“Good morning!” Cintara yang baru saja menuruni anak tangga lantas mengayunkan langkahnya mendekati Mama Elisa yang terlihat sibuk di dapur. “Mama masak apa? Baunya kok enak gini?”
“Mama lagi siapin pesanan Bu Nelly.” Mama Elisa menatap Cintara yang berjalan mendekatinya. “Habis dikasih apa sama Dante kok kelihatan sumringah gitu?”Cintara seketika mendelik ke arah Mama Elisa yang kini sudah memicingkan matanya. “Dih, apa sih, Ma?” Perempuan itu kemudian menuangkan air dingin ke dalam gelas, lalu meneguknya demi menghindari tatapan curiga Mama Elisa.“Kamu mau ke mana, sih pagi-pagi gini sudah rapi?” tanya Mama Elisa penasaran.“Mau jalan sama Kanaya, Ma. Aku janjian sama dia mau datang ke kafenya temen yang baru buka kemarin.”Mama Elisa manggut-manggut. Tidak ada kalimat yang terucap dari bibirnya dan hal itu membuat Cintara terlihat heran. Lalu, “Ma? Mama sakit, ya?” tanya perempuan itu cemas.“Nggak, Ta. Mama baik-baik saja.“Bapak butuh sesuatu?”Suara Clara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi tengah duduk di depan meja gambarnya. Pria itu terlihat sibuk dengan penggaris dan pensil gambar yang ada di tangannya.“Kamu belum pulang, Ra?”“Belum, Pak. In case Bapak membutuhkan sesuatu,” jawab Clara apa adanya. “Bapak belum sempat makan malam juga. Mau saya pesankan makanan, Pak?”Dante tak langsung menjawab. Pria itu melepaskan kacamata yang sejak tadi bertengger di batang hidungnya. Wajahnya tampak kelelahan dengan kemejanya yang terlihat lusuh.“Nggak usah, Ra. Gambar saya juga bentar lagi selesai, kok. Kamu pulang saja,” jawab Dante dengan tenang.“Bapak yakin?”“Iya. Kamu juga pasti capek, Ra. Seharian ini kita ada empat meeting tanpa henti. Besok kamu harus kembali bekerja lagi.”“Iya, Pak. Kalau Bapak nggak butuh-butuh apa lagi, saya permisi untuk pulang, Pak.”“Oke, Ra. Hati-hati di jalan.”Sep
“Kenapa dari tadi diem aja, Ta. Kamu lagi mikirin apa?”Cintara tak langsung menjawab. Mobil yang dikendarai mereka baru saja tiba di depan kediaman Cintara bersamaan dengan hujan yang sudah berhenti.Perempuan itu menolehkan wajah ke samping, memberanikan diri untuk menatap Dante. Wajahnya pasti sudah merona sekali, yang untungnya hanya ada pencahayaan minim di sana. “Harus pakai kamu banget, nih?”“Kenapa? Ya nggak mungkin terus-terusan pakai lo-gue dong, Ta.” Dante terkekeh. “Kenapa? Aneh, ya?”Cintara memalingkan wajahnya. Jantungnya masih saja berdebar-debar mengingat apa yang telah terjadi tadi.“Lagi mikirin apa, sih? Ada yang bikin kamu terusik?” tanya Dante lagi. Pria itu menjulurkan tangannya ke depan, lalu meraih tangan Cintara ke dalam genggamannya.Sementara Cintara tidak mengatakan apa-apa. Perempuan itu menggigit bibirnya bagian dalam, terlihat kebingungan untuk menjawab pertanyaan Dante. Namun, “Gara-gara aku nyiu
“Mentang-mentang pacarnya lima langkah, sekarang Mas Dante sering banget pulang ke rumah, ya?” Suara sindiran Zidny membuat Dante yang baru saja turun dari kamarnya lantas terkekeh.“Apaan sih, Dek?” Dante melangkah mendekati Zidny lalu mengacak-acak rambut adiknya.“Rambut gue, Mas!” Zidny mendelik. “Apaan, apaan! Noh, apartemen kalau udah nggak kepakai dihibahin ke adiknya aja, Mas.”“Nggak mau ah! Cari uang sendiri, terus beli sendiri, dong!” Dante menarik kursi di sebelah Zidny, tatapannya fokus pada Kinnas yang tengah sibuk di dapur.“Dih, Mas! Kok perhitungan gitu sama adiknya sendiri?” Zidny merengut dengan tampang memelas. “Kasih ke gue dong, Mas. Kan gue udah gede. Malu dong, masih tinggal di rumah Mama sama Papa. Kan gue juga pengen mandiri.”“Mandiri tuh, kalau lo udah bisa cari duit sendiri, Dek. Kalau masih minta sama Mama ya, sama aja bohong! Nambah-nambahin pengeluaran aja!”“Dih, Mas, uang yang dikasih Mama sama Papa itu juga termasuk penghasilan sendiri, tahu. Cuma s
“Bisa nggak, nggak usah bertingkah kayak anak kecil? Lo tuh ya…” Cintara menarik napas, antara kesal dan ingin murka. “Seandainya lo tadi nggak berhenti, gue yakin bakalan ada petugas keamanan yang bakalan seret lo keluar dari bandara!”Merasa tidak ditanggapi ucapannya, Cintara mendelik tak terima. Perempuan itu menekan kapas yang kini digunakan untuk mengolesi obat di sudut bibir Dante.“Aw… sakit, Ta.” Dante meringis kecil, menatap penuh permohonan pada Cintara.“Makanya kalau ada orang ngomong tuh didengerin!”“Aku dengerin kamu dari tadi.”“Bohong! Kalau lo dengerin, ya harusnya nanggepin, dong! Bukan malah diem doang!” sungut Cintara kesal.“Aku bukannya nggak mau nanggepin, Ta. Aku cuma nggak mau ribut sama kamu.” Dante menarik napas pendek. “Dia emang pantas dipukul karena udah ngomong yang nggak-nggak tentang kamu.”“Ya ampun, Te. Lo kan tahu sifatnya Niko gimana? Lo udah kenal dia dan—”“Justru karena aku kenal dia, Ta. Dulu aku ngenalin dia sama kamu dan akhirnya kalian dek
