"Sesil?" Dirga berpura terkejut. Sejak wanita itu turun dari mobil, ia sudah melihatnya. Menunggu sesaat si sopir lengah dan menyelinap masuk ke toko bunga. Bukan tak merelakan, hanya saja terkadang ia merasa begitu merindukan wanita itu. "Apa yang kaulakukan di sini?" Senyum Sesil masih secerah yang ia ingat. Ingatan lima tahun yang lalu. Karena semenjak Saga mulai ikut campur tangan dalam takdirnya, wanita itu tak lagi memberinya senyum yang sama. Seluruh hati wanita itu telah menjadi milik Saga. Tak ada lagi tempat untuknya. Tak ada lagi penyesalan yang akan menyembuhkan lukanya. Dirga menunjukkan beberapa tangkai mawar putih di tangannya. "Kau?" "Aku akan menghadiri acara pernikahan... teman." Sesil meringis dalam hati dan merasa geli dengan kata teman yang diucapkannya. Tapi mungkin saja ia bisa menjadi teman istri Alec dan membantu wanita itu melarikan diri dari pernikahan yang tidak diinginkan. Sungguh, Sesik tak bisa menahan prasangka buruknya pada Alec mengingat ingatan d
Sesil turun dari mobil lebih dulu. Melihat hiasan dan sayup-sayup suara keramaian dari kejauhan dan berjalan dengan langkah penuh ketidaksabaran. “Kita tidak akan ke sana.” Saga menahan lengan Sesil begitu wanita itu hendak melangkah lebih dulu ke arah jalan setapak yang sudah diarahkan menuju halaman belakang tempat pesta sedang berlangsung. “Kenapa?” Saga menoleh ke arah salah satu pengawalnya, yang segera berjalan melewati Sesil menuju halaman belakang. “Lewat sini.” Saga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia sedang tak ingin menunjukkan diri di depan umum, terutama ketika bersama dengan Sesil yang sedang hamil dan tentu saja rentan diserang. Sepertinya di dalam rumah lebih aman. Kemudian ia membawa Sesil menuju pintu di samping rumah yang dilihatnya. “Kita tunggu di sini.” Langkah Saga terhenti ketika melihat ruangan yang kosong, yang salah satu sisi dindingnya dari kaca satu arah dan mengarah langsung ke halaman belakang. “Aku ingin melihat pengantin wanitanya dan memgucap
“Lagi?” Sesil mengangguk dengan telapak tangan di mulut, melompat dan berlari ke arah kamar mandi dengan gerakan cepat. Jantung Saga nyaris meloncat keluar dari dadanya ketika melihat Sesil melompat turun dari ranjang sebelum ia sempat bangkit untuk menggendong wanita itu ke kamar mandi. Bagaimana jika wanita itu terpeleset dan kepalanya membentur lantai. Saga pun segera berlari menyusul wanita itu yang sudah berjongkok di depan toilet. Menguncir rambut Sesil ke belakang dengan tangan kirinya dan mengusap punggung wanita itu dengan tangan kanan. Hatinya terasa diperas melihat keringat yang membubuhi kening wanita itu. Menunjukkan seberapa banyak tenaga yang terkuras untuk mengeluarkan isi perut. Ia belum pernah muntah, tak ada darah atau apa pun yang bisa membuat isi lambung keluar secara paksa. Hidupnya sudah cukup keras. Kecuali mungkin muntah darah yang diakibatkan oleh tusukan pisau di perut dari salah satu perkelahian yang tak bisa dihindari. Dan itu sudah lama terjadi, ia lup
“Nyonya, apa yang Anda lakukan tengah malam seperti ini di luar?” Salah satu pengawal berjalan mendekati Sesil begitu wanita itu menginjakkan kaki di teras rumah. “Siapkan mobil.” Pengawal itu butuh penjelasan lebih. “Cepat. Bawa aku ke ... ke ...” Sesil tak tahu ke mana dia harus pergi. Dirga tak mengatakan apa pun karena pria itu sedang dalam keadaan sekarat. “Ke sini.” Pengawal itu menatap ponsel yang diletakkan Sesil di tangannya. “Cepat kau cari tahu di mana lokasi nomor yang baru saja menelponku dan bawa aku ke sana.” “Tuan Saga ...” “Saga tidak bisa dihubungi. Dia masih di pesawat. Dan ini sangat genting. Seseorang sedang sekarat, aku harus menolongnya.” Pengawal itu tampak keberatan. “Atau kauingin aku pergi ke sana sendirian!” bentak Sesil. “Baik, Nyonya. Saya akan segera mencarinya.” “Cepat.” Tak lebih dari sepuluh menit, pengawal Saga memberitahu tahu lokasi di sekitar ini dan itu yang sama sekali tak pernah didengar oleh Sesil. Sesil pun menyuruh pengawal itu unt
Ketika keputus-asaan benar-benar nyaris membuat Sesil sekarat, akhirnya ia mendengar suara Alec memanggilnya dari arah kegelapan. Ia melihat cahaya bergerak-gerak tak jauh dari tempatnya bersimpuh. “Alec?” Sesil melempar ponselnya di rumput. Bersamaan pengawalnya yang tadi menghilang tiba-tiba muncul. Dengan napas terengah dan saat cahaya Alec menyorot wajah keduanya, Sesil bisa melihat luka lebam dan sobek di mulut pengawalnya. “Dia Alec,” cegah Sesil ketika pengawal itu hendak mengarahkan pistol ke arah Alec. “Apa yang terjadi?” Alec langsung duduk berjongkok di samping Sesil. Melihat tangan Sesil yang menekan dada Dirga sudah dipenuh darah. Pria itu menyentuhkan tangannya di leher Dirga. Sangat lemah, dan mungkin tak bisa diselamatkan melihat bagaimana banyaknya darah di sekitar tubuh Dirga juga Sesil. “Kita harus segera membawanya,” perintah Alec pada pengawal Sesil. Yang langsung menggantikan telapak tangan Sesil di dada Dirga. Wanita itu menggeleng. “Mundurlah, Sesil. Biarkan
“Atas ijin siapa kalian memasukkan pria itu ke rumahku?!” Gelegar suara Saga dari arah ruang tamu mengejutkan Sesil yang berdiri di depan kamar Dirga. Sesil memutus panggilannya dengan Alec dan bergegas menghampiri suaminya. Di ruang tamu, ia melihat Saga yang tengah berdiri di tengah ruang tamu, dengan beberapa pengawal yang sudah berjajar rapi, menunduk ketakutan. “Aku yang menyuruhnya, Saga.” Sesil menelan ketakutannya bulat-bulat hanya untuk mengganjal di tenggorokannya. Saga menoleh. Ia bisa merasakan ketakutan yang menyelimuti Sesil tapi tak cukup lihat untuk disembunyikan. Rasanya darahnya mendidih mengetahui pria itu ada di atap yang sama dengannya. Ditambah sikap kepahlawanan Sesil yang membuat titik didih di kepalanya semakin tak tertahankan menunggu jebol. “Kaupikir aku bertanya pada mereka karena tidak tahu?” Bibir Saga nyaris tak bergerak ketika mendesiskan pertanyaan retoris tersebut. Sesil menelan ludahnya, meremas tangannya sendiri. Kemarahan yang berkobar di kedua
Selalu, selalu, dan selalu. Tangisan Sesil dalam sekejap meredam semua kemarahan terpendamnya meski tak mampu melenyapkannya. Tak hanya tangis wanita itu saja. Permohonan, penyerahan, dan semua tentang Sesil selalu melemahkannya. Membuatnya tak berdaya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Semua fakta itu membuatnya merasa tak aman, keresahan yang sejak tadi siang mengganggu pikirannya, kini semakin mengganggu. Seolah Sesil masih belum ia miliki dengan seutuhnya. Ah, jika diingat, wanita itu kembali juga karena Kei. Dan ia tak pernah tahu, apakah Sesil mencintainya juga karena Kei. Seumur hidup, Saga belum pernah merasa begitu tak aman seperti ini. “Apa kau masih marah padaku?” Suara isak tangis Sesil teredam dada Saga. “Kau harus memahaminya, Sesil. Suami mana yang tidak marah melihat istrinya ...” “Aku tahu. Maafkan aku.” Saga mendengus. “Begitukah?” Sesil diam sesaat, mengangguk lalu menggeleng. Dengan gemas, Saga menahan diri untuk tidak membalas pelukan Sesil. “Kau selalu
Sesil memberengut ketika Saga menyuruh pelayan untuk memberikan piring berisi omelet pada Sesil sedangkan pria itu meminta piring lain untuk diri sendiri. Dengan tanpa selera, Sesil memaksa melahap makanannya. Tak ingin terlihat merajuk seperti anak kecil di hadapan Kei. “Bukankah Mama harus menghabiskan makanannya?” tanya Kei melihat piring Sesil yang masih tersisa setengah ketika mengatakan sudah selesai. Saga melirik piring Sesil lalu wajah wanita itu. “Habiskan, Sesil.” “Aku sudah kenyang,” jawab Sesil datar. Bangkit berdiri. “Kau belum meminum susumu.” “Perutku sudah penuh.” Sesil melangkah pergi. Saga menipiskan bibir, tapi ia tak mungkin berteriak di depan putranya. “Apa Mama marah pada Papa?” tanya Kei polos dengan mata bulatnya saat tubuh Sesil sudah menghilang dari ruang makan. “Papa akan bicara dengan mama, habiskan sarapanmu.” Saga bangkit, membungkuk sejenak untuk mengecup ujung kepala putranya sebelum menyusul Sesil. “Paman Alec akan mengantarmu ke sekolah.” Kei
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?