“Aku ingin ke rumah sakit,” ungkap Sesil setelah dokter mengatakan tak ada yang serius dengan gejala mual muntahnya dan meresepkan obat anti mual di selembar kertas putih.Dokter itu mengerutkan alisnya tak mengerti.“Aku ingin cek USG. Usianya sudah menginjak tepat delapan belas minggu hari ini, sudah cukup untuk mengetahui jenis kelaminnya.” Wajah Sesil berubah cerah. Menatap dokter itu dan Saga bergantian meminta persetujuan.“Tapi Anda butuh istirahat ....”“Kami akan ke rumah sakit, Dok,” sela Saga sebelum dokter itu melanjutkan kata-katanya. Apa pun untuk Sesil. “Sekalian menebus resep itu.”Sesil mengangguk mantap. “Bolehkah?” tanyanya pada sang dokter yang tampak ragu. Mual dan muntahnya memang menguras banyak tenaga dan ia harus beristirahat demi memulihkan tubuhnya. Tetapi, saat ini ia begitu bersemangat.Dokter itu menatap Saga yang duduk di pinggir ranjang. M
Saga Sesil 2 *** Darah itu merembes membasahi lantai. Mengalir di bawah telapak kakinya. Biasanya ia tahan dengan segala macam rasa sakit, tapi ketika darah itu seakan menusuk-nusuk kulit di bawah kakinya, siksaannya terasa tak tertahankan. Darah itu seakan meresap di antara sela-sela kulitnya. Mengalir bersama aliran darahnya menuju jantung. Di sanalah puncak siksaan yang dibawanya. Ia tak bisa bernapas. Ia butuh udara. “Kaakkkk ...” Saga menoleh. Di antara kegelapan, suara kesakitan seorang gadis yang tak kalah menyesakkannya semakin jelas. Dengan tubuhnya yang kurus dan rambut gelapnya yang lurus menutupi sebagian wajahnya. Berbaring di antara genangan darah. Matanya biru dan gelap, tampak sendu dan basah. Menahan kesakitan yang teramat. “Tolong aku, Kak.” Tangan Rega terangkat. Mencoba meraih ke arahnya. Tapi Saga tak bisa menggerakkan tubuhnya yang kaku. Sekuat apa pun ia memiliki keinginan untuk meraih tangan dan tubuh tak berdaya itu ke dalam pelukannya, tubuhnya membeku.
“Apa yang kaulamunkan?” Saga melingkarkan lengannya di pinggang Sesil sembari mengecup leher wanita itu. Sepanjang pagi, wanita itu tampak melamun dan lebih banyak diam. Memperhatikannya interaksinya dan Kei dengan reaksi seadanya. Menjawab pertanyaannya dan Kei sekenanya saja. Dan sekarang, wanita itu memandang bagian belakang mobil yang membawa Kei pergi ke sekolah dengan pandangan yang kosong. “Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Sesil hanya menggeleng pelan. Mengangkat wajahnya ke samping dan mencium pipi Saga. “Pagi ini kalian terlihat sangat akrab.” Saga mengangkat satu alisnya. Menyadari makna yang tersirat dalam kata kalian yang wanita itu ucapkan, menyiratkan kesedihan yang berusaha istrinya pendam. “Kalian?” “Kau dan Kei,” jelas Sesil. Senyum tipis tergores dibibirnya dengan miris. Mata Saga menyipit, berusaha mendalami makna dalam suara Sesil yang terdengar tak seperti biasa. “Kenapa dengan kami?” ‘Kalian tidak membutuhkanku,’ jawab Sesil dalam hati. Wanita itu menggele
Gara-gara mulut ember Alec, Saga tiba dua jam kemudian. Tampaknya pria itu langsung pulang begitu ditelpon oleh Alec.Memastikan gosip yang dihibahkan Alec bukanlah sekedar omong kosong, pria itu langsung membawa Sesil ke rumah sakit. Seperti biasa, mereka bisa menerobos antrean karena Saga adalah ketua yayasan rumah sakit. Sesil langsung diperiksa, tanpa menggunakan tes kehamilan dia langsung naik ke ranjang untuk diperiksa dengan mesih USG. Ia positif hamil, usia kandungan memasuki tujuh minggu. Dokter bilang janinnya masih sebesar buah ceri, -dua buah ceri-. Sangat kecil, tapi makhluk itu hidup di rahimnya. Menghangatkan perutnya. Melipatgandakan hentakan kebahagiaan yang masuk ke dadanya. Tak hanya satu keajaiban, dua keajaiban langsung dianugerahkan kepadanya. Tak henti-hentinya Saga mengelus perutnya sepanjang perjalanan mereka pulang ke rumah. Meyakinkan diri bahwa anak itu benar-benar ada di perut Sesil dengan sentuhan itu. Tetapi keyakinan itu meragu ketika sampai di rumah, S
“Undangan pernikahan?” Sesil mengambil lembaran setebal setengah senti yang terletak di atas tumpukan buku di ujung meja kerja Saga. Saga mengangkat wajahnya. Melihat kertas undangan pernikahan yang diberikan Alec beberapa hari lalu. Setelah kabar tentang kematian Cage senior, Alec kembali selama seminggu dan hanya mengirim kertas sialan untuk memberitahunya bahwa pria itu ternyata masih bernapas. “Alec Cage & Alea Mahendra? Apa ini undangan pernikahan Alec?” Mata Sesil melotot tak percaya. “Untuk apa Alec menikah?” “Untuk apa pun itu bukan urusanku, apalagi urusanmu.” Saga kembali bergulat dengan lembaran kertas lebar yang nyaris memenuhi seluruh mejanya. Berisi gambar-gambar kerangka dan denah kasino baru yang akan dibangunnya. Merasa tak puas dengan tata letak seperti yang diinginkannya, Saga kembali menggulung perkamen tersebut dan menyingkirkannya dari hadapannya. Lena harus memulainya dari awal. “Dia jelas bukan jenis pria yang bisa jadi suami yang baik, Saga.” “Tidak semua
"Sesil?" Dirga berpura terkejut. Sejak wanita itu turun dari mobil, ia sudah melihatnya. Menunggu sesaat si sopir lengah dan menyelinap masuk ke toko bunga. Bukan tak merelakan, hanya saja terkadang ia merasa begitu merindukan wanita itu. "Apa yang kaulakukan di sini?" Senyum Sesil masih secerah yang ia ingat. Ingatan lima tahun yang lalu. Karena semenjak Saga mulai ikut campur tangan dalam takdirnya, wanita itu tak lagi memberinya senyum yang sama. Seluruh hati wanita itu telah menjadi milik Saga. Tak ada lagi tempat untuknya. Tak ada lagi penyesalan yang akan menyembuhkan lukanya. Dirga menunjukkan beberapa tangkai mawar putih di tangannya. "Kau?" "Aku akan menghadiri acara pernikahan... teman." Sesil meringis dalam hati dan merasa geli dengan kata teman yang diucapkannya. Tapi mungkin saja ia bisa menjadi teman istri Alec dan membantu wanita itu melarikan diri dari pernikahan yang tidak diinginkan. Sungguh, Sesik tak bisa menahan prasangka buruknya pada Alec mengingat ingatan d
Sesil turun dari mobil lebih dulu. Melihat hiasan dan sayup-sayup suara keramaian dari kejauhan dan berjalan dengan langkah penuh ketidaksabaran. “Kita tidak akan ke sana.” Saga menahan lengan Sesil begitu wanita itu hendak melangkah lebih dulu ke arah jalan setapak yang sudah diarahkan menuju halaman belakang tempat pesta sedang berlangsung. “Kenapa?” Saga menoleh ke arah salah satu pengawalnya, yang segera berjalan melewati Sesil menuju halaman belakang. “Lewat sini.” Saga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia sedang tak ingin menunjukkan diri di depan umum, terutama ketika bersama dengan Sesil yang sedang hamil dan tentu saja rentan diserang. Sepertinya di dalam rumah lebih aman. Kemudian ia membawa Sesil menuju pintu di samping rumah yang dilihatnya. “Kita tunggu di sini.” Langkah Saga terhenti ketika melihat ruangan yang kosong, yang salah satu sisi dindingnya dari kaca satu arah dan mengarah langsung ke halaman belakang. “Aku ingin melihat pengantin wanitanya dan memgucap
“Lagi?” Sesil mengangguk dengan telapak tangan di mulut, melompat dan berlari ke arah kamar mandi dengan gerakan cepat. Jantung Saga nyaris meloncat keluar dari dadanya ketika melihat Sesil melompat turun dari ranjang sebelum ia sempat bangkit untuk menggendong wanita itu ke kamar mandi. Bagaimana jika wanita itu terpeleset dan kepalanya membentur lantai. Saga pun segera berlari menyusul wanita itu yang sudah berjongkok di depan toilet. Menguncir rambut Sesil ke belakang dengan tangan kirinya dan mengusap punggung wanita itu dengan tangan kanan. Hatinya terasa diperas melihat keringat yang membubuhi kening wanita itu. Menunjukkan seberapa banyak tenaga yang terkuras untuk mengeluarkan isi perut. Ia belum pernah muntah, tak ada darah atau apa pun yang bisa membuat isi lambung keluar secara paksa. Hidupnya sudah cukup keras. Kecuali mungkin muntah darah yang diakibatkan oleh tusukan pisau di perut dari salah satu perkelahian yang tak bisa dihindari. Dan itu sudah lama terjadi, ia lup
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?