Share

Bab 4

Author: HERI_NAYALBIL
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Iya, Mas, semua ada sangkut pautnya, dan selama delapan bulan lamanya kamu tidak mengetahui hal ini," ucap Lira. 

"Maksud kamu? Ini ada kaitannya dengan catatan yang ada di buku tebal itu?" cecarku kini semakin penasaran. Tubuh ini juga berada dekat dengannya seraya tak ingin Lira menutupinya lagi.

"Iya, Mas, buku itu catatan utangku pada Ibu," jawab Lira dengan alis terangkat.

"Tapi utang apa?" cecarku masih belum bisa memahaminya.

Lira menghela napas, tapi tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Tentu ibuku yang berada di balik pintu tersebut, siapa lagi? Kami tidak memiliki pembantu, kata ibu pemborosan kalau memakai asisten rumah tangga.

Aku berteriak dan menyuruhnya masuk, ibu pun membuka pintunya dengan lebar, ia membawa Andara dalam gendongannya. Wajahnya dilipat sambil menghentakkan kaki ke arah kami berdua.

"Bangun nih, anak nangis nggak dengar, Lira, Lira, Ibu macam apa kamu, nggak gerak cepat!" celetuk ibu berkata amat kasar. Aku menghela napas sambil menelan ludah.

"Maaf, Bu." Kata itu kudengar keluar dari mulut Lira, istriku. Dari sini aku semakin sangat sayang padanya, ia dengar sendiri tadi celetukan ibu sangat kasar, tapi berusaha mengalah, ini yang membuatku takjub dan menyanjungnya.

"Bu, bicaranya jangan kasar gitu, aku nggak tega dengarnya," pesanku pada ibu.

"Adit, Ibu nggak pernah marah ya, ini karena kasihan saja pada Andara, punya seorang Mama yang tidak peka," ucap ibu lagi membela dirinya.

Aku terdiam sambil menatap wajah Lira, matanya sudah tampak basah saat menatapku. Ia memindahkan Andara dari gendongan ibu tanpa bicara. Aku tahu ini pilihan bijak, ia tidak mau memperpanjang masalah.

Tiba-tiba panggilan masuk datang dari mertuaku yang laki-laki. Alisku menyatu saat melihat ke layar ponsel. Kemudian, aku segera mengangkatnya sedikit menjauh dari mereka. Sekitar dua meter aku melangkah dekat jendela kamar.

"Halo, Pah," ucapku lebih dulu. Namun mata ini tetap memantau kedua wanita di hadapanku.

"Dit, kamu sudah di rumah?" tanya papa mertuaku, Hardi Rahman. 

"Sudah, Pah," jawabku singkat.

"Ada Lira? Kok Papa telepon nggak diangkat ya?" tanyanya membuatku sontak menoleh ke arah Lira. Kulihat posisi berdiri Lira kini bersebelahan dengan ibuku, terlihat jelas ibu seperti mendekati istriku.

"A-ada, Pah. Mau ngomong?" tanyaku agak gugup setelah menyaksikan perpindahan tempat ibuku berdiri.

"Nggak usah, Dit, justru itu, kamu bisa keluar dulu nggak? Jangan ada Lira bicaranya, ada yang ingin papa bicarakan," suruhnya membuatku terdiam. 

'Aku keluar? Artinya mereka berdua di dalam kamar. Ya Tuhan, ini pilihan sangat sulit sekali,' gumamku di dalam hati, jari jemari ini berada di pelipis untuk melepaskan kegundahan hati.

"Baik, Pah," jawabku sambil melangkah keluar kamar, tidak ada pilihan lain, mertuaku ingin bicara di telepon sampai harus jaga jarak dengan Lira, itu artinya penting dan tidak boleh diketahui oleh Lira.

Akhirnya aku keluar kamar meskipun dalam hati ini cemas dengan kondisi Lira yang aku biarkan berdua dengan ibuku. 'Semoga Lira tidak diapa-apain Ibu,' batinku.

Setelah sudah berada di teras rumah, aku duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri. Telepon genggam aku letakkan di telinga kembali.

"Halo, Pah, aku sudah di depan," ucapku memulai lagi.

"Dit, jadi belum lama ini Papa mendapatkan kabar dari salah satu rekan baik, ini tentang Lira yang sering keluar rumah dari pagi hingga sore, apa kamu mengetahui ini?" tanya papa.

