Bab 65Melihat Jazuli berdiri angkuh di pintu belakang rumahnya. Sontak tangan Amina mengambil ember yang berisi air dan menyiramkannya ke tubuh lelaki gaek itu. Sedangkan Ibu mengambil sapu ijuk. Mereka sama – sama terkejut dengan kedatangan Jazuli yang tiba- tiba.“Dasar tidak tahu malu! Ngapain kamu ke sini?!! Pergi kamu!” Amina histeris melihatnya.Ibu mengacungkan sapu, dan siap – siap mau memukulnya.“Aku mau bertamu dan menengok istri dan anakku.” Dengan santai Jazuli mendekati Amina, dia mengusap wajahnya yang terkena air dengan sapu tangan.“Mau bertamu kok gak ada sopan – sopannya. Main selonong saja,” cemooh Ibu. Dia kesal sekali melihat besannya berada di dapurnya.Ajeng yang mendengarkan omongan Jazuli dari kamarnya, tersulut emosi. Dipaksakannya tubuhnya untuk bangkit dan bergerak dengan cara merangkak ke dapur.“Apa telingamu tuli Pak Tua? Adik dan ibuku telah mengusirmu! Kenapa kamu masih berdiri di situ?” ucap Ajeng, dia menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan napas t
Bab 66Terdengar Wahyu menelpon saudara perempuannya. “Mba, Bapak ini lho, gak mau pulang sebelum membawa pulang Amina dan Ayang.”Wirda misuh – misuh di telepon. “Kamu memang gak bisa jaga Bapak. Sudah tahu Bapak keras kepala masih saja kamu turuti permintaannya. Berikan telponnya ke Bapak!”Wahyu memberikan teleponnya ke Jazuli. Tetapi Jazuli malah mematikannya.“Bapak gak mau ngomong sama mbakmu!” ujar Jazuli ketus. Dia menyulut rokoknya dan duduk dengan bersilang kaki. Dia berpikir keras bagaimana mendapatkan Amina dan Ayang kembali padanya.Wirda di seberang berang. “Punya Bapak satu susahnya minta ampun!” gerutunya marah.____________Di dalam rumah Amina, Ibu berjalan mondar - mandir. Ia sama sekali tidak tenang mengetahui Jazuli masih di sekitar rumahnya.Sesekali perempuan itu menempelkan telinganya ke dekat jendela mendengarkan pembicaraan Jazuli dan Wahyu.“Orang kok gak punya malu sama sekali. Udah bangkotan masih saja ngotot!” gumam Ibu dongkol. Ia meremas – daster yang d
Bab 67"Ibu gak ngerti di mana otak kamu itu? Perempuan kok gak mau nikah? Egois sekali!" kata Ibu emosi.Jawaban Amina membuat Ibu semakin tertekan. Kata - katanya menjadi tak terkendali.Kenyataan menyakitkan yang menimpa kedua anaknya telah merobek hati perempuan itu.Ia berusaha tegar menutupi kegalauan dan kesedihannya, tetapi dia gagal.Darah Amina meletup. "Aku memang tak punya otak Bu, tapi aku taku apa yang aku lakukan!" dengusnya kasar."Walaupun aku tahu Eril mencintaiku, tapi aku tidak mau memanfaatkan dia untuk menikahiku!""Ibu memikirkan kamu dan Ayang! Siapa yang akan melindungi kamu dan Ayang jika Ibu dan Bapak tidak ada!"Mata Amina berkilat. "Yang Ibu pikirkan, bukan aku dan Ayang. Tapi nama baik Ibu dan Bapak bukan?" tuduhnya. "Aku bisa melindungi diriku sendiri dan anakku."Pertengkaran tak terelakkan lagi. Amina dan Ibu saling ngotot mempertahankan pendapatnya.Bapak berdeham. "Kalau kalian bertengkar terus tidak akan menyelesaikan masalah! Kita turuti saja kemau
Bab 68“Kebakaran! Kebarakaran!” ujar Eril langsung berlari menggendong tubuh Ayang dan membawanya keluar rumah.Bapak menghambur ke dapur dan berusaha memadamkan. Sedangkan Ibu berteriak histeris melihat dapurnya terbakar. “Ya Allah Gusti!” Rasa panik menyerangnya seketika. Ia berlari ke sana ke mari. “Tolong! Tolong! Rumahku kebakaran!”Sementara Amina tertegun mendengar teriakan Eril dan ibunya. Ia berdiri seperti patung, menatap nanar jilatan api yang mulai membesar lalu menyambar tumpukan kayu yang berada di pojokan dapur.“Anakku mana, cucuku mana?!!” Ibu mulai menangis meraung – raung di lantai.Eril masuk, ia berusaha menenangkan Ibu dan membawanya ke luar rumah. Lelaki itu lalu masuk lagi dan masih melihat Amina berdiri mematung. “Amina cepat bawa Kak Ajeng keluar, Ibu dan Ayang sudah di luar!” katanya cepat. Ia merangsek membantu Bapak memadamkan api.Amina tergagap. Sontak ia sadar dengan apa yang terjadi. “Ayang, Kakak, Ibu, Bapak!” gumamnya panik. Dengan cepat ia berlari
