“Ini gue berlebihan nggak sih, Nay?” Cintara menundukkan wajah, menatap potret dirinya lewat pantulan kaca. Hari ini keluarga besar Dante akan berkunjung ke rumah Cintara untuk melamarnya.“Nggak, kok. Lo kelihatan cantik banget tahu, nggak.” Kanaya memoleskan blush on ke pipi Cintara. “Gue nggak nyangka kalau selera Dante mahal gini.”Cintara mendecak pelan. “Mahal gimana maksudnya?”“Lo lihat diri lo sekarang dong, Ta. Lo tuh cantik banget sekarang. Dress yang dikasih Dante ini bukan dress murahan.” Kanaya mendecak. “Mana pas banget di badan lo pula. Wah, kurang pengertian apa itu cowok sama lo?”Cintara menarik napas, mendecak kesal. “Gue kok deg-degan ya, Nay?” ujarnya lirih.“Udah deh, Ta. Lo jangan gerak-gerak, dong. Lipstik lo jadi berantakan, nih!” gerutu Kanaya tak terima.“Nggak usah menor-menor, Nay. Gue cuma mau dilamar, bukan mau diajak sinden. Kayak kalau kita lagi nugas aja, sih!” sungut Cintara.“Ini udah paling natural banget, Maemunah! Udah deh, lo diem aja. Sayang b
“Udah lega sekarang, Mas?”Suara Arjuna membuyarkan keterdiaman Dante yang sejak tadi tengah memperhatikan Cintara dari kejauhan.Pria itu menundukkan wajah, salah tingkah setelah dipergoki ayahnya. “Pa…”“Papa masih nggak nyangka aja kalau kamu bakalan serius nikahin Cintara, Mas. Selama ini kalian kan ya… cuma sahabatan doang.”“Sama, Pa. Aku juga nggak nyangka kalau bakalan sampai sejauh ini sama Cintara. Tapi selagi dia mau nggak masalah kan, Pa?”“Nggak, sih. Papa malah senang kalau akhirnya kamu nikah sama Cintara. Toh, kalian berdua udah saling kenal satu sama lain, bahkan sejak masih anak-anak. Kamu pasti tahu lebih banyak tentang dia, kan? Pun sebaliknya. Tapi…” Arjuna menarik napas dan ikut menoleh ke arah Cintara yang berdiri tak jauh dari mereka. “Pernikahan itu nggak mudah, Mas.”“Papa pernah merasa kesulitan menghadapi Mama, nggak?” tembak Dante langsung.“Ngg, nggak sih. Mama kamu itu perempuan dewasa, Mas. Jauh lebih dewasa dibandingkan Papa. Papa sih nggak pernah mera
“Terima kasih sudah mempercayakan semuanya ke kami, Pak Dharma. Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar project ini bisa berjalan sesuai dengan rencana dan lancar untuk kedepannya.”“Amin, Pak. Kami akan menunggu kedatangan timnya Pak Dante ke Bandung segera.” Pak Dharma menjulurkan tangannya ke depan, menjabat tangan Dante. “Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak. Sore ini saya langsung terbang ke Medan untuk mengurusi pembebasan lahan di sana.”Dante mengangguk kecil. “Baik, Pak. Hati-hati di jalan. Semoga selamat sampai tujuan.”Sepeninggal Pak Dharma dari ruangannya, Dante kembali duduk di kursi yang tadi ditempatinya. Ditatapnya layar monitor yang ada di hadapannya, sesekali pria itu menghela napas pendek.“Pengajuan yang baru saja disetujui sama Pak Dharma minta tolong kamu kirim ke saya ya, Ra. Sekalian juga agendakan untuk meeting sama tim lapangan. Setidaknya Minggu depan kita bisa langsung survey lapangan sebelum mulai pengerjaan.”“Baik, Pak. Sore ini langsung saya kirimka
Dante baru saja akan masuk ke kursi kemudi saat ponsel yang ada di dalam saku celananya berdering. Pria itu menarik napas lalu merogoh ponselnya dari dalam saku celana.Lalu, “Halo, Ra? Ada apa?”“Bapak sudah landing di Bali?” tanya Clara di seberang sana. “Maaf, Pak. Saya barusan dapat telepon dari Pak Dharma terkait perubahan desain yang telah disetujui pada meeting tadi. Saya sudah mengirimnya ke email Bapak barusan.”“Oke. Saya baru saja landing, Ra. Boleh saya cek nanti malam?”“Boleh, Pak. Saya juga sudah bilang ke Pak Dharma kalau Bapak sedang perjalanan bisnis ke Bali.”“Oke kalau gitu. Ada lagi?”“Nggak ada, Pak.”“Kalau nggak urgent banget, jangan ganggu saya dulu ya, Ra. Thank you.”“Baik, Pak.”Setelah mengakhiri panggilan Clara, Dante menghela napas pendek. Ia baru saja akan melajukan mobilnya saat sebuah pesan dari Cintara muncul di layar.[Dia Cintara Naladhipa: Udah landing?][Dia Cintara Naladhipa: Te? Kok nggak berkabar, sih?][Dia Cintara Naladhipa: Gue udah dapat m
