Share

Bab 25

Penulis: HERI_NAYALBIL
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kemudian, suster datang menghampiriku. Ia dan petugas lainnya mendorong kereta dan membawaku ke suatu tempat, yaitu ruang operasi.

"Saya mau dioperasi, Sus?" tanyaku padanya.

"Iya, Pak. Barusan saudara Pak Adit sudah menandatangani persetujuan untuk dilakukan operasi, kaki Bapak itu patah, harus segera ditangani," terang suster.

"Saudara? Siapa, Sus?"

"Nggak tahu, polisi yang menghubungi saudara Bapak. Sekarang Pak Adit tenang, tidak perlu memikirkan apa-apa," suruh suster.

"Lantas bagaimana kondisi Ibu saya, Sus?" tanyaku padanya.

Suster terdiam, lalu ia memanggil rekannya untuk menggantikan bajuku dengan pakaian operasi. Pertanyaanku tidak dijawab olehnya. 'Tenang, Adit, ada Allah yang melindungi Ibu,' batinku menenangkan diri.

Musibah ini terjadi begitu cepat, sudah takdir yang membuat aku mengalami kecelakaan, padahal sudah hampir menemukan Lira, istriku. Bagaimana kabarnya? Apa Lira baik-baik saja? Andara, apakah putriku dalam kondisi sehat? Terakhir kami menuju rumah sakit yang
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muhajaroh Dulkholik
ya Allah walaupun cuma novel sungguh tetap bikin baper
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 26

    Aku berdecak kesal. Mas Gani pun mengamati tingkah dan jawaban yang aku lontarkan. Tega dan tidak tega aku harus bertindak tegas pada Bulek, supaya ia lebih paham akan arti saudara yang sesungguhnya. Selama ini ia memanfaatkan kata-kata saudara kandung pada ibuku."Bulek, saat ini aku terkapar di rumah sakit, Ibu koma, Lira pun kondisinya melemah. Jadi maaf, aku tidak bisa bantu, di sini banyak urusan yang lebih penting, lagian semua berantakan juga akibat perbuatan Bulek Marni dan Sekar," tegasku padanya. Sebenarnya hati ini tidak ingin mengatakan bahkan menyalahkan orang lain atas musibah yang kami alami, tapi aku sudah sangat kesal padanya."Kamu kenapa, Dit? Mbak Sani juga kenapa bisa koma? Lira, apakah ia baik-baik saja?" Pertanyaan yang ia lontarkan bertubi-tubi."Aku kecelakaan dan kini Ibu koma, kalau Lira, ternyata ia punya pernah didiagnosis kanker oleh dokter," terangku. Semoga dengan penjelasan ini Bulek Marni mengerti."Syukurlah." Ucapan Bulek mengejutkanku."Kok syukurl

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 27

    "Ini benar-benar Lira?" Lagi-lagi aku tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Mata yang membuka lebar kini menyoroti Mas Gani. "Ini sungguh-sungguh, Mas? Di depan mataku ada Lira?" tanyaku meyakinkan diri sendiri. Raut wajah Mas Gani berubah senyum semringah, lalu mengangguk. Sedangkan wanita cantik yang berada di seberang pintu tersenyum sambil perlahan menghampiriku. Langkah kakinya aku hapal betul, dia melangkah ke arahku hingga akhirnya persis berada di depan mata ini. Tangannya meraih tanganku lalu dikecupnya. Kemudian, Lira menurunkan lutut supaya sejajar denganku yang duduk di kursi roda. "Assalamualaikum, Mas, kamu bagaimana kabarnya?" tanya Lira membuatku hampir tak percaya. Mas Gani mengantarkan istriku ke sini? Itu artinya beliau tak lagi memisahkan aku dengan Lira. "Waalaikumsalam, kamu baik-baik aja, Sayang, maafkan aku ya saat istri sakit malah nggak ada di sampingnya," ucapku padanya. Ia terus menciumi telapak tangan ini tanpa henti. Dagunya agak mendongak

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 28

    Dengan cepat dokter dan suster masuk ke dalam ruangan ICU. Sedangkan aku dan Lira keluar ruangan untuk menunggu dokternya melakukan pemeriksaan. "Semoga ini pertanda baik," ucapku pada Lira dan Mas Gani. Mereka mengaminkan ucapanku. Kemudian Lira berdiri di belakang sambil memijat bahuku pelan. "Aku bahagia kalau kamu bahagia, Mas. Wanita yang tersisa satu-satunya dalam keluarga pasti sangat diharapkan kesembuhannya," ungkap Lira. "Ya, aku punya tiga wanita hebat, Ibu, kamu, dan Andara, ketiganya adalah belahan hatiku," timpalku sambil mendongak ke belakang. "Kita doakan semua kembali seperti dulu, kumpul bersama-sama lagi," ungkap Lira. Mas Gani menyoroti jam yang melingkar di tangannya. Tampaknya sudah setengah jam lebih dan Lira harus kembali ke ruangannya. "Kamu harus kembali ke ruangan, Lira, aku lihat Mas Gani sudah kelihatan gusar," suruhku. "Iya, khawatir suster memanggil lewat pengeras suara," jawab Mas Gani. Ia sudah terlalu baik, merawat dan mendampingi istriku deng

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 29

    Dia mulai melangkah ke arah kami, semakin dekat wanita itu mengayunkan kakinya. "Aku Anggi, kalau kamu tidak hapal namaku itu hal wajar, karena kita baru sekali bertemu, dua tahun silam, saat itu aku tak sengaja meninggalkan tas yang berisikan dokumen penting di atas meja. Kamu mengejarku hingga parkiran. Apa kamu ingat, Aditya?" tanyanya yang ternyata pernah aku tolong. Aku memutar memori kala itu, hanya saja memang aku selalu diajarkan untuk melupakan setiap kebaikan yang kita lakukan. "Maaf ya kalau aku lupa, oh jadi hanya menolong berteriak dan mengejar kamu tapi dibalas dengan membayar semua biaya rumah sakit, rasanya itu malah membuatku jadi utang budi," jelasku padanya. "Berkas itu bernilai milyaran rupiah, kalau kamu tidak mengembalikannya kemungkinan aku sudah jadi gembel. Sudah dua tahun aku mencari kamu, akhirnya Tuhan pertemukan kita dalam kecelakaan kemarin, tak sengaja aku ada di belakang saat mobilmu terjadi kecelakaan, aku ingat-ingat dan meminta orangku untuk seli

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 30

    "Syukurlah, jadi kita bisa pantau dari sini," ucapku pada Lira. "Kok pinter sih ngerti tentang penyadap segala?" Aku sengaja mengejeknya. "Mas Gani yang selalu bawakan aku benda kecil ini, jika suatu saat bertemu orang yang pernah memfitnah aku, jadi sekarang disuruh lebih hati-hati, Mas," timpal Lira. Kemudian, aku menarik pergelangan tangan Lira ke pojokan. Meminta dia membuka ponselnya supaya bisa memantau segala ucapan Bulek di ruangan ICU. Lira membukanya dan mulai mengajak aku mendengarkan suara Bulek Marni yang sudah terdengar. Aku duduk di kursi roda sedangkan Lira duduk di kursi tunggu yang berada di pojok. "Mbak, kamu apa kabar?" Bulek mulai bersuara. Aku dan Lira menyimak hingga teliti di setiap kata-katanya. "Mbak, aku sedih kamu sakit, tapi ada rasa senang juga karena kita sama-sama terpuruk."Setelah itu terdengar sangat keras Bulek Marni menghela napas kasar. "Tahu nggak, Mbak. Aku nggak punya rumah, begitu juga suami. Sekarang kami tinggal di rumah mertuanya Sek

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 31

    Lira tiba-tiba menyorotku sambil menautkan kedua alisnya, dagu dan bibirnya seraya menunjuk ke arah Bulek Marni. Ya, aku tahu maksudnya, dia pasti bertanya-tanya maksud Bulek Marni sebenarnya apa. Sebab, aku pun mempertanyakan hal itu. "Bulek, nggak usah repot-repot mengurus Ibu di sini. Ada aku yang bolak-balik ke sini. Bukankah Sekar lebih membutuhkan ibunya, ia pasca melahirkan, tentu butuh Bulek," sambung Lira. "Ya, Sekar kan sudah ada mertuanya. Jadi jangan takut dan khawatir lagi," jawab Bulek. Aku dan Lira terdiam. Sepertinya tidak ada lagi cara untuk mencegah dia di sini. "Kalau begitu, Tante ikut aku sekarang aja, karena dua jam lagi ada meeting, nanti Tante di apartemenku ya," cetus Anggi. "Oh tentu, nanti aku akan merapikan apartemen kamu, pasti berantakan," celetuk Bulek membuat Anggi terkekeh. "Tante tahu aja, kebetulan Bi Ayu lagi mudik," timpal Anggi. Aku menghela napas, berharap Bulek Marni tidak berbuat yang aneh dan memalukan di sana. Aku khawatir malah nama b

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 32

    "Bu, memang Bulek Marni bicara apa?" tanyaku. Namun Lira melirik ke arahku dan menggelengkan kepalanya. Aku paham maksudnya, ia memintaku untuk stop bertanya-tanya. "I-ibu," ucapnya tapi langsung aku berhentikan dengan jari telunjuk. "Bu, istirahat dulu ya, biar bisa cepat pulih, jangan mikir keras dulu," cegahku. Kemudian, Lira membelai pipinya disertai senyuman merekah. "Ibu akan baik-baik aja, kami akan menjaga Ibu 24 jam penuh, supaya tidak timbul ketakutan lagi," ucap Lira supaya ibuku tenang. "Kita keluar ya, Bu. Nanti kita ada di situ." Aku menunjukkan kaca. "Sebentar lagi juga Ibu bakal pindah ke ruangan rawat inap. Biaya rumah sakit sudah ditanggung asuransi," sambar Lira. "Iya, Bu. Kita harus bersyukur karena dipertemukan orang baik, namanya Anggi, dia yang menanggung semuanya. Katanya sih wanita itu utang budi, tapi aku nggak ingat pernah nolong dia," ucapku mengatakan sejujurnya. Walaupun Anggi sudah menceritakan bagaimana pertemuan kami, tapi aku masih belum ingat

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 33

    Mas Gani tiba-tiba melihatku yang agak sedikit terlihat dari celah pintu. "Itu, suamimu datang, bicara aja ke Adit langsung kalau kamu cemburu pada Anggi," jelas Mas Gani membuat Lira salah tingkah. "Siapa yang cemburu sih? Nggak, aku nggak cemburu, Mas Gani jangan ngada-ngada," jawab Lira dengan memasang wajah malu. "Sudahlah aku mau masuk, makasih bajunya," tambahnya kemudian pergi. Ia masuk ke dalam melewati aku yang berada di belakang pintu. Namun, Mas Gani masih berdiri di depan ruangan VVIP. "Ikhlas dengan tidak rela itu beda kan, Mas? Kenapa Lira tadi berkata seperti itu pada Mas Gani?" Rasa penasaran yang membuat pertanyaan itu terlontar dari mulut ini. "Ya, beda, tapi sama-sama diselimuti rasa cemburu, sadar nggak sih, Dit, Lira takut kehilangan kamu," timpal Mas Gani. Aku tertunduk sambil memandang kaki ini yang tak bisa melakukan aktivitas. "Yang seharusnya takut kehilangan itu aku, dengan kaki yang dibungkus dan tidak bisa melakukan aktivitas selama dua bulan, aku b

Bab terbaru

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 44

    "Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 43

    "Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 42

    Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 41

    "Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 40

    Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 39

    "Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 38

    "Mas, aku mohon jangan matikan sambungan teleponnya, aku ingin dengar percakapan kalian," pintaku. "Ya, Dit. Tapi aku urus Anggi dan Bu Marni dulu," jawab Mas Gani. Kemudian, aku dengar Lira langsung memanggil putriku. "Andara!" Teriakan Lira terdengar sangat panik. "Bulek, sudah apakan Andara?" tanya Lira kedengaran marah. "Bulek nggak apa-apain Andara, aku hanya ingin berbuat baik, menebus kesalahan yang pernah kulakukan," jawabnya. "Bohong! Bukankah Tante tadi ingin mencekik anaknya Lira dan Adit?" Itu suara Anggi, aku tahu karena pernah ditelepon olehnya. "Apa-apaan kamu, Anggi? Kamu jangan fitnah orang!" Bulek menyanggah tuduhan yang Anggi lontarkan. Aku hanya bisa menghela napas di sini, merasa jadi orang yang tak berguna sama sekali, tidak bisa melakukan apa-apa di atas kursi roda. Ibu menarik tanganku, begitu juga dengan kedua mertuaku yang ikut merangkul bahu ini. "Jangan cemas dan risau, di sana ada Lira dan Gani," pesan mertuaku. Aku dengarkan lagi ponsel genggam

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 37

    "Bulek emang sempat ke sini, tapi sekarang sudah tidak ada," sahutku lagi. "Mas, Sekar kepleset, Mas, tadi istri keduaku tak sengaja menumpahkan minyak, sekarang Sekar ada di rumah sakit," ucap Tri seketika mengingat kejadian delapan bulan silam, dimana Bulek Marni mengabarkanku bahwa Bapak terpeleset. "Ya Allah, terus gimana kondisi Sekar? Gimana ya, coba nanti aku hubungi Bulek Marni juga dan cari tahu keberadaannya," timpalku. "Sekar pasca melahirkan, Mas, dokter bilang hanya keajaiban yang dapat membuat Sekar bertahan.""Apa jangan-jangan istri keduamu itu sengaja, Tri? Maaf ya bukan nuduh," kataku seadanya. "Dia bilang nggak sengaja, Mas," sahut Tri. "Lantas kamu percaya, bukankah kamu adalah salah satu saksi juga sewaktu Bulek Marni menumpahkan minyak dan membuat bapakku meninggal dunia?" tanyaku balik. Tri terdiam beberapa detik. "Astaga, Mas, apa mungkin tuduhan itu kini berbalik padaku?" "Maksud kamu apa? Kok tuduhan?" tanya Tri. "Waktu itu aku sempat nuduh Bu Marni j

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 36

    Aku jadi penasaran dengan apa yang kulihat dan dengar barusan. "Surat ini sudah tidak berlaku lagi, Anggi!" Lira bicara dengan dagu sedikit terangkat. "Nggak bisa gitu dong, Gani, tolong beritahu adikmu ini," suruh Anggi. Mas Gani terlihat melerai, tangannya ia bentangkan. "Cukup. Kalian semua diam, dengarkan saya bicara!" Mas Gani menghentikan pertengkaran mereka. Aku meneliti tidak jauh dari mereka, tapi tidak terlalu dekat juga dengan tempat perdebatan istriku dan Anggi. Posisi kami jaraknya sekitar lima meter. "Dengar Anggi. Perjanjian ini bisa diputuskan sewaktu-waktu, lagian kan kamu tidak rugi," ucap Mas Gani. Aku semakin penasaran dengan apa yang mereka perdebatkan. "Nggak rugi kamu bilang, waktu dan tenaga sudah cukup menguras," jawab Anggi. Lira tampak menunjukkan kemarahan, jari telunjuk ia arahkan pada Anggi. "Kamu itu dibayar, Anggi, jadi tidak rugi ya." Lira melotot saat mengatakan itu. "Ya, dibayar atas pekerjaan," jawab Anggi. "Pekerjaan yang sangat ekstrim,

DMCA.com Protection Status