Kedua pengawal yang menahan Sesil melepaskan cekalan mereka begitu mendapatkan isyarat tangan dari Saga. Sesil menghambur ke arah Dirga, membantu pria itu bangkit terduduk. “Maafkan aku, Dirga.”
“Apa kau sudah gila?!” maki Dirga di antara darah yang membasahi bibirnya. Kali ini mencoba bangkit berdiri dengan satu tangan karena tangannya yang lain memegang tulang rusuk yang sepertinya sudah patah dengan sedikit bantuan Sesil.
“Bisakah aku mendengar penawaranmu sekali lagi, Sesil?” Saga menggaruk bawah telinganya yang tak gatal. “Mungkin aku akan tertarik.”
Sesil melepas pegangannya pada Dirga dan membalikkan tubuhnya menghadapi kearogansian Saga. “Aku akan ikut denganmu dengan syarat kau membebaskan Dirga.” Sesil memperjelas pernyataannya. Kedua tangannya terangkat menghalangi jika sewaktu-waktu Saga berniat menerjang Dirga meskipun tindakannya terlihat begitu tolol. Kekuatannya sama sekali bukan tanding
“Apa kau menolak anak pimpinan Cheng karena wanita barbar sepertinya? Kau bisa menyimpannya untuk urusan pribadi kita, tapi urusan bisnis akan jauh lebih baik dengan anak pimpinan Cheng.” Arga menunjuk ke arah atas anak tangga menunju lantai dua. Sambil mengambil tempat di sofa ia duduk sebelum menggotong Sesil ke kamar kakaknya. Menatap dengan kening berlipat pada sang kakak yang duduk di sofa tunggal.“Ada kalanya kesepatakan bisnis bisa berhasil dan gagal, Arga. Apa kau sudah memperhitungkan kerugian yang kita alami jika kesepakatan itu rusak. Aku tak mau direpotkan oleh wanita yang akan menjadi musuh dalam selimut.”“Lalu, bagaimana dengan dia?” sela Cassie tajam mengarah pada Sesil. Seketika tatapan dingin Saga membalas tatapannya dan udara tegang memenuhi seluruh ruangan. Entah kenapa, emosi Saga selalu mendadak berubah lebih sensitif jika berhubungan dengan wanita sialan itu. Membuat Cassie semakin dirundung rasa panas membela
“Tuan?” panggilan Jon, menghentikan tangan Saga yang hendak menyentuh pegangan pintu kamarnya.“Ada apa?”“Sepertinya Anda perlu memeriksa cctv kamar.”Saga mengerutkan kening. “Apa istriku membuat ulah lagi?”Jon mengangguk pelan.Saga memejamkan mata, bersamaan embusan napas frustasi lolos dari mulut dan hidungnya. Sekilas ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Apakah wanita itu memang berniat mendapatkan perhatiannya untuk malam ini? Batin Saga dalam hati.“Aku akan memeriksanya nanti,” tolak Saga. Mungkin ia akan memberikan perhatian yang lain pada Sesil di ranjang.“Saya khawatir ini akan terlambat karena cctv kamar Anda hanya berada di bawah kendali Anda setelah Nyonya masuk.”Ya, semua cctv di rumah ini dikendalikan oleh Jon, kecuali cctv di kamarnya yang akan hidup dan mati sesuai perintahnya. Tentu saja ia ta
“Apa Sesil mulai menghancurkan barang-barangmu?” Tatapan Alec mengikuti tiga pelayan rumah yang keluar dari kamar Saga, lalu pada dua pengawal yang menggotong cermin besar berbentuk elips masuk ke dalam. “Kenapa hari-hari kalian selalu dihiasi dengan keributan? Apa berumah tangga memang sekacau itu?”“Kenapa kau tidak mencobanya sendiri?” Saga mengabaikan rasa penasaran Alec. Berjalan ke arah kiri menuju ruang kerjanya.Alec terkekeh. Memutar tumit dan mengikuti langkah Saga. “Kau tidak bisa terus-menerus menyiksanya, Saga. Wanita hamil tak bagus mendapatkan tekanan yang terlalu besar.”Langkah Saga terhenti, hampir membuat Alec yang berjalan mengekor di belakang menabrak punggungnya. “Wanita hamil?” ulangnya dengan kekakuan di bibir.Mulut Alec yang masih terbuka tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mempertanyakan pertanyaan tak masuk akal Saga.“Apa maksudmu wanita hamil? Siapa yang
Sesil tak tahu harus berbuat atau bersikap seperti apa selain mengekor dengan memasang wajah tolol ketika Saga menyeretnya ke sana kemari. Ia belum pernah mendatangi pesta semewah dan semegah ini, kecuali saat ingatannya masih belum kembali dan saat itu ia merasa sudah sering mendatangi pesta semacam ini yang ternyata hanyalah ingatan palsu. Dengan gaun yang menempel seperti kulit kedua di tubuhnya, menampakkan punggungnya hingga di atas pantat, ditambah belahan cukup tinggi di sepanjang pahanya, lalu sepatu berwarna senada dengan tinggi yang tak masuk akal. Sesil hampir tak bisa menahan ringisannya ketika merasakan lecet yang mulai terasa mengganggu. Namun, Saga tak cukup peka untuk mengetahui penderitaan yang ia alami. Seolah membalas semua pembangkangannya dengan sepatu sialan ini. Sungguh pembayaran yang tidak setimpal.“Apa kau baik-baik saja?” Saga bertanya ketika Sesil hampir terjatuh dan membuat tubuhnya terhuyung ke samping menabrak tubuh bagian sampingny
“Dirga mulai mendekati pimpinan Cheng. Di sebelah utara.”Saga sudah memperkirakan hal itu sejak menyadari kemunculan Dirga di pesta ini. Dirga tak pernah mendengarkan peringatannya dengan baik, kebodohoan itu jugalah yang membuat Sesil jatuh dalam cengkeramannya. Skenario terburuk, pria itu tak akan menyerah untuk mendapatkan Sesil dan akan menggunakan segala cara untuk mengusiknya. Membuat Saga semakin tertantang dalam permainan ini. “Apa kau sibuk, Max?”Max menggeleng sekali. Ia punya janji menyapa beberapa teman, tapi malam masih panjang untuk memulai rencananya. Pesta juga sepertinya belum benar-benar dimulai.“Temani Sesil. Kalian bisa mengobrol sedikit sambil mengawasinya untukku. Jangan sungkan memperingatkannya jika dia mulai bertindak tak masuk akal.”Sesil memutar kepala dan melemparkan pelototan mata tersinggung dengan kata-kata Saga.Saga menunduk, mengecup kening Sesil dan berbisik, “Aku tak
Sesil menggerutu karena Jon yang tak kunjung datang setelah sepuluh menit berlalu. Ia berjalan melintasi halaman yang luas menuju jalanan yang sepertinya mengarah ke gerbang. Mencari tempat yang jauh dari pengawal bersetelan hitam putih yang berjaga di depan pintu tunggal. Ia ingin menunggu sambil meratapi kesendiriannya tanpa orang lain mengetahui bagaimana menyedihkan dirinya di antara kemewahan yang membungkus tubuhnya.Sesil mengamati bangunan bertingkat tiga yang tampak megah di hadapannya. Yang mau tak mau mengingkatkannya akan rumah Dirga. Menyadari bahwa tingkat sosialnya dan Dirga memang jauh berbeda meskipun ia mengakui ketulusan cinta Dirga untuknya. Dan sekarang ...Sesil mendongak, menatap balkon yang ada di samping bangunan ketika satu gerakan tertangkap sudut matanya. Maniknya menyipit mengenali salah satu dari dua sosok yang tengah berbincang di atas sana adalah Saga. Dengan seorang wanita mengenakan gaun berwarna perak dan berambut hitam legan da
Beberapa menit yang lalu pria itu menyeretnya agar mereka segera pulang sampai mengeluh hanya karena ia haus dan ingin minum. Dan sekarang, Saga membuatnya menunggu sedangkan pria itu bersenang-senang dengan wanita lain. Bercumbu di sudut balkon yang sepi dan dengan keremangan yang melingkupi keduanya. Membiarkannya sendiri dan menunggu di tengah jalan seperti orang tolol. Pria itu memang pandai mempermainkan emosinya.Rasa dingin yang berasal dari logam di antara jemari tangan mengalihkan perhatian Sesil. Hatinya mendadak semakin mendidih menatap cincin yang disematkan Saga di hari pernikahan mereka. Cincin pernikahan sialan! batin Sesil sambil menarik cincin tersebut dan melemparnya ke arah halaman berumput sangat luas di hadapannya sekuat tenaga. Lalu mengembuskan napas dengan keras merasakan kepuasan yang entah kenapa malah terasa menjengkelkan. Mungkin ia jengkel karena cincin yang ia buang sangat cantik dan indah. Mungkin juga karena ia takut Saga akan menyuruh
“Pergilah!” usir Saga pada perawat yang sedang mengoleskan salep pada tumit Sesil dengan sangat lambat.Perawat itu mematung lalu mendongak dengan ketakutan. Wajah tampan Saga menakjubkan, dengan mata sebiru lautan yang menghanyutkan wanita mana pun. Tetapi, aura berbahaya yang menyelubungi pria itu adalah sesuatu yang dijauhi secepat mungkin.“Tinggalkan semua itu di sini. Aku yang akan melakukannya sendiri,” jelas Saga tak sabaran. Ia sudah biasa terluka dan merawat lukanya sendiri dengan benar tanpa bantuan seorang dokter. Tentu merawat luka seringan lecet karena sepatu berhak tinggi bukanlah masalah.Perawat itu masih tak bergerak. Hendak menjelaskan bagaimana cara merawat luka lecet itu dengan benar. Tetapi, aura mencekam yang memenuhi udara di sekitar mereka membuatnya membeku. Belum lagi dengan pistol nampak jelas bersarung di pinggang Saga, membuatnya semakin menggigil oleh ketakutan.Mata Saga mendelik, siap memakan perawa
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?