Astaga, pertanyaan dari mertuaku membuat jantung ini berdetak tak karuan, debarannya saling berkejaran.

"Nggak, Pah, memang Lira sering keluar pagi hingga sore?" tanyaku balik. Kemudian, aku teringat ucapan ibuku di telepon dengan Bulek Marni, yang dia bilang istriku mengemis. Apa ini yang dimaksud papa mertuaku?

Papa terdengar menghela napas kasar, sepertinya ia kecewa dengan jawabanku.

"Dit, kamu ini harus selidiki dong, jangan diam aja," tutur papa.

"Tapi, Pah. Aku benar-benar nggak tahu kalau tiap pagi sampai sore Lira itu pergi. Tadi aku pulang lebih awal dan tanya dia abis dari mana, dan Lira jawab abis jalan-jalan sore dengan Andara," jelasku supaya papa mertua tidak salah paham.

"Dit, kenapa kamu kalah cepat dengan mertuamu, ayah dari istrimu? Seharusnya ini adalah kewajiban dari seorang suami, tugasmu, Dit!" sentak mertuaku.

"Iya, Pah, sekali lagi aku minta maaf, kali ini benar-benar lengah dengan seisi rumah, maaf ya, Pah. Tapi tolong kasih tahu sebenarnya apa yang telah terjadi?" cecarku pada mertua yang sangat menyayangi anak bungsunya itu.

Hening, seketika suasana di seberang sana menjadi hening, tapi tiba-tiba ada yang mengambil alih teleponnya.

"Biar aku aja yang ngomong dengan Adit," ucap suara seorang lelaki di seberang sana, aku tahu itu Mas Gani, kakaknya istriku.

"Ya, Mas, ada apa ya?" tanyaku karena sudah mengetahui siapa yang tengah bicara padaku.

"Kamu tahu ini saya, Gani? Bagus kalau gitu." Tampaknya ia marah, nada bicaranya sedikit ketus.

"Iya, Mas, aku tahu, kalau boleh tahu ada apa ya, Mas?" Aku bicara dengan dada yang bergetar hebat.

"Kamu tahu nggak, Dit. Adikku yang paling aku manja, dia yang kugendong-gendong sewaktu kecil, Lira banting tulang dari pagi membawa Andara!" sentak Mas Gani semakin membuatku gemetar, keringat pun mulai keluar karena takut dengan ucapan yang dilontarkannya.

"Ya Allah, Mas. Aku nggak tahu akan hal ini, Lira sering keluar pagi dan pulang sore pun aku baru tahu, Mas," jawabku. 

"Suami macam apa kamu, Dit? Istrinya pagi jadi guru TK, siang jadi tukang cuci, sore jadi guru ngaji, kamu nggak tahu itu, Dit? Hah! Jawab!" 

Deg! Jantungku seketika berhenti mendengar penuturan kakak ipar. 'Guru TK, tukang cuci, guru ngaji?' tanyaku dalam hati.

Mas Gani pasti benar-benar marah, ia bicara dengan nada yang tinggi padaku. Padahal aku baru tahu dari mulut sang kakak ipar barusan.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Kasihan banget lira
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 5

    Aku menghela napas lebih panjang, kemudian coba bicara dengan Mas Gani, berharap kakak iparku tenang dan tidak emosi dalam menyelesaikan masalah ini. "Mas, aku benar-benar nggak tahu dengan pekerjaan yang barusan Mas Gani sebut," ucapku saat masih tersambung dalam panggilan masuk. "Aku laki-laki, adikku yang paling kusayang, ibaratnya dia nikah muda aja aku izinkan karena berharap bahagia bersama kamu, Dit, tapi kenyataannya malah pahit. Kalau kamu nggak bisa bahagiain Lira, balikin baik-baik!" ketus Mas Gani. Aku takut kalau keluarganya sudah berkata seperti itu. Bukan takut menghadapinya, tapi takut kehilangan anak dan istriku. "Mas, kasih aku waktu untuk menyelesaikan ini semua, aku janji mulai besok Lira tidak akan bekerja lagi, aku pastikan itu, Mas," lirihku memohon. "Nggak yakin aku, Dit," jawabnya. Kemudian, sambungan telepon dimatikan begitu saja."Mas, halo, Mas," sapaku berharap tidak ditutup begitu saja. Namun, yang namanya saudara, pasti ikut sakit mendengar bahwa sa

