Lira sontak menyerahkan Andara padaku, lalu beranjak menyergap tubuh sang papa. Ia memeluk erat sambil menangis.
Aku menunduk seraya tak tahu lagi harus berbuat apa. Rintih dan tangis Lira yang pecah membuatku yakin hari ini adalah hari di mana yang kutakutkan terjadi.
"Kita pulang, Lira, Mas tahu air matamu itu air mata kesedihan," tutur Mas Gani sambil melirik ke arahku. Lagi-lagi aku merasa tersudut dengan apa yang terjadi.
"Maaf, ini kenapa ada tangisan segala ya? Di depan pintu pula, kalau tetangga lewat dikira ada tindakan kekerasan atau semacamnya, saya tidak suka. Kalau ada masalah tolong selesaikan, jangan bisanya nangis aja," ucap ibuku panjang lebar seraya tidak menyukai Lira.
"Bu, kok Bu Sani bicara seperti itu?" tanya papa mertua.
"Bu, tolong jaga sikap," pintaku.
"Pah, yang dikatakan Ibu benar, kita nggak pantas ngobrol di depan pintu, masuk yuk!" ajak Lira sambil melepaskan pelukannya. Lalu Lira dan papa melangkah ke ruang tamu.
Aku melirik sebentar ke arah mereka, hanya Mas Gani yang seperti malas-malasan masuk ke dalam rumah, ia tetap berdiri di depan pintu, sampai akhirnya papa mertuaku kembali ke arahnya dan membisikkan sesuatu. Saat itulah kaki Mas Gani mulai diayunkan, lalu ia duduk tepat di sebelah papanya, yang posisinya berada di hadapanku persis.
"Mau minum apa? Saya bikin minum dulu," ucap ibu menawarkan minuman.
"Nggak perlu, kami tidak ingin berlama-lama di sini, hanya ingin mengajak Lira pulang," kata Mas Gani dengan posisi duduk bersandar di bahu kursi, tangannya santai berada di perutnya, sorotan matanya tajam melirik ke arahku.
"Oh gitu, ya udah, kalian selesaikan aja ya, saya nggak mau ikut campur, mendingan masuk dulu," ucap ibu berpamitan. Hal ini yang membuat Mas Gani berdiri.
"Tidak bisa, enak saja mau pergi, saya ingin dengar penjelasan dari Adit dan Bu Sani sekaligus, biar semuanya kelar malam ini juga!" sentak Mas Gani.
Ibu terdiam, ia menggigit bibirnya sambil menatap Lira. Namun, wajah sendu istriku tertunduk.
"Ya udah, ngomong aja, cepetan jangan lama-lama," suruh ibu. Rasanya aku malu mendengar celotehan ibuku yang tidak menghargai besannya. Beruntungnya papa mertua sabar, sama seperti Lira, istriku. Nggak tahu kalau yang datang mama mertua, mungkin sudah adu mulut dengan ibuku jika diperlakukan seperti itu.
"Tadi saya sudah telepon Adit, sebaiknya dia aja yang cerita," terang papa.
Aku mengangguk dan sambil memangku Andara aku memulai obrolan. "Bu, tadi Papa dan Mas Gani telepon, mereka mendengar kabar dari seseorang katanya Lira itu dari pagi hingga sore hari bekerja," ungkapku mulai membuka percakapan.
Mata ibu mendelik seraya kaget, bola matanya tertuju pada Lira yang tengah duduk di sebelahku.
"Salah lihat kali, Lira bersama Ibu tiap pagi, siang, sampai sore, kalian jangan ngada-ngada," cetus ibuku. Dengan enteng dia berbohong, sepertinya aku salah mendatangkan ibuku ke rumah ini, atau aku salah membiarkan ibu tinggal di kampung ketika bapak meninggal, mungkinkah ibuku ada gangguan jiwa? Dan akhirnya ia menjadi seperti ini pada menantunya. Sikap dan tutur katanya tidak mencerminkan seorang ibu, padahal aku tahu betul beliau ini penyayang.
