Untuk kesekian kalinya Alice mengecek penampilannya malam ini. Mulai dari tatanan ‘make-up’ hingga ujung tumit yang ditutup sepatu hak tinggi, tidak ada satu pun yang dia lewatkan. Menurut penata gaya pribadinya, penampilannya malam ini sudah sangat luar biasa. Gaun merah muda yang terbuka di bagian dada dan membalut lekuk tubuhnya dengan sempurna.
Namun, rasanya tetap berbeda. Dia berharap-harap cemas dan bertanya-tanya, apakah ini berlebihan? Apa Aaron akan menyukainya atau justru mengutuk penampilannya?
Alice menggigit bibirnya yang merah jambu. Warna alami itu berasal dari lipstik mahal dengan lambing huruf D besar. Saking mahalnya maka tidak akan luntur berapa kali pun Alice mengecap
“Apa kamu harus saling pukul sama Ken?” tanya Aurora seraya menatap mata Aaron. Kini Raanana telah membiarkan keluarga Johansson merawat putra semata wayang mereka itu tanpa kunjungan rutin, hanya dengan resep obat saja, jadi dengan kata lain Raanana telah mengatakan bahwa kini pasien yang Aurora rawat memiliki kemungkinan besar untuk dapat secara penuh mengontrol dirinya. Asal ada Aurora di sampingnya. Oleh karena itu Aurora mulai berani memperlakukan pria itu sebagaimana manusia normal lainnya. Aaron diam. Dia bukan tidak mendengar pertanyaan perawat, pelayan, sekaligus wanita pendampingnya yang cantik juga cekatan itu, dia hanya enggan saja menjawab pertanyaan yang menyebalkan. Kini semakin hari semakin jarang Aaron memimpikan teman-temannya dengan semakin dekatnya dia dengan Aurora
Sudah lama Riana tidak mendengar kabar dari Ken tentang Aurora. Pria itu terakhir kali datang mengatakan bahwa adiknya baik-baik saja dan menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Informasi itu juga didukung dengan transferan sejumlah uang sebagai bentuk kepuasan keluarga Johansson atas kinerja Aurora. Namun, tetap saja sebagai orang yang paling tahu pekerjaan adiknya, Riana tetap khawatir. Sampai tiba-tiba, tanpa dinyana, dokter yang dulu ditemui Riana di rumah sakit saat pendonoran ginjal mengunjungi ayahnya. Ibu Riana sedang pergi untuk sebuah acara dan hanya Riana yang ada di rumah. “Kondisinya semakin membaik,” celetuk Raanana setelah meminum teh yang Riana suguhkan. 
Aurora memejamkan matanya, membayangkan kembali percakapan terakhirnya dengan sang ayah sebelum memutuskan untuk mempekerjakan diri sebagai perawat di kastil putih. “Kapan kamu pulang?” tanya Candra Akarsana pada putrinya itu dengan mata berair. “Tadi sore,” jawab Aurora yang terduduk di pinggir bed. Sebuah tarikan napas diambil oleh Candra, menimbulkan batuk yang luar biasa menyesakkan dada. Hari itu, Aurora mengutuk dengan sangat keputusan pendonoran ginjal yang telah terjadi. Namun,
Aaron melempar jas yang selama setengah jam terakhir dipakainya begitu saja ke ranjang. Dalam hitungan detik berikutnya dia menarik Aurora dalam pelukan. Meskipun cukup terbiasa, namun diperlakukan demikian oleh Aaron masih tetap membuat jantung Aurora berlompatan tidak karuan. “Kamu diam sepanjang pemotretan,” ucap Aaron. “Apa belum cukup fotografer itu aja yang mengarahkan gaya kamu?” Aaron mengerucutkan bibirnya, “Cium aku!” 
