"Bu, aku punya firasat nggak enak, tolong hubungi Bulek ya," suruhku.Ibu terdiam sejenak. Lalu melihat ke arah layar ponselnya."Ibu telepon, kalau diangkat itu artinya Bulek nggak ada niat jahat ya," usul ibu.Aku hanya mengangguk. Sebab, kalau langsung menuduh juga terkesan prasangka buruk pada adiknya ibu.Kemudian, ibu menghubungi Bulek Marni, dan masih diangkat olehnya. Ibuku hanya berpesan untuk menghubunginya kalau sudah tiba di kampung, sebagai alasan kenapa baru saja ditinggalkan sudah menelepon.Setelah ibu mematikan ponselnya. Ia berdecak kesal padaku dan Lira. "Heran sama kalian, kenapa curigaan terus sih?" Ibu merengut sambil masuk ke dalam kamarnya.Kemudian Lira memandangku dengan senyuman. "Prasangka buruk itu memang hasutan setan, Mas, kalau belum ada bukti, lebih baik diam," ucap Lira seraya menasihati.Ia menuntunku ke kamar, khawatir Andara sudah bangun dari tidurnya. Namun, anak kami masih tertidur pulas di atas ranjang.***Matahari sudah terbenam. Seperti biasa
Kemudian, suara ibu sudah tidak lagi terdengar setelah ada yang mengetuk pintu kamarnya. Kemungkinan Lira yang mengetuknya.Aku menutup laptop. Itu artinya istriku masih terancam jika satu atap dengan ibu. "Astaga, kenapa Ibu jadi seperti ini?" Aku menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan.Kemudian, aku berusaha tenang. Lalu kembali membuka laptop untuk mengecek cctv. Ibu dan Lira tampak bersenda gurau di dapur, mereka masak bersama, aku cari di mana lokasi Andara tidur, ia tertidur di ranjang kamar dengan dihalangi bantal.Aku menutup laptop kembali, kemudian bersiap-siap untuk meeting ke luar kantor. Itu artinya cemas akan selalu hadir. 'Sebaiknya aku telepon Mas Gani aja untuk bantu memantau isi rumah, kegiatan Lira dan ibuku saat tidak ada orang,' batinku memiliki ide.Aku ambil ponsel lalu menghubungi Mas Gani."Halo, Mas, sibuk nggak?" "Nggak, ada apa?" Mas Gani masih terdengar ketus saat menjawab panggilan masuk dariku.Aku menghela napas sambil berpikir bagaimana ca
[Hari ini aman.] Sontak mulut ini mengucapkan kalimat syukur. Aku menurunkan bahu ini seraya tenang. Pesannya hanya memberikan informasi. Bisa-bisanya aku jadi semakin parno sendiri. Padahal istriku di rumah bersama ibu kandungku. Hal yang pernah kuduga sebelum menikah akhirnya terjadi, perseteruan antara istri dan ibuku. ***Sepulangnya dari kantor, aku bertanya pada Lira juga, dan membuka cctv kembali dari pagi hingga sore hari. Tidak ada yang mencurigakan untuk hari pertama, hanya obrolan sensitif yang kudengar ibu bicara dengan Bulek Marni."Aku seneng, Mas, Ibu berubah, semoga seperti ini terus," ucap Lira dengan lekukan senyum di bibirnya.Andara yang berdiri di pangkuan Lira pun jingkrak-jingkrak seraya sangat bahagia."Aku ikut seneng, tapi Ibu masih bahas soal uang nggak? Atau nyuruh kamu bekerja gitu?" tanyaku padanya."Nggak sih, Mas. Kalau iya, pasti aku akan laporan padamu, Mas, kejadian kemarin membuatku tersadar bahwa kita tidak boleh saling merahasiakan," timpal Lira
"Kita ketemuan aja, sore ini pulang kerja aku ke rumah, biar kutanyakan langsung pada ibumu maunya sebenarnya apa," ucap Mas Gani. Kemudian, ia putus sambungan teleponnya padahal aku belum sempat menyetujui.Aku meletakkan ponsel di atas meja kerja. Beruntung hari ini tidak ada kerjaan yang menumpuk, aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi. Yang bersemayam di kepala hanya Lira dan ibu.Kemudian, aku bersandar sejenak, berpikir jernih dengan tindakan yang harus aku lakukan."Aku memang harus tegas pada Ibu, jangan sampai keluarga Lira jadi meragukan cintaku pada anaknya," ucapku bicara sendirian.Rasanya ini hal terberat untuk seorang laki-laki. Diantaranya karena pilihan yang sulit ini. "Pertama, aku harus benar-benar berikan Bulek peringatan, supaya tidak menghasut ibuku lagi, ya sebaiknya aku hubungi Bulek sekarang," gumamku bicara sendirian.Tangan ini dengan cepat meraih ponsel yang sudah terkunci layarnya. Kemudian mencari kontak Bulek Marni. Hanya menunggu beberapa kali panggilan
Aku menghela napas, kemudian mengucapkan terima kasih pada Pak Susanto yang telah memberikan informasi ini. Setelah itu aku putuskan sambungan teleponnya.Wajah murung terpancar dari wajahku. Lira menatapku penuh, ia pasti tahu apa yang tengah kurasakan. Dia amat peka padaku, namun justru sebaliknya, aku terlalu bodoh untuk membaca isi hatinya."Ada apa, Sayang?" Lira memiringkan kepalanya sambil fokus menatapku."Rumah Ibu sudah ada yang nempatin," jawabku sambil perlahan mengalihkan pandangan ke arah ibu.Saat itu wajah ibu menatapku aneh. Ia menautkan kedua alisnya. "Ngomong apa sih kamu, Dit? Kan memang kalau sore gini Marni bersih-bersih rumah," timpalnya masih saja membela adiknya.Sepertinya percuma kalau aku ngomong di sini dan menjelaskan panjang lebar pada ibu. Ia takkan pernah percaya padaku, ibu lebih percaya pada adiknya."Kita pulang kampung sekarang yuk, Bu," ajakku membuat ibu tersenyum semringah."Alhamdulillah, akhirnya kamu ngajak mudik mendadak," cetus ibu disertai
Pak Susanto menoleh ke arah sang istri yang baru saja datang. "Bu, ajak Bu Sani istirahat dulu, nanti pagi baru ngobrol lagi," seru Pak Susanto.Aku pun memejamkan mata sekadar mengistirahatkan sejenak. Pak Susanto pun tahu betapa lelahnya kamu berdua perjalanan dari Jakarta ke Semarang, meskipun dengan pesawat, tapi dari bandara ke kampung kami itu memakan waktu sekitar tiga jam.***Pagi telah mengeluarkan sinarnya, suasana kampung yang belum terkontaminasi dengan asap pabrik membuatku merasa sejuk saat bangun tidur.Kulihat ibu pun sudah bangun, ia mengikat rambutnya lalu menghampiri aku."Dit, ayo kita pulang, suruh orang yang parkir sembarangan itu pergi," ucap ibu membuatku iba."Kita ke rumah Bulek Marni sekarang yuk, Bu." Aku mengalihkan pembicaraan."Oh iya, kunci rumah ada pada Marni," jawab ibu membuat sang tuan rumah, Pak Susanto menoleh dengan mata berkaca-kaca. Namun, aku sudah meminta padanya untuk diam dan tidak mengatakan apa pun pada ibu. Sebab, aku ingin ibuku ini d
Tiba-tiba Sekar keluar dari kamarnya. Ia terkejut ada kami yang tengah duduk di tengah-tengah ibunya. Dengan langkah pelan Sekar pun ikut bergabung dengan kami. "Kalian di sini?" Sekar bertanya sambil mengelus perutnya yang mulai membesar."Ya, kami ke sini mau minta uang rumah yang telah dijual Bulek Marni," timpalku membuat Sekar tersenyum tipis."Bu, apa ini maksudnya Bude Sani sudah tahu semuanya?" Sekar pun bertanya tapi sayangnya ternyata ia tahu kebusukan ibunya."Ya, Bude kamu sudah tahu semuanya, biar dia tahu semua, supaya sadar bahwa selama ini telah menyakitiku," terang Bulek Marni.'Apa katanya tadi? Ibu menyakiti dia? Astaghfirullah, padahal ibuku mati-matian membelanya, bahkan istriku jadi korban karena hasutan Bulek,' batinku menggerutu.Langkah kakiku maju sedikit menuju Bulek Marni. Lalu menaikan sedikit lengan kemeja yang masih kukenakan."Bulek, bisakah akui kesalahan sendiri? Jangan menyalahkan orang lain atas apa yang telah Bulek lakukan, jangan-jangan Om Arsad
"Aku akan laporkan perbuatan Bulek ke polisi, ini namanya penipuan," ancamku padanya."Penipuan gimana? Ibumu tanda tangan dalam kondisi sadar, Mbak punya rekaman videonya yang direkam oleh Sekar," tutur Bulek Marni. Ia begitu licik, sehingga semua sudah diperhitungkan dengan matang, baik resiko maupun keuntungan.Kalau seperti ini memang bukan penipuan, ibuku juga salah karena terlalu percaya pada adiknya. Kini kepercayaan itu dihancurkan dan ibu mendengar pengakuan dari orangnya sendiri.Ada hikmah dibalik ini semua, sebuah kejujuran akan tetap menang meskipun terlambat. Aku tenang sekarang, karena ibu sudah mengetahui semua siapa Bulek Marni, dan dengan begitu, Lira pun akan terselamatkan dari tuduhan lagi. Rumah tanggaku akan kembali seperti dulu."Sekarang lebih baik kalian pergi dari sini, ya. Ini rumah saya, tolong jangan lama-lama berada di sini!" suruh Bulek Marni sambil membentangkan tangannya keluar rumah.Ibu menghela napas panjang. Lalu menatap adiknya nanar, setelah itu
"Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena
"Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat
Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay
"Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan
Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan
"Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o
"Mas, aku mohon jangan matikan sambungan teleponnya, aku ingin dengar percakapan kalian," pintaku. "Ya, Dit. Tapi aku urus Anggi dan Bu Marni dulu," jawab Mas Gani. Kemudian, aku dengar Lira langsung memanggil putriku. "Andara!" Teriakan Lira terdengar sangat panik. "Bulek, sudah apakan Andara?" tanya Lira kedengaran marah. "Bulek nggak apa-apain Andara, aku hanya ingin berbuat baik, menebus kesalahan yang pernah kulakukan," jawabnya. "Bohong! Bukankah Tante tadi ingin mencekik anaknya Lira dan Adit?" Itu suara Anggi, aku tahu karena pernah ditelepon olehnya. "Apa-apaan kamu, Anggi? Kamu jangan fitnah orang!" Bulek menyanggah tuduhan yang Anggi lontarkan. Aku hanya bisa menghela napas di sini, merasa jadi orang yang tak berguna sama sekali, tidak bisa melakukan apa-apa di atas kursi roda. Ibu menarik tanganku, begitu juga dengan kedua mertuaku yang ikut merangkul bahu ini. "Jangan cemas dan risau, di sana ada Lira dan Gani," pesan mertuaku. Aku dengarkan lagi ponsel genggam
"Bulek emang sempat ke sini, tapi sekarang sudah tidak ada," sahutku lagi. "Mas, Sekar kepleset, Mas, tadi istri keduaku tak sengaja menumpahkan minyak, sekarang Sekar ada di rumah sakit," ucap Tri seketika mengingat kejadian delapan bulan silam, dimana Bulek Marni mengabarkanku bahwa Bapak terpeleset. "Ya Allah, terus gimana kondisi Sekar? Gimana ya, coba nanti aku hubungi Bulek Marni juga dan cari tahu keberadaannya," timpalku. "Sekar pasca melahirkan, Mas, dokter bilang hanya keajaiban yang dapat membuat Sekar bertahan.""Apa jangan-jangan istri keduamu itu sengaja, Tri? Maaf ya bukan nuduh," kataku seadanya. "Dia bilang nggak sengaja, Mas," sahut Tri. "Lantas kamu percaya, bukankah kamu adalah salah satu saksi juga sewaktu Bulek Marni menumpahkan minyak dan membuat bapakku meninggal dunia?" tanyaku balik. Tri terdiam beberapa detik. "Astaga, Mas, apa mungkin tuduhan itu kini berbalik padaku?" "Maksud kamu apa? Kok tuduhan?" tanya Tri. "Waktu itu aku sempat nuduh Bu Marni j
Aku jadi penasaran dengan apa yang kulihat dan dengar barusan. "Surat ini sudah tidak berlaku lagi, Anggi!" Lira bicara dengan dagu sedikit terangkat. "Nggak bisa gitu dong, Gani, tolong beritahu adikmu ini," suruh Anggi. Mas Gani terlihat melerai, tangannya ia bentangkan. "Cukup. Kalian semua diam, dengarkan saya bicara!" Mas Gani menghentikan pertengkaran mereka. Aku meneliti tidak jauh dari mereka, tapi tidak terlalu dekat juga dengan tempat perdebatan istriku dan Anggi. Posisi kami jaraknya sekitar lima meter. "Dengar Anggi. Perjanjian ini bisa diputuskan sewaktu-waktu, lagian kan kamu tidak rugi," ucap Mas Gani. Aku semakin penasaran dengan apa yang mereka perdebatkan. "Nggak rugi kamu bilang, waktu dan tenaga sudah cukup menguras," jawab Anggi. Lira tampak menunjukkan kemarahan, jari telunjuk ia arahkan pada Anggi. "Kamu itu dibayar, Anggi, jadi tidak rugi ya." Lira melotot saat mengatakan itu. "Ya, dibayar atas pekerjaan," jawab Anggi. "Pekerjaan yang sangat ekstrim,