"Bagaimana salah lihat, Lira sudah mengakuinya, Bu." Akhirnya aku mengatakan ini pada ibu kandungku. Meskipun berat, tapi rasanya lega mengungkapkan ini semua.
Ibu menautkan kedua alisnya, lalu terkekeh sambil menutup mulut dengan kelima jarinya.
"Aduh, Dit. Masa kamu percaya Lira dan keluarganya ketimbang Ibu sendiri?" Ternyata ia masih menganggap ini sebuah lelucon, ibu pikir aku akan membelanya meskipun salah.
"Aku percaya dengan Ibu," ucapku baru setengah. Namun, hal ini sudah membuat Lira menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Tapi itu kalau Ibu jujur, kenyataannya yang aku dengar dari mulut Ibu itu berbeda," cetusku membuatnya bangkit dari duduk.
"Apa-apaan ini, Dit? Maksud kamu barusan apa?" Ibu marah seraya tidak terima.
Jadi ingat dengan yang dikatakan bapak dulu, katanya kalau orang berbohong itu pasti menunjukkan sikap yang cepat merespon atas tidak percayanya sang penanya. Jadi ia ingin berkelit dari kebohongan.
"Nggak ada maksud apa-apa, Bu. Hanya bicara yang sebenarnya," jawabku.
Mas Gani terlihat duduk tegak, padahal tadi ia tengah bersandar di bahu kursi.
"Tunggu, tunggu, apa jangan-jangan Lira kerja disuruh Bu Sani?" cecar Mas Gani. Matanya berpindah-pindah, kadang menyoroti Lira, sesekali menatap ibu.
"Ya nggak mungkin lah saya nyuruh Lira kerja," jawab ibu menerobos lagi. "Ya kan, Lira?" Matanya terlihat membulat saat bertanya pada Lira. Namun, istriku hanya menunduk dan melingkarkan tangannya ke lengan ini.
Aku menoleh sebentar, sepertinya Lira memang tertekan dan diancam oleh ibuku.
"Bu, memangnya untuk apa sih Lira disuruh kerja? Bayar utang? Utang apa?" tanyaku langsung pada intinya. Sebab, mata Mas Gani sudah seperti elang yang ingin memangsa buruannya.
Ibu terdiam, ia tetap menyoroti Lira dengan pandangan sinis.
"Mas, biar aku aja yang cerita," celetuk Lira. Aku pun menoleh sambil menganggukkan kepala. "Jadi, aku bekerja untuk membayar utang mahar pernikahan kita, Mas," ungkap Lira membuat Mas Gani spontan menggebrak meja.
Brak!
"Gila, ibumu gila atau stress, Adit? Uang mahar dianggap utang, buat apa waktu itu kasih kalau dihitung utang? Hah!" sentak Mas Gani. Dadaku bergetar saat menyaksikan kemarahannya.
"Mas, sabar dulu, aku belum selesai cerita," pinta Lira.
"Jangan percaya, Dit, Ibu tidak ada maksud ke situ," sanggah ibuku.
"Diam, Bu! Kali ini Adit minta Ibu diam!" Akhirnya aku membentaknya, seumur hidup ini kali pertamanya bibir ini berkata kasar pada orang yang telah melahirkanku ke dunia.
'Ya Allah, jika ini dianggap dosa, ampuni hamba, tapi lebih berdosa lagi kalau aku membiarkan istriku tertekan atas sikapnya,' lirihku dalam hati seraya berdoa.
"Ibu nggak nyangka, kamu berani bentak Ibu, padahal surga anak lelaki ada di kaki ibunya. Kamu juga belum tahu, kan, apa alasanku menuntut uang mahar itu?" Ia tetap membela dirinya.
Semua terdiam, termasuk mertuaku yang mengulurkan tangannya untuk menghadang Mas Gani berbicara.
"Apa, Bu? Apa alasannya?" tanyaku seraya menantang.
Mata ibu berkeliling, ia menyoroti kami satu persatu. Lalu berhenti pada Lira. Tatapannya memang seperti memiliki dendam membara.
"Wanita ini, dia yang menyebabkan suamiku meninggal dunia, istrimu, Adit, istrimu!" Dua kali ibu menyebut Lira sebagai penyebab kematian bapakku sambil menunjuk dengan jarinya.
"Istighfar, Bu. Bapak meninggal dunia karena takdir, Bapak terpeleset dan tidak tertolong karena telat penanganan," timpalku membela Lira.
Ibu menggelengkan kepalanya sambil berdecak kesal. "Kamu tahu apa, Dit? Ibu di kampung cari uang untuk berobat bapakmu, karena uang yang kamu transfer dipinta lagi oleh Lira, istrimu yang kau anggap baik!" Ibu berkata dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar saat mengucapkan itu.
Ucapan ibu barusan pun spontan membuat papa mertuaku berdiri. Aku pun ikut bangkit karena khawatir ada ribut besar.
"Punya bukti apa kamu, anakku minta uang itu? Hah!" Papa mertuaku sudah naik pitam.
"Ada, sebuah chat yang dikirimkan Lira pada Marni, adikku," jawab ibu dengan disertai emosi.
Aku menoleh ke arah Lira, namun istriku menggelengkan kepalanya seraya menjawab bahwa ia tidak melakukan hal itu. 'Astaga, kenapa bisa begini?' batinku bertanya.
Ibu pun meminta kami semua untuk menunggu dia mengambil ponselnya.
Bersambung
Setelah menunggu sekitar satu menit, ibuku muncul dengan membawa ponsel. Kemudian, ia mengusap layar ponselnya, dan memberikan pesan yang masih tersimpan di aplikasi berlogo gagang telepon.Aku membacanya lebih dulu, sebuah pesan singkat yang memaksa ibu untuk mentransfer uang yang telah ditransfer olehku.[Bu, Lira mohon balikin uangnya sekarang juga ya. Itu uang suamiku, Ibu nggak berhak minta-minta. Mas Adit adalah milikku.]Deg!Dada ini berdegup kencang. Namun, aku tidak percaya begitu saja, bisa saja pengirimannya bukan Lira. Aku melihat nomor yang sangat aku hapal, tapi ternyata itu benar kontak Lira, istriku. Rasa tak percaya membuat kepala ini spontan menggeleng-geleng."Coba lihat, Lira, ini kontak kamu, aku hapal betul nomormu," ucapku pada istri yang tengah menggandeng lengan ini.Dengan cepat telapak tangannya meraih ponsel yang aku pegang. Mata istriku seketika membulat dan kepalanya menunjukkan rasa tak percaya."Nggak, Mas. Aku nggak pernah kirim pesan itu," sanggah Li
Lira menyunggingkan senyuman di sela-sela air mata yang berjatuhan. Aku menghela napas dan ikut tersenyum sebagai kekuatan untuknya."Pergilah, Sayang, aku izinkan. Doakan suamimu ini menemukan titik terang masalah ini," ucapku sambil menghapus air matanya. Jari jemari ini berada di pipi kanan dan kirinya."Aku doakan selalu untukmu, Mas. Mungkin ini salah satu bumbu dari rumah tangga kita yang selama ini adem, semoga setelah dihujani masalah akan muncul pelangi yang indah," ungkap Lira membuatku terenyuh. Seorang guru TK, buruh cuci, dan guru ngaji selama delapan bulan, ternyata begitu sejuk kata-katanya, ia sangat dewasa menyikapi ini semua.Aku terharu memiliki seorang istri yang begitu ikhlas, ia sangat kuat menghadapi ini semua seorang diri, tanpa aku yang seharusnya sebagai penanggung jawab.Lira mengulurkan tangannya, ia meminta tangan ibu dan mengecupnya tanpa dendam. Ia tidak marah pada ibu, justru masih berusaha hormat padanya.Kemudian, Mas Gani membawa istri dan anakku. Se
"Ada apa? Tentang uang yang ditransfer? Sore ini Marni ke sini bersama Sekar mau jelasin katanya, udah kamu tunggu mereka datang. Sekar lagi hamil tua loh rela datang ke sini," timpal ibu malah membuat aku berdecak kesal."Bu, Ibu sudah cerita ke Bulek Marni?" tanyaku heran. Kenapa sih tiap ada masalah keluarga, selalu saja ibuku cerita pada adiknya. Padahal orang yang kita percayai belum tentu amanah. Lagi pula ini masalah keluarga, meskipun ia adiknya seharusnya ibu nggak perlu bercerita sampai detail."Ibu kan ceritanya ke dia, kami sudah nggak punya orang tua, jadi harus saling berbagi, melengkapi, saling bertukar pikiran kalau ada masalah. Kalau kamu kan anak tunggal, jadi kalau bisa ya yang akur dengan Sekar dan Soleh, Dit," seru ibuku.Aku hanya tersenyum pasrah, tidak lagi bicara dengannya masalah tuduhanku terhadap Sekar. Sebab, ini pasti percuma, ditambah lagi Bulek Marni mau datang ke kota hanya untuk menjelaskan. Pasti ibu merasa adiknya ini adalah orang baik."Memang yang
Lira minta uang cash? Aku rasa Bulek Marni hanya membual supaya ibu percaya, tapi aku harus bagaimana meyakinkan ibu?"Lira nggak mungkin minta uang itu lagi, tunai pula," sahutku padanya.Mata Sekar mendadak basah. Suara sesegukan terdengar dari mulutnya. Kemudian, ibuku menghampiri Sekar."Dit, lihat tuh, kamu menyakiti sepupumu yang tengah hamil," celetuk ibuku."Nyakitin apa, Bu? Aku hanya nggak percaya istriku minta uang itu, melalui Sekar pula," cetusku sambil menyorot wajah Sekar. Namun, ia menunduk sambil mengeluarkan air mata, lalu memeluk ibuku."Bude, aku merasa Mas Adit ini tengah menuduhku, bagaimana perasaan Bude jika dituduh?" Sekar menghela napas sambil menyingkirkan air matanya."Dit, kamu minta maaf sama Sekar ya, sudahlah Dit, kita sudahi masalah ini, Bulekmu telah mengakui bahwa dia transfer Sekar, tapi kan uangnya dikasih ke Lira. Ibu pun sudah mendapatkan gantinya ya kan?" Ibu memberikan solusi terakhir yaitu melupakan masalah ini.Namun, masalah ini sudah terlan
"Ada apa, Bu?" tanya Lira juga. Meskipun sudah disakiti, ia tetap menghormati ibuku."Barusan tetangga di kampung telepon, katanya kemarin ada yang lihat-lihat rumah peninggalan Bapak, dan bilang rumah Ibu mau dijual Marni," terang ibu membuat Mas Gani sontak bertepuk tangan."Sekarang sudah jelas, kan? Bulek Marni itu yang menjadi biang kerok," cetus Mas Gani.Ibu menggelengkan kepalanya seraya tidak percaya."Ibu nggak percaya, ini pasti fitnah, ada yang tidak suka dengan Ibu dan Marni yang selalu akur dan saling percaya," jawab ibu."Bu, Lira juga tidak pernah kirim pesan ke Ibu, percayalah, yang kirim pesan pasti Sekar, uang yang dibilang Sekar diberikan secara tunai pun tak pernah aku terima, aku berani sumpah, Bu," lirih Lira kembali membicarakan tentang uang kiriman saat bapak terpeleset."Sudahlah, Lira, kan Ibu ke sini mau minta maaf, jangan bahas soal uang itu lagi ya, semua kita anggap selesai," pinta ibuku.Meskipun masih janggal di dada, tapi aku pun sudah enggan membahas
