan ada Kinnas, Arjuna, dan Zidny di sana.”Cintara menoleh pada Romeo. Lalu, “Rom, bentar, ya? Gue ke sana dulu.”Romeo mengangguk. Membiarkan Cintara bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri mereka.“Malam, Tante, Om, Zidny…” Cintara tersenyum canggung, “Kebetulan banget ya, bisa ketemu di sini?” Lalu tatapannya tertoleh ke arah Dante yang kini tengah menatapnya datar.“Lho, Cintara juga ada di sini?” Kinnas mengulas senyuman kecil. “Kebetulan banget ya, Ta. Cintara ke sini sama siapa?” tanya Kinnas penasaran.“Sama temen, Tante.”“Sama pacarnya dong, Ma. Nggak mungkin juga kan, kalau udah berduaan gitu terus di tempat romantis pula, Kak Cintara-nya cuma sama teman, doang?” sahut Zidny dengan cepat.“Oh, pacar, Ta.” Arjuna manggut-manggut lalu menoleh ke arah Dante. “Terus kamunya kapan nyusul, Mas? Cint
DANTE mengayunkan langkahnya meninggalkan ruang kerjanya saat pekerjaannya baru saja selesai. Terlebih saat ia harus menghabiskan waktunya seharian dengan meeting bersama kliennya.Saat tiba di lobi, langkah Dante tiba-tiba saja berhenti. “Ra, saya pulang, ya? Laporan hasil meeting tadi pagi jangan lupa dikirim ke saya sebelum kamu pulang, ya.”Clara mengangguk kecil. “Baik, Pak.”“Besok saya ada agenda apa?” tanya Dante saat ia sudah berdiri di hadapan Clara.Clara dengan sigap membuka iPad yang ada di tangannya. Membuka jadwal bulanan Dante yang selalu dicatatnya dalam sebuah agenda. “Besok cuma ketemu sama mandor untuk membicarakan project lanjutan yang telah disetujui klien, Pak. Dan itupun jam makan siang. Sebelum dan setelah itu tidak ada agenda lain.”Dante mengangguk kecil. “Besok saya pulang lebih awal. Jadi minta tolong pastikan kalau meeting besok bisa selesai sebelum jam empat sore ya, Ra.”"Baik, Pak."Dante tidak mengatakan apa-apa setelahnya dan langsung berlalu begitu
“Kencannya sama Romeo semalam gimana, Ta? Lancar, kan?”“Lancar apanya!” Cintara menggulirkan badannya ke samping dengan ponsel yang melekat di telinga. “Yang ada kacau, Nay. Lo kebayang gimana lo lagi duduk bareng sama Romeo tiba-tiba Dante sama keluarganya juga makan di sana.”“Hah? Seriusan? Jadi Dante lihat lo kencan sama Romeo, dong! Terus-terus, Ta? Reaksi Dante gimana?”“Ngomel lah! Gimana lagi emangnya.” Cintara masih mengingat jelas bagaimana tatapan tajam Dante semalam memakunya. “Kayak lo nggak tahu Dante gimana aja.”“Terus reaksi Romeo?”“Romeo sih nggak bereaksi apa-apa, Nay. Dia juga nggak banyak tanya waktu gue pulang nggak mau dianterin sama dia.”“Gokil, ya? Nggak nyangka banget bakalan se-plot twist itu.” Kanaya terkekeh. “Terus rencana lo apa, Ta?”Cintara baru saja akan membuka suaranya saat suara teriakan Mama Elisa sudah lebih dulu menarik perhatiannya.“TAAAAAAAA…” teriak Mama Elisa. “Cintaraaaaaaa!”“Astaga!” Cintara mendecak. “Nay, sambung nanti, ya? Nyokap g
“Gue bakalan nikah, Kev.” Suara itu membuat Kevin yang tengah sibuk dengan iPadnya lantas mendongak.“Sama siapa?”“Sama Cintara," jawab Dante dengan tenang.“Bangsat!” Kevin membelalak. “Lo nggak lagi mabuk, kan?”Dante yang sejak tadi sibuk memperhatikan layar monitor lantas bangkit dan mengangguk. “Ya sebenarnya nggak nikah betulan, sih.”“Terus? Maksud lo nikah pura-pura gitu?” Dan pertanyaan itu dijawab anggukan oleh Dante. “Serius, Te? Lo lagi nggak gila, kan?”“Gue nggak punya pilihan lain, Kev. Daripada dia sama cowok lain, kan mending sama gue? Udah gitu dia kenal cowok itu lewat aplikasi biro jodoh nggak jelas pula.”“Hah? Cintara nyari cowok lewat aplikasi biro jodoh? Jangan bilang Hellove?”“Aplikasi mana lagi yang nggak benar, coba?” cibir Dante tanpa tedeng aling-aling. “Gue kapan hari mergokin dia sama cowok itu lagi kencan.”“Fuck! Aplikasi yang lo bilang nggak bener itu tempat gue cari makan, Anjing!” maki Kevin tak terima. “Terus? Cintara gimana? Mau sama lo?”Meliha
“Kayaknya akhir-akhir ini Dante emang lagi kesurupan ya, Nay?” ujar Cintara sembari menyesap kopinya dengan pelan. “Gue jadi agak ngeri tahu, nggak.”“Kesurupan gimana maksud lo, Ta?” Kening Kanaya seketika mengernyit heran.“Ya lo kebayang dong, semenjak gue ngajak dia nikah waktu itu, sikapnya jadi berubah total. Malah dia yang ngebet banget pengen ngawinin gue.”“Nikah, Ta!” Kanaya sudah tidak terlalu kaget mengingat bahwa sebelumnya Dante sudah mengatakan tentang kesungguhannya dengan Cintara. Namun, “Terus lo sendiri gimana?”“Ya… gue sih masih mikirin, Nay. Daripada gue dijodohin beneran sama anaknya teman nyokap, ya mending sama Dante nggak, sih?”Kanaya mengangguk setuju. “Yep! Kurang apa coba Dante, Ta? Dante nggak buruk-buruk amat kok menurut gue,” ujar perempuan itu. “Malah enak, kan? Kalian berdua udah tahu luar dalamnya gimana. Ya kalau pada akhirnya kalian berjodoh, ya sah-sah saja. Jangan sampai lo menikah sama orang yang salah, Ta. Apa coba yang sekarang bikin lo ragu?
Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan