Bagi Wina, Lana terlihat sangat menyukainya. Hal itu juga membuat Erza merasa lega. "Wina, kamu bisa tidur denganku di lantai tiga malam ini." Lana berkata pada Wina setelah makan malam. Erza tidak bisa memahaminya. Lana adalah istrinya. Sekarang dia justru mengajak Wina tidur bersamanya, sedangkan Erza harus tidur di lantai dua. "Tapi aku ingin tidur dengan Kak Erza," jawab Wina polos. Erza yang sedang meminum jus langsung memuntahkannya. Setelah Wina selesai berbicara, Lana menatap Erza dengan marah. Erza balas menatapnya dengan rasa bersalah. Pada saat ini, semakin Erza menjelaskan, semakin marah Lana padanya, jadi lebih baik untuk tutup mulut. Melihat Erza tidak berbicara, Lana yang tampak sedikit marah, dan langsung pergi. "Kak Erza, apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Wina pada Erza. "Tidak, kamu harus istirahat lebih awal. Bu Siska, tolong siapkan kamar untuk Wina," kata Erza. Saat ini, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Bu Siska
Apakah Alina sedang bercanda? Apa dia meminta Erza membawa Lana ke hadapannya dan menjelaskan bahwa gadis itu adalah istrinya? Jangankan membuat Alina percaya, bahkan Lana pun mungkin tidak akan setuju. "Alina, aku…" kata Erza. "Apa kamu tidak akan bertanggung jawab padaku?" Mata Alina terlihat sedikit menyedihkan. "Baiklah." Erza tidak bisa berkata-kata pada akhirnya. "Kamu belum sarapan, bukan? Aku akan membuatkan sarapan untukmu." Setelah mendengar Erza menyetujuinya, Alina memasang ekspresi bahagia di wajahnya. Erza saat ini merasa sedikit tertekan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini. Alina membuatkan Erza sepiring nasi goreng. Setelah Erza mencobanya, dia berkata, "Ini enak. Aku tidak menyangka kamu bisa memasak." Keterampilan memasak Alina memang sangat bagus. "Jika menurutmu enak, kamu bisa pindah ke sini dan hidup di sini bersama denganku," celetuk Alina. "Apa?" Erza membuka mulutnya lebar-lebar dan menatap Alina
"Aku teman sekelas Lana dulu saat masih sekolah. Ada yang ingin kukatakan padanya sekarang. Bisakah kamu meninggalkan kami berdua saja?" Sanca merasa sedikit tidak sabar. "Tidak bisa. Aku bukan hanya sopir Bu Lana, tapi juga pengawalnya. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian berdua," elak Erza. "Ini, Lana, pegang bunga ini dulu," kata Sanca pada Lana. Ada dorongan untuk membunuh Erza di hati Sanca, tapi dia berusaha menahan diri. "Bunga ini sangat indah, bukankah Anda menyukai ini, Bu Lana?" Erza mengambil bunganya. "Jika kamu menyukainya, ambil saja," kata Lana acuh tak acuh. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Erza. "Maaf, Bu Lana tidak menginginkannya. Sepertinya Anda harus membawanya kembali." Ketika Erza berbicara, dia menyerahkan mawar itu kepada Sanca. Tanpa diduga, Sanca tidak bereaksi. Walaupun bunganya sangat mahal, ditambah ongkos kirimnya yang mencapai jutaan, Sanca sangat malu untuk mengambilnya kembali. "Bunga ini sangat mahal
"Karena Erza juga ada di sini, ayo makan bersama saja," kata Lana. Melihat Lana berbalik dan masuk, Sanca juga dengan cepat mengejarnya. Bahkan jika dia tidak dapat melakukan apa-apa dengan Lana hari ini, tetapi setidaknya sesi makan malam ini dapat memberi kesan baik untuk dirinya. Sejak Sanca kembali dari belajar di luar negeri, orangtuanya selalu mendukung dirinya untuk berkencan dengan Lana. Jika Sanca bisa menikah dengan Lana, maka perusahaan Lana juga akan menjadi miliknya. Untuk mendapatkan hati Lana, orangtua Sanca memberikan berbagai macam fasilitas padanya untuk menarik perhatian gadis itu. "Ayo, pesan apa saja yang ingin kamu makan," kata Sanca dengan sombong setelah mereka masuk ke ruangan VIP di restoran hotel itu. "Saya tahu bahwa Tuan Sanca sangat murah hati," ucap Erza terkekeh. Sanca hanya tersenyum dan mengangguk sambil mengutuk pria itu di dalam hati. Lana melihat menu dulu, lalu memesan steak dan sebotol anggur merah. Harganya sekitar 5
"Aku mau ke toilet dulu," kata Sanca seraya berdiri. Sejujurnya saat ini, Sanca sedikit pusing. Bagaimana tidak? Dia harus mengeluarkan uang berpuluh-puluh juta dalam semalam. Setelah berada di toilet, Sanca mulai menelepon kemana-mana untuk meminjam uang karena dia tidak punya cukup uang. Meski dia adalah anak walikota, tapi dia sama sekali tidak mungkin untuk memesan semua menu premium. Di sisi lain Lana bertanya, "Erza, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Apakah kita harus melakukan ini?" "Apa yang berlebihan? Dia awalnya berniat buruk padamu, jadi kita harus memberinya sedikit pelajaran sekarang," kata Erza sambil mulai makan. "Sial! Ke mana semua teman-teman brengsek ini? Mereka biasanya menggunakan segala macam alasan untuk meminjam uang dariku, tapi saat aku meminjamnya mereka malah tidak menggubris sama sekali," gertak Sanca. Di toilet, setelah lama menelpon, Sanca tidak tahu berapa orang yang sudah dia hubungi. Untungnya, dia akhirnya mendapatkan pinjaman
"Kamu di mana?" Ketika dia dengan cepat berlari ke bawah, Erza menyadari bahwa dia bahkan tidak menanyakan alamat Farina. "Aku di polres sekarang," jawab Farina. "Aku akan segera ke sana." Setelah menutup telepon, Erza dengan cepat mengambil mobilnya dan menuju ke Polres Semarang. Dalam perjalanan, adegan peristiwa masa lalu terus-menerus teringat di benak Erza. Dia awalnya memiliki masa kecil yang bahagia, tetapi sepuluh tahun yang lalu, orangtuanya tiba-tiba menghilang. Para polisi juga menyelidiki kasus ini, tetapi tidak ada hasil. Erza akhirnya menjadi yatim piatu. Kemudian, dia bertemu dengan seorang tentara yang membawanya ke markas. Melalui usahanya sendiri, Erza akhirnya menjadi prajurit dan mendapatkan banyak gelar kehormatan atas jasanya. Dia sangat senang saat berada di medan perang bersama rekan seperjuangannya. Namun, saat dia mendapat suatu misi yang sangat sulit dan rekan-rekannya itu harus menjadi korban, air mata Erza mengalir hampir tak terkendali.
"Tolong! Jangan sentuh aku, Tuan. Aku mohon ...." rintih Lunar saat pria bernama Lucas itu mulai menindih tubuhnya.Pria di hadapannya tak peduli lagi dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Lunar. Meski sesekali Lunar menampakkan tangisnya, pria itu tak sedikit pun merasa belas kasihan. "Tuan, aku mohon ... jangan sentuh aku ...." rengek Lunar tak henti-henti. "Diam! Jangan banyak merengek ataupun menangis. Suamimu telah menjualmu dengan harga satu milyar padaku. Jika aku menyia-nyiakanmu, aku akan merasa rugi." bentak Lucas dengan intonasi tak dapat terkontrol lagi.Lunar hanya bisa menangis dan tak menduga jika suaminya tega menjualnya kepada Lucas. Mungkin ini memang salahnya, saat lima tahun menikah Lunar tak pernah mengizinkan Doris untuk menyentuhnya. Bukan apa-apa, semua itu Lunar lakukan karena suatu sebab dan alasan.Kini ia tak dapat lari dari pria arrogan itu, untuk merangkak saja dirinya sudah tak kuasa. Matanya hanya bisa mengeluarkan bulir-bulir bening yang membuat dad
"Ah, Tuan. Jangan lakukan itu, aku takut ...." ucap Lunar sambil menutup kedua matanya. "Apa yang kau takutkan? Bukankah kau juga menginginkannya?" goda Lucas membuat Lunar membuka matanya.Mereka kini sama-sama saling menatap, Lucas mendekatkan wajahnya ke arah bibir Lunar. Wanita itu mencoba menyangkalnya. "Apa yang akan kau lakukan, Tuan?" "Kau milikku sekarang. Jadi, aku bebas mau melakukan apa saja semauku," "Tapi ... aku masih virgin, Tuan. Aku tak mungkin menyerahkan keperawananku begitu saja," "Aku tidak peduli. Justru itu yang kumau."Lucas tampak mengambil remote di sampingnya dan memadamkan lampu di kamar itu. Suasana malam itu sangat senyap. Dalam remang-remang malam itu, hasrat Lucas semakin melonjak. Tatkala ia melihat dan menyaksikan dengan jelas postur tubuh Lunar yang amat menggiurkan. Lucas segera mendekatkan bibirnya dengan bibir Lunar. First kissing pun dimulai. Lunar tampak tercengang dan sesaat ia memejamkan matanya sembari menikmati permainan lidah Lucas. K
"Kamu di mana?" Ketika dia dengan cepat berlari ke bawah, Erza menyadari bahwa dia bahkan tidak menanyakan alamat Farina. "Aku di polres sekarang," jawab Farina. "Aku akan segera ke sana." Setelah menutup telepon, Erza dengan cepat mengambil mobilnya dan menuju ke Polres Semarang. Dalam perjalanan, adegan peristiwa masa lalu terus-menerus teringat di benak Erza. Dia awalnya memiliki masa kecil yang bahagia, tetapi sepuluh tahun yang lalu, orangtuanya tiba-tiba menghilang. Para polisi juga menyelidiki kasus ini, tetapi tidak ada hasil. Erza akhirnya menjadi yatim piatu. Kemudian, dia bertemu dengan seorang tentara yang membawanya ke markas. Melalui usahanya sendiri, Erza akhirnya menjadi prajurit dan mendapatkan banyak gelar kehormatan atas jasanya. Dia sangat senang saat berada di medan perang bersama rekan seperjuangannya. Namun, saat dia mendapat suatu misi yang sangat sulit dan rekan-rekannya itu harus menjadi korban, air mata Erza mengalir hampir tak terkendali.
"Aku mau ke toilet dulu," kata Sanca seraya berdiri. Sejujurnya saat ini, Sanca sedikit pusing. Bagaimana tidak? Dia harus mengeluarkan uang berpuluh-puluh juta dalam semalam. Setelah berada di toilet, Sanca mulai menelepon kemana-mana untuk meminjam uang karena dia tidak punya cukup uang. Meski dia adalah anak walikota, tapi dia sama sekali tidak mungkin untuk memesan semua menu premium. Di sisi lain Lana bertanya, "Erza, apakah ini tidak terlalu berlebihan? Apakah kita harus melakukan ini?" "Apa yang berlebihan? Dia awalnya berniat buruk padamu, jadi kita harus memberinya sedikit pelajaran sekarang," kata Erza sambil mulai makan. "Sial! Ke mana semua teman-teman brengsek ini? Mereka biasanya menggunakan segala macam alasan untuk meminjam uang dariku, tapi saat aku meminjamnya mereka malah tidak menggubris sama sekali," gertak Sanca. Di toilet, setelah lama menelpon, Sanca tidak tahu berapa orang yang sudah dia hubungi. Untungnya, dia akhirnya mendapatkan pinjaman
"Karena Erza juga ada di sini, ayo makan bersama saja," kata Lana. Melihat Lana berbalik dan masuk, Sanca juga dengan cepat mengejarnya. Bahkan jika dia tidak dapat melakukan apa-apa dengan Lana hari ini, tetapi setidaknya sesi makan malam ini dapat memberi kesan baik untuk dirinya. Sejak Sanca kembali dari belajar di luar negeri, orangtuanya selalu mendukung dirinya untuk berkencan dengan Lana. Jika Sanca bisa menikah dengan Lana, maka perusahaan Lana juga akan menjadi miliknya. Untuk mendapatkan hati Lana, orangtua Sanca memberikan berbagai macam fasilitas padanya untuk menarik perhatian gadis itu. "Ayo, pesan apa saja yang ingin kamu makan," kata Sanca dengan sombong setelah mereka masuk ke ruangan VIP di restoran hotel itu. "Saya tahu bahwa Tuan Sanca sangat murah hati," ucap Erza terkekeh. Sanca hanya tersenyum dan mengangguk sambil mengutuk pria itu di dalam hati. Lana melihat menu dulu, lalu memesan steak dan sebotol anggur merah. Harganya sekitar 5
"Aku teman sekelas Lana dulu saat masih sekolah. Ada yang ingin kukatakan padanya sekarang. Bisakah kamu meninggalkan kami berdua saja?" Sanca merasa sedikit tidak sabar. "Tidak bisa. Aku bukan hanya sopir Bu Lana, tapi juga pengawalnya. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian berdua," elak Erza. "Ini, Lana, pegang bunga ini dulu," kata Sanca pada Lana. Ada dorongan untuk membunuh Erza di hati Sanca, tapi dia berusaha menahan diri. "Bunga ini sangat indah, bukankah Anda menyukai ini, Bu Lana?" Erza mengambil bunganya. "Jika kamu menyukainya, ambil saja," kata Lana acuh tak acuh. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Erza. "Maaf, Bu Lana tidak menginginkannya. Sepertinya Anda harus membawanya kembali." Ketika Erza berbicara, dia menyerahkan mawar itu kepada Sanca. Tanpa diduga, Sanca tidak bereaksi. Walaupun bunganya sangat mahal, ditambah ongkos kirimnya yang mencapai jutaan, Sanca sangat malu untuk mengambilnya kembali. "Bunga ini sangat mahal
Apakah Alina sedang bercanda? Apa dia meminta Erza membawa Lana ke hadapannya dan menjelaskan bahwa gadis itu adalah istrinya? Jangankan membuat Alina percaya, bahkan Lana pun mungkin tidak akan setuju. "Alina, aku…" kata Erza. "Apa kamu tidak akan bertanggung jawab padaku?" Mata Alina terlihat sedikit menyedihkan. "Baiklah." Erza tidak bisa berkata-kata pada akhirnya. "Kamu belum sarapan, bukan? Aku akan membuatkan sarapan untukmu." Setelah mendengar Erza menyetujuinya, Alina memasang ekspresi bahagia di wajahnya. Erza saat ini merasa sedikit tertekan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini. Alina membuatkan Erza sepiring nasi goreng. Setelah Erza mencobanya, dia berkata, "Ini enak. Aku tidak menyangka kamu bisa memasak." Keterampilan memasak Alina memang sangat bagus. "Jika menurutmu enak, kamu bisa pindah ke sini dan hidup di sini bersama denganku," celetuk Alina. "Apa?" Erza membuka mulutnya lebar-lebar dan menatap Alina
Bagi Wina, Lana terlihat sangat menyukainya. Hal itu juga membuat Erza merasa lega. "Wina, kamu bisa tidur denganku di lantai tiga malam ini." Lana berkata pada Wina setelah makan malam. Erza tidak bisa memahaminya. Lana adalah istrinya. Sekarang dia justru mengajak Wina tidur bersamanya, sedangkan Erza harus tidur di lantai dua. "Tapi aku ingin tidur dengan Kak Erza," jawab Wina polos. Erza yang sedang meminum jus langsung memuntahkannya. Setelah Wina selesai berbicara, Lana menatap Erza dengan marah. Erza balas menatapnya dengan rasa bersalah. Pada saat ini, semakin Erza menjelaskan, semakin marah Lana padanya, jadi lebih baik untuk tutup mulut. Melihat Erza tidak berbicara, Lana yang tampak sedikit marah, dan langsung pergi. "Kak Erza, apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Wina pada Erza. "Tidak, kamu harus istirahat lebih awal. Bu Siska, tolong siapkan kamar untuk Wina," kata Erza. Saat ini, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Bu Siska
"Terima kasih banyak, Erza." Mata Wika tiba-tiba berbinar. "Ayo pergi, cari tempat makan. Kamu sepertinya belum makan siang." Erza melihat jam. Saat ini sudah sekitar jam empat sore, jadi dia tidak perlu kembali ke perusahaan. Begitu mereka tiba di sebuah restoran, telepon Erza berdering. "Erza, kamu pergi ke mana? Mengapa kamu tidak masuk kerja pada hari pertamamu sebagai wakil manajer?" Suara kecewa Alina terdengar di telepon. "Alina, aku ada urusan mendesak di sini. Aku tidak bisa kembali ke kantor sore ini," jelas Erza. "Apa ada yang tidak beres saat kamu makan siang dengan Pak Doni?" tanya Alina khawatir. Erza menjawab singkat, "Tidak, kok." "Ya sudah. Tidak apa-apa. Aku akan meminta izin untukmu, tapi kamu harus masuk kerja besok." Nada suara Alina sangat menenangkan. "Terima kasih, Alina," jawab Erza. Setelah menutup telepon, Erza mulai makan. Setelah selesai makan, dia langsung mengeluarkan lima ratus ribu yang diberikan oleh polisi
Para preman itu akhirnya menyetujui tawaran Erza, dan mereka bersedia membebaskan Wika dan Wina. Wika berkata pada Erza dan Farina, "Terima kasih." Dia sedikit takut dengan Farina. "Aku akan membiarkan kalian pergi untuk saat ini," kata Farina pada kelompok preman itu. Setelah itu, dia menatap Erza, "Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tidak membawa teman-temanmu pergi?" Entah kenapa, saat melihat ekspresi Erza saat ini, Farina merasa sangat bangga. "Tidak ada mobil, bagaimana aku bisa pergi?" tanya Erza. Farina sedikit jengkel mendengarnya. Erza berkata lagi, "Bagaimana kalau kamu mengantar kami ke mobilku? Aku rasa mobilku masih ada di tempat tadi." Erza memiliki ekspresi waspada di wajahnya. Pada saat ini, Erza juga sedikit takut. Jika Farina tidak bisa emosinya, gadis itu akan meledak ketika saatnya tiba. Farin menjawab dengan senyum terpaksa, "Baiklah." Dia segera menelepon kantor polisi. Setelah menjelaskan semuanya, petugas di sana bergegas datang. Seben
"Tunggu dulu. Sebelum bernegosiasi, aku akan membereskan gadis kecil ini dulu," kata preman itu pakda Farina. Mendengar apa yang dikatakan si preman, kali ini Farina benar-benar ingin meledak, dan dia bergegas menuju ke arah si preman. Langkah Farina juga mengejutkan Erza. Erza tidak menyangka gadis ini begitu pemarah. Ada lebih dari 30 orang di hadapannya. Saat ini, gadis itu benar-benar berani mendekati mereka. Dalam sekejap, Farina tiba di depan para preman itu. Tidak ada yang menyangka bahwa seorang gadis seperti Farina bisa begitu berani. Tapi, para preman itu tidak berpikir demikian. Ketika Farina tiba di depannya, dia dengan cepat mencengkeram kerah pemimpin mereka, dan kemudian tiba-tiba ditarik ke bawah. Pemimpin preman itu merasakan tubuhnya jatuh ke depan, dan Farina dengan cepat menggunakan lututnya untuk menendang perut pria itu. "Ah." Dengan teriakan dari mulutnya, pemimpin preman itu terbaring kesakitan di tanah. Rangkaian aksi serangan Farina benar-b