“Lho, Mas? Kok udah rapi banget? Mau ke mana?”Suara vokal Kinnas sejenak mengalihkan perhatian Dante yang baru saja keluar dari kamarnya. Pria itu menarik ujung bibirnya ke atas lalu melangkah menghampiri Kinnas yang tengah berbincang dengan Zidny di dapur.“Palingan juga kencan sama ceweknya, Ma. Mas Dante kan terkenal red flag banget,” cibir Zidny dengan entengnya.“Apaan sih, Dek?” Dante terkekeh. “Dante mau ke tempatnya Cintara, Ma.”Mata Kinnas memicing. “Mau ngapain?”“Ngg, Dante mau minta izin Tante Elisa buat seriusin Cintara.”“Hah? Gimana, Mas?” Zidny hampir tak percaya dengan pendengarannya. “Lho, Mas Dante suka sama Kak Cintara?”“Apa sih, Dek? Biasa aja, dong. Sekarang kan emang udah zamannya temen jadi demen,” sahut Arjuna yang baru saja menuruni anak tangga.“Apa sih, Pa. Asal nyahut aja!” Zidny memutar matanya. “Bukan soal temen jadi demennya lho, Pa. Secara kan kemarin kita ketemu sama Kak Cintara lagi ngedate sama cowoknya. Masa Mas Dante—”“Bukan sama cowoknya kok,
CINTARA mengayunkan langkahnya melewati lobby Facade Architect siang itu. Setelah menolak ide untuk dijemput, Cintara memutuskan untuk datang ke kantor Dante. Siang ini mereka akan makan siang bersama Kinnas.“Selamat Siang Mbak Cintara,” sapa Clara saat keduanya berpapasan di lobi.“Siang, Clara. Dante—eh maksud saya Pak Dante ada?”Clara tersenyum kecil mendengar ucapan Cintara. “Ada di ruangannya, Mbak. Seharian ini beliau sengaja mengosongkan jadwalnya, katanya hari ini udah janji sama Mbak Cintara.”Cintara tersenyum kaku. “Hah? Kalau gitu saya ke ruangannya dulu, ya.” Perempuan itu manggut-manggut, sebelum akhirnya ia berjalan mendekati lift untuk menuju ke ruangan Dante.Tiba di lantai ruangan Dante, Cintara mengetuk ruangan pria itu. Lalu tak berselang lama suara seseorang terdengar dari dalam. Perempuan itu lantas mendorong pintu ruangan tersebut dan menemukan Dante tengah sibuk di depan layar monitornya.“Hei, udah datang?” Dante melirik sekilas sebelum tatapnya kembali pada
“Jadi… Cintara mau?” tanya Kinnas tiba-tiba. “Sebenarnya waktu Mas Dante bilang ke Tante beberapa hari yang lalu, Tante agak kaget, Ta. Tante nggak nyangka kalau Mas Dante bakalan ngajak kamu nikah.”Mendengar perkataan itu, Cintara terlihat kebingungan. Ia tidak tahu apa yang telah dikatakan Dante kepada Kinnas karena segalanya terasa tiba-tiba.“Saya juga nggak nyangka, Tante. Saya juga agak sedikit kaget waktu Dante bilang ke Mama kalau mau serius dengan saya. Tadinya malah saya pikir Dante cuma pengen godain saya.”“Terus Cintara sendiri gimana?”Cintara memalingkan wajahnya ke samping, tatapannya terpaku pada Dante dan Zidny yang tengah tertawa di depan freezer ice cream yang terpajang di dekat meja kasir. Keduanya tengah memilih es krim untuk dinikmati setelah makan siang bersama.“Ya kalau belum yakin, sih ya nggak usah dipaksa, Ta.” Kinnas kembali bersuara. “Jangan sampai kamu menikah dengan pria yang salah. Tante ngerti, kok. Siapa yang nggak terkejut kalau tiba-tiba dilamar
“Ada apa, Ra?”Belum sempat Clara menjawab pertanyaan Dante, sosok perempuan yang baru saja memaksa masuk ke ruangan Dante itu membuat Clara meringis kecil.“Hai, Beb.”Dante mengangkat wajahnya lalu tertegun selama beberapa saat begitu tatapnya terpaku pada sosok Sissy.“Maaf, Pak. Tapi, Bu Sissy tadi maksa buat masuk ke ruangan Bapak,” ujar Clara merasa bersalah.Dante mengangguk. “Kamu boleh keluar, Ra.”Clara mengangguk lalu bergerak meninggalkan ruangan Dante seperti yang diperintahkan atasannya itu. Setelah pintu ruangan Dante tertutup, pria itu bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Sissy yang tengah berdiri di depan meja kerjanya.“Ada apa, Sy?” tanya Dante dengan tenang.“Jadi benar gara-gara ada cewek lain kamu mutusin aku?” tembak Sissy tanpa basa-basi.Dante mengurut pelipisnya dengan pelan lalu menarik napas pendek. “Kamu ngomong apa, sih?”“Jawab, Dante! Benar kan, karena ada cewek lain kamunya jadi mutusin aku?”“Kamu tahu dari mana?” tanya Dante.“Nggak perlu
