Perkataan suaminya membuat Zoya mengernyit. Mantan istri Presdir JK Grup? Kaindra mengangguk. "Benar, sebaiknya kita bicarakan di tempat lain." "Ayo ke ruanganku saja." Prazta yang juga datang segera menginterupsi. "Apa aku boleh ikut dan mendengarkan juga?" Zoya bertanya hati-hati, khawatir Arvin akan menyembunyikan informasi penting darinya."Tentu saja, Love, kamu dan Mia akan ikut. Grace, tidak apa-apa kalau kami meninggalkanmu dengan anak-anak, kan? Prazta akan memberitahumu segalanya nanti." Grace yang sebenarnya juga sedang berada di pelukan suaminya segera mengangguk. "Ayo, Sayang, Papa harus bekerja lagi," ucapnya lembut pada gadis kecil di gendongan Prazta.Allen merengut, terlihat jelas ingin menggeleng dan bersikeras tetap bersama ayahnya, tapi melihat raut wajah orang-orang dewasa di sekitarnya yang tampak serius membuatnya mau tak mau mengangguk, mengulurkan tangan dan beralih pada pelukan ibunya."Tidak apa-apa, nanti Papa akan bacakan buku dongeng sebelum kamu tidu
"Bagaimana mungkin? Mustahil kalau semuanya hanya kebetulan, kan?" Zoya membuka suara setelah cukup lama terdiam, kerongkongannya terasa kering saat mengingat semua cerita Kaindra."Sulit untuk memastikannya karena baik Zaidan mau pun Dirgantara tidak ada yang terlibat dengan Veuster dan Thrixx. Aku memang ditugaskan menjadi wakil di JK Grup, tapi itu hanya sementara, tidak ada perjanjian apa pun antara Veuster dan Dirgantara." Kaindra menghela napas pelan. Meski kejadian demi kejadian di rempat itu seolah saling terhubung, entah bagaimana Kaindra ragu untuk saling menghubungkannya."Lalu, apa ada hal lain yang terjadi setelah penculikan?" Pertanyaan Arvin membuat Kaindra termenung. "Ada," ucapnya cepat. "Baru kemarin ada sebuah paket datang ke kediaman Dirgantara, pengirimnya tertulis sebagai Tuan Arkan, dikirimkan kepada adik perempuannya. Tapi, Tuan Arkan tidak pernah mengirimkan hadiah apa pun." "Apa mereka menerima lukisan juga?" tanya Mia sedikit tidak sabar, jantungnya berdet
"Bagaimana?" Wanita anggun dalam balutan gaun hitam tanpa lengan itu menatap pantulan dirinya di cermin, senyumnya tampak puas."Sesuai rencana. Tapi, wanita bernama Diana itu sepertinya tidak bisa jadi pion terus menerus, lawannya terlalu kuat untuknya."Wanita dengan netra coklat terang yang tampak kosong itu menatap pada ponsel di atas meja rias yang menghubungkan dengan orang kepercayaannya."Bukan lawannya yang kuat, Zhian, tapi wanita itu yang lemah. Untuk saat ini dia terus memainkan perannya dengan sempurna, karena sekarang orang-orang Kalandra dan Veuster itu pasti sedang kebingungan. Tapi, kalau wanita itu membuatku harus melawan keluarga Dirgantara dan Zaidan juga, segera singkirkan dia. Lagi pula, aku tidak berniat menjadikannya bagian dari diriku yang sempurna. Sudah cukup kubiarkan dia menggunakan ide-ideku," ucap wanita itu seraya melirik sebuah foto yang juga diletakkan di atas meja rias, senyumnya terulas sempurna. "Omong-omong, gadis kecilku itu pasti sudah menerima
Sera menatap salah satu orang kepercayaannya dengan pandangan menusuk, seolah hidup lelaki itu berakhir kalau benar-benar membawa berita tidak menyenangkan."Apa yang ingin kau laporkan? Lalu, Zhian di mana?""Zayn--maksud saya Zhian sedang melakukan pengintaian seperti yang Anda perintahkan dan dia ingin aku memperlihatkan ini dan melaporkan beberapa hal," ucap pria bernama Dei, seraya menyerahkan sebuah amplop coklat besar. Diam-diam lelaki itu menekan kuat gigi-giginya demi menghilangkan gemetar di tubuhnya karena salah menyebut nama. Wanita yang menerima amplop tampak berdecih jengkel, namun tetap membukanya. Netra coklat wanita itu terlihat berkilat setelah melihat beberapa foto di dalamnya."Hoo ... mereka memutuskan untuk bersembunyi di sana?" tanyanya seraya terkekeh sambil melihat foto-foto Zoya, Mia dan dua anak-anak yang sedang berjalan sambil bergandengan, memasuki sebuah mobil.Sera terbahak melihat foto-foto di tangannya, "Arvin itu ternyata sudah tumbuh dewasa, ya? Dia
Wanita dengan tatapan arogan itu menunjuk pada sebuah koper besar di hadapannya, membuat lelaki yang baru datang setelah ditelepon itu sedikit mengerutkan kening."Apa isi koper itu, Nyonya? Saya harus melakukan apa?" tanya pria yang memiliki nama samaran Tyer sambil melihat bergantian antara koper abu-abu besar dan wanita bersurai panjang yang kini sedang bersedekap."Buang koper itu di laut, pastikan tidak diketahui siapa pun dan jangan pernah membukanya." Sera memberi perintah.Lelaki yang mengenakan jaket kulit hitam itu segera mengangguk, mengangkat koper besar di lantai dan terkejut saat merasakan beban yang cukup berat. Mainan. Tyer jelas mendengar bahwa Sera ingin membuang mainannya yang sudah rusak dan membosankan, tapi lelaki itu tidak tahu maksud dari kata 'mainan' itu sendiri."Kalau begitu saya permisi," ucap Tyer seraya membungkuk cukup rendah sebelum menarik koper, tidak menyadari sejumput rambut keluar dari sela ritsleting.Sera menatap kepergian Tyer dengan ekspresi b
Bibir tipis merah muda itu mencoba meraup udara, bernapas dengan cepat saat akhirnya terlepas dari kungkungan bibir pria yang kini berpindah menuju leher. Wanita itu terengah saat tangan besar pria di atasnya menyusup ke balik blouse putih yang dikenakannya."Arvin," panggil Zoya pelan, menahan kepala Arvin yang lidahnya masih betah membasahi leher jenjangnya. "Berhenti!" serunya seraya menarik rambut suaminya, membuat pria itu mendongak dan menatapnya dengan kening berkerut."Kamu tahu kalau aku tidak bisa dihentikan," ucap Arvin seraya meloloskan blouse putih Zoya dengan sangat mudah, membuat tubuh bagian atas wanita itu hanya ditutupi bra hitam berenda. Arvin menjilat bibir, pandangannya berkabut.Tangan besar dengan urat-urat menonjol itu menyentuh perut rata wanita di bawahnya, bergerak dengan lihai menuju bongkahan padat yang sudah cukup lama tidak dijamah. "Aku ke sini untuk membangunkanmu dan membawamu ke ruang makan, Mia dan yang lainnya menunggu." Zoya merasa napasnya terpu
Mia terdiam. Ia memang marah, merasa tidak dianggap dan tumbuh sedikit kebencian pada dirinya sendiri yang tidak layak untuk Kaindra. Tapi, bagaimana Mia bisa melanjutkan marahnya jika Kaindra seperti ini? Pria itu selalu meminta maaf di waktu yang tepat, tapi tidak pernah benar-benar meresmikan jenis hubungan mereka."Sejujurnya itu bukan urusanku, Tuan Muda. Anda bisa pergi ke mana pun dan melakukan apa pun, aku juga tidak berhak tahu urusan Anda. Tapi, bagaimana dengan Freya? Anda tidak meneleponnya sama sekali setelah pergi tanpa berpamitan." Kaindra menghembuskan napas pelan, sepenuhnya memahami maksud perkataan Mia. Hanya saja ... kenapa wanita itu masih saja mengatakan jika ia tidak berhak mengetahui sesuatu tentang Kaindra?"Aku sudah meminta maaf pada Freya dan memberi penjelasan padanya, jadi sekarang aku menemuimu, untuk mengatakan hal yang sama. Aku minta maaf." Kaindra menatap lekat pada Mia, mengunci mata wanita itu agar tidak beralih darinya."Sudah kubilang itu bukan
"Kenapa mereka tiba-tiba menyerang seperti ini? Padahal tidak ada laporan apa pun dari Hannes mengenai pergerakan mereka." Prazta juga segera merogoh saku jas bagian dalamnya, mengeluarkan sebuah senjata yang sama seperti milik Arvin."Entahlah, tapi sepertinya mereka sudah mengetahui tentang Hannes. Nah, sekarang, haruskah kita menyapa penyusup di belakang?" Arvin memantapkan pegangannya pada senjata api jenis raging bull yang tadi diambilnya dari dashboard.Prazta menginjak pedal gas, memberi kecepatan tinggi secara tiba-tiba, meninggalkan mobil asing di belakang.Netra gelap Arvin menajam saat mobil di belakangnya mengejar dengan kesepatan serupa. Arvin terkekeh dengan ide gilanya sendiri, tapi dia tidak bisa mundur lagi."Kau serius ingin melakukan itu?!" Prazta yang mengetahui apa yang ada di kepala Arvin hanya bisa menghela napas saat pria di sampingnya itu malah menyeringai lebar. Prazta memutar kemudi, membuat mobil yang dikendarainya tiba-tiba berputar arah hingga saling berh