Bab 69“Amina, jangan pergi!” cegah Eril. Lelaki itu memegangi tangan Amina kuat.“Lepaskan! Aku mau membuat perhitungan dengan lelaki jahanam itu!” kata Amina geram. “Dikiranya aku takut apa menghadapi dia!”Wanita itu tak bisa lagi menyembunyikan lagi ledakan emosi setelah ia tahu yang membakar rumahnya adalah orang suruhan Jazuli, dia telah dibawa ke Kantor Polisi oleh Pak RT. Bapak, Kang Parman dan suami Bude Surti ikut sebagai saksi. “Sabar sayang, tenang. Kita atasi semua masalah ini sama – sama! Masalah tidak akan selesai bila kamu ikut marah begini,” Eril berusaha membujuk Amina. Ia membelai kepala Amina dengan lembut.Dada Amina turun naik. Ia merasa bersalah, kedatangannya ke rumah Ibu justru menimbulkan masalah baru yang pelik. “Apa kamu tidak lihat Ril apa yang telah dilakukan oleh Jazuli? Apa aku harus menunggu dia membunuh semua keluargaku?” kata Amina terisak.Dia sedih sekali melihat Ibu dan keluarganya menderita, kakaknya yang sakit dan tidur di lantai karena takut o
Bab 70“Amina, kamu jaga rumah dan Ayang! Biar aku yang mencari Ibu.” Eril bergegas ke luar menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.Amina mengejarnya. “Aku ikut!” teriak Amina.“Tidak! Kamu sebaiknya tetap di rumah.”“Iya Amina. Ajeng juga panasnya tinggi. Bude takut terjadi sesuatu dengannya,” sela Bude Surti panik.Amina bingung. Dia tidak tahu mana yang harus ia dahulukan. “Cepatlah pergi Ril! Tolong cari ibuku,” pintanya dengan suara serak.Namun, Eril terpaku saat menyadari ada yang salah dengan mobilnya. “Sial! Ada yang berbuat jahil. Lihatlah semua ban mobilnya kempes.” Dia menendang ban mobilnya dengan marah.Amina terhenyak. “Astaghfirullah! Siapa yang melakukannya Ril?” tangisnya pecah. Ia sangat frustrasi dengan keadaan yang dihadapinya.Bude Surti memegang dadanya. “Sabar Amina, sabar!” Dia menepuk pundak gadis itu.Eril memandang jalanan yang gelap. Ia berpikir keras. Tidak ada sepeda motor yang bisa ia bawa. Sepeda motor punya Bapak masih dibawa Bapak ke Kantor
Bab 71Pur cepat menghentikan motornya dan mendekati Ibu Amina. Mesin motor, tetap ia nyalakan sebagai penerang.“Mas Pur, hati – hati,” kata Eril pelan. Dia khawatir Ibu Amina yang memegang arit di tangannya. Walaupun ia tahu lelaki itu bisa silat.“Tenang Mas, saya bisa atasi ini.”Penampilan perempuan tua di depannya itu benar - benar berantakan. Rambutnya yang biasa ia gelung dibiarkan terurai dan awut - awutan.Jika saja lelaki itu tidak mengenalnya, ia bakalan lari tunggang - langgang melihat wanita berjalan malam - malam sendirian di tengah sawah."Bude, mau ke mana?" tanya Pur. "Biar saya anterin."Ibu Amina, terkejut melihat kedatangan Pur dan Eril. "Gak, kamu pulang saja. Bude mau bunuh orang!" Mata Ibu Amina menyala merah."Istighfar Bude. Siapa yang mau Bude bunuh? Ayo kita pulang. Mba Amina, Mba Ajeng, dan Ayang menunggu Bude. Pakde juga tadi telpon bingung nyari Bude." Pur memegang tangan kanan Ibu Amina yang memegang arit.Tangan perempuan itu kaku dan tak mau melepaska
Bab 72Sebelum orang lain sadar apa yang dilakukan ibunya, Amina secepat kilat menghambur keluar rumah dan menyambar kain untuk menutupi tubuh sang ibu yang telanjang.Namun, sebelum mencapai sang ibu, kaki Amina terantuk batu, kakinya terkilir dan membuatnya terjatuh terjerembab di atas lumpur. Muka dan sebagian tubuh bagian depan kotor.“Amina!” kata Eril. Dia buru – buru membantu gadis itu berdiri.Amina bangun. “Ibu!” kata Amina sambil menangis dan berjalan tertatih – tatih.Ibu menoleh. Dia tertawa melihat wajah Amina yang belepotan lumpur. “Kamu malam – malam kok malah main lumpur, Nduk. Sana main sama kakakmu di dalam. Bangunkan dia Nduk.”“Oalah, kasihan Bude, dia jadi gila mengetahui anaknya meninggal,” celetuk salah satu pelayat. Tanpa berusaha membantu. Mereka malah asyik menonton aksi Ibu Amina seperti sebuah pertunjukan.Tangis Amina makin deras mengalir mendengarnya. “Pake baju dulu ya Bu, malu dilihat orang.” Amina melilitkan kain menutupi badan ibunya.“Ora! Ibu sumuk.