Bab 57Eril melanjutkan perkataannya lagi. “Kalian keji sekali menfitnah Amina. Perempuan yang sedang berjuang untuk masa depannya. Saya tahu Amina, saya tahu track record kesehatannya sejak dia dibebaskan.” Dia memeluk dan meremas pundak wanita itu lembut.Amina menunduk. Setetes air matanya jatuh.Semua penonton terdiam.Melihat situasi yang kurang kondunsif. Host pemandu acara mengambil alih. “Amina saya pribadi salut dengan kekuatan kamu sebagai seorang perempuan. Kamu menginpirasi perempuan di luar sana untuk tetap kuat demi sang buah hati. Semangat,” selanya dengan mata berbinar.Dia lalu melihat ke Eril dan memberikan kode dengan mengedipkan sebelah matanya. “Sorry Bro, gue harus melanjutkan acara ini.” Ia mulai beraksi. “Baiklah, siapa yang mau berjoget lagi nih? Coba keluarkan suaranya yang keras.” Eril menangkap pesan itu, ia lalu menggandeng tangan Amina menuruni tangga panggung.Mereka bertemu dengan Carla dan Amel yang masih menunggu giliran bernyanyi.Amel langsung meny
Bab 58 “Ya gak gitu juga. Orang yang menfitnah keji itu sesekali butuh dikasih pelajaran. Biar dia bisa jaga mulutnya supaya gak seenaknya nyakitin orang.” Eril serius sekali mengatakannya. Telponnya berdering. Lelaki itu mengangkatnya dan seketika raut mukanya menegang. Pria itu kemudian diam seribu bahasa. Amina mengamati perubahan mimik muka Eril. “Ada apa? Apa ada masalah?” “Iya. Acaramu untuk mengisi acara pagi – pagi onar dibatalkan.” Gigi geraham Eril gemeretuk menahan emosi. Amina syok. “Apa alasannya? Apakah aku berbuat salah?” Dia menggigit bibirnya menahan bulir – bulir air mata yang siap jatuh. Baru saja hatinya diliputi oleh perasaan bahagia, kini berganti keruh. Serbuan ketakutan mulai memeluknya erat. “Kamu tidak melakukan kesalahan.” Eril menenangkan Amina. “Aku menduga ini ada kaitannya dengan fitnah soal penyakitmu dan aku akan mencari tahu soal itu.” Dia menumpahkan kekesalannya dengan memukul kemudi. “Bagaimana jika semua kontrak dibatalkan Ril?” Pikiran bu
Bab 59 Setelah berkata begitu, Ayang berlari memeluk ibunya sambil menangis. “Ayang mau bersama Ibu. Ayang gak mau ditinggal Ibu.” “Iya sayang, Ibu tidak akan meninggalkan Ayang. Tapi tolong katakan pada Ibu kenapa Ayang tidak mau sekolah lagi?” Amina mengecup kening anaknya lembut. Kemudian membawa gadis kecil itu ke pangkuannya. Diusapnya kepala Ayang dengan halus. Perempuan itu melihat Eril berdiri di depan pintu kamarnya. Dia sedang memperhatikan Amina, sedangkan di tangannya menenteng tas plastik dan sebuah tas karton yang berisi boneka. Amina memberikan kode supaya lelaki itu menunggu. Ayang melihat ibunya dengan nestapa. “Apakah Ibu akan mati? Jika Ibu akan mati Ayang sama siapa?” DEG. Ayang lalu melanjutkan ceritanya. “Tadi sewaktu Ayang mengajak Lora dan teman – temannya makan es cream. Mereka tidak mau, karena Ayang bau curut. Mereka juga bilang Ibu Ayang sakit AIDS dan akan mati. Terus Lora mengajak teman – teman Ayang untuk menjauhi Ayang.” Amina menahan napas men
Bab 60 Suara Amina tersangkut di kerongkongan. Dia tidak menyangka sama sekali efek fitnah berdampak besar bagi keluarga dan karirnya. "Aku tadi sudah menghubungi admin Lambe Miring meminta klarifikasi dari mana dia mendapatkan informasi itu," ucap Eril geram. Dia mematikan rokoknya dengan kasar di asbak. "Terus? Apakah mereka sudah merespon?" tanya Amina. Nada suaranya pelan karena syok. Wanita itu memijit kedua pelipisnya yang mendadak pening. Hatinya ngilu memikirkan pendapatannya yang hilang akibat pemutusan kontrak sepihak. Mimpinya membelikan rumah tapak dan tabungan buat Ayang mengabur. Otaknya hampa dan kosong, dan Amina tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. "Aku masih menunggu. Respond mereka slow sekali." Eril mengusap wajahnya yang berkeringat, meski mesin pendingin ruang ia hidupkan. Badannya terasa kotor karena belum mandi dari tadi pagi. "Apa kamu yakin, mereka akan mengungkap siapa yang memberikan informasi?" Amina kelihatan pesimis. "Aku tadi memberika