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 6

    Lira sontak menyerahkan Andara padaku, lalu beranjak menyergap tubuh sang papa. Ia memeluk erat sambil menangis. Aku menunduk seraya tak tahu lagi harus berbuat apa. Rintih dan tangis Lira yang pecah membuatku yakin hari ini adalah hari di mana yang kutakutkan terjadi."Kita pulang, Lira, Mas tahu air matamu itu air mata kesedihan," tutur Mas Gani sambil melirik ke arahku. Lagi-lagi aku merasa tersudut dengan apa yang terjadi."Maaf, ini kenapa ada tangisan segala ya? Di depan pintu pula, kalau tetangga lewat dikira ada tindakan kekerasan atau semacamnya, saya tidak suka. Kalau ada masalah tolong selesaikan, jangan bisanya nangis aja," ucap ibuku panjang lebar seraya tidak menyukai Lira."Bu, kok Bu Sani bicara seperti itu?" tanya papa mertua."Bu, tolong jaga sikap," pintaku."Pah, yang dikatakan Ibu benar, kita nggak pantas ngobrol di depan pintu, masuk yuk!" ajak Lira sambil melepaskan pelukannya. Lalu Lira dan papa melangkah ke ruang tamu.Aku melirik sebentar ke arah mereka, han

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 7

    Setelah menunggu sekitar satu menit, ibuku muncul dengan membawa ponsel. Kemudian, ia mengusap layar ponselnya, dan memberikan pesan yang masih tersimpan di aplikasi berlogo gagang telepon.Aku membacanya lebih dulu, sebuah pesan singkat yang memaksa ibu untuk mentransfer uang yang telah ditransfer olehku.[Bu, Lira mohon balikin uangnya sekarang juga ya. Itu uang suamiku, Ibu nggak berhak minta-minta. Mas Adit adalah milikku.]Deg!Dada ini berdegup kencang. Namun, aku tidak percaya begitu saja, bisa saja pengirimannya bukan Lira. Aku melihat nomor yang sangat aku hapal, tapi ternyata itu benar kontak Lira, istriku. Rasa tak percaya membuat kepala ini spontan menggeleng-geleng."Coba lihat, Lira, ini kontak kamu, aku hapal betul nomormu," ucapku pada istri yang tengah menggandeng lengan ini.Dengan cepat telapak tangannya meraih ponsel yang aku pegang. Mata istriku seketika membulat dan kepalanya menunjukkan rasa tak percaya."Nggak, Mas. Aku nggak pernah kirim pesan itu," sanggah Li

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 8

    Lira menyunggingkan senyuman di sela-sela air mata yang berjatuhan. Aku menghela napas dan ikut tersenyum sebagai kekuatan untuknya."Pergilah, Sayang, aku izinkan. Doakan suamimu ini menemukan titik terang masalah ini," ucapku sambil menghapus air matanya. Jari jemari ini berada di pipi kanan dan kirinya."Aku doakan selalu untukmu, Mas. Mungkin ini salah satu bumbu dari rumah tangga kita yang selama ini adem, semoga setelah dihujani masalah akan muncul pelangi yang indah," ungkap Lira membuatku terenyuh. Seorang guru TK, buruh cuci, dan guru ngaji selama delapan bulan, ternyata begitu sejuk kata-katanya, ia sangat dewasa menyikapi ini semua.Aku terharu memiliki seorang istri yang begitu ikhlas, ia sangat kuat menghadapi ini semua seorang diri, tanpa aku yang seharusnya sebagai penanggung jawab.Lira mengulurkan tangannya, ia meminta tangan ibu dan mengecupnya tanpa dendam. Ia tidak marah pada ibu, justru masih berusaha hormat padanya.Kemudian, Mas Gani membawa istri dan anakku. Se

