“Tidak habis lagi?” Saga menggeram. Membanting nampan berisi sisa makanan yang dipegang pelayan di depannya kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Tidak ada Sesil di tempat tidur, dan pintu kamar mandi terbuka setengah. Menyusul suara muntahan yang begitu keras.Saga bergegas mendatangi suara yang terdengar semakin menyiksa itu, membuka pintu kamar mandi dan membungkuk di belakang Sesil. Mengusap punggung wanita itu meski dadanya masih bergemuruh oleh kemarahan. Sudah berhari-hari wanita itu tak bisa menelan makanan lebih dari tiga suap dan lebih banyak yang wanita itu muntahkan. Bersikeras tak ingin ke rumah sakit. Saga yakin berat badan wanita itu sudah turun beberapa kilo. Jika keadaan ini terus berlanjut, pasti akan membuat anak di perut Sesil berada dalam bahaya.Sesil mengusap bibirnya dengan punggung tangan sambil menengok ke belakang. Matanya berair dan keringat membasahi seluruh wajah. Kehilangan tenaga bahkan untuk bersuara.Saga mengangkat tubuh lemah itu dalam gendongann
Ketiganya membeku, keheningan membentang di antara ketiganya dalam perjalanan Sesil menutup jarak di antara mereka dan berhenti tepat di samping Saga, menatap dokter Juan. “Jadi Dirga sudah bangun?” Sekali lagi Sesil mengulang pertanyaan tersebut karena ketiganya membisu akan kedatangannya. Dokter Juan mendapatkan satu kedipan mata dari Saga, pria itu langsung mengangguk sekali dan berpamit. Sesil pun beralih pada Alec dan Saga yang tetap bergeming. Saga dengan kemarahan yang terpendam sedangkan Alec terlihat salah tingkah. Tak ingin terlihat memihak Sesil dengan kemarahan Saga yang sangat jelas. Rasanya pertengkaran Saga dan Sesil belum pernah terasa begitu menyesakkan seperti ini. Ya, ia tahu pemicunya. Ada Dirga di balik pintu yang ada di belakang mereka. Sesil menunggu jawaban yang sia-sia. Ia menyelipkan tubuhnya di antara Saga dan Sesil, hendak meraih gagang pintu untuk memastikan apa yang baru didengarnya. Tetapi pergelangan tangannya ditangkap oleh Saga dan ditarik menjauh
Saga dan Sesil memucat menemukan Kei yang berdiri di ambang pintu ruang perawatan yang masih terbuka. Ketegangan di antara keduanya pun terpaksa dikendorkan. Wajah keduanya tampak melunak. Saga menaikkan Sesil kembali ke tempat tidur kemudian berjalan keluar untuk menggendong sang putra. Bersamaan dengan Alec yang muncul dari lorong. Alec segera menyadari ada yang tidak beres menangkap raut tenang yang dipaksaan di wajah Saga. Ia bertanya ada apa tanpa suara pada Saga. “Kenapa kau membawanya kemari?” “Dia bersikeras ingin melihat Sesil. Kau tahu terkadang dia mendapatkan sifat keras kepalanya seperti Sesil, kan?” jawab Alec setengah berbisik. Saga hanya diam, kemudian memberi isyarat gerakan ke dalam ruang perawatan Sesil. Setelah Alec masuk dan menutup pintu di belakangnya, Saga berjongkok di depan Kei, menyejajarkan wajah mereka dan kedua tangan memegang tangan mungil sang putra. “Kenapa papa berteriak pada mama?” Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Kei dengan
Benar saja, setelah mengetahui keadaan Dirga jauh lebih baik dan akan menjadi lebih baik lagi. Kesehatan Sesil pun berkembang pesat. Stres berlebih karena kekhawatiran yang tak bisa dilepaskan, perlahan mereda. Sesil pun berkonsentrasi meredakan kekhawatiran pada kandungannya dan fokus untuk menyembuhkan diri. Setelah empat hari, tekanan darah wanita itu kembali normal dan janin dalam kandungannya pun keadaannya sudah lebih kuat. Saga menekan kecemburuannya ketika benaknya berpikir bahwa keadaan Dirga berperan cukup besar dalam kestabilan emosi istrinya. Menyadari bahwa ikatan Sesil dan Dirga tak semudah itu akan terputus begitu saja. Ya, Dirga mencintai Sesil dengan tulus, begitu pun sebaliknya. Terkadang ia berpikir, bahwa semua alasan yang dimiliki Sesil untuk kembali ke pelukannya hanyalah Kei, pun dengan Sesil yang mengatakan mencintai dirinya. Tapi jelas Dirga memiliki porsi tersendiri di hati wanita itu. Wanita itu tak bisa mengabaikan keberadaan Dirga begitu saja saat pria i
Saat Saga masuk ke kamarnya, Sesil sudah berdiri di tengah ruangan dan hendak menghambur ke arahnya.“Kau tidak tidur?”Sesil mengusap bibirnya dengan punggung tangan. “Aku sedikit mual,” jawabnya sambil mengamati raut wajah Saga yang mendadak kusut setelah menemui Dirga.Saga menghampiri wanita itu dan menyelipkan helaian rambut Sesil yang berantakan di sekitar wajah ke belakang teling. Rasanya hatinya masih kesal melihat wanita itu kesusahan karena pengaruh kehamilan. “Istirahatlah. Aku akan menyuruh pelayan membawakan sesuatu untuk menghilangkan rasa pahit di mulutmu.”Sesil hanya mengangguk singkat. Pandangannya masih menelisik kekusutan di wajah Saga dan kekhawatirannya terhadap Dirga lagi-lagi sulit untuk disembunyikan. “Kenapa? Ada masalah dengan Dirga?”Gerakan tangan Saga di rambut Sesil berhenti, matanya mengerjap membalas tatapan menelisik wanita itu yang lebih kuat. “Tidak.”Sesil jelas tak percaya dan ia tahu Saga pun tak berpikir dirinya akan percaya. Meski Dirga sudah b
Cukup lama Sesil berdiri tercenung di teras, hingga merasa kedinginan karena baru menyadari pakaian tidurnya yang tipis. Ia pun masuk ke dalam dan berbaring di sofa panjang, sembari menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan jam dua pagi. Rasa kantuk yang mulai datang membuatnya berbaring hingga terlelap. “Nyonya?” Sesil terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya pelan dan melihat salah satu pelayan yang berdiri di sampingnya. Saat itulah ia menyadari ia tidak tidur di tempat tidur. Pandangannya mengarah keluar, melihat hari yang sudah mulai terang. Sesil bangun terduduk dan menelaah ingatan yang membuatnya tertidur di tempat ini. Saga bermimpi buruk dan pergi begitu saja. “Suamiku sudah pulang?” “Belum, Nyonya.” “Jam berapa sekarang?” “Enam.” “Kei?” “Belum bangun.” Sesil pun beranjak dan berjalan ke arah tangga. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika pandangannya melirik ke lorong di samping tangga. Tampak mempertimbangkan sejenak dan mengurungkan niat untuk langsung
“Kenapa? Apakah dia masih mempengaruhi istrimu?” Salah satu alis Arga terangkat. “Pikirkan jika aku yang bermalam di rumahmu.” Seringai Saga tersungging dengan cara yang licik. “Hanya satu malam.” Raut wajah Arga segera membeku , matanya memicing tajam. “Dia adik iparmu.” Saga hanya mengedikkan bahu. Yang membuat ekspresi Arga semakin tegang. Tetapi ia tetap berusaha terlihat setenang mungkin. Buka Saga yang menginginkan Reynara, tapi Reynaralah yang pernah sangat mengejar Saga. Pun dengan pernikahan mereka yang berjalan dengan penuh ketenangan selama lima tahun ini, tetapi saja kecemburuan itu ada jika menyangkutkan antara Saga dan Reynara. Dan ia paham apa yang dirasakan Saga saat ini dengan keberadaan Dirga di rumah ini. “Kami sudah memiliki anak.” “Aku sudah memiliki Kei, dan apa kau tahu berapa yang ada di perut Sesil sekarang?” Kedua mata Arga membelalak, jika satu tak mungkin Saga menanyakan hal itu kepadanya. “Kembar?” Saga mendesah panjang. Bahkan setelah semua ikatan
“Ada apa?” Saga menutup pintu di sampingnya. “Seseorang tertangkap di kasino. Anak buah Jimi. Sepertinya pria itu memiliki hubungan dengan pimpinan gelap lainnya.” “Apa maksudmu?” “Mereka mengincar Dirga.” “Ini tak hanya perebutan kekuasaan di perusahaan Dirga?” Arga menggeleng. “Kupikir ada hubungannya dengan perdagangan yang beroperasi di bawah tanah. Kita akan mengorek informasi pria itu lebih dulu sebelum mengonformasinya lebih dulu pada Dirga. Aku yakin Dirga mengendus sesuatu, itulah sebabnya mereka mengincar nyawanya.” Kerutan di kening Saga menukik semakin tajam, berpikir lebih keras. Menyelidiki tikus-tikus bawah tanah bukanlah pekerjaan yang asing bagi mereka. Tetapi sepertinya kali ini lebih serius. “Aku tak akan melepaskan cecunguk Jimi. Beraninya dia menyentuh Rega,” gumam Arga bersumpah. “Aku akan membunuh cecunguk itu dengan tanganku sendiri.” *** Senyum Sesil mengembang melihat sang putra yang muncul di antara wajah-wajah mungil lainnya. Tangannya melambai, de
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?