Seperti tanggungjawab lainnya pada mantan-mantan tenaga kesehatan yang pernah bekerja di kastil putih miliknya, Nick memberikan Aurora pekerjaan yang layak dengan gaji yang amat sangat cukup. Meskipun tawaran inti yang Nick sembunyikan ditolak mentah-mentah oleh anak pendonor ginjal untuk Aaron itu, namun tidak mengapa. Setidaknya, dia telah berhasil menjauhkan Aurora dari putra kesayangannya. Dan kini Aaron Theodore Johansson sudah menjadi milik Nick kembali. Sejak dulu bahkan sedari kecil, Aaron telah menyadarinya. Dia dengan otak cerdasnya memahami satu hal dari seorang Tuan Johansson. Pria yang menjadi ayah kandungnya itu memilki satu arogansi yang tidak akan mungkin bisa diruntuhkan. Bahkan jika sebagian orang telah mengatakan bahwa dua puluh tahun kelinglungan putranya adalah bagian dari seb
Seketika mata Aurora terbeliak. Jantungnya pun tiba-tiba berdegub dengan kencang. Sudah cukup lama memang, namun Aurora ingat dengan benar perlakuan yang dia dapatkan. Pelukan yang tiba-tiba dari sebuah tangan kekar dan panjang serta aromanya pun masih serupa. Aaron? “Aku kangen sama kamu.” Aurora meneguk liurnya. Benar ini Aaron batin Aurora dalam hati. “Kenapa kamu pergi tanpa pamit?”
Sudah amat larut saat Aaron mengantarkan Aurora ke hunian kecilnya. Tadinya pria itu ingin mengantarnya sampai depan kos, namun Aurora bersikeras menolak. Namun, siapa sangka tetap saja ada orang yang mengetahui kejadian itu. Aaron menelan ludah. Dia tidak begitu mengingat wajah wanita yang berdiri di depannya. Namun, jika Aurora mengatakan bahwa wanita itu adalah kakaknya maka sebuah sikap yang patut harus dia tunjukkan. Demi apa? Demi harapan akan restunya, mungkin. Dengan tenang, Riana menatap pria berpostur gagah nan menawan itu. Seperti halnya adiknya, Riana juga tidak banyak mengenal lawan jenis. Terutama beberapa tahun terakhir ini saat dia fokus untuk mempersiapkan praktik mandiri. Namun, berk
“Apa? Dokter Maureen sendiri yang bilang?” tanya Salma dengan tidak percaya. Aurora menengok juga pada seorang perawat UGD yang cukup baik padanya sejak hari pertama dirinya masuk kerja itu. Sedangkan Dokter Maureen adalah dokter senior, namun merangkap sebagai kepala rumah sakit alias dialah yang memiliki rumah sakit besar di mana Aurora mengabdikan diri saat ini. Dia juga yang beberapa waktu lalu berbincang dengan Alice. Dari gerak-geriknya waktu itu sepertinya Alice sangat akrab dengan Dokter Maureen. “Iya,” sahut seorang perawat lain. “Aku juga melihat postingannya di Instagram.”&nbs
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua
Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n
“Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k
Brakh! Pria paruh baya itu terkejut mendengar suara meja yang sengaja digebrak oleh atasannya. “Hei, Pak Tua!” kata Aaron. “Aku dianggap gila selama puluhan tahun. Tapi, aku lebih cerdas darimu! Aku bahkan bisa membuat laporan semacam itu hanya dengan mata tertutup! Jadi, selama ini apa kerjamu?” teriaknya bertubi-tubi. Baron melirik pengawal yang berdiri tegap di sebelahnya, sesama rekan abdi setia yang berpindah haluan seiring tahta yang beralih dari sang ayah ke putra tunggalnya. Dia tidak sedang bermain mata, melainkan memberikan kode pada rekannya itu bahwa malam ini mereka be
Gael datang menemui Alice seusai sidang yang menjatuhkan vonis pada wanita itu bahwa dia sedang ada dalam gangguan jiwa. Kondisi Alice tidak banyak berubah, kecuali rambut yang tampak kusut dan tatapan kosongnya. Gael menggeleng lemah. Seperti itulah akhir untuk orang yang terlalu mengikuti ambisi dalam diri. “Bisa buka aja borgolnya?” pintanya pada salah seorang petugas yang mendampingi Alice. Gael merasa iba pada wanita itu. “Untuk apa kamu datang? Mau menertawakan aku?” Tidak Gael sangka bahwa dia akan mendengar pertanyaan itu dari Alice yang sudah lesu dan layu.&n
Dua sepupu itu datang hampir bersamaan dan bertemu di perempatan sebuah lorong. Mereka itu Gael dan Ken yang kemudian melihat apa yang Nick lakukan pada Aurora. Mereka juga menjadi saksi bagaimana bibi mereka membela wanita itu. Tentu saja itu di luar dugaan, namun melihat dari yang terjadi sepertinya memang hati seorang ibu lebih mudah luluh daripada seorang ayah. “Aku lelah,” tutur Amanda. Nick diam menatap istrinya. Cinta pertamanya itu terlihat berbeda dari wanita yang dikenalnya selama ini. “Nyonya Johansson, Anda tidak perlu … .”&n