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 9

    "Ada apa? Tentang uang yang ditransfer? Sore ini Marni ke sini bersama Sekar mau jelasin katanya, udah kamu tunggu mereka datang. Sekar lagi hamil tua loh rela datang ke sini," timpal ibu malah membuat aku berdecak kesal."Bu, Ibu sudah cerita ke Bulek Marni?" tanyaku heran. Kenapa sih tiap ada masalah keluarga, selalu saja ibuku cerita pada adiknya. Padahal orang yang kita percayai belum tentu amanah. Lagi pula ini masalah keluarga, meskipun ia adiknya seharusnya ibu nggak perlu bercerita sampai detail."Ibu kan ceritanya ke dia, kami sudah nggak punya orang tua, jadi harus saling berbagi, melengkapi, saling bertukar pikiran kalau ada masalah. Kalau kamu kan anak tunggal, jadi kalau bisa ya yang akur dengan Sekar dan Soleh, Dit," seru ibuku.Aku hanya tersenyum pasrah, tidak lagi bicara dengannya masalah tuduhanku terhadap Sekar. Sebab, ini pasti percuma, ditambah lagi Bulek Marni mau datang ke kota hanya untuk menjelaskan. Pasti ibu merasa adiknya ini adalah orang baik."Memang yang

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 10

    Lira minta uang cash? Aku rasa Bulek Marni hanya membual supaya ibu percaya, tapi aku harus bagaimana meyakinkan ibu?"Lira nggak mungkin minta uang itu lagi, tunai pula," sahutku padanya.Mata Sekar mendadak basah. Suara sesegukan terdengar dari mulutnya. Kemudian, ibuku menghampiri Sekar."Dit, lihat tuh, kamu menyakiti sepupumu yang tengah hamil," celetuk ibuku."Nyakitin apa, Bu? Aku hanya nggak percaya istriku minta uang itu, melalui Sekar pula," cetusku sambil menyorot wajah Sekar. Namun, ia menunduk sambil mengeluarkan air mata, lalu memeluk ibuku."Bude, aku merasa Mas Adit ini tengah menuduhku, bagaimana perasaan Bude jika dituduh?" Sekar menghela napas sambil menyingkirkan air matanya."Dit, kamu minta maaf sama Sekar ya, sudahlah Dit, kita sudahi masalah ini, Bulekmu telah mengakui bahwa dia transfer Sekar, tapi kan uangnya dikasih ke Lira. Ibu pun sudah mendapatkan gantinya ya kan?" Ibu memberikan solusi terakhir yaitu melupakan masalah ini.Namun, masalah ini sudah terlan

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 11

    "Ada apa, Bu?" tanya Lira juga. Meskipun sudah disakiti, ia tetap menghormati ibuku."Barusan tetangga di kampung telepon, katanya kemarin ada yang lihat-lihat rumah peninggalan Bapak, dan bilang rumah Ibu mau dijual Marni," terang ibu membuat Mas Gani sontak bertepuk tangan."Sekarang sudah jelas, kan? Bulek Marni itu yang menjadi biang kerok," cetus Mas Gani.Ibu menggelengkan kepalanya seraya tidak percaya."Ibu nggak percaya, ini pasti fitnah, ada yang tidak suka dengan Ibu dan Marni yang selalu akur dan saling percaya," jawab ibu."Bu, Lira juga tidak pernah kirim pesan ke Ibu, percayalah, yang kirim pesan pasti Sekar, uang yang dibilang Sekar diberikan secara tunai pun tak pernah aku terima, aku berani sumpah, Bu," lirih Lira kembali membicarakan tentang uang kiriman saat bapak terpeleset."Sudahlah, Lira, kan Ibu ke sini mau minta maaf, jangan bahas soal uang itu lagi ya, semua kita anggap selesai," pinta ibuku.Meskipun masih janggal di dada, tapi aku pun sudah enggan membahas

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 12

    "Bu, aku punya firasat nggak enak, tolong hubungi Bulek ya," suruhku.Ibu terdiam sejenak. Lalu melihat ke arah layar ponselnya."Ibu telepon, kalau diangkat itu artinya Bulek nggak ada niat jahat ya," usul ibu.Aku hanya mengangguk. Sebab, kalau langsung menuduh juga terkesan prasangka buruk pada adiknya ibu.Kemudian, ibu menghubungi Bulek Marni, dan masih diangkat olehnya. Ibuku hanya berpesan untuk menghubunginya kalau sudah tiba di kampung, sebagai alasan kenapa baru saja ditinggalkan sudah menelepon.Setelah ibu mematikan ponselnya. Ia berdecak kesal padaku dan Lira. "Heran sama kalian, kenapa curigaan terus sih?" Ibu merengut sambil masuk ke dalam kamarnya.Kemudian Lira memandangku dengan senyuman. "Prasangka buruk itu memang hasutan setan, Mas, kalau belum ada bukti, lebih baik diam," ucap Lira seraya menasihati.Ia menuntunku ke kamar, khawatir Andara sudah bangun dari tidurnya. Namun, anak kami masih tertidur pulas di atas ranjang.***Matahari sudah terbenam. Seperti biasa