"Bu, aku punya firasat nggak enak, tolong hubungi Bulek ya," suruhku.Ibu terdiam sejenak. Lalu melihat ke arah layar ponselnya."Ibu telepon, kalau diangkat itu artinya Bulek nggak ada niat jahat ya," usul ibu.Aku hanya mengangguk. Sebab, kalau langsung menuduh juga terkesan prasangka buruk pada adiknya ibu.Kemudian, ibu menghubungi Bulek Marni, dan masih diangkat olehnya. Ibuku hanya berpesan untuk menghubunginya kalau sudah tiba di kampung, sebagai alasan kenapa baru saja ditinggalkan sudah menelepon.Setelah ibu mematikan ponselnya. Ia berdecak kesal padaku dan Lira. "Heran sama kalian, kenapa curigaan terus sih?" Ibu merengut sambil masuk ke dalam kamarnya.Kemudian Lira memandangku dengan senyuman. "Prasangka buruk itu memang hasutan setan, Mas, kalau belum ada bukti, lebih baik diam," ucap Lira seraya menasihati.Ia menuntunku ke kamar, khawatir Andara sudah bangun dari tidurnya. Namun, anak kami masih tertidur pulas di atas ranjang.***Matahari sudah terbenam. Seperti biasa
Kemudian, suara ibu sudah tidak lagi terdengar setelah ada yang mengetuk pintu kamarnya. Kemungkinan Lira yang mengetuknya.Aku menutup laptop. Itu artinya istriku masih terancam jika satu atap dengan ibu. "Astaga, kenapa Ibu jadi seperti ini?" Aku menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan.Kemudian, aku berusaha tenang. Lalu kembali membuka laptop untuk mengecek cctv. Ibu dan Lira tampak bersenda gurau di dapur, mereka masak bersama, aku cari di mana lokasi Andara tidur, ia tertidur di ranjang kamar dengan dihalangi bantal.Aku menutup laptop kembali, kemudian bersiap-siap untuk meeting ke luar kantor. Itu artinya cemas akan selalu hadir. 'Sebaiknya aku telepon Mas Gani aja untuk bantu memantau isi rumah, kegiatan Lira dan ibuku saat tidak ada orang,' batinku memiliki ide.Aku ambil ponsel lalu menghubungi Mas Gani."Halo, Mas, sibuk nggak?" "Nggak, ada apa?" Mas Gani masih terdengar ketus saat menjawab panggilan masuk dariku.Aku menghela napas sambil berpikir bagaimana ca
[Hari ini aman.] Sontak mulut ini mengucapkan kalimat syukur. Aku menurunkan bahu ini seraya tenang. Pesannya hanya memberikan informasi. Bisa-bisanya aku jadi semakin parno sendiri. Padahal istriku di rumah bersama ibu kandungku. Hal yang pernah kuduga sebelum menikah akhirnya terjadi, perseteruan antara istri dan ibuku. ***Sepulangnya dari kantor, aku bertanya pada Lira juga, dan membuka cctv kembali dari pagi hingga sore hari. Tidak ada yang mencurigakan untuk hari pertama, hanya obrolan sensitif yang kudengar ibu bicara dengan Bulek Marni."Aku seneng, Mas, Ibu berubah, semoga seperti ini terus," ucap Lira dengan lekukan senyum di bibirnya.Andara yang berdiri di pangkuan Lira pun jingkrak-jingkrak seraya sangat bahagia."Aku ikut seneng, tapi Ibu masih bahas soal uang nggak? Atau nyuruh kamu bekerja gitu?" tanyaku padanya."Nggak sih, Mas. Kalau iya, pasti aku akan laporan padamu, Mas, kejadian kemarin membuatku tersadar bahwa kita tidak boleh saling merahasiakan," timpal Lira
"Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena
"Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat
Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay
"Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan
Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan
"Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o
"Mas, aku mohon jangan matikan sambungan teleponnya, aku ingin dengar percakapan kalian," pintaku. "Ya, Dit. Tapi aku urus Anggi dan Bu Marni dulu," jawab Mas Gani. Kemudian, aku dengar Lira langsung memanggil putriku. "Andara!" Teriakan Lira terdengar sangat panik. "Bulek, sudah apakan Andara?" tanya Lira kedengaran marah. "Bulek nggak apa-apain Andara, aku hanya ingin berbuat baik, menebus kesalahan yang pernah kulakukan," jawabnya. "Bohong! Bukankah Tante tadi ingin mencekik anaknya Lira dan Adit?" Itu suara Anggi, aku tahu karena pernah ditelepon olehnya. "Apa-apaan kamu, Anggi? Kamu jangan fitnah orang!" Bulek menyanggah tuduhan yang Anggi lontarkan. Aku hanya bisa menghela napas di sini, merasa jadi orang yang tak berguna sama sekali, tidak bisa melakukan apa-apa di atas kursi roda. Ibu menarik tanganku, begitu juga dengan kedua mertuaku yang ikut merangkul bahu ini. "Jangan cemas dan risau, di sana ada Lira dan Gani," pesan mertuaku. Aku dengarkan lagi ponsel genggam
"Bulek emang sempat ke sini, tapi sekarang sudah tidak ada," sahutku lagi. "Mas, Sekar kepleset, Mas, tadi istri keduaku tak sengaja menumpahkan minyak, sekarang Sekar ada di rumah sakit," ucap Tri seketika mengingat kejadian delapan bulan silam, dimana Bulek Marni mengabarkanku bahwa Bapak terpeleset. "Ya Allah, terus gimana kondisi Sekar? Gimana ya, coba nanti aku hubungi Bulek Marni juga dan cari tahu keberadaannya," timpalku. "Sekar pasca melahirkan, Mas, dokter bilang hanya keajaiban yang dapat membuat Sekar bertahan.""Apa jangan-jangan istri keduamu itu sengaja, Tri? Maaf ya bukan nuduh," kataku seadanya. "Dia bilang nggak sengaja, Mas," sahut Tri. "Lantas kamu percaya, bukankah kamu adalah salah satu saksi juga sewaktu Bulek Marni menumpahkan minyak dan membuat bapakku meninggal dunia?" tanyaku balik. Tri terdiam beberapa detik. "Astaga, Mas, apa mungkin tuduhan itu kini berbalik padaku?" "Maksud kamu apa? Kok tuduhan?" tanya Tri. "Waktu itu aku sempat nuduh Bu Marni j
Aku jadi penasaran dengan apa yang kulihat dan dengar barusan. "Surat ini sudah tidak berlaku lagi, Anggi!" Lira bicara dengan dagu sedikit terangkat. "Nggak bisa gitu dong, Gani, tolong beritahu adikmu ini," suruh Anggi. Mas Gani terlihat melerai, tangannya ia bentangkan. "Cukup. Kalian semua diam, dengarkan saya bicara!" Mas Gani menghentikan pertengkaran mereka. Aku meneliti tidak jauh dari mereka, tapi tidak terlalu dekat juga dengan tempat perdebatan istriku dan Anggi. Posisi kami jaraknya sekitar lima meter. "Dengar Anggi. Perjanjian ini bisa diputuskan sewaktu-waktu, lagian kan kamu tidak rugi," ucap Mas Gani. Aku semakin penasaran dengan apa yang mereka perdebatkan. "Nggak rugi kamu bilang, waktu dan tenaga sudah cukup menguras," jawab Anggi. Lira tampak menunjukkan kemarahan, jari telunjuk ia arahkan pada Anggi. "Kamu itu dibayar, Anggi, jadi tidak rugi ya." Lira melotot saat mengatakan itu. "Ya, dibayar atas pekerjaan," jawab Anggi. "Pekerjaan yang sangat ekstrim,