“Jadi… udah fixed mau dilamar sama Dante, nih?”Cintara menolehkan wajah. Menatap Kanaya yang tengah sibuk dipijat punggungnya di sampingnya. Mereka tengah menghabiskan hari liburnya untuk melakukan relaksasi siang itu. “Menurut lo gimana?” ujar Cintara balik bertanya.“Lo gila apa gimana, sih? Kan yang kawin lo, Ta. Kenapa lo jadi tanya gue?”“Ya lo kan sahabat gue, Nay. Gue pengen dengerin pendapat lo secara obyektif.” Cintara mendecak. “Masa gitu aja nggak paham, sih?”Kanaya terkekeh. “Iya, iya, gue ngerti maksud lo, kok. Kalau menurut gue, sih… masih mending ke mana-mana Dante katimbang Niko, ya.”“Masa, sih?”“Niko kan jelas bajingan ya, Ta. Tapi kalau Dante…” Kanaya meringis. “Gue juga belum pernah lihat, sih. Cuma kalau dilihat dari cara dia nge-treat lo, beda jauh lah, Ta.”“Nah, kan! Lo sendiri aja nggak bisa jawab. Mereka tuh sama aja, Nay. Cuma masalahnya kalau Dante nggak ketahuan aja sama kita. Gue jadi parno kalau tiba-tiba ada cewek yang ngaku-ngaku hamil anaknya Dant
“Ini gue berlebihan nggak sih, Nay?” Cintara menundukkan wajah, menatap potret dirinya lewat pantulan kaca. Hari ini keluarga besar Dante akan berkunjung ke rumah Cintara untuk melamarnya.“Nggak, kok. Lo kelihatan cantik banget tahu, nggak.” Kanaya memoleskan blush on ke pipi Cintara. “Gue nggak nyangka kalau selera Dante mahal gini.”Cintara mendecak pelan. “Mahal gimana maksudnya?”“Lo lihat diri lo sekarang dong, Ta. Lo tuh cantik banget sekarang. Dress yang dikasih Dante ini bukan dress murahan.” Kanaya mendecak. “Mana pas banget di badan lo pula. Wah, kurang pengertian apa itu cowok sama lo?”Cintara menarik napas, mendecak kesal. “Gue kok deg-degan ya, Nay?” ujarnya lirih.“Udah deh, Ta. Lo jangan gerak-gerak, dong. Lipstik lo jadi berantakan, nih!” gerutu Kanaya tak terima.“Nggak usah menor-menor, Nay. Gue cuma mau dilamar, bukan mau diajak sinden. Kayak kalau kita lagi nugas aja, sih!” sungut Cintara.“Ini udah paling natural banget, Maemunah! Udah deh, lo diem aja. Sayang b
“Udah lega sekarang, Mas?”Suara Arjuna membuyarkan keterdiaman Dante yang sejak tadi tengah memperhatikan Cintara dari kejauhan.Pria itu menundukkan wajah, salah tingkah setelah dipergoki ayahnya. “Pa…”“Papa masih nggak nyangka aja kalau kamu bakalan serius nikahin Cintara, Mas. Selama ini kalian kan ya… cuma sahabatan doang.”“Sama, Pa. Aku juga nggak nyangka kalau bakalan sampai sejauh ini sama Cintara. Tapi selagi dia mau nggak masalah kan, Pa?”“Nggak, sih. Papa malah senang kalau akhirnya kamu nikah sama Cintara. Toh, kalian berdua udah saling kenal satu sama lain, bahkan sejak masih anak-anak. Kamu pasti tahu lebih banyak tentang dia, kan? Pun sebaliknya. Tapi…” Arjuna menarik napas dan ikut menoleh ke arah Cintara yang berdiri tak jauh dari mereka. “Pernikahan itu nggak mudah, Mas.”“Papa pernah merasa kesulitan menghadapi Mama, nggak?” tembak Dante langsung.“Ngg, nggak sih. Mama kamu itu perempuan dewasa, Mas. Jauh lebih dewasa dibandingkan Papa. Papa sih nggak pernah mera
“Terima kasih sudah mempercayakan semuanya ke kami, Pak Dharma. Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar project ini bisa berjalan sesuai dengan rencana dan lancar untuk kedepannya.”“Amin, Pak. Kami akan menunggu kedatangan timnya Pak Dante ke Bandung segera.” Pak Dharma menjulurkan tangannya ke depan, menjabat tangan Dante. “Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak. Sore ini saya langsung terbang ke Medan untuk mengurusi pembebasan lahan di sana.”Dante mengangguk kecil. “Baik, Pak. Hati-hati di jalan. Semoga selamat sampai tujuan.”Sepeninggal Pak Dharma dari ruangannya, Dante kembali duduk di kursi yang tadi ditempatinya. Ditatapnya layar monitor yang ada di hadapannya, sesekali pria itu menghela napas pendek.“Pengajuan yang baru saja disetujui sama Pak Dharma minta tolong kamu kirim ke saya ya, Ra. Sekalian juga agendakan untuk meeting sama tim lapangan. Setidaknya Minggu depan kita bisa langsung survey lapangan sebelum mulai pengerjaan.”“Baik, Pak. Sore ini langsung saya kirimka
Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan