Bab 63"Mati saja kamu Kak! Buatlah Ibu dan Bapak bertambah menderita setelah mereka melihatmu mati bunuh diri!"Amina marah melihat Ajeng aksi nekad Ajeng. Dengan gerakan cepat Amina mengeluarkan sumpalan tissue di mulut kakaknya dengan paksa sampai Ia yakin tidak ada tissue yang tertinggal.Ajeng terbatuk - batuk. Ia lega akhirnya bisa bernapas kembali.Amina mengambilkannya segelas minuman. Ajeng meneguknya banyak."Keparat kenapa kamu menyelamatkan aku?" desis Ajeng menahan malunya.Amina mencibir. "Aku tidak mau nelihatmu mati, sebelum aku puas membalas dendam denganmu dan melihatmu menderita!"Walaupun Amina mengatakan kata - kata jahat pada Ajeng. Jauh dalam lubuk hatinya, ia merasa kasihan melihat kondisi kakaknya.Ajeng sangat mengenaskan, tubuhnya nyaris tinggal tulang belulang yang tertutup kulit.Penyakit AIDS yang dideritanya telah merenggut seluruh kecantikannya.Tubuh wanita itu tergolek lemah di pembaringan, dengan pampers yang selalu terpasang di pantatnya, karena d
Bab 64"Kalau kamu tidak mau memaafkan, bilang saja, tidak usah memakai persyaratan segala," ujar Ajeng mengomentari permintaan adiknya. Ibu mengamini perkataan Ajeng. "Iya Nduk, kalian berdua bersaudara. Ada baiknya saling memaafkan dan hidup rukun. Amina tersenyum tipis. "Itu persyaratanku, jika Kakak tidak mau, aku tidak memaksa."Perempuan itu melihat ke ibunya. "Lagian, tolong Ibu sesekali memikirkan aku dan Ayang. Gara - gara kelakuan Kak Ajeng, hidupku hancur dan anakku harus menanggung beban seumur hidup. Sedangkan si Jazuli masih berniat untuk memilikiku?" Ibu menggeleng. "Ibu benci sama orang tua itu. Dia sombong dan tidak pernah meminta maaf sama kami soal perbuatannya," gerutunya kesal. Ajeng menyahut. "Oke Kakak salah, tapi soal anakmu, itu bukan salah Kakak. Anakmu adalah tanggung jawabmu! Kamu yang memutuskan melahirkannya ke dunia." katanya dengan suara lemah. Ia masih berusaha untuk membela diri. Amina tersulut emosi. "Iya Ayang memang tanggung jawabku. Aku mempe
Bab 65Melihat Jazuli berdiri angkuh di pintu belakang rumahnya. Sontak tangan Amina mengambil ember yang berisi air dan menyiramkannya ke tubuh lelaki gaek itu. Sedangkan Ibu mengambil sapu ijuk. Mereka sama – sama terkejut dengan kedatangan Jazuli yang tiba- tiba.“Dasar tidak tahu malu! Ngapain kamu ke sini?!! Pergi kamu!” Amina histeris melihatnya.Ibu mengacungkan sapu, dan siap – siap mau memukulnya.“Aku mau bertamu dan menengok istri dan anakku.” Dengan santai Jazuli mendekati Amina, dia mengusap wajahnya yang terkena air dengan sapu tangan.“Mau bertamu kok gak ada sopan – sopannya. Main selonong saja,” cemooh Ibu. Dia kesal sekali melihat besannya berada di dapurnya.Ajeng yang mendengarkan omongan Jazuli dari kamarnya, tersulut emosi. Dipaksakannya tubuhnya untuk bangkit dan bergerak dengan cara merangkak ke dapur.“Apa telingamu tuli Pak Tua? Adik dan ibuku telah mengusirmu! Kenapa kamu masih berdiri di situ?” ucap Ajeng, dia menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan napas t
Bab 66Terdengar Wahyu menelpon saudara perempuannya. “Mba, Bapak ini lho, gak mau pulang sebelum membawa pulang Amina dan Ayang.”Wirda misuh – misuh di telepon. “Kamu memang gak bisa jaga Bapak. Sudah tahu Bapak keras kepala masih saja kamu turuti permintaannya. Berikan telponnya ke Bapak!”Wahyu memberikan teleponnya ke Jazuli. Tetapi Jazuli malah mematikannya.“Bapak gak mau ngomong sama mbakmu!” ujar Jazuli ketus. Dia menyulut rokoknya dan duduk dengan bersilang kaki. Dia berpikir keras bagaimana mendapatkan Amina dan Ayang kembali padanya.Wirda di seberang berang. “Punya Bapak satu susahnya minta ampun!” gerutunya marah.____________Di dalam rumah Amina, Ibu berjalan mondar - mandir. Ia sama sekali tidak tenang mengetahui Jazuli masih di sekitar rumahnya.Sesekali perempuan itu menempelkan telinganya ke dekat jendela mendengarkan pembicaraan Jazuli dan Wahyu.“Orang kok gak punya malu sama sekali. Udah bangkotan masih saja ngotot!” gumam Ibu dongkol. Ia meremas – daster yang d
Bab 67"Ibu gak ngerti di mana otak kamu itu? Perempuan kok gak mau nikah? Egois sekali!" kata Ibu emosi.Jawaban Amina membuat Ibu semakin tertekan. Kata - katanya menjadi tak terkendali.Kenyataan menyakitkan yang menimpa kedua anaknya telah merobek hati perempuan itu.Ia berusaha tegar menutupi kegalauan dan kesedihannya, tetapi dia gagal.Darah Amina meletup. "Aku memang tak punya otak Bu, tapi aku taku apa yang aku lakukan!" dengusnya kasar."Walaupun aku tahu Eril mencintaiku, tapi aku tidak mau memanfaatkan dia untuk menikahiku!""Ibu memikirkan kamu dan Ayang! Siapa yang akan melindungi kamu dan Ayang jika Ibu dan Bapak tidak ada!"Mata Amina berkilat. "Yang Ibu pikirkan, bukan aku dan Ayang. Tapi nama baik Ibu dan Bapak bukan?" tuduhnya. "Aku bisa melindungi diriku sendiri dan anakku."Pertengkaran tak terelakkan lagi. Amina dan Ibu saling ngotot mempertahankan pendapatnya.Bapak berdeham. "Kalau kalian bertengkar terus tidak akan menyelesaikan masalah! Kita turuti saja kemau
Bab 68“Kebakaran! Kebarakaran!” ujar Eril langsung berlari menggendong tubuh Ayang dan membawanya keluar rumah.Bapak menghambur ke dapur dan berusaha memadamkan. Sedangkan Ibu berteriak histeris melihat dapurnya terbakar. “Ya Allah Gusti!” Rasa panik menyerangnya seketika. Ia berlari ke sana ke mari. “Tolong! Tolong! Rumahku kebakaran!”Sementara Amina tertegun mendengar teriakan Eril dan ibunya. Ia berdiri seperti patung, menatap nanar jilatan api yang mulai membesar lalu menyambar tumpukan kayu yang berada di pojokan dapur.“Anakku mana, cucuku mana?!!” Ibu mulai menangis meraung – raung di lantai.Eril masuk, ia berusaha menenangkan Ibu dan membawanya ke luar rumah. Lelaki itu lalu masuk lagi dan masih melihat Amina berdiri mematung. “Amina cepat bawa Kak Ajeng keluar, Ibu dan Ayang sudah di luar!” katanya cepat. Ia merangsek membantu Bapak memadamkan api.Amina tergagap. Sontak ia sadar dengan apa yang terjadi. “Ayang, Kakak, Ibu, Bapak!” gumamnya panik. Dengan cepat ia berlari
Bab 69“Amina, jangan pergi!” cegah Eril. Lelaki itu memegangi tangan Amina kuat.“Lepaskan! Aku mau membuat perhitungan dengan lelaki jahanam itu!” kata Amina geram. “Dikiranya aku takut apa menghadapi dia!”Wanita itu tak bisa lagi menyembunyikan lagi ledakan emosi setelah ia tahu yang membakar rumahnya adalah orang suruhan Jazuli, dia telah dibawa ke Kantor Polisi oleh Pak RT. Bapak, Kang Parman dan suami Bude Surti ikut sebagai saksi. “Sabar sayang, tenang. Kita atasi semua masalah ini sama – sama! Masalah tidak akan selesai bila kamu ikut marah begini,” Eril berusaha membujuk Amina. Ia membelai kepala Amina dengan lembut.Dada Amina turun naik. Ia merasa bersalah, kedatangannya ke rumah Ibu justru menimbulkan masalah baru yang pelik. “Apa kamu tidak lihat Ril apa yang telah dilakukan oleh Jazuli? Apa aku harus menunggu dia membunuh semua keluargaku?” kata Amina terisak.Dia sedih sekali melihat Ibu dan keluarganya menderita, kakaknya yang sakit dan tidur di lantai karena takut o
Bab 70“Amina, kamu jaga rumah dan Ayang! Biar aku yang mencari Ibu.” Eril bergegas ke luar menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.Amina mengejarnya. “Aku ikut!” teriak Amina.“Tidak! Kamu sebaiknya tetap di rumah.”“Iya Amina. Ajeng juga panasnya tinggi. Bude takut terjadi sesuatu dengannya,” sela Bude Surti panik.Amina bingung. Dia tidak tahu mana yang harus ia dahulukan. “Cepatlah pergi Ril! Tolong cari ibuku,” pintanya dengan suara serak.Namun, Eril terpaku saat menyadari ada yang salah dengan mobilnya. “Sial! Ada yang berbuat jahil. Lihatlah semua ban mobilnya kempes.” Dia menendang ban mobilnya dengan marah.Amina terhenyak. “Astaghfirullah! Siapa yang melakukannya Ril?” tangisnya pecah. Ia sangat frustrasi dengan keadaan yang dihadapinya.Bude Surti memegang dadanya. “Sabar Amina, sabar!” Dia menepuk pundak gadis itu.Eril memandang jalanan yang gelap. Ia berpikir keras. Tidak ada sepeda motor yang bisa ia bawa. Sepeda motor punya Bapak masih dibawa Bapak ke Kantor
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men