Latest chapter

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 44

    "Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 43

    "Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 42

    Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 41

    "Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 40

    Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 39

    "Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 38

    "Mas, aku mohon jangan matikan sambungan teleponnya, aku ingin dengar percakapan kalian," pintaku. "Ya, Dit. Tapi aku urus Anggi dan Bu Marni dulu," jawab Mas Gani. Kemudian, aku dengar Lira langsung memanggil putriku. "Andara!" Teriakan Lira terdengar sangat panik. "Bulek, sudah apakan Andara?" tanya Lira kedengaran marah. "Bulek nggak apa-apain Andara, aku hanya ingin berbuat baik, menebus kesalahan yang pernah kulakukan," jawabnya. "Bohong! Bukankah Tante tadi ingin mencekik anaknya Lira dan Adit?" Itu suara Anggi, aku tahu karena pernah ditelepon olehnya. "Apa-apaan kamu, Anggi? Kamu jangan fitnah orang!" Bulek menyanggah tuduhan yang Anggi lontarkan. Aku hanya bisa menghela napas di sini, merasa jadi orang yang tak berguna sama sekali, tidak bisa melakukan apa-apa di atas kursi roda. Ibu menarik tanganku, begitu juga dengan kedua mertuaku yang ikut merangkul bahu ini. "Jangan cemas dan risau, di sana ada Lira dan Gani," pesan mertuaku. Aku dengarkan lagi ponsel genggam

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 37

    "Bulek emang sempat ke sini, tapi sekarang sudah tidak ada," sahutku lagi. "Mas, Sekar kepleset, Mas, tadi istri keduaku tak sengaja menumpahkan minyak, sekarang Sekar ada di rumah sakit," ucap Tri seketika mengingat kejadian delapan bulan silam, dimana Bulek Marni mengabarkanku bahwa Bapak terpeleset. "Ya Allah, terus gimana kondisi Sekar? Gimana ya, coba nanti aku hubungi Bulek Marni juga dan cari tahu keberadaannya," timpalku. "Sekar pasca melahirkan, Mas, dokter bilang hanya keajaiban yang dapat membuat Sekar bertahan.""Apa jangan-jangan istri keduamu itu sengaja, Tri? Maaf ya bukan nuduh," kataku seadanya. "Dia bilang nggak sengaja, Mas," sahut Tri. "Lantas kamu percaya, bukankah kamu adalah salah satu saksi juga sewaktu Bulek Marni menumpahkan minyak dan membuat bapakku meninggal dunia?" tanyaku balik. Tri terdiam beberapa detik. "Astaga, Mas, apa mungkin tuduhan itu kini berbalik padaku?" "Maksud kamu apa? Kok tuduhan?" tanya Tri. "Waktu itu aku sempat nuduh Bu Marni j

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 36

    Aku jadi penasaran dengan apa yang kulihat dan dengar barusan. "Surat ini sudah tidak berlaku lagi, Anggi!" Lira bicara dengan dagu sedikit terangkat. "Nggak bisa gitu dong, Gani, tolong beritahu adikmu ini," suruh Anggi. Mas Gani terlihat melerai, tangannya ia bentangkan. "Cukup. Kalian semua diam, dengarkan saya bicara!" Mas Gani menghentikan pertengkaran mereka. Aku meneliti tidak jauh dari mereka, tapi tidak terlalu dekat juga dengan tempat perdebatan istriku dan Anggi. Posisi kami jaraknya sekitar lima meter. "Dengar Anggi. Perjanjian ini bisa diputuskan sewaktu-waktu, lagian kan kamu tidak rugi," ucap Mas Gani. Aku semakin penasaran dengan apa yang mereka perdebatkan. "Nggak rugi kamu bilang, waktu dan tenaga sudah cukup menguras," jawab Anggi. Lira tampak menunjukkan kemarahan, jari telunjuk ia arahkan pada Anggi. "Kamu itu dibayar, Anggi, jadi tidak rugi ya." Lira melotot saat mengatakan itu. "Ya, dibayar atas pekerjaan," jawab Anggi. "Pekerjaan yang sangat ekstrim,

DMCA.com Protection Status