“Kalau kita nikah nanti, kamu maunya kita tinggal di mana, Ta?” tanya Dante tiba-tiba. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajahnya yang jauh terlihat segar. Mereka baru saja kembali ke hotel beberapa menit yang lalu setelah menghabiskan waktu bersama Cintara di kawasan Jimbaran. “Misal tinggal di tempat Mama aja, lo nggak mau, ya?” tanya Cintara. “Gue kepikiran soal Mama, Te. Lo tahu kan, kalau nggak sama gue, Mama bakalan sendirian? Mama sih bilangnya nggak apa-apa tinggal sendirian. Tapi Mama bilang nggak etis aja kalau gue udah nikah tapi masih tinggal serumah sama Mama. Lo sendiri gimana?” “Ya kalau aku sih, sepemikiran sama omongan Mama kamu, Ta. Aku maunya kita tinggal pisah dari orang tua. Karena biar bagaimanapun kamu udah jadi tanggung jawabku nanti.” Dante melangkah mendekati kopernya untuk mengambil laptop lalu melangkah menuju ke ranjang tidur dan bergabung dengan Cintara. “Lo mau kerja?” tanya Cintara. “Mm.” Dante bergumam lalu duduk tepat di sam
Cintara menggeliat di atas tempat tidurnya. Matanya mengerjap, samar sekali suara alarm ponselnya terdengar. Tangannya terulur ke atas nakas untuk meraih ponselnya lalu mematikannya.Waktu sudah menunjuk angka tiga pagi, kebiasaan yang seringkali dilakukan Cintara mengingat bahwa pukul enam pagi, perempuan itu harus sudah tiba di bandara.Namun seolah ada yang menahannya, Cintara menoleh lalu tertegun. Pandangannya seketika terpaku pada Dante yang tengah terlelap di sisinya. Seutas senyum terbit di wajah perempuan itu seiring dengan jantungnya yang berdebar kencang.Barangkali pikiran dan hatinya sedang tidak sejalan, Cintara menjulurkan tangannya ke depan. Disentuhnya wajah Dante yang ditumbuhi bulu-bulu halus dengan pelan. Lalu tangannya bergerak menyentuh guratan tato yang ada di bagian punggung kanannya.Ia tidak tahu jika Dante memiliki kebiasaan tertelanjang dada saat terlelap seperti ini. Dan anehnya Cintara bisa merasakan desiran asing yang mengalir di hatinya.Baru saja ia me
“Tapi lo yakin kalau lo nggak ada main sebelumnya sama Sissy kan, Te? Maksud gue, setelah lo memutuskan untuk tunangan sama Cintara?” tanya Kevin penasaran.Diwaktu yang sama, Kevin juga tengah melakukan perjalanan bisnis ke Bali. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu di salah satu kafe yang ada di kawasan Canggu untuk membicarakan kabar tentang Sissy Priscillia.“Nggak ada, Vin. Lo tahu kan kalau gue nggak pernah main-main? Gue sama Sissy cuma sebatas… friends with benefits. Ngerti?”Kevin menghela napas pendek. “Ya masalahnya main lo kurang aman, Anjir. Kalau sampai video itu bocor ke media, apa kata dunia, coba? Dan lo masih bisa sesantai ini ngadepin dia?” Kevin mendecak sambil geleng-geleng kepala. “Orang gila!”“Kalau sampai video itu bocor, siapa yang bakalan dirugikan dalam hal ini, coba?” Dante menyesap kopinya dengan pelan. “Lagian apa yang diharapkan dari gue, Vin? Artis juga bukan. Gue bukan siapa-siapa dan nggak ngasih benefit apa-apa sama dia. Dia yang bakalan
“Siapa ini? Saya nggak kenal kamu. Jadi bisa kan, kamu berhenti ganggu saya?”Setelah melihat video berdurasi 52 detik berikut dengan rekaman CCTV yang menunjukkan kebersamaan mereka malam itu, terus terang Cintara ingin mengabaikannya. Namun tidak setelah nomor asing itu mengirimi sebuah foto hasil USG yang menunjukkan bahwa perempuan itu tengah hamil.[0811234xxx: I’m pregnant. Dan Dante ayahnya.]Pikiran Cintara mendadak penuh. Ia menghentikan langkahnya dengan satu tangan yang menggenggam ponsel di telinga. Tengah berbicara dengan seseorang di seberang sana.“Saya nggak akan banyak basa-basi.” Perempuan itu terdengar tenang di seberang sana. “Kamu tahu maksud saya dan saya nggak perlu memperjelas apa yang baru saja kamu lihat, kan?”“Dan kamu pikir saya akan percaya? Mau kamu apa?” tanya Cintara tak gentar.“Saya juga nggak peduli kamu mau percaya atau tidak. Saya hanya sedang memperingatkan kamu untuk berhenti sekarang juga. Dia kekasih saya dan sekarang saya hamil anaknya.”“Dan
Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan