Aku langkahkan kaki ini ke arah Bulek Marni yang tengah berdiri cemas, kemudian aku menepuk pundaknya. Betapa terkejutnya ia dengan kehadiranku."Dit, ka-ka kamu ada di sini?" tanya Bulek Marni yang wajahnya terlihat pucat."Bulek, maksudnya apa barusan? Apa benar kalau Bulek penyebab kematian Bapak?" Aku langsung bertindak, sebab dia sendiri yang telah menghasut ibuku dan bilang bahwa Lira penyebab kematian bapak.Mata Bulek Marni kembali membulat, sorotannya penuh menatapku."Nggak gitu, Dit, Bulek nggak sengaja melakukan itu," terang Bulek. "Dit, jangan salah paham ya, Bulek nggak berani jadi pembunuh," tambahnya.Seberapa besar Lira sakit hati dituduh, itulah yang saat ini Bulek Marni rasakan."Sudah lah Bulek jangan membela diri Aku dengar sendiri, tadi Bulek mengatakan bahwa Tri mengetahui semuanya," cecarku."Iya, memang Tri tahu semuanya, tapi dia juga ngasal nuduh Bulek, Dit, percayalah, itu semua tidak sengaja," lirihnya."Tidak sengaja Bulek bilang? Nyawa bapak melayang tap
Aku masuk ke rumah dengan helaan napas panjang. Disertai ucapan bismillah, semoga Lira dan Andara ada di rumah."Lira! Assalamualaikum!" Aku berteriak menyapa dan mengungkapkan salam."Kosong ya, Dit?" Ibu mulai berasa rumah ini sepi.Aku masih berharap anak dan istriku tengah terlelap tidur. Langkah ini setengah berlari menuju kamar. Ibu pun mengekor di belakangku sambil terus memanggil nama menantunya.Kubuka pintu kamar ternyata kosong, nggak ada orang. Ibu yang berharap bertemu dengan Lira dan meminta maaf, kini duduk meluapkan kekecewaan.Di kasur tempat aku bercanda dan bersenda gurau dengan Lira, ibu meraih selembar baju yang masih tergeletak di atas ranjang."Lira, ini baju yang kamu kenakan sebelum Ibu dan Adit pamit ke Semarang," ucap ibuku berderai air mata. Aku yang menyaksikan ikut terharu, ternyata kali ini ibu benar-benar merasa bersalah dan ingin minta maaf pada Lira."Bu, coba hubungi Lira lagi, kali aja ia sudah aktif," suruhku sambil menyapu air matanya.Dengan cep
"Sudahlah, kamu ikut aja, ruangan ini penuh dengan cctv, Mas Gani nggak mau Adit tahu," timpal Mas Gani membuat lututku lemas seketika. Bahu ini kuturunkan sedikit seraya kecewa tidak ada titik terang di mana keberadaan istriku saat ini.Aku tutup laptop karena ini semua percuma, Mas Gani tahu ruangan ini penuh dengan cctv, jadi tidak akan mungkin memberikan petunjuknya."Yah, nggak ada petunjuk ya, Dit? Kita langsung ke Karawang aja sekarang yuk!" ajak ibu.Aku menyorotnya penuh. Mungkin ia sangat merasa bersalah atas kepergian Lira. "Besok pagi aja, Bu," jawabku lemas.Ibu menatapku sendu, "Dit, boleh ibu tahu Lira menulis apa di catatan?" tanya ibu."Sebentar, Bu, aku ambil catatan milik Lira," jawabku. Ibu pun menunggu aku mengambil catatan itu. Setelah sudah di tangan, aku langsung menunjukkan padanya.Buku itu mulai dibuka perlembar, buku catatan yang sering dicoret oleh Lira. Selama menikah, aku pun baru mengetahui kebiasaan Lira yang sering mencatat apa yang penting dalam hi
Aku mulai membaca satu demi satu. Begitu banyaknya catatan yang ditulis istriku saat kecil dulu. Tulisannya masih berantakan dan penuh coretan skema wajah yang dibuat sesuai mood saat ia menuliskan kisahnya dalam buku catatannya.Ada suka dan duka, banyak suka citanya, aku yang membacanya pun turut tersenyum. Namun, di tengah-tengah catatan, ada sebuah surat keterangan dokter yang terlihat sudah sangat lama sekali."Tumor?" Aku bertanya pada eyang. Ibu pun menoleh ketika aku menyebutkan nama penyakit yang tidak asing lagi."Ya, tapi itu sudah dioperasi sepuluh tahun silam," terang eyang. Kamu berdua bernapas lega sambil memegang dada. Pantas saja di bagian dadanya ada sebuah garis bekas jahitan, tapi tiap kali ditanya olehku, hanyalah jahitan saat ia kecelakaan sepeda. Aku sangat menyayangi istriku, jadi segala ucapannya selalu kupercaya."Baca di belakangnya lagi, Adit," suruh eyang.Aku membuka lembaran berikutnya sesuai perintah eyang, dan betapa kagetnya saat membaca lembaran ber
Kemudian, suster datang menghampiriku. Ia dan petugas lainnya mendorong kereta dan membawaku ke suatu tempat, yaitu ruang operasi."Saya mau dioperasi, Sus?" tanyaku padanya."Iya, Pak. Barusan saudara Pak Adit sudah menandatangani persetujuan untuk dilakukan operasi, kaki Bapak itu patah, harus segera ditangani," terang suster."Saudara? Siapa, Sus?""Nggak tahu, polisi yang menghubungi saudara Bapak. Sekarang Pak Adit tenang, tidak perlu memikirkan apa-apa," suruh suster."Lantas bagaimana kondisi Ibu saya, Sus?" tanyaku padanya.Suster terdiam, lalu ia memanggil rekannya untuk menggantikan bajuku dengan pakaian operasi. Pertanyaanku tidak dijawab olehnya. 'Tenang, Adit, ada Allah yang melindungi Ibu,' batinku menenangkan diri. Musibah ini terjadi begitu cepat, sudah takdir yang membuat aku mengalami kecelakaan, padahal sudah hampir menemukan Lira, istriku. Bagaimana kabarnya? Apa Lira baik-baik saja? Andara, apakah putriku dalam kondisi sehat? Terakhir kami menuju rumah sakit yang
Aku berdecak kesal. Mas Gani pun mengamati tingkah dan jawaban yang aku lontarkan. Tega dan tidak tega aku harus bertindak tegas pada Bulek, supaya ia lebih paham akan arti saudara yang sesungguhnya. Selama ini ia memanfaatkan kata-kata saudara kandung pada ibuku."Bulek, saat ini aku terkapar di rumah sakit, Ibu koma, Lira pun kondisinya melemah. Jadi maaf, aku tidak bisa bantu, di sini banyak urusan yang lebih penting, lagian semua berantakan juga akibat perbuatan Bulek Marni dan Sekar," tegasku padanya. Sebenarnya hati ini tidak ingin mengatakan bahkan menyalahkan orang lain atas musibah yang kami alami, tapi aku sudah sangat kesal padanya."Kamu kenapa, Dit? Mbak Sani juga kenapa bisa koma? Lira, apakah ia baik-baik saja?" Pertanyaan yang ia lontarkan bertubi-tubi."Aku kecelakaan dan kini Ibu koma, kalau Lira, ternyata ia punya pernah didiagnosis kanker oleh dokter," terangku. Semoga dengan penjelasan ini Bulek Marni mengerti."Syukurlah." Ucapan Bulek mengejutkanku."Kok syukurl
"Ini benar-benar Lira?" Lagi-lagi aku tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Mata yang membuka lebar kini menyoroti Mas Gani. "Ini sungguh-sungguh, Mas? Di depan mataku ada Lira?" tanyaku meyakinkan diri sendiri. Raut wajah Mas Gani berubah senyum semringah, lalu mengangguk. Sedangkan wanita cantik yang berada di seberang pintu tersenyum sambil perlahan menghampiriku. Langkah kakinya aku hapal betul, dia melangkah ke arahku hingga akhirnya persis berada di depan mata ini. Tangannya meraih tanganku lalu dikecupnya. Kemudian, Lira menurunkan lutut supaya sejajar denganku yang duduk di kursi roda. "Assalamualaikum, Mas, kamu bagaimana kabarnya?" tanya Lira membuatku hampir tak percaya. Mas Gani mengantarkan istriku ke sini? Itu artinya beliau tak lagi memisahkan aku dengan Lira. "Waalaikumsalam, kamu baik-baik aja, Sayang, maafkan aku ya saat istri sakit malah nggak ada di sampingnya," ucapku padanya. Ia terus menciumi telapak tangan ini tanpa henti. Dagunya agak mendongak
Dengan cepat dokter dan suster masuk ke dalam ruangan ICU. Sedangkan aku dan Lira keluar ruangan untuk menunggu dokternya melakukan pemeriksaan. "Semoga ini pertanda baik," ucapku pada Lira dan Mas Gani. Mereka mengaminkan ucapanku. Kemudian Lira berdiri di belakang sambil memijat bahuku pelan. "Aku bahagia kalau kamu bahagia, Mas. Wanita yang tersisa satu-satunya dalam keluarga pasti sangat diharapkan kesembuhannya," ungkap Lira. "Ya, aku punya tiga wanita hebat, Ibu, kamu, dan Andara, ketiganya adalah belahan hatiku," timpalku sambil mendongak ke belakang. "Kita doakan semua kembali seperti dulu, kumpul bersama-sama lagi," ungkap Lira. Mas Gani menyoroti jam yang melingkar di tangannya. Tampaknya sudah setengah jam lebih dan Lira harus kembali ke ruangannya. "Kamu harus kembali ke ruangan, Lira, aku lihat Mas Gani sudah kelihatan gusar," suruhku. "Iya, khawatir suster memanggil lewat pengeras suara," jawab Mas Gani. Ia sudah terlalu baik, merawat dan mendampingi istriku deng
"Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena
"Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat
Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay
"Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan
Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan
"Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o
"Mas, aku mohon jangan matikan sambungan teleponnya, aku ingin dengar percakapan kalian," pintaku. "Ya, Dit. Tapi aku urus Anggi dan Bu Marni dulu," jawab Mas Gani. Kemudian, aku dengar Lira langsung memanggil putriku. "Andara!" Teriakan Lira terdengar sangat panik. "Bulek, sudah apakan Andara?" tanya Lira kedengaran marah. "Bulek nggak apa-apain Andara, aku hanya ingin berbuat baik, menebus kesalahan yang pernah kulakukan," jawabnya. "Bohong! Bukankah Tante tadi ingin mencekik anaknya Lira dan Adit?" Itu suara Anggi, aku tahu karena pernah ditelepon olehnya. "Apa-apaan kamu, Anggi? Kamu jangan fitnah orang!" Bulek menyanggah tuduhan yang Anggi lontarkan. Aku hanya bisa menghela napas di sini, merasa jadi orang yang tak berguna sama sekali, tidak bisa melakukan apa-apa di atas kursi roda. Ibu menarik tanganku, begitu juga dengan kedua mertuaku yang ikut merangkul bahu ini. "Jangan cemas dan risau, di sana ada Lira dan Gani," pesan mertuaku. Aku dengarkan lagi ponsel genggam
"Bulek emang sempat ke sini, tapi sekarang sudah tidak ada," sahutku lagi. "Mas, Sekar kepleset, Mas, tadi istri keduaku tak sengaja menumpahkan minyak, sekarang Sekar ada di rumah sakit," ucap Tri seketika mengingat kejadian delapan bulan silam, dimana Bulek Marni mengabarkanku bahwa Bapak terpeleset. "Ya Allah, terus gimana kondisi Sekar? Gimana ya, coba nanti aku hubungi Bulek Marni juga dan cari tahu keberadaannya," timpalku. "Sekar pasca melahirkan, Mas, dokter bilang hanya keajaiban yang dapat membuat Sekar bertahan.""Apa jangan-jangan istri keduamu itu sengaja, Tri? Maaf ya bukan nuduh," kataku seadanya. "Dia bilang nggak sengaja, Mas," sahut Tri. "Lantas kamu percaya, bukankah kamu adalah salah satu saksi juga sewaktu Bulek Marni menumpahkan minyak dan membuat bapakku meninggal dunia?" tanyaku balik. Tri terdiam beberapa detik. "Astaga, Mas, apa mungkin tuduhan itu kini berbalik padaku?" "Maksud kamu apa? Kok tuduhan?" tanya Tri. "Waktu itu aku sempat nuduh Bu Marni j
Aku jadi penasaran dengan apa yang kulihat dan dengar barusan. "Surat ini sudah tidak berlaku lagi, Anggi!" Lira bicara dengan dagu sedikit terangkat. "Nggak bisa gitu dong, Gani, tolong beritahu adikmu ini," suruh Anggi. Mas Gani terlihat melerai, tangannya ia bentangkan. "Cukup. Kalian semua diam, dengarkan saya bicara!" Mas Gani menghentikan pertengkaran mereka. Aku meneliti tidak jauh dari mereka, tapi tidak terlalu dekat juga dengan tempat perdebatan istriku dan Anggi. Posisi kami jaraknya sekitar lima meter. "Dengar Anggi. Perjanjian ini bisa diputuskan sewaktu-waktu, lagian kan kamu tidak rugi," ucap Mas Gani. Aku semakin penasaran dengan apa yang mereka perdebatkan. "Nggak rugi kamu bilang, waktu dan tenaga sudah cukup menguras," jawab Anggi. Lira tampak menunjukkan kemarahan, jari telunjuk ia arahkan pada Anggi. "Kamu itu dibayar, Anggi, jadi tidak rugi ya." Lira melotot saat mengatakan itu. "Ya, dibayar atas pekerjaan," jawab Anggi. "Pekerjaan yang sangat ekstrim,