Bab 61 Mata Amina menyala. “Apa maksudmu? Aku tidak pernah dekat dengan siapapun, kecuali dirimu?!!” Kepala Eril meneleng. “Ini hanya dugaanku dan Gatot, Jazuli ingin mendekatimu lagi dan bisa jadi dia membayar orang untuk menfitnahmu, supaya kamu terpuruk, supaya dia gampang untuk memikatmu.” “Prasangkamu itu ngawur sekali dan asal mencari,” bantah Amina. Kepalanya semakin pening. “Terserah kamu bilang apa. Tapi aku yakin dugaanku ini benar. Jazuli masih memiliki keinginan kuat untuk memilikimu. Dia itu lelaki paling egois, muka tembok dan dia licik!” Eril berkata dengan dongkol. Suatu tonjokan keras menghantam dada Amina. Begitu bencinya dia pada sosok monster yang telah menghancurkan hidupnya. “Aku mau ke apartemenku dulu,” katanya dengan wajah memucat. “Tunggu! Jangan pergi. Bagaimana masalah kamu akan kelar, jika kamu suka sekali menghindar dan lari dari masalah?!!” Suara Eril menggelegar menakutkan Amina. Perempuan itu menggigil ngeri. Ia bergeming dengan air mata deras
Bab 62 Ibu Amina berdiri di depan toko kelontongnya. Kepalanya mendongak ke atas menatap langit. Hujan sedari subuh belum reda, halamannya yang lebih rendah dari jalan dipenuhi oleh air setinggi mata kaki.Perempuan setengah baya itu duduk di amben. Matanya berkeliling melihat tokonya dengan maysgul. Berulang kali ia terlihat menarik napas panjang. Sebulan ini tokonya sepi sekali dan nyaris tak ada pemasukan.Suaminya yang melihat istrinya sedih, duduk di sampingnya. “Sudahlah Bu, jangan terlalu dipikirkan. Bismillah saja hari ini ada pembeli yang datang,” bujuknya menghibur.“Iya semoga saja Pak,” ucap Ibu Amina lesu. “Ajeng gimana? Apa dia mau kau suapi.”“Mau Bu, tapi sedikit sekali.”Ibu Amina menarik napas panjang lagi. “Hatiku tambah sedih kalau begini. Mikirin Ajeng dan Amina. Apa ini salahku ya Pak?”“Gak usah nyalahin diri sendiri, ini sudah ujian yang harus kita jalani. Kita berdoa saja semoga Allah menguatkan kita.” Bapak Amina menyulut rokoknya.Kemudian, Ibu Amina dikeju
Bab 63"Mati saja kamu Kak! Buatlah Ibu dan Bapak bertambah menderita setelah mereka melihatmu mati bunuh diri!"Amina marah melihat Ajeng aksi nekad Ajeng. Dengan gerakan cepat Amina mengeluarkan sumpalan tissue di mulut kakaknya dengan paksa sampai Ia yakin tidak ada tissue yang tertinggal.Ajeng terbatuk - batuk. Ia lega akhirnya bisa bernapas kembali.Amina mengambilkannya segelas minuman. Ajeng meneguknya banyak."Keparat kenapa kamu menyelamatkan aku?" desis Ajeng menahan malunya.Amina mencibir. "Aku tidak mau nelihatmu mati, sebelum aku puas membalas dendam denganmu dan melihatmu menderita!"Walaupun Amina mengatakan kata - kata jahat pada Ajeng. Jauh dalam lubuk hatinya, ia merasa kasihan melihat kondisi kakaknya.Ajeng sangat mengenaskan, tubuhnya nyaris tinggal tulang belulang yang tertutup kulit.Penyakit AIDS yang dideritanya telah merenggut seluruh kecantikannya.Tubuh wanita itu tergolek lemah di pembaringan, dengan pampers yang selalu terpasang di pantatnya, karena d
Bab 64"Kalau kamu tidak mau memaafkan, bilang saja, tidak usah memakai persyaratan segala," ujar Ajeng mengomentari permintaan adiknya. Ibu mengamini perkataan Ajeng. "Iya Nduk, kalian berdua bersaudara. Ada baiknya saling memaafkan dan hidup rukun. Amina tersenyum tipis. "Itu persyaratanku, jika Kakak tidak mau, aku tidak memaksa."Perempuan itu melihat ke ibunya. "Lagian, tolong Ibu sesekali memikirkan aku dan Ayang. Gara - gara kelakuan Kak Ajeng, hidupku hancur dan anakku harus menanggung beban seumur hidup. Sedangkan si Jazuli masih berniat untuk memilikiku?" Ibu menggeleng. "Ibu benci sama orang tua itu. Dia sombong dan tidak pernah meminta maaf sama kami soal perbuatannya," gerutunya kesal. Ajeng menyahut. "Oke Kakak salah, tapi soal anakmu, itu bukan salah Kakak. Anakmu adalah tanggung jawabmu! Kamu yang memutuskan melahirkannya ke dunia." katanya dengan suara lemah. Ia masih berusaha untuk membela diri. Amina tersulut emosi. "Iya Ayang memang tanggung jawabku. Aku mempe
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men