Cintara baru saja keluar dari kamar mandi saat bersamaan ponsel miliknya berdering. Perempuan itu mengayunkan langkahnya mendekat lalu tertegun selama beberapa saat.Lalu, “Halo, Te? Ada apa?”“Lagi ngapain, Ta?”“Harus banget nanya lagi apa, nih?” Cintara terkekeh lalu duduk di tepi ranjang dengan satu tangannya yang mengeringkan rambutnya. “Barusan kelar mandi, Te. Ada apa?”“Jalan, yuk!” ajak Dante, “gue udah di depan. Lo nggak ada acara, kan?”Cintara seketika membelalak. Ia bangkit lalu mengayunkan langkahnya menuju ke balkon. Setelah membuka pintu balkon matanya seketika membelalak saat mendapati Dante berdiri di depan pagar rumahnya sembari menyandarkan punggungnya di mobil.“Lo nggak kerja?” tanya Cintara kemudian.“Gue lagi cuti. Sengaja cuti, sih soalnya tahu kalau lo ada di rumah. Pengen ngajak lo jalan.”“Mau jalan ke mana emang?” tanya Cintara kemudian.“Ada film bagus, sih. Mau nonton, nggak?” tanya Dante di seberang sana.Cintara menipiskan bibirnya. “Tapi gue belum apa
“Te, lo masih marah sama gue?” Mendengar perkataan itu, Dante kemudian menolehkan wajah ke arah Cintara. Mereka baru saja keluar dari gedung bioskop dan berniat mampir ke restoran favorit mereka untuk makan siang.“Nggak, kok. Siapa coba yang marah, Ta?”“Ish, lo diem gitu dari tadi.” Cintara mengerucutkan bibirnya. “Gue sama Romeo kan nggak ada apa-apa juga, Te.”“Dia sering telpon lo?” tanya Dante dengan tenang, dan ketenangan pria itu membuat Cintara bergidik ngeri.“Nggak!” jawab Cintara dengan cepat. “Sebenarnya dia sempat ngajak gue jalan, sih. Cuma ya…” Perempuan itu menggigit bibirnya bagian dalam lalu menghentikan langkahnya. Membuat Dante yang tadinya berjalan di sisinya ikut berhenti dan menoleh ke arahnya. “Sebenarnya dia sempat ngajak gue jalan, Te.” Kening Dante mengerut. Belum mengatakan apa-apa lantaran tahu jika Cintara belum menyelesaikan ucapannya. “Tapi gue nggak bilang apa-apa. Maksud gue… gue lagi bingung.”“Bingung
“Seriusan, Ta? Coba mana lihat tangan lo!”Cintara manggut-manggut sembari menyesap kopinya. Tangannya terulur ke depan, membiarkan Kanaya melihat cincin yang tersemat di jari manisnya. Cincin itu diberikan Dante beberapa hari yang lalu.“Sialan! Gue nggak nyangka kalau Dante bakalan segercep ini!” sungut Kanaya kesal. “Terus lo sendiri gimana, Ta? Bukannya lo sendiri yang belum yakin sama Dante, ya?”Cintara menarik napas pendek. “Jujur gue takut, Nay,” akunya lirih. “Lo tahu sendiri gimana akhir dari pernikahan bokap sama nyokap gue, kan? Bokap gue selingkuh dan pergi ninggalin nyokap sama gue gitu aja. Gue juga takut kalau—”“Bokap sama Dante nggak bisa disamakan, Ta.” Kanaya meraih tangan Cintara lalu menggenggamnya dengan erat. “Gue yakin Dante nggak akan ngecewain lo, kok. Gue bukannya mau ngebelain dia, ya. Tapi kita kenal Dante selama bertahun-tahun dan sikapnya nggak pernah bikin kita kecewa. Ya, nggak, sih? Dante tuh tipikal cowok yang t
“Good morning!” Cintara yang baru saja menuruni anak tangga lantas mengayunkan langkahnya mendekati Mama Elisa yang terlihat sibuk di dapur. “Mama masak apa? Baunya kok enak gini?”“Mama lagi siapin pesanan Bu Nelly.” Mama Elisa menatap Cintara yang berjalan mendekatinya. “Habis dikasih apa sama Dante kok kelihatan sumringah gitu?”Cintara seketika mendelik ke arah Mama Elisa yang kini sudah memicingkan matanya. “Dih, apa sih, Ma?” Perempuan itu kemudian menuangkan air dingin ke dalam gelas, lalu meneguknya demi menghindari tatapan curiga Mama Elisa.“Kamu mau ke mana, sih pagi-pagi gini sudah rapi?” tanya Mama Elisa penasaran.“Mau jalan sama Kanaya, Ma. Aku janjian sama dia mau datang ke kafenya temen yang baru buka kemarin.”Mama Elisa manggut-manggut. Tidak ada kalimat yang terucap dari bibirnya dan hal itu membuat Cintara terlihat heran. Lalu, “Ma? Mama sakit, ya?” tanya perempuan itu cemas.“Nggak, Ta. Mama baik-baik saja.
Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan