Cukup lama Sesil berdiri tercenung di teras, hingga merasa kedinginan karena baru menyadari pakaian tidurnya yang tipis. Ia pun masuk ke dalam dan berbaring di sofa panjang, sembari menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan jam dua pagi. Rasa kantuk yang mulai datang membuatnya berbaring hingga terlelap. “Nyonya?” Sesil terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya pelan dan melihat salah satu pelayan yang berdiri di sampingnya. Saat itulah ia menyadari ia tidak tidur di tempat tidur. Pandangannya mengarah keluar, melihat hari yang sudah mulai terang. Sesil bangun terduduk dan menelaah ingatan yang membuatnya tertidur di tempat ini. Saga bermimpi buruk dan pergi begitu saja. “Suamiku sudah pulang?” “Belum, Nyonya.” “Jam berapa sekarang?” “Enam.” “Kei?” “Belum bangun.” Sesil pun beranjak dan berjalan ke arah tangga. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika pandangannya melirik ke lorong di samping tangga. Tampak mempertimbangkan sejenak dan mengurungkan niat untuk langsung
“Kenapa? Apakah dia masih mempengaruhi istrimu?” Salah satu alis Arga terangkat. “Pikirkan jika aku yang bermalam di rumahmu.” Seringai Saga tersungging dengan cara yang licik. “Hanya satu malam.” Raut wajah Arga segera membeku , matanya memicing tajam. “Dia adik iparmu.” Saga hanya mengedikkan bahu. Yang membuat ekspresi Arga semakin tegang. Tetapi ia tetap berusaha terlihat setenang mungkin. Buka Saga yang menginginkan Reynara, tapi Reynaralah yang pernah sangat mengejar Saga. Pun dengan pernikahan mereka yang berjalan dengan penuh ketenangan selama lima tahun ini, tetapi saja kecemburuan itu ada jika menyangkutkan antara Saga dan Reynara. Dan ia paham apa yang dirasakan Saga saat ini dengan keberadaan Dirga di rumah ini. “Kami sudah memiliki anak.” “Aku sudah memiliki Kei, dan apa kau tahu berapa yang ada di perut Sesil sekarang?” Kedua mata Arga membelalak, jika satu tak mungkin Saga menanyakan hal itu kepadanya. “Kembar?” Saga mendesah panjang. Bahkan setelah semua ikatan
“Ada apa?” Saga menutup pintu di sampingnya. “Seseorang tertangkap di kasino. Anak buah Jimi. Sepertinya pria itu memiliki hubungan dengan pimpinan gelap lainnya.” “Apa maksudmu?” “Mereka mengincar Dirga.” “Ini tak hanya perebutan kekuasaan di perusahaan Dirga?” Arga menggeleng. “Kupikir ada hubungannya dengan perdagangan yang beroperasi di bawah tanah. Kita akan mengorek informasi pria itu lebih dulu sebelum mengonformasinya lebih dulu pada Dirga. Aku yakin Dirga mengendus sesuatu, itulah sebabnya mereka mengincar nyawanya.” Kerutan di kening Saga menukik semakin tajam, berpikir lebih keras. Menyelidiki tikus-tikus bawah tanah bukanlah pekerjaan yang asing bagi mereka. Tetapi sepertinya kali ini lebih serius. “Aku tak akan melepaskan cecunguk Jimi. Beraninya dia menyentuh Rega,” gumam Arga bersumpah. “Aku akan membunuh cecunguk itu dengan tanganku sendiri.” *** Senyum Sesil mengembang melihat sang putra yang muncul di antara wajah-wajah mungil lainnya. Tangannya melambai, de
Sesil menjerit dan kedua lengannya kontak mendekap tubuh Kei kuat-kuat. Tubuhnya tersentak ke samping dengan keras bersamaan suara hantaman keras dari arah samping kanan, menyusul dari samping kiri. Kepalanya pusing dengan hentakan yang begitu keras, semua terjadi hanya dalam hitungan detik. Ketika ia menyadari apa yang terjadi, sebuah mobil yang sempat berhenti di depan mobil mereka, melaju pergi dengan kecepatan tinggi. Erangan pelan terdengar dari dalam pelukan Sesil, yang segera mengalihkan perhatian Sesil. “Kei, apa kau baik-baik, Nak?” cemas Sesil sambil merangkum wajah sang putra. Kemudian matanya memindari tubuh Kei dengan seksama. “Apa Kei merasa ada yang sakit?” Kei menggeleng pelan. Kedua lengannya masih memeluk Sesil dengan ekspresi ketakutan yang mulai menyelimuti permukaan wajah polos bocah itu. “Mama?” Sesil mengangguk meski rasa pusing di kepalanya masih tersisa. Kemudian ia beralih pada sang sopir. Yang memutar tubuh menghadap ke belakang. “Apakah Anda baik-baik s
“Apa?” Sesil menyentuhkan kedua tangannya di kedua daun telinganya. Merasakan salah satu antingnya yang hilang. “Sepertinya aku menjatuhkannya.” Raut Saga membeku. “Kenapa? Kau marah aku menghilangkannya?” “Di mana kau menjatuhkannya?” Saga merasakan sesuatu yang tak beres. Ia ingat dengan jelas Sesil mengenakannya tadi pagi sebelum ia pergi dengan Arga. Ia tak akan merasakan firasat tersebut jika Sesil menjatuhkannya di rumah atau di mobil. Tetapi hari ini Sesil pergi ke sekolah Kei dan café. Dua kemungkinan yang tak bisa membuat tenang. Sesil berusaha mengingat. “Mungkin saat ke kamar mandi atau mengganti pakaian. Aku akan mencarinya.” Saga masih bergeming. “Kau ingin aku mencarinya sekarang?” Saga hanya menggeleng, kembali merangkul Sesil. “Kita turun sekarang.” Dan firasatnya tak pernah meleset, terutama jika berhubungan dengan Sesil. Ketika ia sampai di lantai bawah, kepala pengawalnya muncul dan cukup satu isyarat ia tahu mereka harus bicara. “Pergilah ke dapur, aku akan
“Dia sudah tidur?” Sesil meletakkan nampan berisi teh hijau di meja untuk Reynara yang baru saja menidurkan Cyara di kamar tamu. Ia pun baru saja turun untuk mengantar Kei tidur. Reynara mengangguk, mengambil cangkir di depannya dan mulai menyesapknya. “Apakah masih tidak ada yang turun?” Sesil menggeleng. Setelah acara makan malam selesai, para pria –kecuali Dirga- naik ke lantai dua dan masuk ke ruang kerja Saga. Sebelum turun, Sesil sempat melihat dua pengawal yang berjaga di depan pintu. “Apa kau tahu sesuatu?” “Tentang Saga? Atau Dirga?” Salah satu alis Reynara terangkat. Menatap Sesil yang duduk di seberang meja. “Kupikir keduanya masih saling berhubungan. Ada masalah serius tentang Dirga, kan?” “Hmm, satu-satunya hal yang membuat mereka saling berhubungan hanya Rega, kan? Arga juga tak mengatakan apa pun. Saat aku bertanya tentang penjagaannya yang semakin ketat, dia malah mengatakan sesuatu yang tak masuk akal tentang adik untuk Cyara. Apa dia sudah gila?” gerutu Reynara.
“Apakah menurutmu dia sedang mencari Dirga?” tanya Sesil. “Tapi dia bahkan tak tahu kalau kami sudah putus dan aku menikah denganmu. Dia bilang, sudah enam atau tujuh tahun mereka tak saling bertemu. Aku ingin memastikannya pada Dirga, tapi … aku tahu kau akan marah padaku jika aku ke ruangan Dirga.” Dan jelas masalah ini lebih serius dari Sesil yang diam-diam menyelinap menemui Dirga. “Apa lagi yang dikatakannya?” “Hanya itu. Apa kau mengenalnya juga?” Saga tak menjawab. Gionino Arsyaka Bayu. Tentu saja ia mengenalnya. Juga Dirga. Cukup dibilang saling mengenal. Sekarang ia paham kenapa pria itu menargetnya Dirga, juga dirinya. Masa lalu mereka jelas lebih rumit dari permusuhan antara keluarganya dan Dirga. Sesil mengamati Saga yang tampak sedang berpikir keras, tetapi ia tak berani menanyakan hal apa pun tentang Dirga. “Apa kau bisa menanyakan hal ini pada Dirga? Mungkin ini akan sedikit membantunya untuk waspada pada siapa pun.” Saga mengangguk singkat, pasti akan melakukanny
Dari bayangan kaca mobil bagian depan, Saga bisa melihat mobil yang membawa Sesil melaju semakin jauh. Ia mendesah dengan gusar, menghampiri pintu mobil. Ia sudah membuka pintu mobil ketika sesuatu menahannya. Kepalanya berputar dan menemukan mobil sport hitam yang berhenti di seberang bahu jalan. Kaca mobil bergerak turun, memperlihatkan sang pengemudi yang menurunkan kacamata hitamnya. Wajah Saga mengeras mengenali pria yang duduk di balik kemudi. Cukup lama pandangan keduanya saling bertemu, lalu Saga masuk ke dalam mobil. “Ikuti mobil itu.” Mobil pun melaju, mengikuti mobil sport hitam dengan jarak yang cukup dekat. Tak lebih dari dua menit, kedua mobil itu berhenti di lapangan tenis yang sunyi. Saga turun lebih dulu dan berjalan ke samping agar besi. Wajahnya tampak mengeras, menyimpan kemarahan yang begitu besar, yang nyaris tak mampu dibendungnya. “Kau benar-benar tak melepaskan pandangan dari istrimu setelah menerima kiriman hadiahku, Saga.” Ada tawa kecil yang terselip da